Kalimat Karl Rahner ini
tidaklah salah bila mengingat perkembangan teologi sekarang ini cenderung lebih
menekankan dunia verbal ketimbang dunia non-verbal. Dunia non-verbal yang dalam
hal ini adalah seni visual, seperti patung, bangunan arsitektur, tarian, musik
memang dalam kenyataan akhir-akhir ini cenderung ditinggalkan karena sering
dituduh bias, multiinterpertasi, tidak sistematis yang berpotensi membawa
bahaya pada ketidakbakuan atau ketidakjelasan tentang iman. Bisa juga terjadi bahwa seni visual malah tidak
sesuai dengan dogma tentang iman yang sudah dibakukan oleh Gereja selama
berabad-abad. Padahal justru dengan karakternya yang khas seperti itu, dalam
arti sangat dinamis, spontan, dan “jujur”, seni visual dapat memberi sumbangan yang
berarti dalam memandang realitas dalam cara pandang yang baru.
Memang diakui bahwa
perkembangan dunia verbal, dalam hal ini tulisan, secara masif sangat membentuk
dunia kita saat ini. Di sini pula teologi tidak mau ketinggalan dalam membentuk
dunia saat ini. Teologi sebagai refleksi atas iman yang menanggapi wahyu Allah
secara sistematis, kritis, dan logis mencoba menanggapi kehadiran Allah dalam
dunia ini, bahkan dalam kondisi manusiawi yang paling buruk sekalipun. Teologi
dengan daya penggeraknya, yaitu iman akan Allah, mencoba menggambarkan dan
merefleksikan situasi dunia saat ini yang sering kali menganggap absennya peran
dan kehadiran Allah. Usaha penggambaran dan refleksi teologis atas kenyataan
dunia ini tidak lain dari pada sebuah usaha manusia dalam mengungkapkan situasi
yang ia hadapi dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam terang pewahyuan ilahi.
Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari seni visual itu sendiri, khususnya
lukisan yang juga mencoba menangkap secara jujur situasi di sekitarnya menurut
gerak batin si pelukis yang menangkap realitas tersebut. Wujud ungkapan
keduanya memang berbeda. Yang satu adalah dalam bentuk tulisan yang sistematis,
kritis, dan logis, sementara yang lain dalam bentuk tuangan cat dan sapuan kuas
yang terpatri di atas kanvas.
Ketergantungan teologi
pada bahasa yang baku untuk menjelaskan iman dan wahyu Allah secara ilmiah
memang terkesan kaku dan ketat. Hal tersebut tidaklah keliru karena memang
demikianlah fungsi bahasa, yaitu untuk merumuskan secara tepat dan benar apa
yang sebenarnya dialami manusia berkaitan dengan tanggapannya pada sapaan Allah
yang mengomunikasikan Diri-Nya. Rumusan bahasa itu haruslah mengikuti
kaedah-kaedah tata bahasa tertentu yang lazim digunakan, misalnya rumusan
bahasa harus runtut logikanya agar para pembaca dapat dengan mudah memahami
maksudnya. Dengan bahasa itulah pengalaman iman akan Allah dirumuskan. Namun,
untuk berteologi para teolog tentu memerlukan sumber-sumber yang bisa dijadikan
bahan perenungan dan refleksi. Sumber-sumber itu tentu saja, selain Kitab Suci,
adalah pengalaman manusia berhadapan dengan realitas hidupnya dan dunianya.
Pengalaman manusia berhadapan dengan dunianya selalu baru dari jaman ke jaman
yang karenanya memerlukan pemikiran teologis yang baru pula. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
aliran-aliran teologi yang baru pula yang mencoba menanggapi persoalan
kemanusiaan.
Pengalaman manusia itu
meliputi keseluruhan dimensi manusiawi yang ada pada manusia, termasuk
pengalaman akan keindahan (pengalaman estetik). Pengalaman akan keindahan yang
dialami manusia melahirkan pelbagai kesenian, entah itu seni yang murni atau
pun seni terapan yang berguna bagi kehidupan manusia. Pengalaman akan keindahan
ini memiliki horizon yang amat luas cakupannya. Setiap saat manusia dapat
mengalami pengalaman keindahan ini, entah yang bernuansa religius maupun
nonreligius. Bahkan dalam hal-hal yang dianggap buruk atau kotor oleh
masyarakat pun bisa membangkitkan rasa keindahan bagi mereka yang mengalaminya,
misalnya seorang nenek tua yang sedang memanggul kayu di punggungnya yang
bongkok mampu membangkitkan dalam diri si pelukis pengalaman estetis itu. Nenek
itu tentu saja sudah keriput kulit wajahnya dan tubuhnya sudah tidak tegap
lagi. Namun, si pelukis dapat menangkap momen keindahan dalam diri si nenek
tersebut, misalnya perjuangan hidupnya. Di sinilah pengalaman manusia akan
keindahan membangkitkan dalam dirinya suatu gerakan dalam batinnya untuk
mengungkapkan pengalaman itu dalam bentuk entah tulisan reflektif atau teologis
maupun lukisan. Pengalaman sehari-hari yang konkret seperti inilah yang menjadi
medan berteologi bagi para teolog dan berkesenian bagi para pelukis.
Dunia dewasa ini entah
diakui atau tidak merupakan dunia visual. Ciri-cirinya adalah dengan meledaknya
iklan-iklan produk, film-film, perangkat presentasi yang menggunakan sarana
visual (misalnya powerpoint ),
kebutuhan gambar atau ilustrasi dari sebuah berita atau sebuah esai atau sebuah
buku, atau media-media visual lain, seperti pementasan drama atau tarian yang
membahasakan karya verbal, seperti novel atau karya sastra tertentu. Di sini
nampak ada ketidakpuasan dalam diri manusia dengan bahasa yang baku dan ketat
meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa populer atau bahasa yang bebas.
Oleh karena itu, sarana visual sangat diperlukan untuk menghidupkan bahasa itu,
meski tidak dipungkiri akan muncul pemiskinan imajinasi dari pembaca karya
verbal. Namun, dengan melihat secara visual, manusia dapat merasakan sensasi
yang ia butuhkan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan oleh Fred R. Barnad[2], yang diyakini merupakan pencetus asli kutipan
“One picture is worth a thousand words”
bahwa sebuah gambar memang bisa membangkitkan sejumlah makna dalam diri orang yang melihat gambar tersebut.
Oleh karena itu,
penulis merasa bahwa teologi pun, dalam arti ini, bisa dikembangkan secara
visual. Artinya, bukan berarti melulu bahwa gagasan teologis yang verbal diterjemahkan
secara visual melalui media visual, misalnya powerpoint atau tarian atau drama
atau lukisan, melainkan bahwa di dalam media visual itu sendiri gagasan
teologis bisa dikembangkan. Jadi media visual bukan menjadi sekedar alat
pelengkap untuk berteologi, melainkan pada media visual itu sendiri,
gagasan-gagasan teologis dikembangkan. Inilah yang penulis maksud bagaimana
mengembangkan sebuah teologi tidak hanya melalui lukisan tetapi dari dan dalam
lukisan itu sendiri. Dengan demikian, khazanah teologi akan semakin beragam.
Cara pengungkapan iman seseorang tidak lagi melulu dibatasi dengan bahasa
verbal yang memiliki aturan yang ketat dan logis, melainkan berkembang ke arah
yang lebih imajinatif, dinamis, eksploratif berdasarkan apa yang sesungguhnya
dialami oleh si pelukis berhadapan dengan realitas pewahyuan ilahi dalam
hidupnya dan lingkungannya.
[1] Karl Rahner, “Theology and the
Arts”, Thought Vol 57, No 224 (March
1982), 24.
[2] Barnad adalah seorang penulis
sebuah artikel berjudul “One Look is Worth A Thousand Words” dalam sebuah jurnal perdagangan Printer’s Ink di Amerika pada bulan
Desember 1921 untuk mempromosikan penggunaan gambar dalam iklan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar