Sabtu, 02 Juni 2012

Teologi Visual: Sebuah Upaya Berteologi dengan Lukisan



“ ... theology cannot be complete until it appropriates these arts (architecture, sculpture, painting and music) as an integral moment of theology itself and its own life, until the arts become an intrinsic moment of theology itself.” (Karl Rahner) [1]

Kalimat Karl Rahner ini tidaklah salah bila mengingat perkembangan teologi sekarang ini cenderung lebih menekankan dunia verbal ketimbang dunia non-verbal. Dunia non-verbal yang dalam hal ini adalah seni visual, seperti patung, bangunan arsitektur, tarian, musik memang dalam kenyataan akhir-akhir ini cenderung ditinggalkan karena sering dituduh bias, multiinterpertasi, tidak sistematis yang berpotensi membawa bahaya pada ketidakbakuan atau ketidakjelasan tentang iman.  Bisa juga terjadi bahwa seni visual malah tidak sesuai dengan dogma tentang iman yang sudah dibakukan oleh Gereja selama berabad-abad. Padahal justru dengan karakternya yang khas seperti itu, dalam arti sangat dinamis, spontan, dan “jujur”,  seni visual dapat memberi sumbangan yang berarti dalam memandang realitas dalam cara pandang yang baru.
Memang diakui bahwa perkembangan dunia verbal, dalam hal ini tulisan, secara masif sangat membentuk dunia kita saat ini. Di sini pula teologi tidak mau ketinggalan dalam membentuk dunia saat ini. Teologi sebagai refleksi atas iman yang menanggapi wahyu Allah secara sistematis, kritis, dan logis mencoba menanggapi kehadiran Allah dalam dunia ini, bahkan dalam kondisi manusiawi yang paling buruk sekalipun. Teologi dengan daya penggeraknya, yaitu iman akan Allah, mencoba menggambarkan dan merefleksikan situasi dunia saat ini yang sering kali menganggap absennya peran dan kehadiran Allah. Usaha penggambaran dan refleksi teologis atas kenyataan dunia ini tidak lain dari pada sebuah usaha manusia dalam mengungkapkan situasi yang ia hadapi dalam kehidupan nyata sehari-hari dalam terang pewahyuan ilahi. Hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari seni visual itu sendiri, khususnya lukisan yang juga mencoba menangkap secara jujur situasi di sekitarnya menurut gerak batin si pelukis yang menangkap realitas tersebut. Wujud ungkapan keduanya memang berbeda. Yang satu adalah dalam bentuk tulisan yang sistematis, kritis, dan logis, sementara yang lain dalam bentuk tuangan cat dan sapuan kuas yang terpatri di atas kanvas.
Ketergantungan teologi pada bahasa yang baku untuk menjelaskan iman dan wahyu Allah secara ilmiah memang terkesan kaku dan ketat. Hal tersebut tidaklah keliru karena memang demikianlah fungsi bahasa, yaitu untuk merumuskan secara tepat dan benar apa yang sebenarnya dialami manusia berkaitan dengan tanggapannya pada sapaan Allah yang mengomunikasikan Diri-Nya. Rumusan bahasa itu haruslah mengikuti kaedah-kaedah tata bahasa tertentu yang lazim digunakan, misalnya rumusan bahasa harus runtut logikanya agar para pembaca dapat dengan mudah memahami maksudnya. Dengan bahasa itulah pengalaman iman akan Allah dirumuskan. Namun, untuk berteologi para teolog tentu memerlukan sumber-sumber yang bisa dijadikan bahan perenungan dan refleksi. Sumber-sumber itu tentu saja, selain Kitab Suci, adalah pengalaman manusia berhadapan dengan realitas hidupnya dan dunianya. Pengalaman manusia berhadapan dengan dunianya selalu baru dari jaman ke jaman yang karenanya memerlukan pemikiran teologis yang baru pula.  Hal ini dibuktikan dengan munculnya aliran-aliran teologi yang baru pula yang mencoba menanggapi persoalan kemanusiaan.
Pengalaman manusia itu meliputi keseluruhan dimensi manusiawi yang ada pada manusia, termasuk pengalaman akan keindahan (pengalaman estetik). Pengalaman akan keindahan yang dialami manusia melahirkan pelbagai kesenian, entah itu seni yang murni atau pun seni terapan yang berguna bagi kehidupan manusia. Pengalaman akan keindahan ini memiliki horizon yang amat luas cakupannya. Setiap saat manusia dapat mengalami pengalaman keindahan ini, entah yang bernuansa religius maupun nonreligius. Bahkan dalam hal-hal yang dianggap buruk atau kotor oleh masyarakat pun bisa membangkitkan rasa keindahan bagi mereka yang mengalaminya, misalnya seorang nenek tua yang sedang memanggul kayu di punggungnya yang bongkok mampu membangkitkan dalam diri si pelukis pengalaman estetis itu. Nenek itu tentu saja sudah keriput kulit wajahnya dan tubuhnya sudah tidak tegap lagi. Namun, si pelukis dapat menangkap momen keindahan dalam diri si nenek tersebut, misalnya perjuangan hidupnya. Di sinilah pengalaman manusia akan keindahan membangkitkan dalam dirinya suatu gerakan dalam batinnya untuk mengungkapkan pengalaman itu dalam bentuk entah tulisan reflektif atau teologis maupun lukisan. Pengalaman sehari-hari yang konkret seperti inilah yang menjadi medan berteologi bagi para teolog dan berkesenian bagi para pelukis.
Dunia dewasa ini entah diakui atau tidak merupakan dunia visual. Ciri-cirinya adalah dengan meledaknya iklan-iklan produk, film-film, perangkat presentasi yang menggunakan sarana visual (misalnya powerpoint ), kebutuhan gambar atau ilustrasi dari sebuah berita atau sebuah esai atau sebuah buku, atau media-media visual lain, seperti pementasan drama atau tarian yang membahasakan karya verbal, seperti novel atau karya sastra tertentu. Di sini nampak ada ketidakpuasan dalam diri manusia dengan bahasa yang baku dan ketat meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa populer atau bahasa yang bebas. Oleh karena itu, sarana visual sangat diperlukan untuk menghidupkan bahasa itu, meski tidak dipungkiri akan muncul pemiskinan imajinasi dari pembaca karya verbal. Namun, dengan melihat secara visual, manusia dapat merasakan sensasi yang ia butuhkan. Dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan oleh Fred R. Barnad[2],  yang diyakini merupakan pencetus asli kutipan “One picture is worth a thousand words” bahwa sebuah gambar memang bisa membangkitkan sejumlah makna  dalam diri orang yang melihat gambar tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa bahwa teologi pun, dalam arti ini, bisa dikembangkan secara visual. Artinya, bukan berarti melulu bahwa gagasan teologis yang verbal diterjemahkan secara visual melalui media visual, misalnya powerpoint atau tarian atau drama atau lukisan, melainkan bahwa di dalam media visual itu sendiri gagasan teologis bisa dikembangkan. Jadi media visual bukan menjadi sekedar alat pelengkap untuk berteologi, melainkan pada media visual itu sendiri, gagasan-gagasan teologis dikembangkan. Inilah yang penulis maksud bagaimana mengembangkan sebuah teologi tidak hanya melalui lukisan tetapi dari dan dalam lukisan itu sendiri. Dengan demikian, khazanah teologi akan semakin beragam. Cara pengungkapan iman seseorang tidak lagi melulu dibatasi dengan bahasa verbal yang memiliki aturan yang ketat dan logis, melainkan berkembang ke arah yang lebih imajinatif, dinamis, eksploratif berdasarkan apa yang sesungguhnya dialami oleh si pelukis berhadapan dengan realitas pewahyuan ilahi dalam hidupnya dan lingkungannya.


[1] Karl Rahner, “Theology and the Arts”, Thought Vol 57, No 224 (March 1982), 24.
[2] Barnad adalah seorang penulis sebuah artikel berjudul “One Look is Worth A Thousand Words” dalam sebuah jurnal perdagangan Printer’s Ink di Amerika pada bulan Desember 1921 untuk mempromosikan penggunaan gambar dalam iklan.

Tidak ada komentar: