Vico
Christiawan SJ
“Kita tidak perlu mengikuti outbond karena setiap hari kita sudah outbond” kata Magister saya kira-kira
tujuh tahun yang lalu. Saat itu saya berpikir-pikir benar juga kata magister
saya. Jika dibandingkan dengan arti outbond,
yaitu keluar dari zona nyaman diri, formasi di novisiat sudah kental akan hal
tersebut. Namun, waktu itu saya belum memahami apa itu outbond. Dalam kesempatan inilah saya ingin berbagi pengalaman dan
refleksi saya mengenai program outbond
ini.
Pengalaman Outbond
Seiring waktu berjalan ketika
saya mendampingi anak-anak muda yang tergabung dalam Persatuan Anak-anak SMA Negeri
Katolik (PERSINK) Jakarta selama dua tahun (2006-2008), ada acara tahunan yang
disebut Retret Kepemimpinan Persink (RKP) selama tiga hari, yang salah satu
programnya adalah pelatihan outbond
bagi semua peserta untuk memilih calon pengurus. Acara ini paling diminati oleh
anak-anak muda. Dari program tersebut, panitia maupun peserta dapat melihat dan
menilai diri mereka sendiri dan teman-teman mereka dalam sebuah kelompok.
Biasanya muncul satu figur yang menjadi pemimpin kelompok dan diakui
anggota-anggotanya. Lalu figur ini diajukan untuk menjadi kandidat pengurus
PERSINK pada periode selanjutnya.
Pengalaman kedua adalah ketika
mendampingi Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) para mahasiswa tingkat
dua Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Cikarang selama lima hari pada tahun 2010.
Dalam latihan tersebut, mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok yang
masing-masing terdiri dari empat hingga lima orang. Tim pendamping sebagian
berasal dari para profesional. Para mahasiswa ini diminta untuk belanja dan
menyiapkan masak sendiri untuk kebutuhan jasmani mereka. Ada banyak program
yang menarik yang dilakukan di situ, salah satunya adalah trust fall. Di situ, saya diberi kesempatan oleh satu kelompok mahasiswa
yang saya dampingi untuk menjatuhkan diri saya dari ketinggian kira-kira 1,5
meter ke tangan mereka yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga mampu
menahan tubuh saya. Saat itu memang muncul keraguan dalam hati saya. Namun,
keraguan itu saya tepiskan karena saya yakin bahwa mereka akan menerima dan
menopang saya dengan aman. Di sini tumbuh rasa percaya dalam diri saya.
Mengenal Diri
Melalui Nilai-nilai yang Ditawarkan
Dari dua pengalaman tersebut,
saya melihat ada ruang untuk mengenal diri dan mengenal teman, serta bagaimana
setiap pribadi mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok dengan mengambil
peran aktif dalam setiap kerja sama kelompok. Dalam kerja sama itu, setiap
anggota diminta untuk memberi sumbangan bagaimana mencari cara dan mengusahakan
jalan keluar ketika mereka menghadapi sebuah tantangan. Bila ada satu anggota
yang “ogah-ogahan” atau malas, ia
akan mengganggu dinamika kelompok. Ruang untuk mengenal diri itu ditopang
dengan nilai-nilai yang baik yang bisa ditumbuhkembangkan dalam diri peserta outbond.
Pertama adalah nilai kepercayaan. Setiap
anggota diminta dengan penuh kesadaran dan kerelaan untuk mempercayai
teman-teman sekelompoknya. Di sini ada dinamika mempercayai dan dipercaya.
Setiap anggota harus unggul dalam nilai ini agar mampu menghadapi setiap
tantangan bersama-sama sebagai satu kelompok.
Kedua adalah kepemimpinan. Di sini
setiap anggota harus bersedia dipimpin dan memimpin. Ia harus menerima
keputusan pemimpin kelompok jika sekiranya pendapatnya tidak diterima. Ia harus
mau memimpin kelompoknya bila diminta anggotanya atau mendapat giliran
memimpin.
Ketiga
adalah nilai
kesabaran dan ketekunan. Nilai ini penting ketika menghadapi tantangan yang
tidak mudah. Setiap anggota diminta sabar dan tekun dalam mencari jalan keluar
dari persoalan yang mereka hadapi. Kesabaran dan ketekunan ini akan membuahkan
ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.
Keempat
adalah nilai kecermatan.
Kecermatan ini penting untuk melihat setiap tantangan dengan jeli. Oleh karena
itu, kecermatan ini membutuhkan konsentrasi yang penuh untuk mencari jalan
keluar, membuat strategi penyelesaian masalah, dan bersama-sama melakukan
strategi tersebut hingga persoalan dapat teratasi. Nilai ini membuahkan slogan
berpikir dahulu sebelum bertindak dan sikap hati-hati dalam membuat sebuah
keputusan.
Kelima
adalah nilai
kepekaan. Kepekaan sangat diperlukan dalam membangun sebuah kelompok yang
solid. Kepekaan dalam hal ini adalah kepekaan pada kebutuhan kelompok dan pada
sesama anggota kelompok yang membutuhkan bantuan. Yang dilatih dari kepekaan
ini adalah keluar dari diri sendiri untuk memperhatikan lingkungan sekitar.
Orang dituntut untuk selalu berinisiatif membantu sesama tanpa diminta.
Dari berbagai macam program outbond yang ditawarkan, seseorang dapat
semakin mengenal dirinya: sejauh mana aku bereaksi terhadap setiap tantangan
yang ditawarkan dan terhadap perbedaan pendapat dan karakter dalam diri teman
sekelompok, sejauh mana aku berperan dalam kelompok, sejauh mana aku masuk
dalam dinamika kelompok, sejauh mana aku mampu mengemban tugas yang diberikan
kelompok, sejauh mana aku mampu mempercayai anggota kelompok dan dipercaya,
dll. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, seseorang diharapkan semakin mengenali
dirinya sendiri ketika menghadapi setiap tantangan dan perubahan. Kalau boleh
saya katakan bahwa dalam setiap perubahan atau tantangan selalu ada ruang untuk
semakin mengenal diri sendiri. Dengan demikian muncul penemuan-penemuan diri
yang baru yang bisa dijadikan titik pijak pengembangan diri lebih lanjut.
Tujuan dari pengenalan diri sendiri ini adalah kemampuan untuk menata dan
memimpin diri agar mampu memimpin orang lain dalam kelompoknya.
Bekerja Sama Penuh
Cinta Kasih
Dalam outbond, kerja sama kelompok mendapat tekanan yang utama. Di sini, orang
tidak dapat sendirian menghadapi persoalan dan tantangan hidup. Ia memerlukan
orang lain. Orang lain yang bisa dipercaya. Dia sendiri pun harus bersedia
untuk percaya dan dipercaya. Ia harus percaya bahwa ada kehendak baik dan hal
yang baik dalam diri teman-temannya. Ia pun harus bisa diandalkan untuk
dipercaya. Ketika sikap dasar percaya dan dipercaya ini patah oleh karena
keengganan atau kemalasan diri, kesatuan dalam kelompok tersebut akan
pelahan-pahan sirna. Akibatnya tidak ada lagi hal yang mengikat dalam kelompok
tersebut. Kelompok itu akan hancur.
Kerja sama mengandaikan adanya rasa
saling percaya. Namun, hal itu tidak cukup bila tidak dilandasi dengan cinta
kasih. Cinta untuk memahami orang lain yang unggul, unik, khas, sekaligus
rapuh. Kemampuan untuk mencinta secara utuh diuji di sini. Orang dituntut untuk
memberi hati bagi sesamanya. Memberi hati dalam arti memberi ruang dalam hati
kita kesalahan-kesalahan dan kerapuhan-kerapuhan pribadi temannya. Bahwa ada
kegagalan itu sangatlah wajar. Yang penting adalah bagaimana memberi dukungan
bagi teman dan kelompok untuk selalu bangkit dari kegagalan dan ketepurukan. Selain
itu, setiap orang dituntut untuk berani mengakui keunggulan sesamanya. Bahwa ia
pandai memimpin, bahwa ia cermat, bahwa ia kreatif, dll. Ada sikap kerendahan
hati yang dilatih di sini. Di sinilah sisi formatif dari program outbond ini.
Bagaimana dengan
Kaum Religius?
Kembali menanggapi pernyataan
magister saya di depan, bahwa, menurut saya, tidak ada salahnya sebuah tarekat
maupun ordo religius menyelenggarakan program outbond bagi para anggotanya sejauh perangkat-perangkat formatif di
dalam tarekat atau ordo belumlah lengkap. Jika perangkat formatif itu sudah
lengkap dan memadai, program outbond
ini berfungsi sebagai pelengkap, yaitu sebagai program manajemen krisis di mana
seseorang dihadapkan pada situasi penuh tantangan dan dituntut untuk mampu
membuat keputusan secara cermat, tepat dan benar berdasarkan situasi yang ia
hadapi. Kemudian, ia mengusahakan jalan keluar dengan tekun, sabar, dan teliti.
Untuk berhadapan dengan situasi
krisis baik dalam hidup panggilan maupun dalam persoalan-persoalan tarekat atau
ordo, menurut saya, kita memerlukan kemampuan untuk mengelola diri dan lembaga
dengan tepat. Secara instingtif, hal itu bisa terasah dengan baik melalui
pengalaman berkarya dalam karya-karya tarekat atau ordo. Namun, apakah kita
hanya menunggu datangnya krisis baru memiliki kemampuan menghadapi krisis
tersebut. Bagaimana kalau kita mempersiapkan diri secara lebih dini hingga
ketika krisis itu datang kita bisa mengatasinya dengan baik.
Penutup
Dari pengalaman saya, saya melihat bahwa dibalik setiap
permainan dalam program outbond, ada
sisi formatif yang bisa direfleksikan dan ditumbuhkembangkan dalam diri
masing-masing peserta. Sisi formatif itu adalah bagaimana belajar percaya satu
sama lain, bertahan dalam kesabaran, berharap penuh pada penyelenggaraan Ilahi
dalam menghadapi krisis, ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kegelapan. Yang
dilatih lebih jauh adalah bagaimana kita belajar mempercayakan diri pada
penyelenggaraan Allah dalam hidup kita yang penuh dengan kejutan ini. Bahwa
Allah akan senantiasa menolong dan mendampingi kita dengan cara-Nya yang khas
bagi kita adalah benar adanya. Bagi kita, berharap sepenuhnya pada Allah adalah
yang utama.
Namun, sekali lagi, program outbond ini tidak akan bergema atau
sia-sia bila tidak ada niat yang kuat secara terprogram dalam diri peserta untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam tarekat atau ordo religius
harus ada perangkat-perangkat yang mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai yang
sudah terasah dalam program outbond
tersebut. Bila tidak ada, program-program yang ditawarkan dalam outbond hanyalah sebuah permainan
belaka.
Akhirnya, kemampuan mengenali
diri sendiri terus-menerus untuk semakin mampu menata dan memimpin diri
sendirilah yang perlu dikembangkan dalam kerja sama dengan rekan-rekan
sekomunitas. Bukan lagi memikirkan komunitas memberi apa padaku, melainkan apa
yang bisa kuberikan kepada komunitasku. Dengan demikian outbond harian akan mengarahkan kita menjadi pribadi yang matang
dan mandiri penuh cinta kasih pada sesama, dan terutama menghantarkan kita pada
pemahaman misteri penyelenggaraan Ilahi yang senantiasa berkarya untuk diri
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar