Rabu, 06 Juni 2012

Mengenali Diri, Membangun Kerjasama


Vico Christiawan SJ

“Kita tidak perlu mengikuti outbond karena setiap hari kita sudah outbond” kata Magister saya kira-kira tujuh tahun yang lalu. Saat itu saya berpikir-pikir benar juga kata magister saya. Jika dibandingkan dengan arti outbond, yaitu keluar dari zona nyaman diri, formasi di novisiat sudah kental akan hal tersebut. Namun, waktu itu saya belum memahami apa itu outbond. Dalam kesempatan inilah saya ingin berbagi pengalaman dan refleksi saya mengenai program outbond ini.

Pengalaman Outbond
Seiring waktu berjalan ketika saya mendampingi anak-anak muda yang tergabung dalam Persatuan Anak-anak SMA Negeri Katolik (PERSINK) Jakarta selama dua tahun (2006-2008), ada acara tahunan yang disebut Retret Kepemimpinan Persink (RKP) selama tiga hari, yang salah satu programnya adalah pelatihan outbond bagi semua peserta untuk memilih calon pengurus. Acara ini paling diminati oleh anak-anak muda. Dari program tersebut, panitia maupun peserta dapat melihat dan menilai diri mereka sendiri dan teman-teman mereka dalam sebuah kelompok. Biasanya muncul satu figur yang menjadi pemimpin kelompok dan diakui anggota-anggotanya. Lalu figur ini diajukan untuk menjadi kandidat pengurus PERSINK pada periode selanjutnya.
Pengalaman kedua adalah ketika mendampingi Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) para mahasiswa tingkat dua Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Cikarang selama lima hari pada tahun 2010. Dalam latihan tersebut, mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari empat hingga lima orang. Tim pendamping sebagian berasal dari para profesional. Para mahasiswa ini diminta untuk belanja dan menyiapkan masak sendiri untuk kebutuhan jasmani mereka. Ada banyak program yang menarik yang dilakukan di situ, salah satunya adalah trust fall. Di situ, saya diberi kesempatan oleh satu kelompok mahasiswa yang saya dampingi untuk menjatuhkan diri saya dari ketinggian kira-kira 1,5 meter ke tangan mereka yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga mampu menahan tubuh saya. Saat itu memang muncul keraguan dalam hati saya. Namun, keraguan itu saya tepiskan karena saya yakin bahwa mereka akan menerima dan menopang saya dengan aman. Di sini tumbuh rasa percaya dalam diri saya.

Mengenal Diri Melalui Nilai-nilai yang Ditawarkan
Dari dua pengalaman tersebut, saya melihat ada ruang untuk mengenal diri dan mengenal teman, serta bagaimana setiap pribadi mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok dengan mengambil peran aktif dalam setiap kerja sama kelompok. Dalam kerja sama itu, setiap anggota diminta untuk memberi sumbangan bagaimana mencari cara dan mengusahakan jalan keluar ketika mereka menghadapi sebuah tantangan. Bila ada satu anggota yang “ogah-ogahan” atau malas, ia akan mengganggu dinamika kelompok. Ruang untuk mengenal diri itu ditopang dengan nilai-nilai yang baik yang bisa ditumbuhkembangkan dalam diri peserta outbond.
Pertama adalah nilai kepercayaan. Setiap anggota diminta dengan penuh kesadaran dan kerelaan untuk mempercayai teman-teman sekelompoknya. Di sini ada dinamika mempercayai dan dipercaya. Setiap anggota harus unggul dalam nilai ini agar mampu menghadapi setiap tantangan bersama-sama sebagai satu kelompok.
Kedua adalah kepemimpinan. Di sini setiap anggota harus bersedia dipimpin dan memimpin. Ia harus menerima keputusan pemimpin kelompok jika sekiranya pendapatnya tidak diterima. Ia harus mau memimpin kelompoknya bila diminta anggotanya atau mendapat giliran memimpin.
Ketiga adalah nilai kesabaran dan ketekunan. Nilai ini penting ketika menghadapi tantangan yang tidak mudah. Setiap anggota diminta sabar dan tekun dalam mencari jalan keluar dari persoalan yang mereka hadapi. Kesabaran dan ketekunan ini akan membuahkan ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.
Keempat adalah nilai kecermatan. Kecermatan ini penting untuk melihat setiap tantangan dengan jeli. Oleh karena itu, kecermatan ini membutuhkan konsentrasi yang penuh untuk mencari jalan keluar, membuat strategi penyelesaian masalah, dan bersama-sama melakukan strategi tersebut hingga persoalan dapat teratasi. Nilai ini membuahkan slogan berpikir dahulu sebelum bertindak dan sikap hati-hati dalam membuat sebuah keputusan.
Kelima adalah nilai kepekaan. Kepekaan sangat diperlukan dalam membangun sebuah kelompok yang solid. Kepekaan dalam hal ini adalah kepekaan pada kebutuhan kelompok dan pada sesama anggota kelompok yang membutuhkan bantuan. Yang dilatih dari kepekaan ini adalah keluar dari diri sendiri untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Orang dituntut untuk selalu berinisiatif membantu sesama tanpa diminta.
Dari berbagai macam program outbond yang ditawarkan, seseorang dapat semakin mengenal dirinya: sejauh mana aku bereaksi terhadap setiap tantangan yang ditawarkan dan terhadap perbedaan pendapat dan karakter dalam diri teman sekelompok, sejauh mana aku berperan dalam kelompok, sejauh mana aku masuk dalam dinamika kelompok, sejauh mana aku mampu mengemban tugas yang diberikan kelompok, sejauh mana aku mampu mempercayai anggota kelompok dan dipercaya, dll. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, seseorang diharapkan semakin mengenali dirinya sendiri ketika menghadapi setiap tantangan dan perubahan. Kalau boleh saya katakan bahwa dalam setiap perubahan atau tantangan selalu ada ruang untuk semakin mengenal diri sendiri. Dengan demikian muncul penemuan-penemuan diri yang baru yang bisa dijadikan titik pijak pengembangan diri lebih lanjut. Tujuan dari pengenalan diri sendiri ini adalah kemampuan untuk menata dan memimpin diri agar mampu memimpin orang lain dalam kelompoknya.

Bekerja Sama Penuh Cinta Kasih
            Dalam outbond, kerja sama kelompok mendapat tekanan yang utama. Di sini, orang tidak dapat sendirian menghadapi persoalan dan tantangan hidup. Ia memerlukan orang lain. Orang lain yang bisa dipercaya. Dia sendiri pun harus bersedia untuk percaya dan dipercaya. Ia harus percaya bahwa ada kehendak baik dan hal yang baik dalam diri teman-temannya. Ia pun harus bisa diandalkan untuk dipercaya. Ketika sikap dasar percaya dan dipercaya ini patah oleh karena keengganan atau kemalasan diri, kesatuan dalam kelompok tersebut akan pelahan-pahan sirna. Akibatnya tidak ada lagi hal yang mengikat dalam kelompok tersebut. Kelompok itu akan hancur.
            Kerja sama mengandaikan adanya rasa saling percaya. Namun, hal itu tidak cukup bila tidak dilandasi dengan cinta kasih. Cinta untuk memahami orang lain yang unggul, unik, khas, sekaligus rapuh. Kemampuan untuk mencinta secara utuh diuji di sini. Orang dituntut untuk memberi hati bagi sesamanya. Memberi hati dalam arti memberi ruang dalam hati kita kesalahan-kesalahan dan kerapuhan-kerapuhan pribadi temannya. Bahwa ada kegagalan itu sangatlah wajar. Yang penting adalah bagaimana memberi dukungan bagi teman dan kelompok untuk selalu bangkit dari kegagalan dan ketepurukan. Selain itu, setiap orang dituntut untuk berani mengakui keunggulan sesamanya. Bahwa ia pandai memimpin, bahwa ia cermat, bahwa ia kreatif, dll. Ada sikap kerendahan hati yang dilatih di sini. Di sinilah sisi formatif dari program outbond ini.
Bagaimana dengan Kaum Religius?
            Kembali menanggapi pernyataan magister saya di depan, bahwa, menurut saya, tidak ada salahnya sebuah tarekat maupun ordo religius menyelenggarakan program outbond bagi para anggotanya sejauh perangkat-perangkat formatif di dalam tarekat atau ordo belumlah lengkap. Jika perangkat formatif itu sudah lengkap dan memadai, program outbond ini berfungsi sebagai pelengkap, yaitu sebagai program manajemen krisis di mana seseorang dihadapkan pada situasi penuh tantangan dan dituntut untuk mampu membuat keputusan secara cermat, tepat dan benar berdasarkan situasi yang ia hadapi. Kemudian, ia mengusahakan jalan keluar dengan tekun, sabar, dan teliti.
            Untuk berhadapan dengan situasi krisis baik dalam hidup panggilan maupun dalam persoalan-persoalan tarekat atau ordo, menurut saya, kita memerlukan kemampuan untuk mengelola diri dan lembaga dengan tepat. Secara instingtif, hal itu bisa terasah dengan baik melalui pengalaman berkarya dalam karya-karya tarekat atau ordo. Namun, apakah kita hanya menunggu datangnya krisis baru memiliki kemampuan menghadapi krisis tersebut. Bagaimana kalau kita mempersiapkan diri secara lebih dini hingga ketika krisis itu datang kita bisa mengatasinya dengan baik.

Penutup
Dari pengalaman saya, saya melihat bahwa dibalik setiap permainan dalam program outbond, ada sisi formatif yang bisa direfleksikan dan ditumbuhkembangkan dalam diri masing-masing peserta. Sisi formatif itu adalah bagaimana belajar percaya satu sama lain, bertahan dalam kesabaran, berharap penuh pada penyelenggaraan Ilahi dalam menghadapi krisis, ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kegelapan. Yang dilatih lebih jauh adalah bagaimana kita belajar mempercayakan diri pada penyelenggaraan Allah dalam hidup kita yang penuh dengan kejutan ini. Bahwa Allah akan senantiasa menolong dan mendampingi kita dengan cara-Nya yang khas bagi kita adalah benar adanya. Bagi kita, berharap sepenuhnya pada Allah adalah yang utama.
 Namun, sekali lagi, program outbond ini tidak akan bergema atau sia-sia bila tidak ada niat yang kuat secara terprogram dalam diri peserta untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam tarekat atau ordo religius harus ada perangkat-perangkat yang mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai yang sudah terasah dalam program outbond tersebut. Bila tidak ada, program-program yang ditawarkan dalam outbond hanyalah sebuah permainan belaka.
Akhirnya, kemampuan mengenali diri sendiri terus-menerus untuk semakin mampu menata dan memimpin diri sendirilah yang perlu dikembangkan dalam kerja sama dengan rekan-rekan sekomunitas. Bukan lagi memikirkan komunitas memberi apa padaku, melainkan apa yang bisa kuberikan kepada komunitasku. Dengan demikian outbond harian akan mengarahkan kita menjadi pribadi yang matang dan mandiri penuh cinta kasih pada sesama, dan terutama menghantarkan kita pada pemahaman misteri penyelenggaraan Ilahi yang senantiasa berkarya untuk diri kita.

Tidak ada komentar: