Jumat, 27 Mei 2011

Inkulturasi Liturgis: Kesatuan dalam Keberagaman dalam Zaman Posmoderen (Peter C. Phan)

Disarikan kembali oleh Vico Christiawan

Istilah inkulturasi oleh Phan merupakan istilah yang paling menantang bagi teologi Katolik dan secara khusus bagi liturgi. Menurutnya, istilah ini berarti sebuah proses ganda masuknya Injil ke dalam sebuah budaya tertentu dan masuknya budaya tertentu ini ke dalam Injil sehingga keduanya ditantang dan diperkaya satu sama lain. Baginya, inkulturasi pada umumnya dan inkulturasi liturgis pada khususnya merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Paus Yohanes Paulus II sendiri telah mengingatkan bahwa inkulturasi ini adalah sebuah perjalanan yang lambat. Namun, menurut Phan, perjalanan ini telah dibuat oleh konteks budaya kontemporer yang telah dijuluki ‘posmoderen’. Budaya ini secara langsung mempengaruhi sifat dan proses inkulturasi itu sendiri.

Dalam artikelnya, Phan membagi dalam tiga bagian. Pertama adalah gambaran singkat tentang posmoderen dan tantangannya bagi inkulturasi. Kedua adalah evaluasi terhadap Instruksi IV dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen tentang inkulturasi liturgis dalam terang tantangan postmoderen. Ketiga adalah usulan bagi inkulturasi dari persepektif sejarah misi di Asia dan teologi Asia.

1. Inkulturasi dalam Zaman Posmoderen

Fokus Phan dalam bagian ini adalah pemahaman posmoderen tentang budaya dan bagaimana pemahaman ini menantang proses inkulturasi liturgis. Menurutnya, postmoderen mengacu pada perubahan budaya dan sosial yang muncul sejak tahun 1930-an dan telah masuk dari Barat ke bagian-bagian lain dari dunia melalui proses globalisasi. Tiga atau empat puluh tahun kemudian, selama tahun 1960-an, gejala ini memiliki pengaruhnya untuk pertama kali dalam bidang arsitektur dan seni, kemudian ke bidang sastra, filsafat dan teologi, dan di tahun 1980-an menjadi sebuah karakter umum dari budaya pop (popular culture).

Phan menyebutkan beberapa ciri yang menandai budaya postmoderen itu. Pertama, arsitektur tidak lagi menekankan kesatuan organik dan fungsional praktisnya, melainkan merayakan ‘multiunsur’ dengan menggunakan macam-macam gaya, bentuk, teknik, dan bahan historis yang tidak cocok. Hal ini untuk menunjukkan kekurangan arsitektur modern yang telah melakukan dehumanisasi ke dalam keseragaman yang diusung oleh kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri. Kedua, seni posmoderen menolak integritas gaya dan ‘kemurnian’ modernitas, melainkan memeluk ‘multiunsur’ dan heterogenitas. Ketiga, teater postmoderen lebih menekankan keanekaragaman dan pluralism ketimbang mengikuti penyembahan pada seni klasik atau kekekalan duniawi (temporal permanence) dengan merayakan kefanaan (transience). Bentuknya adalah pertunjukan tanpa teks, segera, mengandalkan improvisasi, dan dengan demikian membuat setiap pertunjukan unik dan tak dapat terulang. Keempat, fiksi posmoderen menunjukkan kesulitan untuk mengatakan karakter yang asli dari kisah fiktif, penulis dari karya fiktif, suara penulis dari kisah fiksi. Di sini, fiksi posmo hendak mengaburkan pembagian garis antara kenyataan dan fiksi, antara temporalitas dan non-tempralitas, sehingga pembaca tidak lagi mampu memandang dunia dari sebuah privilese, dan mengamankan tempat dari kebenaran abadi. Kelima, televisi dapat menghadirkan dunia bagi penonton sebagai dunia yang sungguh nyata. Konsekuensinya, apa yang tidak dihadirkan di televisi bukanlah tampak nyata bagi mereka. Dengan menghadirkan serentetan berita, iklan, drama, televisi mengaburkan batasan antara yang benar dan khayalan, antara yang penting dan tidak penting. Demikian pula dengan komputer yang memiliki akses ke dunia maya secara tidak terbatas. Di sini terjadi perubahan dari kenyataan menjadi kenyataan virtual. Dengan demikian jelaslah bahwa kekuatan posmoderen adalah mengaburkan kenyataan dengan khayalan dan batasan antara objek dan subjek.

Mengutip Stanley Grenz, Phan menyebutkan empat karakter utama dari etos posmoderen, yaitu pesimisme, holisme, komunitarianisme, dan pluralisme relativistik. Disebut pesimistik karena posmoderen menekankan kerapuhan eksistensi manusia. Disebut holistik karena posmoderen merayakan emosi dan intuisi. Disebut komunitarian karena menekankan peran komunitas dalam menciptakan kebenaran. Disebut relativistik dan pluralistik karena ada banyak komunitas manusia yang berbeda dan karenanya ada banyak perbedaan kebenaran. Di sini nampak bahwa tidak ada satu dunia objektif yang tunggal. Dunia nyata bagi posmoderen adalah tidak lebih dari penciptaan perubahan sosial yang abadi. Pengetahuan di sini digantikan dengan penafsiran melalui bahasa umum yang dimiliki tiap komunitas. Oleh karenanya, dalam posmoderenisme tidak ada teori kebenaran, yang ada adalah sebuah pandangan majemuk tentang pengetahuan. Zaman narasi besar telah berakhir. Yang tersisa adalah narasi lokal yang dikonstruksikan dalam sebuah komunitas tertentu.

Pemahaman tersebut membawa pada pertanyaan bagaimana posmoderenisme memahami budaya. Dalam pandangan modernisme, budaya dipahami sebgai sebuah sistem kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma tingkah laku yang terintegrasi. Oleh posmoderen, pandangan ini dianggap berdasarkan asumsi yang tidak adil. Menurut kaum posmoderen, budaya sekarang ini dilihat sebagai sebuah dasar kontes dalam relasi dan sebagai sebuah realitas sosial yang secara historis berkembang, terpecah, tidak konsisten, konflik, dibangun, berubah selamanya, dan keropos. Dalam kontes ini, peran kekuasaan dalam membentuk identitas budaya amat penting. Perannya bahkan semakin luas karena dibentuk oleh kelompok-kelompok orang dengan kepentingan yang berbeda, dan pemenangnya dapat mendiktekan istilah budayanya kepada yang kalah. Situasi tersebut diperparah dengan proses globalisasi yang mengusung gagasan ideal modernitas dan rasio teknologi. Dalam globalisasi, batas geografis runtuh sehingga sebuah budaya yang diseragamkan diciptakan dan diperkuat dengan sebuah “budaya yang rakus’ yang berdasar pada konsumsi, khususnya barang-barang yang diekspor oleh Amerika, seperti pakaian, makanan, dan hiburan-hiburan. Di sini, antara budaya global dan lokal ada ruang sebuah perjuangan yang terus-menerus antara dominasi politis dan ekonomis dengan bertahan dan integritas. Oleh karena itu, budaya lokal membuat beberapa strategi untuk melawan pengaruh budaya global tersebut. Sayangnya, agama tidak memainkan sebuah peran kunci dalam bekerja sama dengan budaya lokal tersebut.

Kemudian, apa sebenarnya tantangan posmoderenisme terhadap inkulturasi. Di sini Phan memberikan beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, inkulturasi bukan lagi sebuah ‘inkarnasi yang abadi, tidak berubah, dan realitas akultural ke dalam budaya tertentu, melainkan sebuah perjumpaan antarbudaya atau dialog antara sekurang-kurangnya dua budaya. Kedua, dalam perjumpaan ini, kekuasaan menjadi penting, terutama saat perjumpaan itu berkaitan dengan wewenang Romawi dan gereja-gereja lokal. Bagaimana kekuasaan itu bermain dalam inkulturasi liturgis, terutama bila proses inkulturasi liturgis harus melestarikan ‘kesatuan hakiki’ ritus Romawi, yang merupakan sebuah budaya dunia. Ketiga, pertanyaan tentang kekuasaan atau wewenang itu muncul lagi saat memilih budaya mana yang bisa diinkulturasi. Bagaimana bila dalam suatu negara ada berbagai macam budaya yang terdiri dari unsur dominan dan tidak. Apakah ada jaminan bila budaya yang tidak dominan tetap mendapat tempat dalam inkulturasi liturgis (contoh Dalit dalam budaya Hindu). Keempat, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana tempat dan peran agama popular dalam inkulturasi liturgis? Apakah praktik devosionalnya dilihat secara timbal balik oleh agama resmi? Apakah agama popular dilihat sebagai “tradisi kecil” yang berlawanan dengan ‘tradisi besar’? Haruskah praktik-praktik agama popular diperkenalkan ke dalam peribadatan liturgis? Bagaimana mereka dievaluasi secara teologis? Kelima, dengan kematian narasi besar dalam masa posmoderen, apakah usaha mengaktifkan kembali narasi biblis besar dari tindakan Allah dalam sejarah, khususnya dalam Yesus Kristus, dalam usaha inkulturasi liturgis dapat bersaing dengan narasi besar agama lain? Keenam, bidang inkulturasi liturgis mencakup tidak hanya teks-teks suci dan upacara-upacara, melainkan juga musik, nyanyian, alat-alat musik, sikap, tarian, seni dan arsitektur budaya lokal. Jika perayaan liturgi adalah pertunjukan, sejauhmana komunitas dan pemimpinnya dapat mengalami improvisasi, perancang kelompok, dan partisipasi penonton, dan masih menjaga kesatuan iman dan ibadah? Ketujuh, inkulturasi liturgis tidak dapat dipisahkan dari teologi. Bagaimana kemudian inkulturasi liturgis itu dapat mempertemukan tantangan posmoderen dengan tema teologis seperti Allah, Kristus, dan Gereja?

2. Inkulturasi Liturgis menurut Varietates Legitimae (VL) dalam Konteks Posmoderen

Pada bagian ini, Phan bermaksud menguji sejauhmana Instruksi IV dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen tentang inkulturasi liturgis ini mengangan-angankan bidang dan proses inkulturasi liturgis, khususnya relevansinya bagi inkulturasi dalam konteks posmoderen.

VL, menurut Phan, dimaksudkan hanya untuk menjadi sebuah tuntunan yang memiliki wewenang pada ‘penerapan secara benar Konstitusi Liturgi Vatikan II no.37-40. Oleh karena itu, VL mengangankan bahwa karya inkulturasi bukanlah meramalkan penciptaan serangkaian ritus baru, melainkan menanggapi kebutuhan sebuah budaya tertentu dan membawa pada penyesuaian yang masih menjadi bagian dari ritus Roma (no.36). Di sini secara jelas, instruksi membedakan dua tipe penyesuaian liturgis, yaitu yang tersedia dalam buku-buku liturgis dan yang lebih radikal. Sementara itu fokus dari instruksi adalah pada yang pertama karena kurang radikal dan menyeluruh. Instruksi menunjukkan beberapa penyesuaian berdasarkan yang pertama, misalnya pada buku-buku liturgis (no.53), Ekaristi (no.54), ritus inisiasi (no.56), ritus perkawinan (no.57), pemakaman (no. 58), pemberkatan (no. 59), tahun liturgis (no. 60), dan liturgi ibadat harian (no. 61). Teks-teks liturgi resmi ini dikenal sebagai edisi tipe Latin.

Sementara itu, berkaitan dengan penyesuaian liturgi yang lebih radikal, VL menggambarkan mereka sebagai semacam penyesuaian yang lebih radikal dan sukar. Instruksi sendiri tidak memberi contoh macam penyesuaian ini, namun instruksi mengatakan bahwa mereka seharusnya dijalankan hanya setelah Konferensi waligereja tidak menemukan kemungkinan-kemungkinan penyesuaian yang ditawarkan oleh buku-buku liturgis (no.63). Penyesuaian ini oleh instruksi tidak dimaksudkan merupakan sebuah perubahan ritus Romawi, namun dibuat dalam konteks ritus Roma (no. 63).

Berhadapan dengan tujuh tantangan budaya posmoderen, pemahaman instruksi tentang inkulturasi sebagai perjumpaan antarbudaya nampaknya kurang dan gagal masuk ke dalam komunikasi dinamika antarbudaya. Instruksi ini malahan lebih mengenakan budaya Roma/Latin dan ungkapan keagamaan pada gereja lokal lainnya. Di sini, VL bukan bermaksud menghapus perbedaan budaya; sebaliknya LV mencoba mempertahankan dan mempromosikan “perbedaan yang sah” dari gereja-gereja lokal. Namun, pendekatannya pada inkulturasi terletak di antara asimilasi dan kontrol hegemonik. Strategi kaum asimilasionist mengusulkan sebuah penghapusan perbedaan budaya, misalnya kaum imigran diperbolehkan menggunakan warisan budayanya dalam tahap transisi namun mereka diharapkan menjadi ‘salah satu seperti kita’. Kontrol hegemonik menghormati perbedaan budaya namun menekankan pada budaya yang umum di antara kelompok-kelompok suku yang berbeda. Jadi, VL masih menggunakan model asimilasi di sisi paling buruknya, dan pada model kontrol hegemonik di sisi terbaiknya.

Pemilihan budaya yang bisa diajak berdialog juga merupakan tantangan posmoderen bagi penggunaan kekuasaan antara wewenang Romawi dan Gereja-gereja lokal dalam inkulturasi. Pada kenyataannya, instruksi digerakkan oleh motivasi untuk menguasai dari wewenang Romawi dari pada menghargai otonomi relatif Gereja-gereja lokal. Lagi pula, pemahaman instruksi tentang ‘devosi popular’ terlalu superfisial dan kerdil (lihat no. 45). Akibatnya, posisi instruksi menjadi ambigu. Di satu sisi terbuka bagi penggunaan ‘ungkapan dari agama-agama non-Kristiani, di sisi lain sikap terhadap mereka negatif dan defensif (lihat no. 47). Tentang macam-macam ungkapan budaya dalam masa kontemporer ini, VL tidak banyak bicara. Fokus mereka secara eksklusif pada bentuk-bentuk lokal dan popular. Berhadapan dengan relasi antara liturgi dan teologi, VL beranggapan bahwa negara-negara yang acuh tak acuh terhadap agama, meski diandaikan sudah ada nilai-nilai religius di situ, tidak perlu dilakukan inkulturasi liturgis, namun lebih pada pendidikan liturgi dan mencari sarana yang paling cocok untuk menyentuh semangat dan hati orang. Padahal bagi posmoderen, inkulturasi merupakan sarana yang paling cocok untuk menyentuh semangat dan hati masyarakat lokal. Sebaliknya, ada sisi positif dari VL ini yang mengandung gagasan posmoderen, misalnya di nomor 17 dan nomor 49. Di sini, Instruksi memperingatkan Konferensi Waligereja untuk menghargai kekayaan masing-masing budaya dan mereka yang mempertahankannya., namun mereka tidak boleh acuh tak acuh atau mengabaikan sebuah budaya minoritas meski konferensi tidak terbiasa dengannya.

3. Inkulturasi Liturgis: Perpektif dari Gereja-Gereja Asia

Bagi Phan, VL masih gagal dalam menawarkan sebuah strategi yang tepat untuk inkulturasi liturgis, khususnya berhadapan dengan tantangan dari posmodernisme. Oleh karena itu, Phan beralih pada Gereja-gereja di Asia, yang menurutnya, nampak lebih memberi sebuah sumber kekayaan bagi perjumpaan dengan tantangan inkulturasi dalam konteks posmoderen. Di sini Phan mengambil pemikiran Anscar J. Chupungco yang secara internasional dikenal dari karya-karyanya tentang inkulturasi liturgis. Menurut Chupungco, semua ritus liturgi berakar dalam budaya. Tidak ada liturgi yang dirayakan dalam sebuah budaya kosong. Menurutnya ada tiga prinsip dalam inkulturasi, yaitu secara teologis, secara liturgis, dan secara kultural. Secara teologis, Gereja dituntut oleh misteri inkarnasi untuk menginkarnasi dirinya sendiri ke dalam setiap budaya. Secara liturgis, ada lima prinsip yang menggerakkan inkulturasi, yaitu pertama, liturgi merupakan ibadat kepada Allah; kedua, ibadat itu berpusat pada Kristus; ketiga, di dalamnya, Sabda Allah yang tertulis merupakan hal utama; keempat, umat harus berpartisipasi di dalamnya; kelima, ibadat itu terdiri dari unsur yang tidak dapat diubah dan dapat diubah. Secara kultural, ada tiga tipe adaptasi liturgis, yaitu akomodasi, akulturasi, dan inkulturasi. Akomodasi mempengaruhi perayaan liturgis di sini dan sekarang oleh umat dan tidak perlu melibatkan adaptasi kultural. Akulturasi adalah proses di mana unsur-unsur kultural yang cocok dengan liturgi Romawi disatukan ke dalam ibadat baik sebagai pengganti maupun ilustrasi unsur eukologikal dan ritual dari ritus Romawi. Inkulturasi adalah proses di mana sebuah ritus pra-Kekristenan diberi pemaknaan Kristiani.

Sementara itu inkulturasi liturgis bagi Chupungco adalah proses dimana liturgi dimasukkan ke dalam budaya, sejarah dan tradisi orang-orang di mana Gereja berada. Lanjutnya, bagi Chupungco, proses inkulturasi liturgis terdiri dari perjumpaan dua unsur, yaitu edisi buku-buku liturgis dan pola budaya lokal. Pola kultural sendiri merupakan salah satu dari tiga komponen budaya, dua yang lain adalah nilai dan institusi. Nilai merupakan prinsip-prinsip yang membentuk hidup dan aktivitas komunitas. Institusi merupakan ritus komunitas yang dengannya merayakan perbedaan tahap kehidupan manusia mulai dari kelahiran hingga kematian. Pola kultural sendiri merupakan cara anggota sebuah masyarakat berpikir atau membentuk konsep, mengungkapkan pemikiran mereka melalui bahasa, meritualisasi aspek kehidupan mereka, dan menciptakan bentuk-bentuk seni. Bidang-bidang dari pola kultural ini adalah pemikiran, bahasa, ritus dan simbol, karya sastra, musik, arsitektur, dan semua ungkapan yang lain dari seni.

Sebagai metodenya, Chupungco mengembangkan dua jalan penerjemahan yang dinamis dan menemukan kesamaan kulturalnya ke dalam tiga, yaitu kesamaan dinamis, asimilasi kreatif, dan kemajuan organik. Yang dimaksudkan dengan kesamaan dinamis adalah mengganti sebuah unsur liturgi Romawi dengan unsur lokal yang memiliki kesamaan makna dan nilai, misalnya terjemahan. Yang dimaksud dengan asimilasi kreatif adalah integrasi ritus-ritus yang relevan, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan bahasa, keagamaan atau apa pun ke dalam liturgi. Yang dimaksud dengan kemajuan organik adalah bukanlah hendak melampaui kesamaan dinamis maupun asimilasi kreatif, melainkan berlanjut pada tingkat Gereja-gereja lokal yang menawarkan sebuah dimensi yang luas dari pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Dengan demikian, ‘inkulturasi’ liturgis, kemudian hanyalah sebuah langkah perantara untuk sampai pada ‘kreatifitas liturgis’, misalnya menggunakan tarian simbolis pada saat prosesi persembahan atau penggunaan audio visual. Dia juga secara hati-hati menggunakan istilah ‘liturgi alternatif’ yang bertujuan untuk memberikan ungkapan bagi tradisi liturgis atau kehidupan modern yang tidak dipikirkan oleh ritus Romawi.

Selain mengambil pandangan dari Chupungco, Phan juga mengambil pandangan dari Konferensi Uskup-Uskup Asia (FABC) yang menekankan sebuah tripel dialog, yaitu kemiskinan orang Asia, budayanya, dan keagamaan mereka. menurut FABC, tugas yang paling mendesak bagi gereja-gereja Asia adalah menjadi gereja tidak hanya di Asia, namun gereja Asia atau Gereja-gereja lokal. Satu-satunya jalan untuk menjadi gereja lokal adalah melalui jalan dialog. Dialog di sini bukanlah sebagai aktivitas terpisah, seperti dialog ekumene atau inter-religius, melainkan sebagai modalitas di mana segala sesuatu dilakukan oleh dan di dalam gereja di Asia, termasuk pembebasan, inkulturasi, dan dialog inter-religius. Dialog di sini tidak hanya melulu merupakan pertukaran intelektual di antara para ahli dari berbagai agama, melainkan meliputi dialog kehidupan, dialog aksi, dialog pertukaran teologis, dan dialog pengalaman agama. Hanya melalui jalan dialog inilah Kabar Gembira dapat diproklamasikan secara lebih efektif di Asia.

Selanjutnya, menurut FABC, Gereja di Asia masih tetap terasa asing dalam gayanya, struktur institusionalnya, dan peribadatannya, dan bahwa ritual-ritual Kristen seringkali tetap formal, dan tidak sangat spontan maupun khas Asia. FABC mengusulkan sebuah pembaruan di segala aspek kehidupan doa Gereja, termasuk peribadatan liturgisnya, bentuk-bentuk kesalehannya, doa-doa di dalam rumah, di paroki, dan dalam kelompok-kelompok doa. Salah satu langkah dari pembaruan yang diusulkan FABC adalah penggunaan ‘buku-buku dan tulisan-tulisan terhormat’ dari agama-agama lain untuk doa dan spiritualitas.

Di sini, FABC menawarkan dua tuntunan bagi inkulturasi liturgis yang otentik. Pertama, inkulturasi liturgis harus dijalankan selalu dalam kaitan dengan dan sebagai sebuah komponen instrinsik dari dialog inter-religius dan karya pembebasan manusia. Tanpa perjuangan pembebasan manusia, inkulturasi liturgis menjalankan risiko menjadi sebuah usaha kaum elit. Di sini, kita juga hendaknya membebaskan diri dari gagasan bahwa inkulturasi liturgis terdiri dari beberapa penyesuaian, sementara tetap menjaga kesatuan hakiki dengan ritus Romawi, seperti yang ditekankan oleh VL. Menurut Aloysius Pieris, ada bahaya dalam strategi tersebut, yaitu teologi vandalisme, yaitu mengambil dan memilih unsur-unsur dari agama-agama non-Kristiani, dan membabtis mereka untuk kepentingan Kekristenan tanpa acuan kepada pengalaman keagamaan non-Kristen secara menyeluruh. Kedua, tentang agama populer. FABC melihat bahwa agama populer ini merupakan agama orang-orang miskin. Agama ini ditandai dengan tujuh ciri, yaitu spiritualitas duniawi, diwarnai dengan ketergantungan total kepada yang ilahi, kerindungannya akan keadilan, kosmis, sesuai dengan peran kunci perempuan, ekologis, dan kisah-kisah sebagai alat komunikasi. Selain itu, penganut agama populer ini mencari kepuasan yang cepat dari kebutuhan fisik dan material. Mereka merasakan Allah hadir secara dekat sebagai pembebas, mereka berseru kepada roh untuk melindungi dan membebaskan mereka, mereka meminta secara setara peran perempuan dan laki-laki dalam ritual-ritual mereka, dan simbol-simbol keagamaan mereka dapat berfungsi sebagai penghimpun bagi masyarakat mereka.

Sebagai penutup, Phan menyatakan bahwa metode inkulturasi liturgis yang hanya menekankan pada sebuah pertukaran ritus Romawi dengan ritual-ritual yang diwariskannya dan berpusat pada edisi susunan tipikalnya tidak lagi menjadi sebuah inkulturasi liturgi yang sejati karena ada kecurigaan terhadap penggunaan kekuasaan di dalamnya yang mengakibatkan ketidakadilan dari sebuah budaya tertentu terhadap budaya lain dan karenanya akan gagal menanggapi secara penuh keutuhan dari gereja-gereja lokal. Sebaliknya, Phan menekankan usulan FABC tentang tripel dialog yang akan mengantar gereja-gereja di Asia menjadi sungguh-sungguh Gereja Asia dengan sebuah ritual keluarga yang baru, dengan teks, ritus, sakramental, bentuk-bentuk keagamaan populernya dan macam-macam ungkapan peribadatannya sendiri. Hanya dengan cara inilah kesatuan iman dipelihara dan dipromosikan. Ini bukanlah pendekatan yang revolusioner, menurut Phan; melainkan inilah yang ritus Romawi lakukan, dalam caranya sendiri.

Sumber Tulisan

Keith. F. Pecklers, SJ. 2006. Liturgy in a Postmodern World. London-New York: Continuum.

Phan, Peter C. “Liturgical Inculturation: Unity in Diversity in the Postmodern Age” dalam Keith.

F. Pecklers, SJ. 2006. Liturgy in a Postmodern World. London-New York: Continuum. 55-86.

Sabtu, 21 Mei 2011

GEREJA DAN NASIONALISME DI ITALIA DAN JERMAN

Oleh Vico Christiawan


Berhadapan dengan nasionalisme sempit yang berkembang di Italia (Fasisme) dan Jerman (Nazisme) pasca-Perang Dunia I, Gereja menunjukkan sikap politis sebagai ibu yang mengusahakan negosiasi-negosiasi politis sebagai sarana pewartaan perdamaian dan keadilan.

Tesis ini berlatarbelakang rasa penasaran penulis mengenai sikap politis apa yang sebenarnya diambil Gereja ketika berhadapan dengan perkembangan nasionalisme yang sempit di Italia dan Jerman pasca-perang dunia I, lebih-lebih dampak yang dihasilkan dari nasionalisme itu bagi tragedi kemanusiaan, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi di Jerman. Langsung atau tidak langsung, Gereja, dalam hal ini Tahta Suci, cukup memiliki hubungan dan pengaruh terhadap negara Italia dan Jerman tersebut.

Oleh karenanya dalam mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, penulis ingin membagi paper ini menjadi empat bagian. Pertama tentang apa itu nasionalisme sempit dan apa yang melatarbelakanginya. Kedua tentang bagaimana perkembangan secara singkat Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman. Ketiga tentang sikap politis yang diambil Gereja pada waktu itu terhadap Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman. Keempat, refleksi teologis atas sikap Gereja tersebut.

1. Nasionalisme sempit dengan Latar Belakang Modernisme

Persoalan nasionalisme yang berkembang di Eropa adalah akibat dari persoalan modernitas dan modernisme yang berkembang pada awal abad XIX. Dalam abad tersebut, dunia mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Tidak salah bila kemudian abad XIX di sebut sebagai abad modernitas. Gereja sendiri tidak luput dari pengaruh modernisme ini. Nyatanya, Gereja telah banyak disibukkan dengan orang-orang yang menyulutkan modernisme dalam Gereja.

Sebagai sebuah lembaga keagamaan yang besar dan memiliki pengaruh internasional, Gereja, yang merupakan tanda dan sakramen Allah di dunia ini, berkewajiban untuk menyerukan suara kenabian untuk terus-menerus menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini dengan mengkritisi aliran yang berkembang ini. Oleh karenanya, Paus Pius X mempromulgasikan dekrit Lamentabili Sane tanggal 3 Juli 1907 dan ensiklik Pascendi Dominici Gregis tanggal 8 September 1907. Dalam ensiklik ini Pius X mengelompokkan modernisme sebagai paham radikalisme teologi liberal. Pada prinsipnya, kedua dokumen tersebut memberi tekanan khusus tentang modernisme. Paus memandang kaum modernis sebagai ancaman bagi Gereja karena mereka telah memangkas iman Katolik tidak hanya di batang melainkan sampai ke akarnya. Kesalahan modernisme yang paling mendasar menurut Pascendi Dominici Gregis adalah agnostisisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu, tentang Allah, adalah tidak dapat diketahui oleh akal manusia yang terbatas, dan imanentisisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa pewahyuan akan kebenaran tidak berasal dari luar manusia, tetapi dari dalam diri manusia, yaitu dalam sebuah gerakan hati yang disebut perasaan yang berasal dari alam bawah sadar manusia. Bagi kaum modernis, pewahyuan Allah dapat ditemukan atau dialami oleh seseorang tanpa harus memiliki pengalaman religius.

Harus dipahami bahwa modernisme berhubungan erat dengan dua prinsip, yaitu otonomi dan perbedaan sosial. Prinsip otonomi ini akhirnya melahirkan apa yang disebut paham “cultus idolatry”, yakni pemujaan terhadap kedaulatan mutlak terutama terkait paham-paham kenegaraan atau tokoh-tokoh tertentu dalam tata kenegaraan. Cultus idolatry ini mengikat negara dalam sistem yang sangat autarki. Paham nasionalisme yang sempit, yaitu totalitarianisme sangat dipengaruhi dan berhubungan erat dengan cultus idolatry ini. Paham ini, kemudian, akan begitu tajam dikritisi oleh Tahta Suci dalam ensiklik Mit Brennender Sorge art. 8 dan 12. Di situ, Pius XI menekankan bahwa tidak tepat adanya tindakan pengilahian (deifikasi) ras, suku bangsa, penduduk, negara, atau partai.

Nasionalisme pada prinsipnya adalah gagasan atau ide yang bermaksud mengungkapkan otonomi suatu bangsa, artinya suatu bangsa tidak lagi tergantung pada negara atau pihak lain. Batasan sempit terletak pada nihilnya perdamaian sebagai meningkatnya rasa superioritas suatu bangsa di atas bangsa lain. Koeksistensi damai dipandang sebagai utopia yang absurd dan tidak masuk akal. Oleh karena itu, interdependensi atau saling ketergantungan harus disingkirkan dan dihilangkan. Dengan demikian, antara satu negara dengan negara lain tidak ada kesetaraan.

2. Perkembangan Paham Nasionalisme di Italia dan Jerman

Perkembangan paham nasionalisme telah memberikan beragam dampak yang signifikan dalam perkembangan kehidupan di Eropa khususnya. Salah satu titik ekstrimnya adalah terjadinya perang dunia pertama (1914-1918). Namun, perdamaian dapat diusahakan dengan adanya Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919. Kemudian, dalam masa damai, atau tepatnya pada masa tenggang antara perang dunia pertama dan perang dunia kedua, terjadi beragam peristiwa-peristiwa yang mencengangkan. Yang menonjol salah satunya adalah perkembangan yang begitu cepat dari Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman ditambah dengan perlakuan mereka terhadap umat manusia. Fasisme dan Nazisme sendiri merupakan perkembangan dari paham nasionalisme; tetapi, paham yang dibangun adalah nasionalisme secara sempit sehingga paham ini bukannya menyejahterakan masyarakat, tetapi menyengsarakan masyarakat.

Perkembangan nasionalisme totalitarianisme di Italia (Fasisme) dan Jerman (Nazisme) menjadi perhatian Tahta Suci. Terkait dengan perkembangan paham Fasisme dan Nazisme ini, Tahta Suci beberapa kali mengadakan perjanjian dan mengeluarkan surat apostolik ataupun ensiklik kepada pemerintah negara terkait (Italia dan Jerman). Oleh karena itu, sebelum melihat tanggapan Gereja atas perkembangan nasionalisme tersebut, marilah kita melihat perkembangan lebih lanjut dan pengaruh dari Fasisme dan Nazisme.

2.1. Nasionalisme di Italia: Fasisme

Setelah perang dunia pertama, Italia yang termasuk dalam tripple alliance bersama dengan Jerman dan Turki dalam perang dunia pertama, mengalami ragam permasalahan politik dan ekonomi. Sistem politik dan ekonomi negara Italia berantakan. Banyak orang menderita dan tak memiliki pekerjaan. Intinya, kesejahteraan masyarakat Italia menurun pesat. Kemudian, situasi ini dimanfaatkan oleh seorang politikus, Benito Mussolini, untuk mengambil kekuasaan yang ada.

Mussolini adalah pemimpin dan pendiri partai Fasis. Partai Fasis merupakan sebuah partai di Italia yang muncul pada tahun 1919. Partai Fasis ini kemudian memperkembangkan paham fasisme dalam negara Italia. Fasisme menjadi salah satu jenis gerakan revolusi nasionalis baru pada abad ke-20. Fasisme merupakan perkembangan dari nasionalisme. Fasisme mengagung-agungkan negara, mendukung nasionalisme agresif, dan mengutuk prinsip demokrasi karena para penganut fasis percaya bahwa persaingan partai akan membuat perpecahan dalam negara. Fasisme meyakini bahwa semuanya ada di dalam negara, tak ada satu pun di luar negara, tak ada sedikitpun usaha untuk melawan negara, dan semuanya adalah untuk negara.

Pada tahun 1922, Mussolini dan pengikutnya mendapat dukungan dari masyarakat setelah mengalahkan komunisme dan sosialisme yang berkembang. Lalu, pada tahun 1925, ia menjadi perdana menteri di negara Italia. Dan, masa kediktatorannya dimulai. Dalam masa pemerintahannya, Mussolini menjunjung tinggi paham fasis yang dikembangkannya. Ia membangun kekuasaannya dengan menyensor semua media, mengorganisir sebuah polisi rahasia (salah satu peran polisi rahasia adalah menjadi mata-mata jika ada gerak-gerik mencurigakan yang hendak menghancurkan pemerintahan), dan melarang adanya kritik pada pemerintahan. Mussolini pun mengendalikan kekuatan militer dan semua lembaga pendidikan.

Selain itu, pada periode Mussolini permasalahan yang dikenal dengan nama Roman Question, terpecahkan secara bijaksana dalam Lateran Treaty (Perjanjian Lateran) antara pemerintah Italia dengan Tahta Suci. Perjanjian ini ditandatangani oleh Mussolini sebagai wakil pemerintahan Italia dan Gasparri sebagai wakil Tahta Suci pada 7 Juni 1929. Beberapa poin pokok dari Perjanjian Lateran adalah (1) pengembalian harta benda Vatikan sebagai negara kepausan yang diambil oleh pemerintah Italia; (2) setiap tahun, pemerintah Italia akan memberikan 1.500.000 lira untuk Vatikan; dan (3) kota Roma tidak lagi disebut sebagai kota suci karena Katolik tak lagi jadi agama negara.

Pasca perjanjian Lateran ini, tegangan antara Mussolini dan Tahta Suci tetap berlanjut. Ketegangan tersebut terjadi ketika Mussolini menciptakan krisis di tahun 1931 dan 1938. Pada tanggal 29 Mei 1931, ia membubarkan semua kelompok kaum muda dan pelajar Katolik. Pada tanggal 17 November 1938, ia mengamandemen hukum perkawinan Italia sesuai dengan pandangan rasial Jerman. Tegangan demi tegangan dalam negeri terus terjadi. Seiring dengan itu, perang dunia kedua meletus. Situasi pemerintahan semakin parah. Salah satu fakta yang terjadi adalah bahwa sekitar tahun 1943, Italia kerap kali mengalami kekalahan. Pada masa itulah, Mussolini dicabut dari jabatannya sebagai perdana menteri Italia secara paksa pada tahun 1943. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 April 1945, ia dieksekusi mati di daerah Como, Italia Utara, dalam usahanya untuk melarikan diri dari Italia.

2.2. Nasionalisme di Jerman: Nazisme

Pasca perang dunia pertama, pemerintahan Republik Weimar di Jerman menghadapi beragam masalah. Situasi inflasi yang melanda negara Jerman membuat masyarakat ragu dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Pada tahun 1920-an, muncullah Hitler sebagai pemimpin partai Nazi, sebuah partai yang nasionalis, anti-komunis, dan anti-organisasi semitik. Motif awal pertumbuhan Nazi ini hampir serupa dengan awal perkembangan fasisme di Italia. Bahkan nantinya, diketahui bahwa tak jarang Hitler memasukkan unsur fasisme dalam penerapan paham kenegaraan di Jerman.

Setelah pemilu tanggal 5 Maret 1933, Nazi tampil sebagai pemenang di Jerman dan mulai memimpin pemerintahan di Jerman. Di masa pemerintahannya, Hitler menekan dan menghabiskan semua partai oposisinya. Lalu, ia membangun sebuah negara fasis di Jerman. Dengan belajar dari Mussolini dan Stalin, ia membangun sebuah totalitarianisme di Jerman. Nazi menggunakan beragam media, sekolah, dan juga gereja-gereja untuk pencapaian tujuannya. Nazi juga menggunakan Gestapo (polisi rahasia) untuk menangkap semua orang yang berniat melawan Nazi.

Selain itu, terkait dengan nasionalisme radikal yang dibangunnya, Hitler mengklaim bahwa orang Jerman adalah ras Aria, ras terpilih yang kodratnya adalah memimpin dunia. Nasionalisme totalitarianisme yang dibangun ini mengambil bentuk ekstrimnya dengan rasisme. Karena merasa sebagai ras yang unggul, Hitler menggerakkan warga Jerman untuk memusnahkan orang-orang Yahudi. Inilah kebijakan politik Hitler yang dianggap begitu kejam. Tepat pada permasalahan genocide ini, banyak pihak beranggapan bahwa Tahta Suci—ketika itu masa jabatan Pius XII—berdiam diri dan tak memberikan tanggapan apapun.

Pada masa kepemimpinan Hitler ini, meletuslah Perang Dunia kedua (1939). Perang Dunia kedua ini dimulai dengan serangan Jerman ke Polandia pada 1 September 1939. Tindakan Jerman ini menjadi sebuah pengingkaran dari Jerman atas perjanjian Versalilles yang telah dibuat bersama. Lalu, perang semakin meledak dan banyak pihak yang menjadi korban. Seiring dengan perang dunia yang terjadi, usaha genocide terus berlangsung. Ratusan ribu orang Yahudi dimasukkan ke dalam ”kamp konsentrasi” dan kemudian dibunuh. Kekejian dari pemerintahan Nazi tersebut terus berlangsung sampai tahun 1945 dan runtuhnya Nazi ditandai dengan kekalahan total Jerman dalam perang dunia. Kehancuran Nazi juga ditandai dengan kematian Hitler pada 30 April 1945. Sesaat setelahnya, Nazi sebagai partai politik dibubarkan secara resmi.

3. Sikap dan Tindakan Gereja

3.1 Terhadap Fasisme Italia

Setelah dicapai kesepakatan perjanjian antara pemerintahan Mussolini dan Tahta Suci dalam perjanjian Lateran (5 Agustus 1926-10 Februari 1929), dalam jangka pendek, Gereja mendapat beberapa keuntungan, yaitu intervensi negara Italia ke dalam Gereja Italia dan administrasi Gereja berakhir. Vatikan dapat memulai lagi pemerintahannya atas Gereja universal di atas kakinya sendiri, Gereja meraih posisi sah yang kuat untuk mempertahankan sistem organisasi Katolik. Namun, dalam jangka panjang, Mussolini akhirnya mengenali bahwa sesungguhnya Gereja tidak pernah sepenuhnya mendukungnya baik dalam kebijakan dalam negeri maupun dalam semua kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, Musssolini menciptakan krisis di tahun 1931 yang memuncak pada bulan Maret dan berlanjut di tahun 1938.

Krisis tahun 1931 ini bermula dari tuduhan utama Mussolini kepada kelompok Catholic Action yang telah melampaui kompetensi dan pengaruhnya di bidang politik sosial, khususnya pendidikan bagi kelompok kaum muda dan siswa. Kiprah kelompok Cahtolic Action ini meresahkan pemerintahan Mussolini karena menghalangi penanaman fasisme bagi masyarakat Italia, khususnya anak-anak muda. Selain itu, Mussolini mengenali bahwa kegiatan kelompok ini telah melanggar Konkordat Italia. Dalam konkordat tersebut dinyatakan bahwa Catholic Action dan segala organisasinya adalah subjek bagi arahan eklesiastikal, sejauh mereka menampilkan kegiatan mereka di luar setiap partai politik untuk menyebarkan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar Katolik. Oleh karena itu, pemerintah Italia menuntut Gereja lewat jalan diplomatis yang mempersoalkan pertama, batas antara ”ecclesiastical” dan ”extraecclesiastical”; kedua, siapa yang sebenarnya menentukan pembatasan ini. Dua persoalan yang diajukan pemerintahan Italia ini kemudian dijawab oleh Gereja bahwa pertama, Gereja berhak untuk tidak hanya memiliki secara murni orientasi keagamaan, seperti liturgi dan pelayanan sakramen, melainkan juga hak untuk terlibat dalam bidang katolisisme sosial. Kedua, gereja mendaku sebuah kompetensi otonomi yang tak terbatas. Jawaban Gereja tersebut tidak menghentikan langkah Mussolini yang membubarkan semua kelompok anak muda dan siswa dengan aturan administratif yang dibuatnya. Tindakan Mussolini ini menuai kritik dari Pius XI yang menulis surat kepada Kardinal Milan, Schuster pada tanggal 27 April 1931 atas pendidikan kaum fasis kepada anak-anak muda yang berorientasi pada kebencian dan sikap tidak hormat.

Kritik Pius XI dilanjutkan dengan mengeluarkan ensiklik Non Abbiamo Bisogno pada tanggal 29 Juni 1931. Melalui ensiklik ini, Pius XI mencela serangan kaum fasis sebagai sebuah kekerasan yang tidak adil bagi Gereja. Menurut ensiklik ini, monopoli Mussolini atas pendidikan anak-anak dan orang-orang muda dengan dalih agar mereka sampai pada sebuah gagasan yang mengarah pada pendewaan negara yang sejati dan otentik tanpa kecuali tidak sesuai dengan ajaran Katolik. Monopoli ini membuat anak-anak sulit membedakan hal-hal yang senyatanya baik atau pun tidak. Suara hati tak terasah karena pendidikan monopoli yang berpedoman pada kepentingan tertentu. Namun, ensiklik ini tidak membuat hubungan Gereja dengan rezim yang berkuasa berakhir.

Krisis kedua terjadi di tahun 1938 dimana terjadi perubahan situasi politik karena pemerintahan Italia melakukan pendekatan kembali pada Jerman sejak tahun 1936. Mussolini meniru sebagian kebijakan anti-Yahudi Jerman dengan mengamandemen hukum perkawinan Italia sesuai dengan pandangan rasial pada tanggal 17 November 1938. Amandemen hukum perkawinan ini meresahkan anggota-anggota Gereja karena sungguh berlawanan dengan iman Katolik. Konsekuensinya, sebuah perkawinan antara orang Yahudi yang sudah dibabtis atau belum dibabtis dan seorang Katolik di dalam Gereja Katolik kehilangan pengaruhnya dalam hukum sipil. Melihat hal ini, Tahta Suci segera menggunakan sarana diplomatiknya untuk mencegah bentuk hukum baru ini atau untuk memodifikasi pelaksanaannya. Namun, usaha Vatikan tidak dapat mencegah pengaruh amandemen Italia. Belajar dari peristiwa tahun 1938 ini, Gereja mungkin tidak mampu membawa negara atau rezim yang berkuasa sampai pada ketaatan pada norma-norma yang diwakili oleh ajaran doktrin dan moral, tetapi tetap menekankan validitas norma-norma ini.

3.2 Terhadap Nazisme Jerman

Pada masa Pius XI, yang khas adalah konkordat dengan Reich (Negara) Jerman pada 20 Juli 1933 yang ditandatangai oleh Pacelli, wakil Vatikan dan Franz von Papen, wakil Reich Jerman. Ada motivasi yang berbeda dari masing-masing pihak. Di pihak Hitler, keinginannya untuk segera menyelesaikan konkordat adalah melenyapkan Partai Tengah (Zentrum) yang ia benci dengan menggunakan kekuasaan Tahta Suci. Ia merasa bahwa keberadaan Partai Tengah, yang banyak didukung oleh para uskup Jerman mengancam kedudukannya karena orang-orang Katolik Jerman sangat setia kepada partai ini. Sementara keinginan Pacelli dengan hasil konkordat itu terungkap dalam beberapa pokok konkordat, seperti jaminan kebebasan beribadat bagi umat Katolik di Jerman (art.1), aktivitas rohani para klerus dijamin oleh negara (art.5), klerus dan rohaniwan bebas dari kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, seperti wajib militer (art.6), kesepakatan antara negara dan klerus harus memiliki nihil obstat dari uskup setempat (art.7), klerus Katolik yang berkarya dalam karya eklesial di Jerman atau pengajar dan pelayan pastoral harus menjadi warga negara Jerman dan setidaknya pernah belajar filsafat dan teologi selama tiga tahun di Universitas Jerman, kolese eklesial Jerman, atau kolese kepausan di Roma (art.14), harta gereja dan hak-hak lain untuk korporasi publik, institusi, lembaga, dan asosiasi Gereja harus dijamin menurut hukum setempat (art.17), adanya jaminan organisasi Gereja dari pemerintah (art.31), dan de-politisasi dari para klerus (art.32).

Signifikansi historis dari konkordat dengan Hitler dapat dipahami hanya dengan melihat perbedaan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Bagi Hitler, konkordat membawanya meraih kehormatan yang tinggi karena propagandanya menafsirkan tanda tangan kardinal sekretaris negara sebagai legitimasi Paus atas Nasional Sosialismenya. Selain itu, ia telah berhasil membubarkan Partai Tengah pesaingnya. Dalam jangka pendek, konkordat berarti keberhasilan bagi Gereja karena Gereja Katolik di Jerman masih tetap bisa berdiri dibandingkan Protestantisme Jerman. Dalam jangka panjang, konkordat ini merupakan alat pertahanan yang luar biasa karena Gereja memiliki kemungkinan mengkritik dan mencela setiap pelanggaran yang dilakukan Hitler sepanjang antara tahun 1933-1939 atas konkordat. Protes terkenal Pacelli atas pelanggaran Hitler ada dalam sebuah surat yang ditulisnya bersama para kardinal Jerman, termasuk Michael Cardinal von Faulhaber, yang nantinya menjadi ensiklik Paus Pius XI berjudul Mit Brennender Sorge yang dikeluarkan tanggal 14 Maret 1937. Ensiklik ini mengutuk pandangan yang “meninggikan ras, atau masyarakat, atau negara, atau suatu bentuk khusus dari negara … di atas nilai-nilai dasar mereka dan mempertuhankan mereka ke tahap menjadi barang pujaan berhala”. Menurut Jedin, penjunjungan tinggi ras yang menjadi prinsip dasar nasional sosialisme ini ditolak oleh Gereja: “Norma kemanusiaan tak dapat dipikirkan tanpa berakar di dalam yang ilahi. Tambatan utama tidak dapat terletak dalam sebuah “keilahian” ras yang sewenang-wenang. Tidak juga dalam pemutlakan bangsa. Allah yang diyakini oleh ras yang berdarah sama seperti itu tidak lebih dari pada refleksi buatan sendiri dari kepribadian yang sempit dan picik. Dengan demikian, ensiklik ini membawa kebenaran yang menyakitkan yang disuarakan selama bertahun-tahun ke wajah pemerintahan Nazi.

Dampak dari ensiklik ini adalah ketegangan yang semakin meningkat yang mewarnai hubungan antara Jerman dan Vatikan. Hal ini bisa kita lihat dalam seruan Paus secara publik kepada dunia: Gereja di Jerman sedang berjuang hidup dan mati, engkau Katolik Jerman, engkau yang dianiaya ada dalam kebenaran; janganlah bingung; Aku berdiri di sampingmu. Sementara, pemerintah siap memberikan maklumat tentang kutukan atas konkordat. Namun, rencana itu dibatalkan Hilter tanpa alasan yang jelas. Barangkali karena ia sedang menyiapkan kebijakan perluasan negara sehingga ia menginginkan situasi yang relatif damai pada kebijakan dalam negeri. Situasi Gereja di Jerman tersebut tidak berubah hingga kematian Pius XI tanggal 10 Februari 1939.

3.3 Terhadap Pembantaian Orang Yahudi

Sejak Kardinal Pacelli diangkat menjadi Paus atas alasan politis tanggal 2 Maret 1939 dengan nama Pius XII, ia setia pada kebijakan luar negri paus pendahulunya, Benediktus XV, yaitu menjalankan strategi netralitas, melakukan bantuan-bantuan kemanusiaan akibat perang, dan melakukan upaya-upaya damai. Selama terjadi Perang Dunia II, ia tetap pada prinsip tidak berpihak pada negara-negara yang sedang bertikai. Alasan netralitas Gereja adalah bahwa Gereja merupakan ibu yang mencintai anak-anaknya yang sedang bertikai. Tentunya, seorang ibu yang baik tidak akan memihak salah satu anaknya yang sedang bertikai. Prinsipnya ini juga ia terapkan ketika diminta bersuara tentang pembantaian orang-orang Yahudi oleh Nazi. Beberapa kali ada laporan tentang pembantaian tersebut, namun Tahta Suci selalu mengatakan bahwa tidak ada bukti yang kuat tentang adanya pembantaian tersebut. Berkali-kali juga, ia didesak untuk bersuara atas peristiwa itu, tetapi ia memilih untuk diam. Baginya, persoalan tidak terletak pada pernyataan publik yang harus dia sampaikan karena hal itu malah akan meningkatkan kejahatan. Baginya persoalan utama terletak pada logika sistem pemerintahan Nazi. Namun, di sisi lain, ia juga telah menyelamatkan banyak orang-orang Yahudi yang meminta bantuannya, bahkan menyembunyikan orang-orang Yahudi di Vatikan.

4. Refleksi Teologis: Gereja sebagai Ibu

Keterlibatan Gereja dalam menghadapi nasionalisme sempit baik di Italia maupun di Jerman adalah bentuk konkret dari penghayatan akan esensi Gereja sebagai tanda dan sakramen di dunia ini. Sebagai tanda dan sakramen, Gereja terlibat untuk berpihak dan berjuang membela harkat dan martabat manusia yang dikorbankan dalam paham yang dianut kedua negara tersebut. Dampaknya tidak hanya warga negara yang ada di dalam kedua negara tersebut, melainkan warga internasional. Di sini, menurut penulis, menghadirkan Kerajaan Allah di dunia sama artinya mengusahakan kesejahteraan umat manusia, khususnya dengan membela mereka yang tertindas, disingkirkan, dan yang martabatnya diinjak-injak. Begitulah menurut Jurgen Moltman dalam bukunya berjudul God for a Secular Society: the Public Relevance of Theology mengatakan bahwa teologi yang berbasiskan pada Kerajaan Allah haruslah teologi yang bersifat publik, kritis, dan menyerukan suara kenabian sehingga teologi menjadi relevan bagi situasi Gereja berada. Ciri tersebut merupakan unsur konstitutif bagi teologi yang berdasarkan atas nama Allah. Pemahaman inilah yang nampaknya mendorong Gereja, dalam hal ini Tahta Suci, untuk terjun melindungi para korban dengan mengusahakan pelbagai cara, khususnya dengan negosiasi-negosiasi politis dengan kedua negara tersebut.

Keterlibatan politis Gereja dalam urusan politik internasional melulu didasari pada keprihatinan Gereja akan semakin meredupnya penghormatan terhadap nilai martabat manusia. Manusia menjadi korban dari pertaruhan idealisme yang dijunjung tinggi oleh para penguasa negara (Mussolini dan Hitler), yaitu fasisme dan nazisme. Kedua paham tersebut mengebiri nilai-nilai iman Katolik yang menjunjung tinggi keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, dan kedamaian. Lebih jauh lagi, Gereja mengutuk keras gagasan rasial dari Hitler yang mengatakan bahwa hanya ras Aria yang merupakan ras tertinggi dan superior atas ras lain di muka bumi ini. Di sini, kekuasaan yang dimiliki oleh kedua pemimpin negara telah salah digunakan demi mempertahankan idealisme dan sentimen kesukuan. Akibatnya, manusia disubordinasi melulu pada kepentingan-kepentingan negara.

Di sini, kekuasaan tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk menyejahterakan manusia. Oleh karena itu, tepatlah bahwa Gereja mengusahakan negosiasi-negosiasi melalui konkordat dengan para penguasa kedua negara tersebut. Konkordat itu merupakan sarana Gereja untuk tetap memainkan peranannya dalam menyerukan suara kenabian dan melakukan kritik atas kebijakan penguasa yang rasis dan totaliter. Kekuasaan yang digunakan para penguasa tersebut sifatnya tetaplah terbatas dan tidak absolut. Kekuasaan absolut bagi Gereja tetaplah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, Gereja yakin bahwa peranan konkordat memiliki fungsi ganda, yakni sebagai pelindung mereka yang tertindas dan sebagai alat kritik bagi kebijakan penguasa Italia dan Jerman.

Peran Gereja dalam menyerukan suara kenabian adalah terutama melakukan kritik atas pemutlakan kekuasaan atas diri pribadi atau negara sehingga berpotensi besar menjadi pemujaan berhala. Bagi Gereja, pemutlakan ini jelas melanggar perintah pertama dalam sepuluh perintah Allah. Bagi Gereja, penguasa tetaplah manusia yang mengambil bagian pada kekuasaan Allah. Pemutlakan pada kekuasaan seseorang melulu hanya akan melahirkan kekerasan, tekanan, kriminal, dan ketidakadilan. Lebih jauh lagi, kekerasan tersebut mendapat legalitasnya atas nama kepentingan negara.

Di sini nampak ada tegangan antara kekuasaan yang dihadirkan Gereja (Tahta Suci) yang bercirikan pelayanan bagi kesejahteraan manusia dan kekuasaan yang dihadirkan penguasa otoriter yang bercirikan semangat nasionalisme sempit yang mengkultuskan diri sendiri atau pun negara. Bagi Gereja perdana, kekuasaan yang diwariskan oleh Yesus Kristus adalah kekuasaan yang melayani karena kekuasaan itu sendiri mengambil bagian dari kekuasaan Allah sendiri. Artinya kekuasaan yang dijalankan penguasa-penguasa bangsa seharusnya kekuasaan yang melayani kesejahteraan warga negaranya. Dengan kata lain, kekuasaan yang dijalankan semestinya adalah kekuasaan yang bercirikan gembala.

Peran ini jugalah yang dilakukan Gereja ketika dituntut untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kedua negara tersebut, khususnya Jerman. Ciri kegembalaan Gereja diwujudnyatakan dengan mengambil peran sebagai ibu yang tidak memihak bangsa-bangsa yang bertikai, melainkan mengusahakan jalan diplomasi atau negosiasi terhadap negara pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut. Melalui konkordat, Gereja menyerukan keprihatinan dan kritiknya kepada Hitler untuk segera menghentikan aksi pembantaian kaum Yahudi di Auschwitz, Jerman dan penganiayaan orang Katolik Jerman yang juga ikut menderita akibat kebijakan pemerintahan Hitler.

Bagi Gereja (Pius XI), kekerasan bukanlah jalan yang tepat untuk mengatasi persoalan. Hanya melalui seruan-seruan moral yang profetis, pernyataan terbuka untuk berpihak dan solider dengan mereka yang menjadi korban atas kekejaman penguasa tiran, dan usaha-usaha perlindungan dan pertolongan konkret bagi mereka yang dianiaya, Gereja bersikap sebagai tanda dan sakramen kehadiran Allah di dunia ini.

Demikianlah bahwa pengalaman Gereja berhadapan dengan fasisme dan nazisme menunjukkan realisasi nyata Gereja yang hidup dalam dunia. Sikap Gereja menujukkan betapa besar perhatian Gereja pada dunia. Gereja menyatakan dirinya sebagai sakramen Allah; Gereja menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Pada saat yang bersamaan, Gereja juga merupakan ibu yang begitu mencintai dunia, sebagaimana ibu yang mencintai semua anaknya, tanpa pilih kasih. Kesadaran Gereja sebagai ibu mengantarkan Gereja untuk tak henti-hentinya menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian sebagai hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam kebijakan politik negara-negara. Dalam konteks fasisme dan nazisme, seruan Gereja sebagai ibu tertuju bagi negara Italia dan Jerman agar kedua negara tersebut dapat mewujud-nyatakan pesan kasih Allah yang nyata dalam perjuangan keadilan dan perdamaian.

Pada akhirnya, dalam paper ini, penulis merefleksikan bahwa Gereja tak henti-hentinya menyerukan sabda Allah dan mewartakan Injil sebagai kabar baik yang mengantar seluruh umat manusia pada persaudaraan semua umat manusia dalam cinta kasih (GS 3). Beragam cara diusahakan, yaitu usaha politis, oleh Gereja agar persaudaraan semua umat beriman dan perdamaian di seluruh dunia dapat terjalin erat dalam semangat cinta kasih. Pada saat itulah, pesan Yesus Kristus kepada para murid dalam Injil Markus menjadi semakin nyata dan hidup: “pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk” (bdk. Mrk.16:15).

* * *

Sumber Buku

Adriány, G. et.al., ”The Church in the Modern Age”, dalam H. Jedin—J. Dolan eds., History of the Church. Jilid X, Burns & Oates: London. 1981.

Cornwell, John, Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler, Beranda:

Yogyakarta, 2008.

Hardawiryana, R., (terj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Dokumentasi dan

Penerangan KWI dan Obor, 1993.

Jodock, Darrel (ed.), Catholicism Contending with Modernity: Roman Catholic Modernism and Anti-Modernism in Historical Context, Cambridge University Press: Cambridge, 2000.

Kristiyanto, Eddy, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta, 2003.

McLaughlin, Terence P, The Church and the Reconstruction of the Modern World: The Social Encyclicals of Pope Pius XI, Image Books: Garden City, N.Y., 1957.

Moltman, Jürgen, God for A Secular Society: The Public Relevance of Theology,

Minneapolis:Fortress Press, 1999.

Purell, Hugh, Fasisme, Insist Press: Yogyakarta, 2000.

Rausch, Thomas P., Katolisisme: Teologi bagi Kaum Awam, Kanisius: Yogyakarta, 2001.

Sumber Internet

Encyclopedia Britannia, “Benito Mussolini”, dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/399484/Benito-Mussolini (diunduh tanggal 26 April 2011).

Pius XI, Mit Brennender Sorge, dalam http://www.vatican.va/holy_father/pius_xi/encyclicals/documents/hf_p-xi_enc_14031937_mit-brennender-sorge_en.html (diunduh tanggal 26 April 2011).

Stanley G. Payne, “Italian Facism”, dalam http://specialcollections.library.wisc. edu/exhibits/Fascism/Intro.html (diunduh tanggal 26 April 2011).

“Concordat between The Holy See and The German Reich”, dalam http://www.newadvent.org/library/docs_ss33co.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

“Hitler Becomes Dictator”, dalam http://www.historyplace.com/worldwar2/riseofhitler/dictator.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

“The Rise of Totalitarianism”, dalam http://www.fresno.k12.ca.us/divdept/sscience/history/totalitarianism.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

“MANUNGGALING KAWULA GUSTI”

Vico Christiawan

Dalam perjumpaan saya dengan beberapa orang Katolik yang masih memegang teguh tradisi budaya Jawa (selanjutnya saya sebut orang Katolik Kejawen), saya merasakan tegangan yang mereka alami ketika mau menghidupi iman Katolik yang telah mereka peluk. Berikut di bawah ini adalah salah satu ungkapan seorang bapak yang mengalami tegangan tersebut:

“Ekaristi bagi saya penting, tetapi ada satu pertanyaan yang tidak sesuai dengan perasaan saya sebagai orang Jawa. Bagi saya, saat Ekaristi itu terjadi manunggaling kawula Gusti (persatuan dengan Allah). Hal itu terjadi saat saya menerima Tubuh Kristus. Saya hanya belum bisa paham tentang persatuan ini karena menurut ilmu kejawen yang dulu pernah saya pelajari, untuk bisa bersatu dengan Yang Ilahi itu perlu laku yang berat. Dalam Ekaristi kok rasanya gampang banget, makanya seringkali saya sendiri tidak yakin.”

Di sini saya melihat bahwa tegangan tersebut terletak pada usaha untuk “manunggaling kawula Gusti”. Bagi orang Katolik kejawen, untuk sampai pada titik “manunggaling kawula Gusti”, mereka perlu melakukan laku tapa untuk membersihkan diri dan menenangkan diri sebagai persiapan untuk menjumpai Tuhan yang mereka sebut sebagai “Gusti”. Laku tapa ini mereka lakukan agar layak dan pantas hadir di hadirat Allah yang Mahakuasa yang mereka sembah. Di sini ada semacam usaha manusia untuk sampai pada Allah. Dengan kata lain, “manunggaling kawula Gusti” ini hanya bisa dicapai melalui sarana-sarana yang telah ada dalam budaya Jawa.

Namun, ketika mereka mulai menghayati iman Katolik, muncul tegangan yang mereka rasakan. Tegangan itu terletak pada pengalaman mereka saat mendalami iman Katolik itu sendiri, terlebih saat menerima Tubuh dan Darah Tuhan Yesus Kristus, berupa hosti dalam perayaan Ekaristi. Di saat itu, pemahaman mereka tentang Gusti ingkang Mahakuasa, yang kesannya jauh, diputarbalikkan. Gusti yang selama ini mereka anggap jauh, ternyata malah hadir dan mendatangi mereka, bahkan menyatu dengan masuk ke dalam tubuh mereka. Pengalaman perjumpaan ini sempat membuat bingung: bagaimana mungkin, Yesus Kristus yang mereka anggap sebagai Gusti ingkang Mahakuasa, bisa dengan mudah menyatu dengan mereka tanpa ada ‘laku’ tertentu.

Berangkat dari pengalaman ini, saya merasa perlu membahasnya dalam tulisan ini untuk mencari titik temu antara penghayatan budaya Jawa dari orang Katolik kejawen ini dengan iman Katolik yang mereka hidupi. Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini menjadi tiga bagian, pertama, konteks tulisan ini berasal, yaitu budaya Jawa yang dihidupi orang Katolik Kejawen, khususnya pemahaman mereka tentang “manunggaling kawula Gusti”. Kedua, Yesus Kristus merupakan pribadi yang menghadirkan Allah Bapa yang mahakuasa bagi orang Katolik Kejawen sehingga “Gusti” yang tadinya jauh, kini menjadi dekat, bahkan bersatu dengan mereka. Ketiga, refleksi Kristologis tentang makna “manunggaling kawula Gusti”.

1. Sumber Pemahaman Orang Jawa tentang Manunggaling Kawula Gusti

Menurut J.B. Banawiratma dalam bukunya berjudul Yesus Sang Guru: Pertemuan Kejawen dengan Injil, kejawen merupakan hasil akulturasi kebudayaan Jawa dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Dengan kata lain, kejawen merupakan pergulatan akulturatif masyarakat Jawa berhadapan dengan macam-macam pengaruh. Akulturasi di sini adalah perjumpaan antara dua budaya di mana mereka sejajar satu sama lain saling menghormati dan toleran tanpa menghasilkan sebuah perubahan di dalamnya. Rumusannya bisa ditulis A+B=AB.

Lanjutnya, pemahaman konsep manunggaling kawula Gusti dapat ditelusuri jejaknya dalam Serat Wulangreh karangan Sunan Paku Buwono IV yang menjadi raja Surakarta mulai 29 September 1788 sampai 10 Oktober 1820. Surat ini berisi tentang macam-macam petunjuk kehidupan agar mencapai kesempurnaan hidup. Dalam salah satu bagiannya, yaitu pupuh 13: sinom, disebutkan upaya untuk mengingat dan mengikuti teladan para lelulur yang dahulu. Teladan itu adalah berprihatin dan mati raga mengendalikan nafsu-nafsu untuk memperoleh kesatuan dengan Gusti. Lanjut Banawiratma, dikatakan di situ bahwa bersatunya kawula dengan Gusti memuat juga cita-cita bersatunya rakyat dengan raja sebagai wakil dari Hyang Agung. Namun, yang ditunjuk di sini akhirnya adalah kesatuan dengan Gusti Allah. Hal ini bisa kita lihat di bawah ini:

Pamore Gusti-Kawula, (“bersatunya Gusti-Kawula,) punika ingkang sayekti, (itulah yang sejati,) dadine soca-ludira, (jadinya cincin emas bermata emas,) iku den waspada ugi, (perhatikanlah itu,) gampangane ta kaki, (mudahnya anakku,) tembaga lan emas iku, (tembaga dan emas itu,) linebur ing dahana, (dilebur dalam api,) luluh awor dadi siji, (luluh lebur jadi satu,) mari nama tembaga tuwin kancana “ (hilanglah nama emas dan tembaga.”) (pupuh 13, pada 11).

Di sini terlihat bahwa bersatunya manusia dengan Allah merupakan kenyataan hidup yang paling dalam. Untuk sampai pada kesatuan ini, di pihak manusia harus mengusahakan hati yang bersih, misalnya dengan mengurangi makan dan tidur. Suci lahir batin harus diusahakan untuk menuju kesatuan dengan Allah.

Konsep manunggaling kawula Gusti ini juga bisa ditelusuri dalam salah satu lakon dalam wayang, yaitu Dewa Ruci. Dalam kisah tersebut, Wrekodara (Pandawa nomor dua) berjumpa dengan Dewa Ruci yang serupa dengan dirinya sendiri. Perjumpaan itu bisa ditafsirkan sebagai pengalaman manusia menemukan dirinya sendiri. Pengalaman menemukan dirinya sendiri itu juga sekaligus merupakan pengalaman bersatu dengan Gusti. Dengan bersatu dengan Gusti itulah manusia menemukan dirinya sendiri.

2. Yesus Kristus Sang Gusti yang Menghadirkan Allah Mahakuasa

Kerinduan manusia untuk berjumpa dan bersatu dengan Allah juga dialami bangsa Israel pada masa Perjanjian Lama. Dalam Kitab kejadian 1:1-2:4, Allah ditampilkan sebagai Sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya, termasuk manusia. Di sini Allah menyediakan segala sesuatunya bagi manusia untuk dikuasai (Kej 1:28). Manusia sejak awal telah dilibatkan Allah dalam penyelenggaraan ciptaan. Hal ini berarti bahwa sejak awal sudah ada inisiatif yang datang dari Allah untuk menyapa dan melibatkan manusia dalam karya-karya-Nya. Begitu pula dalam pengalaman Abraham, kita bisa melihat bahwa Allah telah lebih dahulu mengadakan perjanjian untuk menjadikan Abraham sebagai bapa segala bangsa (Kej 17:4-5), menggandakan keturunannya (Kej 15:5; 17:2.6; 22:17), menjadi Allah Abraham dan Allah keturunannya (Kej 17:7). Selanjutnya janji Allah itu ditampilkan dalam panggilan Musa yang mengungkapkan keprihatinan Allah terhadap nasib bangsa Israel di tanah Mesir (Kel 3:7-10). Di sini Allah mengutus Musa untuk terlibat dalam pembebasan bangsa Israel. Kemudian, Allah ditampilkan sebagai Allah yang perkasa, mahakuasa, Sang Pembebas bangsa Israel, Sang Pembela, dan Sang Pejuang bangsa Israel dengan menggunakan segenap kemahakuasaan-Nya, misalnya dengan menurunkan sepuluh tulah kepada bangsa Mesir (Kel 7:14-12:30), membelah Laut Teberau agar bangsa Israel dapat melewati laut itu menuju tanah yang dijanjikan Allah (Kel 14:15-31). Kemahadahsyatan kekuatan Allah juga ditampilkan di Gunung Sinai berupa guruh dan kilat, awan padat di atas gunung, dan bunyi sangkakala yang sangat keras (Kel 19:16; 20:18). Di Gunung Sinai itu pula Allah mengadakan perjanjian dengan bangsa Israel dengan memberikan kesepuluh perintah Allah (Kel 20:1-17). Penyertaan Allah atas bangsa Israel berlanjut pada masa sesudahnya, yaitu masa hakim-hakim, masa kerajaan, hingga hancurnya kerajaan dengan mengutus seorang hakim atau nabi atau orang yang dipilih-Nya untuk menghibur, melindungi, dan membebaskan mereka dari orang-orang fasik.

Dari pengalaman bangsa Israel tersebut nampak jelas bahwa Allah telah lebih dahulu mendatangi umat-Nya, menyertai perjalanan mereka, melindungi dan membebaskan mereka dari kelaliman bangsa-bangsa fasik. Namun, Allah yang mahakuasa itu masih nampak jauh atau terlalu besar bagi umat Israel untuk mendekat. Kerinduan bangsa Israel akan kehadiran Sang Mesias (Luk 9:20) yang dekat dengan mereka terjawab dengan kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka. Yesus yang merupakan Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1:14) telah hadir menyapa mereka, menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, memberi penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang yang tertindas, dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19). Dalam diri Yesus yang adalah Kristus, Allah ditampilkan secara nyata bagi manusia. Dalam diri Yesuslah, Allah yang perkasa dan mahakuasa dihadirkan melalui sikap dan tindakan-Nya dan kecintaan-Nya yang teramat besar bagi mereka hingga mau mengurbankan diri-Nya. Melalui Yesus pulalah, Allah yang mahakuasa dan perkasa tersebut disapa dengan sebutan Bapa (lihat Luk 2:49; 11:2; Mat 5:16,45,48; 6:4,6,8,9,14,18, dst). Dengan demikian, relasi manusia dengan Allah menjadi teramat dekat bagaikan relasi seorang bapa dengan anaknya. Dalam Injil Yohanes, Yesus sering menghadirkan Bapa di dalam diri-Nya melalui kesaksian-Nya, seperti misal ketika Yesus berkata kepada Filipus, “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa…Tidak percayakah engkau bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?” (Yoh 14:9-10). Di sini nampak bahwa Yesus hendak menunjukkan bahwa Dia dan Bapa adalah satu. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa siapa saja yang ingin mengenal dan mengetahui lebih dalam siapa Allah yang mahakuasa, lihat saja Yesus orang Nazaret itu.

Rahmat terbesar bagi orang Katolik adalah pernyataan Yesus dalam Injil Yohanes yang mengatakan bahwa Dialah Roti hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa makan dari Roti itu, ia akan hidup selama-lamanya. Roti yang kita makan adalah daging-Nya yang Dia berikan untuk hidup (Yoh 6:51). Pernyataan-Nya itu Ia wujudkan saat menetapkan perjamuan malam. Dalam Injil Lukas, Yesus mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada para murid sambil berkata, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Luk 22:19). Dan, perjamuan itu kita lakukan dan rayakan sekarang ini dalam Ekaristi Kudus. Dengan demikian, dalam Ekaristi Kudus, kita boleh menerima Tubuh Yesus Kristus sendiri. Di sinilah letak kesatuan manusia dengan Allah yang mewujud dalam diri Yesus yang dipahami oleh orang Jawa: manunggaling kawula Gusti.

3. Refleksi Kristologis tentang Makna Manuggaling Kawula Gusti

Dari dua pengalaman di atas, yaitu orang Jawa dalam menghayati manunggaling kawula Gusti melalui laku-tapa dan kaum Israel masa perjanjian lama serta orang Yahudi dan kita sekarang dalam masa perjanjian baru ini dalam mengalami perjumpaan dan persatuan dengan Allah, kiranya ada titik temu yang bisa saya lihat. Titik temunya terletak pada tujuan hidup itu sendiri, yaitu bersatu dengan Allah Sang Pencipta.

Pertemuan dua pengalaman, yaitu pengalaman orang Jawa dan orang Yahudi, merupakan sebuah pertemuan yang menurut saya bisa saling mewarnai dan memperkaya satu sama lain. Pemahaman orang Katolik kejawen tentang perlunya laku dalam manunggaling kawula Gusti mendapat tempat dalam iman Katolik. Tempat itu terdapat dalam sikap berjaga-jaga yang diminta Yesus kepada para murid-murid-Nya, misalnya, “Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti sebuah jerat” (Luk 21:34). Berhati-hati dan bijak dalam hidup agar kelak siap dalam menyongsong hari Tuhan merupakan sebuah sikap laku yang sudah dihayati pula orang Jawa sebagai syarat manunggaling kawula Gusti. Sikap bijak dan tenang meditatif maupun kontemplatif ini pula yang juga dituntut setiap orang Katolik ketika menghadiri perayaan Ekaristi di Gereja Katolik agar semakin mampu merenungkan dan menghayati peristiwa iman akan penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus. Sikap ini merupakan perwujudan dari laku batin dan lahiriah dalam menyiapkan batin dan raga dalam menyambut Tubuh Kristus dalam komuni.

Dengan demikian, nyata bahwa pemahaman orang Jawa dalam manunggaling kawula Gusti mendapat terang Injil bahwa Allah yang dihadirkan dalam pribadi Yesus Kristus telah lebih dahulu mendatangi dan bersatu dengan manusia, bukan sebaliknya. Apa yang menjadi tugas manusia hanyalah menyiapkan diri baik secara lahiriah maupun batiniah melalui sikap, tutur kata, dan perbuatan, terus-menerus mengembangkan hidup pribadi dan sosial dengan baik, menjadi saksi Kristus di dalam masyarakat dengan terlibat secara aktif dalam persoalan-persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Inilah laku yang hendaknya menjadi gaya hidup orang-orang Katolik kejawen. Ini pulalah yang dinamakan mengikuti Kristus, yaitu mengikuti cara hidup-Nya, pilihan-pilihan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya.

Sekali lagi saya katakan bahwa bagi orang Katolik Kejawen, Yesus Kristus adalah Gusti, menurut istilah orang Jawa, yang menghadirkan Allah yang mahakuasa dalam diri-Nya sehingga Allah yang Ia sebut Bapa itu menjadi semakin dekat karena telah lebih dahulu berinisiatif datang kepada manusia dan bersatu secara nyata dengan manusia melalui Tubuh dan Darah Yesus sendiri yang telah menjadi santapan jiwa manusia dalam perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, pandangan orang Katolik kejawen dalam menghayati kehadiran Kristus dalam dirinya diperbarui dan diperkaya.

Sumber Pustaka

Banawiratma, J.B. 1977. Yesus Sang Guru: Pertemuan Kejawen dengan Injil .Yogyakarta:

Kanisius.

Indonesia, Lembaga Alkitab. 2009. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Pecklers, Keith F., SJ (ed.). 2003. Liturgy in a Postmodern World. London-New York: Continuum.

Peter C. Phan, “Liturgical Inculturation: Unity in Diversity in the Postmodern Age” dalam Keith F. Pecklers, SJ (ed.), Liturgy in a Postmodern World (London-New York: Continuum, 2003), 55-86.