Minggu, 14 Desember 2008

MASIHKAH ADA HARAPAN DALAM LEMBAH KEKELAMAN?

Menguak Rahasia Metafor Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik dalam Mazmur 23 Bagi Para Pengungsi

Vico SJ

Pengantar

Seringkali para penulis Kitab Suci tidak menggunakan metafor hanya untuk menghias gagasan-gagasan mereka, melainkan untuk mengemas makna yang akan mereka sampaikan ke dalam beberapa kata saja. Kata-kata itu mungkin nampaknya hanya memiliki sedikit makna, namun apabila kata-kata itu masuk ke dalam rasa perasaan kita, kata-kata itu akan memiliki daya untuk membangkitkan imajinasi kita berdasarkan pengalaman kita sendiri. Brown meminta kita untuk masuk dan mengalami lebih dalam imajinasi kita sendiri tentang metafor dan gambaran inti yang pemazmur ketahui dari warisan sosial, budaya, dan religius mereka sendiri dan membiarkan metafor itu mengajari kita.

Dalam tulisan pendek ini, penulis memilih Mazmur 23 sebagai acuan utama untuk mengembangkan daya imajinasinya karena mazmur ini dikenal memiliki daya tarik universal untuk membawa penghiburan dan kepercayaan kepada Allah bagi mereka yang sedang berada dalam masa kelam dalam hidupnya. Masa kelam dalam hidup manusia membawa penulis pada pengalaman buruk para pengungsi yang beberapa di antaranya masih belum memperoleh masa depan yang jelas, misalnya para pengungsi di Timor Leste, Timor Barat, Aceh, Sumatera, Maluku, Yogyakarta[6], dan terakhir para pengungsi dari Sidoarjo akibat semburan Lumpur Lapindo. Untuk itu, penulis hendak mengaitkan imajinasinya atas metafor-metafor dalam Mazmur 23 dengan sebuah pertanyaan: “Masihkah ada harapan bagi para pengungsi yang sampai hari ini berada dalam ‘lembah kekelaman’?”

Metafor Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita melihat metafor apa saja yang ada dalam Mazmur 23 yang diyakini oleh para ahli merupakan hasil karya asli Raja Daud sendiri. Ada banyak metafor yang mewarnai Mazmur 23, yaitu “gembala”, “padang yang berumput hijau”, “air yang tenang”, “menyegarkan jiwa”, “jalan yang benar”, “oleh karena namaNya”, “lembah kekelaman”, “gada dan tongkat”, “hidangan”, “lawan”, “minyak”, “piala penuh berlimpah”, “kebajikan dan kemurahan”, “diam dalam rumah TUHAN”. Dari metafor-metafor ini, penulis hanya akan berfokus pada dua metafor yang menonjol dan merupakan inti dari mazmur ini, yaitu Allah sebagai seorang Gembala yang baik (ay.1-4) dan seorang Tuan rumah yang baik (ay. 5-6).

Menurut beberapa ahli, metafor-metafor ini muncul ketika Daud, di masa tuanya, melihat kembali pengalaman-pengalaman kelamnya dan melihat pertolongan Allah dalam seluruh hidupnya. Keselamatan dari Allah yang ia alami begitu menyentuh dan bergema kembali di hatinya karena pertama, sebagai seorang gembala yang tahu bagaimana memelihara dan melindungi domba-dombanya, ia melihat Allah bertindak bagaikan seorang Gembala yang baik yang mengenal dan mengetahui dia dengan sangat baik bahkan memelihara, merawat, dan melindunginya dari segala musuh sehingga ia merasa berada dalam perlindungan Allah dan Allah mencukupi segala kebutuhannya. Hal ini terungkap dalam ayat pertama: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku[7].” Metafor gembala ini dikembangkan lagi oleh Daud dengan menunjukkan peran seorang gembala yang membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang untuk memulihkan kekuatan mental maupun fisik seluruh domba-dombanya (ay.2.3a). Gambaran tempat yang damai, aman, dan nyaman ini tidak lepas dari jalan yang ditunjukkan sang gembala sendiri kepada domba-dombanya (ay.3b). Peran gembala juga tidak hanya menuntun ke jalan yang benar, tetapi melindungi domba-dombanya ketika mereka berada dalam bahaya besar yang mengancam hidup mereka (ay.4). Di sini, kehadiran sang gembala memberi rasa aman bagi domba-dombanya. Kehadiran sang gembala juga dinantikan oleh domba-dombanya. Domba-domba itu sangat mengenal gembala mereka, terlebih suaranya sehingga kemana pun sang gembala menuntun, domba-domba itu merelakan diri penuh percaya mengikuti sang gembala. Hal ini bisa terjadi karena sudah ada ikatan cinta yang kuat antara sang gembala dengan domba-dombanya: sang gembala bertanggung jawab penuh cinta atas keselamatan dan kesejahteraan domba-dombanya, sementara itu domba-dombanya mengenal, bergantung, dan menaruh kepercayaan yang besar pada sang gembala. Ada unsur pengenalan yang kuat dari domba-domba itu terhadap sifat sang gembala yang harus kita perhatikan. Daud menekankan betapa penting mengenal sifat dan kodrat Allah. Hal ini terungkap dalam ayat 3c: ”oleh karena nama-Nya”. Ungkapan ini bukan berarti bahwa semua yang dilakukan Allah sebagai Sang Gembala melulu demi reputasiNya, melainkan karena Dia adalah TUHAN, kodrat dan kehendakNyalah yang menggerakkan Dia untuk melakukan semua itu. Pengenalan terhadap sifat dan kodrat Allah ini terjadi karena ada kesadaran yang bertumbuh dalam diri Daud, yakni kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidupnya, penyertaan-Nya senantiasa dalam masa-masa kelamnya, dan terutama kesadaran bahwa Dialah Sang Gembala Sejati.

Kedua, Daud juga melihat Allah bagaikan seorang Tuan rumah yang baik yang menyediakan hidangan baginya di hadapan lawan-lawannya, yang mengurapinya dengan minyak, memenuhi pialanya dan yang menyertai hidupnya dengan kebajikan dan kemurahan sehingga ia ingin tinggal dalam rumah TUHAN selamanya. Di sini, Daud melihat dirinya sebagai seorang tamu asing yang sama sekali tidak mengenal Sang Tuan rumah. Namun, ia merasa diperlakukan secara istimewa dan mendapat perhatian kasih sayang yang besar dari Sang Tuan rumah melebihi apa yang telah orang-orang yang ia kasihi berikan padanya. Perlakuan istimewa dan perhatian yang besar ini sungguh sebuah bentuk penerimaan dirinya secara utuh apa adanya. Sang Tuan rumah tidak sedikit pun mencurigai asal-usulnya, memperhitungkan kejahatan atau kesalahan apa pun yang telah dibuatnya. Ia menerima dia sebagaimana adanya dia. Di sisi lain, Daud melihat bahwa Sang Tuan ini telah menyediakan diri dengan meluangkan waktu sepenuhnya bagi kebutuhan dan kenyamanannya, bahkan keberlangsungan hidupnya. Pelayanan Sang Tuan ini begitu total. Hal inilah yang begitu menyentuh hati Daud. Allah yang dilihatnya bukan lagi sebagai Allah yang Mahakuasa, Mahabesar, dan Mahahebat, melainkan sebagai seorang teman, sahabat yang sangat dekat dengan dirinya.


Para Pengungsi dalam Terang Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik

Setelah menguraikan metafor Allah sebagai Gembala yang Baik dan Tuan rumah yang baik, kini penulis hendak mengembangkan imajinasinya sendiri berdasarkan uraian kedua metafor itu dalam persoalan konkret masa kini, yakni nasib para pengungsi. Dalam kesempatan ini, kembali penulis ingin menggemakan kembali pertanyaan yang telah disebutkan pada bagian pengantar: “Masihkah ada harapan bagi para pengungsi yang sampai hari ini berada dalam ‘lembah kekelaman’ mereka?” Tentu saja pertanyaan ini tidak berlaku bagi para pengungsi yang sudah mampu mengatasi keterpurukan nasib dengan memulai sebuah awal baru dalam kehidupan mereka. Pertanyaan ini lebih tepat ditujukan kepada beberapa pengungsi yang masih mengalami keterpurukan nasib, yang masih berada dalam ‘lembah kekelaman’. Lalu, bagaimana mengaitkan kedua metafor di atas dengan kenyataan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis hendak melihat lebih dahulu sebab pengungsian itu sendiri. Ada banyak sebab mengapa mereka meninggalkan tanah atau tempat tinggal mereka, misalnya karena peperangan yang tiada henti, persoalan politik, bencana alam, tanah yang tidak lagi memberikan kesuburan atau karena lingkungan yang sudah tidak memberi harapan, kenyamaan dan keamanan lagi. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini mendorong mereka untuk pergi dari tempat tinggal mereka selama ini entah untuk sementara waktu atau selamanya dan mencari kehidupan baru di tempat lain. Jadi, kepergian mereka lebih karena situasi lingkungan yang tidak lagi memberi kehidupan yang layak.

Istilah pengungsi ini tidak saja ditujukan kepada sejumlah besar orang yang mengungsi karena beberapa sebab di atas, seperti bencana tsunami, gempa bumi, atau peperangan, tetapi juga kepada siapa saja yang entah karena persoalan pribadi, keluarga, lingkungan atau politik yang kurang mendukung mengungsi ke tempat lain. Aneka alasan pengungsian ini didorong oleh hal yang sama, yaitu kerinduan dan harapan akan kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman. Situasi di mana setiap orang merasa bebas dan kerasan tinggal di tempat itu untuk mengembangkan segenap potensi dirinya dan membangun sebuah kehidupan yang penuh harapan baik bagi dirinya sendiri, orang lain maupun bagi generasi sesudahnya.

Sebenarnya situasi para pengungsi ini sama dengan situasi Daud ketika ia dikejar oleh Saul. Daud, pada saat itu, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari perlindungan. Situasi ini sungguh bukan situasi yang aman dan nyaman, melainkan sebuah situasi yang selalu mengancam hidup dan keberadaannya. Demikian pula para pengungsi merasakan situasi yang jauh dari apa yang mereka inginkan. Mereka berada di tempat pengungsian bukan karena keinginan hati mereka, melainkan karena hidup mereka terancam di tempatnya yang lama yang sudah tidak memberi harapan lagi. Dari situasi ini, penulis hendak berfokus pada ketidakberdayaan yang dialami para pengungsi ketika penulis, sebagai relawan, pernah berada di tengah-tengah para pengungsi korban Tsunami Aceh tahun 2004 yang lalu dan bagaimana peran Allah sebagai Gembala dan Tuan rumah yang baik terwujud nyata dalam ketidakberdayaan mereka.

Jika dilihat secara sekilas, nampak bahwa metafor Allah sebagai Gembala yang baik dan Tuan rumah yang baik kurang cocok dikaitkan dengan nasib para pengungsi. Mereka hidup dalam keterbatasan dan ketidaknyamanan. Mereka hidup dalam penantian yang panjang. Mereka hidup dalam ketidakpastian baik masa kini maupun masa depan seakan-akan tiada lagi tempat untuk bergantung. Mereka seperti kawanan domba yang tercerai berai yang telah ditinggalkan sang gembala. Namun, di tengah-tengah situasi negatif itu, kegembalaan Allah masih dapat dilihat dan dirasakan lebih dalam pada kehidupan yang masih menyertai mereka di tempat pengungsian. Kegembalaan Allah juga masih bisa dirasakan ketika mereka dituntun-Nya keluar dari situasi yang bisa mengancam hidup mereka. Mereka telah dibawa-Nya ke sebuah jalan yang benar, yaitu sebuah cara baru dalam memandang kehidupan. Mereka telah dibimbing-Nya ke sebuah padang yang berumput hijau dan air yang tenang yang bagi mereka adalah sebuah tempat perlindungan entah sementara atau selamanya yang menawarkan sebuah rasa aman, meskipun barangkali masih jauh dari kenyamanan, misalnya dalam tenda-tenda dan barak-barak yang disediakan baik oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya. Selain itu, kegembalaan Allah juga bisa dirasakan dalam kehadiran para relawan yang memberikan diri untuk melayani segala kebutuhan dasar mereka, seperti pakaian, makanan, tenda, peralatan-peralatan masak, peralatan untuk bekerja seperti peralatan tukang kayu, perahu, mesin jahit, buku-buku pelajaran bagi anak-anak dan pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan untuk membuka wawasan, pelayanan kesehatan secara gratis, dll. Dengan misi kemanusiaan, para relawan mendampingi dan membantu para pengungsi berdamai dengan keadaannya dan memberdayakan mereka agar tidak terus-menerus bergantung pada bantuan, melainkan mampu berusaha dengan tenaga dan pikirannya sendiri untuk hidup mandiri. Di sinilah peran Allah sebagai Gembala yang baik menurut penulis sangat kuat. Allah melalui kehadiran para relawan tidak hanya membimbing ke tempat yang aman, tetapi juga menyegarkan jiwa para pengungsi dengan memulihkan kembali mental mereka, memberi kesadaran bahwa kehidupan yang masih mereka rasakan adalah anugerah yang harus disyukuri dan diperjuangkan.

Peran Allah sebagai Tuan rumah yang baik terwujud dalam persahabatan yang erat antar-pengungsi sendiri dan dengan para relawan atau siapa saja yang memiliki rasa peduli pada kemanusiaan. Segala macam penghalang persahabatan dihancurkan dengan rasa solidaritas yang tinggi. Hidangan dari Sang Tuan untuk domba-domba-Nya tidak lagi terbatas pada makanan yang lezat, tetapi pada cita rasa yang nikmat dari panggilan hati setiap orang yang terdorong untuk membantu para pengungsi ini. Hidangan lezat lain berupa terbukanya dunia baru yang selama ini tidak diperkirakan oleh para pengungsi. Puluhan ribu, ratusan bahkan mungkin jutaan lembaga-lembaga pemberdayaan para pengungsi di seluruh dunia ini mengulurkan tangannya untuk memberi ‘sajian’ berupa beraneka macam bantuan. Ketidakberdayaan para pengungsi ini mengundang Sang Tuan datang menunjungi mereka menyediakan segala kebutuhan mereka dan mengurapi mereka dengan minyak martabat kemanusiaan. Sang Tuan rumah tidak lagi menunggu tamunya datang ke rumahnya, melainkan menyambangi dan menjemput tamu-tamunya di tempat mereka berada untuk kemudian disatukan dan dimasukkan ke dalam rumahNya.

Kehadiran LSM-LSM, seperti misal Jesuit Refugee Service (JRS) atau Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) di kantung-kantung pengungsian bagaikan seorang tuan rumah yang selalu terbuka pada kehadiran siapa saja yang membutuhkan kebajikan dan kemurahan. Kebajikan dan kemurahan tidak hanya berhenti di tempat pengungsian itu saja, melainkan berlanjut pada relasi persahabatan yang mendalam yang akan terus bergema dalam kehidupan para pengungsi ini. Benih kebajikan dan kemurahan yang mereka rasakan dari Sang Tuan rumah akan bertumbuh subur dalam hati mereka dan akan memenuhi rumah Tuhan. Di sini rumah Tuhan tidak lagi berbentuk bangunan fisik, melainkan suasana ramah dan bersahabat yang ditawarkan bagi para pengungsi untuk bangkit dari kelesuan dan kedukaan hidup. Dengan demikian, peran Sang Tuan rumah yang baik terwujud nyata dalam rasa solidaritas yang kuat yang terwujud dalam suasana persahabatan.


Harapan: Sebuah Sajian Kekal Sang Gembala dan Sang Tuan yang Baik.

Sampai di sini, penulis merasa bahwa kehadiran Allah sebagai Gembala dan Tuan rumah yang baik bukan lagi sebagai utopia belaka, melainkan sebuah kenyataan yang bisa kita alami dan kita rasakan sehari-hari. Kehadiran-Nya dalam berbagai rupa untuk mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka yang terlupakan bisa kita saksikan dalam kehidupan kita maupun melalui berbagai berita yang dapat kita saksikan dan kita dengarkan. Kepercayaan yang besar pada penyelenggaraan ilahi-Nya akan membawa sebuah harapan yang mampu membesarkan hati siapa saja yang berada dalam keterpurukan hidup. Kemalangan dan kekelaman hidup bukan lagi menjadi kata akhir, melainkan sebuah era baru untuk melangkah masuk ke dalam sebuah kehidupan baru yang penuh berkat. Tangan-tangan Allah yang tak kelihatan akan semakin nampak bila kita membuka diri pada kehadiran orang-orang utusan-Nya.

Telah kita lihat bagaimana pun juga, para pengungsi tidak akan luput dari perhatian Sang Gembala dan Tuan rumah yang baik ini karena pada diri-Nya sudah menyatu sifat dan karakter seorang gembala dan tuan rumah sejati. Meskipun dunia sudah melupakannya, namun Allah tidak akan kekurangan cara menggerakkan gembala-gembala dan tuan-tuan rumah yang lain untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya. Keterasingan bukan lagi menjadi momok bagi setiap pengungsi, tetapi malah menjadi sarana rahmat bagi mereka. Pengungsian mereka entah sementara atau sampai pada waktu yang tak bisa dipastikan dapat menumbuhkan sebuah harapan akan hari esok yang lebih baik. Hari-hari mereka di tempat pengungsian bukan lagi menjadi hari-hari kosong penuh kedukaan, melainkan hari-hari yang penuh dengan pengembangan diri, penataan mental dan persiapan diri bagi sebuah masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, harapan baru menjadi sajian kekal dari Sang Gembala dan Tuan rumah yang baik bagi mereka.

Jumat, 14 November 2008

INJIL TOMAS, INJIL KELIMA?

Oleh Vico SJ


Kita telah mendengar bahwa banyak bermunculan tulisan-tulisan mengenai Yesus di luar Injil-injil Kanon, yang menamakan diri Injil. Sebutlah beberapa di antara mereka adalah Injil Tomas, Injil Maria, Injil Petrus, Injil Yudas, Proto-Injil yakobus, Injil Filipus, Injil Masa Kanak-kanak menurut Tomas, dan masih banyak lagi. Injil-injil ini atau lebih tepatnya tulisan-tulisan ini biasa disebut ‘apokrifa’ yang dalam bahasa Yunani berarti yang disembunyikan (hidden things). Mengapa disembunyikan? Jawaban yang mendekati kemungkinan pasti adalah tentu saja berisi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan iman jemaat Kristiani saat itu, bahkan juga saat ini. Lalu, mengapa tulisan-tulisan itu muncul? Beberapa alasan yang mungkin adalah bahwa tujuan kehadiran tulisan-tulisan ini adalah untuk melengkapi bagian Keempat Injil kita yang kiranya masih tersembunyi bagi kita, seperti misal kisah kanak-kanak Yesus mulai umur 12 hingga 30 tahun, identitas Maria Ibu Yesus, proses kelahiran Yesus, Yesus ketika wafat di dalam kubur. Alasan lain yang mungkin adalah untuk menggeser kedudukan Injil-injil Kanon dengan menawarkan tokoh Yesus secara berbeda.
Kehadiran mereka cukup merepotkan para Bapa Gereja saat itu seperti St. Ireneus dari Lyon (±115- …) yang telah mengeluarkan buku khusus untuk melawan gnostisisme, yaitu Adversus Haereses (Melawan Heresi), St. Origenes dari Alexandria dengan bukunya Commentary on the Gospel of Matthew (Komentar tentang Injil Matius), St. Eusebius dari Kaesarea, dan St. Atanasius di mana tiga tokoh terakhir ini hidup di abad ketiga dan keempat masehi. Mengapa para Bapa Gereja ini begitu gigih melawan tulisan-tulisan tersebut. Salah satu alasannya adalah bahwa tulisan-tulisan tersebut mengandung ciri gnosis. Lalu, apa itu gnosis? Gnosis dalam bahasa Yunani berarti pengetahuan (knowledge). Aliran gnosis, yaitu gnostisisme mempercayai pandangan tentang dunia sebagai tempat yang jahat yang diciptakan Tuhan yang jahat, yang berbeda dari Tuhan yang benar dan berbeda. Pengikut Gnostik Kristen ini menganggap diri mereka sebagai keturunan Tuhan yang maha esa itu, dan sebagai percikan ilahi yang terkurung dalam dunia yang jahat ini, Kristus dikirim untuk mengingatkan pengikut Gnostik mengenai hakekat diri mereka yang sebenarnya. Kristus memberitakan rahasia ini kepada para pengikut Gnosis agar mereka dapat melepaskan diri dari dunia yang jahat ini dan kembali kepada Tuhan yang benar. Mereka percaya bahwa sekelompok orang tertentu menerima pengetahuan yang pasti, mutlak, personal, dan menjamin keselamatan. Jadi keselamatan hanya bagi mereka yang ‘terpilih’, yang merupakan kalangan terbatas, “orang dalam” sendiri.
Lalu bagaimana dengan Injil Tomas, kegelisahan apa yang dialami Bapa-bapa Gereja saat itu berhadapan dengan tulisan ini? Baiklah kita sedikit menilik ciri-ciri dari Injil ini. Injil Tomas ini terdiri dari 114 perkataan-perkataan rahasia Yesus yang hidup dan ditulis oleh Didimus Yudas Tomas yang diyakini saudara Yesus. Hampir setiap perkataan diawali dengan Yesus berkata,” … Ada beberapa model perkataan yang terdapat dalam tulisan tersebut seperti kata-kata bijak (petuah), perumpamaan, perkataan eskatologis (nubuat), dan peraturan bagi komunitas. Ada sekitar 68 perkataan dalam Injil Tomas yang paralel dengan Injil-injil Kanon. Ada kesan kuat bahwa penulis Injil ini mengutip beberapa perikop dalam Injil-injil Kanon secara eklektik dan dimasukkan ke dalam tulisannya. Karena tulisan ini berupa kumpulan perkataan Yesus, hidup Yesus, karya-karya, sengsara, wafat, dan kebangkitanNya tidak mendapatkan tempat. Yang menjadi tekanan di sini adalah perkataan-perkataan Yesus yang membawa keselamatan. Perlu diketahui pula bahwa Injil ini ditulis sekitar abad kedua setelah masehi.
Berdasarkan keterangan singkat tentang Injil Tomas tersebut, baiklah kita lihat apa yang dikatakan St. Origenes dalam salah satu homilinya tentang Lukas 1:1(menurut terjemahan bahasa Latin Jerome)

“…Gereja memiliki empat Injil, sedangkan tulisan-tulisan heresy begitu banyak, yang salah satunya berjudul ‘Injil menurut Orang Mesir’ dan yang lainnya ‘Injil menurut Dua Belas Rasul’. Basilides juga berusaha menulis sebuah injil dan menyebutnya dengan namanya sendiri. ‘Banyak tangan’ telah menulis, tetapi hanya empat Inil yang diakui. Dari keempat Injil inilah doktrin tentang pribadi Tuhan dan Penyelamat kita telah diturunkan. Saya mengetahui sebuah Injil yang disebut ‘Injil menurut Tomas’ dan sebuah ‘Injil menurut Matias’ dan banyak tulisan-tulisan yang telah kami baca-yang kami anjurkan untuk dilupakan saja karena bagi mereka yang membayangkan bahwa mereka memiliki beberapa pengetahuan akan diperkenalkan dengan hal-hal ini. Namun, di antara semua hal yang telah kami buktikan secara lembut apa yang telah diakui Gereja yang hanya merupakan empat Injil haruslah diterima.”

Di dalam teks itu terlihat bahwa St. Origenes menekankan hanya ada empat Injil yang diakui oleh Gereja dan yang harus kita terima, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Selebihnya adalah heresy. Kekuatiran St. Origenes, khususnya terhadap Injil Tomas dan Injil Matias, adalah bahwa injil itu akan menarik mereka yang membayangkan telah memiliki beberapa pengetahuan dan mengambil injil itu menjadi injil utama mereka, menggantikan keempat Injil yang telah diakui oleh Gereja. Oleh karena itu, injil-injil itu sebaiknya dilupakan saja.
St. Eusebius dari Kaesarea juga dengan lebih keras memberi komentar atas injil-injil heretik yang mengambil nama para Rasul sebagai judul tulisan-tulisan mereka, seperti misal Injil Petrus dan Tomas dan Matias, atau Kisah Andreas dan Kisah Yohanes:

“Tidak ada penulis gerejawi dalam tradisi pernah mempertimbangkan tulisan-tulisan ini dalam karya-karyanya sebagai yang layak disebutkan. Lebih jauh lagi ciri khas bahasa mereka berbeda dengan ciri khas penggunaan bahasa dalam tulisan-tulisan apostolik, dan pemikiran dan tujuan yang terungkap di dalam tulisan-tulisan mereka, dalam derajat yang tinggi berlawanan dengan ortodoksi sejati, menunjukkan dengan jelas bahwa tulisan-tulisan itu, kami telah mendapatkan, merupakan buatan kaum heretik.”

Dengan demikian jelaslah bagi kita sikap yang diambil oleh St. Origenes dan St. Eusebius terhadap tulisan-tulisan heretik itu, khususnya Injil Tomas, yaitu menolak dengan tegas kehadiran tulisan-tulisan tersebut dan lebih menekankan keempat Injil yang telah diakui oleh Gereja.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bagian teks mana saja yang mencerminkan secara kuat unsur gnostik dalam perkataan Yesus? Kita bisa melihatnya dalam bagian awal teks injil ini:”Inilah ucapan-ucapan rahasia yang diucapkan Yesus yang hidup dan yang ditulis oleh Didimus Yudas Tomas”, dan “Dan Dia berkata,”Barangsiapa menemukan tafsiran atas sabda-sabda ini tidak akan mengalami kematian” (Sabda 1). Kalimat pertama jelas diperuntukkan untuk Tomas saja dan kalimat kedua bagi mereka yang memang terpilih masuk dalam kalangan terbatas sajalah yang mampu menafsirkan sabda-sabda tersebut. Penekanan hanya pada sabda-sabda Yesus yang hidup yang membawa pada kehidupan (keselamatan) inilah yang merupakan ciri gnostik . Nampak di sini pengetahuan akan sabdalah yang menyelamatkan bukan wafat, salib dan kebangkitan Yesus Kristus yang menyelamatkan. Hal ini bagi iman kita tentu sangat membahayakan karena hanya melalui penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristuslah kita diselamatkan dari maut bukan melulu melalui sabda-sabda Yesus.
Kita bisa melihat pula keganjilan dalam injil ini dalam sabda 62:

Yesus berkata,”Bagi mereka [yang layak] menerima misteri-misteriKulah yang akan Kuberi tahu misteri-misteriku. Jangan biarkan tangan kirimu tahu apa yg diperbuat tangan kananmu.”

Keselamatan yang tertuang dalam wahyu rahasia Yesus menurut sabda ini adalah keselamatan yang bersifat eksklusif, diperuntukkan hanya bagi sekelompok elite saja. Padahal salah satu unsur diterima dalam kanon-kanon Kitab Suci adalah unsur katolisiti-nya, yaitu keterbukaan dan universal yang ditawarkan termasuk keselamatan pada siapa saja yang percaya kepada Kristus.
Hal lain yang bagi saya sangat kontroversial adalah sabda terakhir:
Simon Petrus berkata kepada mereka,”Biarlah Maria meninggalkan kita, karena perempuan tidak layak hidup.” Yesus berkata,”Aku sendiri yang akan menuntunnya untuk membuatnya menjadi laki-laki sehingga dia juga bisa menjadi roh yang hidup menyerupai engkau, laki-laki. Karena setiap perempuan yang akan membuat dirinya laki-laki akan masuk kerajaan surga.”

Sabda ini jelas sekali bernafaskan gnostik, dimana kaum perempuan dianggap lebih terpenjara jiwanya dan lebih rendah dari pria. Sabda ini jelas bertentangan dengan awal penciptaan laki-laki dan perempuan yang berkedudukan setara dan secitra dengan Allah.
Ada beberapa motivasi yang sama dalam tulisan itu yang menggambarkan bahwa para pengikut gnostik merupakan umat pilihan, minoritas elite. Hal tersebut dapat kita lihat dalam beberapa sabda berikut ini:

"Nelayan yang bijak memilih ikan besar dari tangkapannya." (sabda 8)
"Biji Gandum akan menghasilkan sebuah tumbuhan yang besar." (Sabda 20)
"Peremupuan membuat roti yang besar dari ragi." (Sabda 96)
"Salah satu dari domba yang besar itu tersesat." (sabda 107)

Kata besar menunjukkan bahwa para pengikut Gnostik adalah pilihan Tuhan yang esa, hanya saja mereka tersesat di dunia dan mereka harus kembali.
Demikianlah uraian di atas telah berusaha menjelaskan panjang lebar disertai dengan bukti-bukti yang telah saya sebutkan bahwa Injil Tomas tetap tidak layak menjadi injil kelima karena pertama, di dalamnya sarat dengan unsur gnostik yang bertentangan dengan iman kita. Kedua, karena penekanan injil ini hanya pada sabda-sabda Yesus saja, injil ini tidak memadai untuk menjadi pegangan hidup kita. Mengapa? Karena hanya dalam peristiwa wafat, salib, dan kebangkitan Yesuslah kita diselamatkan dan diangkat menjadi anak-anak Allah dan beroleh persatuan dengan Allah. Ketiga, keselamatan yang ditawarkan pun hanya sebatas pada sekelompok kecil orang saja, dan bukan diperuntukkan bagi banyak orang. Padahal kedatangan Allah di dunia dalam diri Yesus adalah karena Dia mengasihi kita semua sebagai manusia. Keselamatan yang ditawarkanNya adalah bagi kita semua tidak hanya diperuntukkan bagi sekelompok kecil manusia saja. Keempat, kita juga perlu sadar bahwa beberapa rasul dan saksi mata saat penyusunan kanon Kitab Suci Perjanjian Baru masih hidup. Dan mereka pasti mempunyai alasan yang kuat untuk memilih dan mengetahui tulisan-tulisan mana yang dapat disebut kitab Injil dan mana yang tidak diakui sebagai injil.

Sumber Acuan:
Indonesia, Lembaga Alkitab. 1994. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Koester, Helmut. 1988. “The Gospel of Thomas,” dalam Robinson, The Nag Hammadi Library in English. San Fransisco: Harper & Row.
Ramadhani, Deshi. 2007. Menguak Injil-Injil Rahasia. Yogyakarta: Kanisius.
Robinson James M., ed. 1988. The Nag Hammadi Library in English. Rev. Ed. San Fransisco: Harper & Row.
Schneemelcher, W., ed. 1991. New Testamen Apocrypha. Vol 1. Louisville, Kentucky: Westminster/John
Knox Press.


Yesus: Seorang Asia?

Vico SJ

Penyebaran kekristenan tidak hanya di sekitar daerah Barat dan Timur, yaitu di daerah Kekaisaran Romawi dan Konstantinopel, melainkan juga di daerah lain seperti di India—diyakini oleh St. Thomas dan di Siria. Dalam jaman modern Yesus telah dibawa oleh para misionaris Barat ke Asia sehingga Yesus nampak kebarat-baratan. Meskipun mendapat tanggapan negatif dari kaum pemikir dan spiritual elit negara-negara seperti India, Cina dan Jepang, pada abad ke-19, abad dimana koloni-koloni menjadi lebih stabil, kekristenan lebih sering berinteraksi dengan budaya dan agama setempat, khususnya di India. Namun, di Cina dan di Jepang, kekristenan nampak menghadapi kesulitan. Di Negara seperti India, Yesus banyak diterima oleh mereka sebagai guru. Oleh para Uskup di Asia pada sinode khusus Asia (1998), Yesus digambarkan sebagai: "Guru Kebijaksanaan, Penyembuh, Pembebas, Penuntun Kerohanian, Orang yang Tercerahkan, Sahabat yang berbelas kasih pada yang Miskin, Samaria yang baik hati, Gembala yang baik, Orang yang Patuh.". Namun, tetap ada semacam ketegangan antara Yesus yang digambarkan dengan berbagai amcam symbol dan gambar dengan Yesus menurut formula dogmatis di kalangan umat Gereja.

Peran Gambar-gambar
Lalu, apa peran gambar-gambar dalam iman dan kehidupan Kekristenan? Amalados menjawab bahwa gambaran-gambaran mengenai Yesus muncul dalam konteks dialektis antara pribadi dan kehidupan Yesus dengan pribadi dan kehidupan para murid-Nya. Namun, simbol dan gambaran mengenai Yesus tidaklah eksklusif atau monopolistik, melainkan terbuka, banyak dan saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, semua itu tidak mungkin ditangkap semuanya oleh setiap orang. Setiap orang hanya menghayatinya berdasarkan sejarah,, budaya, pengalaman dan alsan pribadi sehingga tidak mencukupi untuk mengungkapkan relaitas secara penuh tentang Yesus.
Orang-orang yang mempunyai kerangka pikiran ontologis akan gerah dengan macam-amcam gambaran tentangt Yesus. Mereka akan berbicara dalam kemutlakan dan melihat gambaran-gambaran tentang Yesus sebagai relatif.
Di sini ada tiga gambaran mengenai Yesus sebagai nabi, orang bijaksana dan sebagai guru. Sebagai nabi, Yesus nampak digambarkan lebih dari sekedar nabi karena ia melampaui para nabi. Di sini nampak ada usaha membandingkan Yesus dengan nabi-nabi lain, seperti misal Nabi Muhammad yang diakui dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi terakhir. Padahal bukan karena ada dimensi kenabian dalam diriNya, melainkan karena keunikan dan kekhususan yang Ia miliki. Jadi bukan karena ia begitu atau begini, melainkan karena Ia adalah Ia.
Sebagai orang bijak, ada usaha untuk mensejajarkan Yesus dengan Confucius dan Tao dari Cina. Namun, poinnya adalah bukan karena Ia dibandingkan dengan tokoh Cina tersebut, melainkan perkataan, perbuatan dan hidupNya, mencerminkan sebagai Jalan sama seperti jalan menuju Tao. Jadi justru Yesus memberi sebuah makna khusus pada istilah Tao.
Sebagai guru, Yesus digambarkan sama seperti guru-guru lain di India. Namun, di sini bukan karena ia seperti guru-guru yang lain, melainkan istilah guru yang dikenakan pada Yesus membantu kita untuk memahami beberapa aspek siapa Yesus itu dan apa yang dilakukanNya. Kehidupan dan ajaran-ajaran yesus sendirilah yang justru menunjukkan macam guru apakah Dia. Ini dapat diperoleh tanpa belajar komparatif.

Gambar-gambar dan Dogma
Yesus adalah unik. Banyak bahasa simbol dan gambar dikenakan padaNya. Sayangnya, bahasa ini tidak konseptual dan logis. Namun, bahasa ini bisa menjadi sistematik. Jika tak ada satu bahasa apa pun yang mampu mengungkapkan misteri Ilahi dalam diri Yesus yang sesungguhnya, tidak bisa saja mengadili atau menuduh bahwa abhasa simbol atau gamabr itu salah karena tidak konseptual dan logis. Seebnarnya, simbol hanya berguna sejauh membantu kita memahami realitas yang lebih dalam dari realitas transenden yang disimbolkan. Namun, bila kita memutlakkannya, ia akan menjadi sebuah idola bukan lagi sebagai sebuah ikon yang menuntun kita pada kontemplasi tentang misteri.
Memang afirmasi dogmatis benar. Namun, tidak mengungkapkan secara penuh kebenaran. Ungkapan dogma-dogma itu dibatasi oleh situasi saat itu dibuat, kapasitas dan pencerahan yang dialami para pembuatnya dan peralatan konsep yang menjadi tujuan mereka. Sedagkan gambar dan simbol berbeda. Mereka berakar pada iman. Oleh karena itu, mereka pra-teologis. Mereka dapat memberikan perkembangan baru dalam refleksi teologis. Mereka tidak bisa dituduh begitu saja dengan membandingkannya dengan formula teologis. Mereka harus dihargai pada apa yang mereka katakan, bukan pada apa yang tidak mereka katakan.
Seringkali pula terucap bahwa seseorang tidak dapat bicara tentang siapa Yesus itu tanpa mengatakan apa yang Dia lakukan, yaitu apa yang Dia selamatkan.Keselamatan yang Yesus tawarkan bukan membebaskan kita dari pergularan dan usaha yang harus kita lakukan da;am hidup kita untuk hidup sebagai manusi yang telah diselamatkan. Yesus memberi kekuatan kepada kita unutk hidup sebagai murid-muridNya dalam hidup ini. Proses keselamatan yang diklaim para teolog untuk digali dapat dilihat dari pandangan dalam gambaran-gambaran. Mereka membantu kita untuk hidup.

Gambaran Asia
Menurut Amalados, budaya dan agama Asia bukanlah barang baru baginya karena mereka merupakan warisan dari para leluhurnya. Oleh karena itu, penggunaan hak istilah 'guru ' pada Yesus bukanlah milik agama tertentu—Hindu---melainkan milik India secara umum. Jadi simbolbudaya bisa menajdi milik siapa saja yang menghendaki. Setiap istilah atau simbol yang dikenakan kepada Yesus mempunyai makna yang baru. Namun, tetap ada ketakutan bahwa Yesus hanyalah guru sama seperti guru-guru yang lain yang merupakan manusia-manusia terbatas. Tidak, istilah guru justru mengacu pada salah satu dimensi khusus dari Yesus.
Amalados tidak setuju jika Yesus disamakan seperti Adipurusha-pribadi pertama dalam agama Hindu yang punya peran khusus dalam pencitptaan dan itu sangat tidak cocok dengan Yesus. Namun, kita tidak bisa menghindari adanya konteks antarbudaya dan antarreligi yang menghasilkan tentu saja perspektif komparatif. Oleh karena itu, Amalados lebih suka menggunakan bahasa, budaya, simbol, dan gambarannya sendiri untuk berbicara tentang Yesus. Sebagai seorang Indian dan Asia, ia merasa bahwa Yesus adalah guru dan orang bijaksana.
Usaha-usahanya nampak mendapat penilaian dari gamabran Yesus dalam Perjanjian Baru dan Sejarah Gereja yang tertuang dalam dogma-dogma Gereja. Namun, mereka tidak bisa mengatakan bahwa semua orang Kristen dapat berkata-kata tentang Yesus untuk membuatny abermakna pada dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks budaya dan keagamaan. Gamabran tidak menyangkal dogma, melainkan melengkapinya satu pada yang lain. Mereka membawa perspektif baru bahwa Yesus masih relevan pada zaman sekarang. Jadi, simbol berfokus pada apa yang Yesus lakukan.
Demikian pula Injil. Mereka menggunakan gambaran mereka sendiri tentang Yesus. Ada sebenarnya cerita sederhana tentang Yesus, tindakan-tindakan dan ajaran-ajaranNya yang membuat Amalados tidak perlu lagi menceritakan ulang kisah tersebut. Baginya, para pemeluk agama lain yang tidak asing lagi dengan pribadi Yesus dan kehidupannya boleh dengan keinginannya memahami Yesus secara lebih mendalam dari konteks religius mereka sendiri.

Norma-Norma Moral Absolut

Vico SJ

Apakah ada norma-norma moral yang selalu dan di mana saja merupakan kewajiban? Lalu apa yang dimaksud dengan norma moral itu sendiri? Pertanyaan ini harus diletakkan pada perspektif yang tepat. Hampir semua orang akan setuju bahwa ada beberapa norma yang mutlak dan secara universal mengikat norma-norma yang lain. Hampir sebagian besar para etikawan mendiskusikan pertanyaan tentang norma-norma absolut tersebut dari perspektif moralitas personal, namun jangan lupa juga untuk memperhatikan dimensi sosial dari isu tersebut karena keduanya seharusnya tidak dipisahkan secara total.
Pendekatan yang dilakukan orang-orang Kristiani terhadap isu di atas mengacu pada empat hal sebagai sumber dari kebijaksanaan dan pengetahuan. Sumber-sumber itu adalah Kitab Suci, tradisi, akal budi, dan pengalaman. Norma-norma yang ada telah lama berakar pada keempat sumber ini dengan penekanan lebih besar pada Kitab Suci dan akal budi manusia. Kitab Suci seringkali dijadikan dasar bagi norma moral absolut dan hukum-hukum Kristen. Salah satu yang dijadikan dasar adalah sepuluh perintah Allah. Banyak dari katekisme dan diskusi tentang moralitas kekristenan mengikuti skema dari sepuluh perintah Allah ini.
Menurut sebagian besar orang-orang Kristiani sebelum adanya studi kritis atas Alkitab pada abad ke-19, ajaran moral dalam Alkitab dianggap sebagai perintah Allah bagi segala jaman dan tempat. Kaum fundamentalis masih berpegang pada cara ini. Namun, menurut para ahli Kitab Suci dan para teolog moral dalam gereja Protestan dan Katolik, ajaran-ajaran Alkitab secara historis, kultural, dan sosial adalah dikondisikan. Jadi, apa yang telah diterima sebagai suatu kebenaran dalam Alkitab yang ditulis di jaman yang berbeda bisa jadi tidak benar lagi di jaman kita karena kita hidup di alam dan situasi yang berbeda secara historis, kultural, dan sosial. Sebagai contoh adalah tentang kepatuhan dan ketaatan para isteri pada suaminya yang terdapat dalam Galatia 3:18—4:1 dan Efesus 5:22—6:9. Kaum fundamentalis dan beberapa orang Kristiani konservatif masih melihat fenomena tersebut sebagai sebuah norma biblis yang dibenarkan pada jaman kita ini. Namun, bagi mereka yang lebih menerima pendekatan kritis terhadap Kitab Suci melihat ‘kode rumah tangga’ ini sebagai ungkapan jaman patriarki saat itu dan tidak lagi mengikat pada keadaan jaman kita yang sudah berubah. Contoh lain adalah kontroversi terkini tentang homoseksualitas. Semua Gereja-gereja Kristen mempunyai cara pandang yang berbeda atas kasus tersebut. Sampai pada akhir tahun 1960-an, Gereja-gereja Kristen menggunakan Imamat 18:22 dan 20:13 sebagai dasar biblis untuk menghukum tindakan-tindakan homoseksual tersebut, disamping tiga perikop lainnya, yaitu Rm 1:27, 1 Kor 6:9-10, dan 1Tim 1:9-10. Namun, hari ini, beberapa orang Kristen tidak melihat dalam Kitab Suci sebuah hukuman atas tindakan-tindakan homoseksualitas yang dilakukan oleh pasangan homoseksual. Tindakan homoseksual yang dilakukan atas dasar cinta oleh pasangan homoseksual dapat secara moral baik. Jadi, dalam menafsirkan makna Kitab Suci bagi kita saat ini, kita harus mengenali perbedaan-perbedaan budaya, historis, dan sosial yang besar antara jaman biblis dengan jaman kita..
Di sisi lain, pengalaman dan khususnya akal budi manusia telah mendukung pendasaran norma-norma absolut bagi para filsuf (Immanuel Kant) dan para teolog Kristen dan gereja-gereja. Akal budi manusia inilah yang menerangi pengembangan posisi moral tradisi Katolik Roma dan dari perspektif ini lahirlah beberapa norma-norma absolut. ]Selain itu, tradisi Katolik juga menggunakan teori hukum kodrat untuk mendasari norma-normanya.
Untuk tujuan tersebut, hukum kodrat menjaga agar akal budi manusia yang mencerminkan kodrat manusia dapat mencapai kebijaksanaan dan pengetahuan moral. Dalam hal ini, ajaran resmi Gereja menggunakan sebuah metode hukum kodrat untuk mempertahankan norma-norma moral absolut. Hal ini nampak pada hukuman absolut yang berdasar pada teori hukum kodrat atas kontrasepsi, masturbasi, sterilisasi langsung, dan pembunuhan langsung. Namun segera muncul pertanyaan tentang bagaimana tindakan-tindakan tersebut secara moral dipersalahkan. Pertanyaan lain yang menyusul adalah mengapa kasus-kasus yang timbul akibat tindakan tersebut menjadi begitu berbeda dari bidang-bidang moralitas lainnya. Seperti misal adalah membunuh. Membunuh adalah tindakan fisik. Tetapi tidak setiap pembunuhan adalah salah. Tidak juga setiap perkataan palsu adalah sebuah kebohongan atau hasrat untuk berbohong (the malice of lying) dibenarkan secara moral bila dikenakan pada orang yang tidak mempunyai hak atas kebenaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebohongan secara fisik tidak selalu merupakan sebuah kebohongan moral. Namun, kadang-kadang hal-hal fisik dan moral adalah sama. Tetapi tidak untuk manusia. Manusia tidak tak dapat secara a priori diidentifikasi dengan hal-hal fisik saja. Hal-hal fisik hanyalah satu aspek dari manusia dan moral. Untuk itu moral utama harus terbuka dan menyeimbangkan segala aspek yang ada pada diri manusia.
Dua faktor yang mempengaruhi pemahaman akan kodrat manusia dan akal budi manusia dan yang mempengaruhi realisasi norma-norma absolut yang konkret, spesifik, dan lengkap adalah historisitas dan kesadaran historis di satu sisi dan juga keberalihan pada subjek di sisi lain. Penekanan pada sejarah berbeda dengan penekanan pada kodrat yang terberikan (given) yang pada dasarnya sama sepanjang sejarah. Kesadaran historis tertanam dalam historisitasnya yang cenderung melihat manusia secara partikular, individual, kontingen, dan berkembang; berbeda dengan klasikisme kuno yang memahami manusia lebih sebagai yang tetap, abadi, tak berubah. Kesadaran historis ini menggunakan sebuah metodologi induktif namun menolak sebuah realitivisme total atau eksistensialisme yang lebih menekankan kekinian tanpa ada kaitannya dengan masa lalu dan masa depan dan tidak berhubungan dengan yang lain dalam kekinian. Di sisi lain, keberalihan pada subjek menekankan bahwa pribadi tidak hanya sebagai sebuah objek atau kodrat melainkan sebagai subjek sejati dari eksistensi seseorang. Pribadi adalah sebuah subjek kesadaran diri yang membuat dan membentuk dirinya dalam bagian sejarah. Meskipun dibatasi dengan kodratnya, subjek tidak secara total dideterminasi olehnya.
Dua perpindahan pada kesadaran historis dan pada subjek telah mempengaruhi semua usaha etika, termasuk Etika Filosofis. Ada tiga perkembangan terbaru dalam etika filosofis yang juga mempengaruhi teologi moral atau etika Kekristenan. Pertama, etika diikat pada tradisi dan komunitas tertentu dan tidak mesti universal. Namun, perkembangan ini tidak diterima oleh tradisi Kekristenan mainstream yang menekankan keuniversalitasan dari moralitas. Kedua, ada penolakan oleh para filsuf terhadap fundasionalisme atas adanya satu sumber atau dasar yang darinya pengetahuan kita tentang etika dan norma-norma khusus dapat diperoleh. Namun, mereka tetap menerima beberapa realitas moral universal dan menentang relativisme. Ketiga, banyak pihak lebih memilih pada perbedaan-perbedaan dua metodologi dasar yang memperhatikan kegiatan manusia, yaitu pendekatan deontologis, yang melihat kehidupan moral pertama-tama adalah tugas, hukum, dan kewajiban; dan pendekatan teologis yang memahami kehidupan moral sebagai akhir atau tujuan yang harus dicapai. Pendekatan ini mempunyai salah satu bentuk ekstremnya, yaitu konsekuensilisme yang mendasarkan moralitas hanya pada konsekuensi-konsekuensi; jika konsekuensinya baik, tindakan tertentu secara moral dapat dikatakan baik.
Ada tiga pendekatan umum dalam Katolisisme Roma pada pertanyaan tentang norma absolut yang berkaitan dengan tingkah laku yang konkret dan material. Pertama, pendekatan hukum kodrat dengan penekanannya pada tujuan dari kemampuan seksualitas. Kedua, pendekatan hukum kodrat yang penekanannya pada perkembangan manusia atau pemenuhan manusia yang integral. Ketiga, pendekatan yang sering disebut revisionis atau proposionalis ini tidak menyetujui perluasan teori dan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum kodrat yang diusulkan oleh magisterium hierarkis. Pendekatan ini hendak menghindari adanya bahaya-bahaya fisikalisme dan konsekuensilialisme total.
Sebagai kesimpulan, pertanyaan atas norma-norma moral mutlak bukanlah yang terpenting bagi etika dasar Katolik. Yang terpenting adalah nilai-nilai yang merupakan pertimbangan penting dalam etika kristiani. Hukum ada untuk menjaga nilai-nilai ini. Namun, semakin komplek dan spesifik nilai-nilai tersebut, semakin sulit untuk menyatakan bahwa satu nilai moral tidak akan bertentangan satu sama lain. Namun, menurut Thomas Aquinas pada abad ke-13, ia membuat pemilahan penting antara prinsip-prinsip primer dari hukum kodrat yang berlaku kapan saja dan dimana saja; dan prinsip-prinsip sekunder dari hukum kodrat yang berlaku ut in pluribus—sebagaimana terjadi secara umum, tetapi tidak selalu.
Diskusi mengenai norma-norma absolut secara umum nampak hanya dalam konteks moralitas personal. Namun, nampak juga dalam konteks dari moralitas sosialnya. Dalam hal ini, tradisi kristen dan pendekatan Katolik Roma menekankan pentingnya kebaikan bersama yang terungkap dalam hidup bersama dalam masyarakat dan komunitas. Namun, individualisme menjadi sebuah masalah utama saat ini karena hanya mengejar keuntungan atau keberhasilan pribadi dan tidak punya perhatian pada kebaikan umum. Oleh karena itu perlu adanya keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia bagi komunitas dan masyarakat. Hak-hak manusia itu terbagi dua, yaitu pertama hak-hak politis dan sipil yang meliputi kebebasan pers, agama, berkumpul, dan berbicara; kedua, hak-hak sosial atau ekonomi yang meliputi hak atas makan, pakaian, tempat tinggal dan atas pelayanan kesehatan.
Beberapa perkembangan terakhir dalam etika teologi Kristiani sepintas tampak terlihat melawan norma-norma absolut dari keadilan dan hak-hak dalam sebuah komunitas politik. Para pembela kemerdekaan dan teolog feminis menekankan bahwa tidak ada yang netral, objektif, universal, tetapi kita semua adalah subjek-subjek manusia yang datang dari latar belakang sejarah dan lokasi sosial yang berbeda-beda. Hal tersebut nampak pada teologi pembebasan yang memulai dengan lokasi dan pengalaman yang tertindas, yakni orang-orang miskin, people of colour, para perempuan, dan mengambil perjuangan-perjuangan subjektif mereka bagi kebebasan yang serius. Kebenaran bukanlah realitas abstrak yang diterapkan pada isu-isu partikular. Kebenaran muncul dari pengalaman orang-orang yang berjuang bagi kebebasan. Namun, para teolog pembebasan tidak ingin menyangkal universalitas. Hal ini terlihat dari kebanyakan pemikir yang mulai dari lokasi sosial yang partikular. Mereka tetap membutuhkan beberapa moralitas umum dan norma-norma universal keadilan dan hak-hak asasi dalam masyarakat. Tanpa penerimaan secara umum prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi tidak dapat ada komunitas politik yang benar.

TEOLOGI DAN ASTRONOMI:

Debat-debat para Corpenican dan Galileian
Oleh Vico SJ

Salah satu perkembangan yang terpenting selama periode kajian studi ini adalah pentingnya pertumbuhan ilmu-ilmu alam, dan pengenalan akan implikasi-implikasi potensial dari pandangan-pandangan dan metode baru bagi teologi kristen. Dalam pembelajaran kali ini, kita harus menguji kontroversi yang berpusat pada pandangan Nicholaus Copernicus dan Galileo Galilei tentang sistim tata surya
Di bulan Mei 1543, karya Nicholaus Copernicus yaitu De revolutionibus orbium coelestium (“On the revolutions of the heavenly bodies”) telah diterbitkan. Namun, karya itu baru diperlihatkan padanya sesaat sebelum dia meninggal pada bulan 24 Mei tahun itu menurut tradisi saat itu yang telah berlangsung lama. Buku itu berisi pandangan heliosentris tentang sistem tata surya. Menurut Copernicus, bumi dan planet-planet lainnya berotasi mengelilingi matahari, yang posisinya di pusat tata surya. (Bulan, tentu saja, dipahami mengelilingi bumi). Pandangan baru ini menandai sebuah gerakan yang meninggalkan secara signifikan pandangan lama, yang berpegang pada pandangan bahwa semua benda langit-termasuk matahari dan planet-planetnya—berotasi mengelilingi bumi.
Pandangan lama, yang seringkali disebut sebagai teori geosentris, telah diterima secara umum dan luas oleh para teolog Abad Pertengahan. Mereka yang telah terbiasa dengan pandangan lama itu dan yang telah terbiasa melakukan pembacaan dan penafsiran teks-teks Alkitab dengan kaca mata geosentris mengalami kesulitan menguasai pandangan baru itu. Terbitan-terbitan awal yang mempertahankan teori Copernicus (seperti G.J. Rheticus’ Treatise on Holy Scripture and the Motion of the Earth, yang diakui secara luas sebagai karya terkenal paling awal yang berkaitan secara eksplisit dengan relasi antara Alkitab dan teori Copernicus) harus berurusan dengan dua isu. Pertama, mereka harus mencari bukti pengamatan yang mengarah pada kesimpulan bahwa bumi dan planet-planet lain berotasi mengelilingi matahari. Kedua, mereka harus menunjukkan bahwa pandangan ini konsisten dengan Alkitab, yang telah lama dibaca sebagai pengabsahan sebuah pandangan geosentris tentang alam semesta.
Munculnya teori heliosentris tentang sistem tata surya kemudian menyebabkan para teolog menguji kembali cara menginterpretasi beberapa perikop tertentu dalam Kitab Suci. Tiga pendekatan besar dapat diidentifikasikan dalam tradisi Kristen tentang tafsiran Biblis:
1. A literal Approach (Pendekatan literal) yang mengatakan bahwa perikop tertentu diambil pada nilai permukaannya. Sebagai contoh, tafsiran literal dari bab pertama Kejadian akan mengatakan bahwa penciptaan terjadi dalam enam periode 24 jam.
2. An allegorical approach (Pendekatan Alegoris), menekankan bahwa beberapa bagian tertentu dari Alkitab di tulis dalam gaya yang tidak tepat bila ditafsirkan secara mutlak. Selama zaman Abad Pertengahan, tiga pemahaman Kitab Suci non-literal diakui; hal tersebut diakui oleh banyak penulis abad tujuh belasan sebagai suatu cara yang lebih detail. Pandangan ini menganggap bab pembukaan Kejadian sebagai puisi atau catatan alegoris, dimana beberapa prinsip teologis dan etis dapat diturunkan. Hal ini tidak memperlakukan mereka sebagai catatan literal historis tentang bumi yang sesungguhnya.
3. Sebuah pendekatan yang berdasarkan pada gagasan tentang akomodasi (penyesuaian). Pendekatan ini telah sekian lama menjadi pendekatan yang terpenting dalam hubungannya pada interaksi tafsiran Kitab Suci dan ilmu-ilmu alam. Pendekatan ini mengatakan bahwa wahyu terjadi dalam cara-cara dan bentuk yang terkondisikan secara kultural dan antropologis, dengan catatan bahwa wahyu selanjutnya perlu ditafsirkan secara tepat. Pendekatan ini mempunyai sebuah tradisi yang lama tentang kegunaannya dalam Judaism dan kemudian di dalam teologi Kristen, dan dapat dengan mudah ditunjukkan pengaruhnya di dalam periode patristik. Namun, perkembangan matangnya dapat ditemukan di dalam abad keenambelas. Pendekatan ini menyatakan bahwa bab-bab pembuka dari Kejadian menggunakan bahasa dan gambaran yang tepat menurut kondisi-kondisi budaya dari pendengar aselinya; bab-bab tersebut tidak diambil secara literal, tetapi diinterpretasikan bagi pembaca kontemporer dengan mengambil gagasan-gagasan kuncinya, yang telah diungkapkan dalam bentuk-bentuk dan istilah-istilah yang secara khusus disesuaikan atau “diakomodasikan” menurut pendengar aselinya.

Pendekatan ketiga terbukti menjadi hal khusus yang penting selama debat melampaui relasi antara teologi dan astronomi selama abad keenam belas dan ketujuh belas. Reformis yang terkenal John Calvin (1509-1564) bisa dianggap sebagai pembuat dua kontribusi yang sangat penting dan positif pada karya dan perkembangan ilmu-ilmu alam. Pertama, dia secara positif mendukung studi ilmu-ilmu alam; kedua, dia menghilangkan sebuah penghalang yang sangat penting pada perkembangan studi itu, melalui pemahamannya tentang cara Alkitab ditafsirkan dalam istilah “akomodasi”.
Kontribusinya yang pertama adalah secara spesifik dikaitkan dengan penekanannya pada keteraturan penciptaan; baik bukti dari dunia fisis maupun tubuh manusia pada kebijaksanaan dan sifat Allah:

Dalam kerangka bahwa tak seorangpun boleh dikesampingkan dari sarana mencapai kebahagiaan, Allah telah digembirakan, tidak hanya ketika menanamkan benih-benih agama di benak kita yang telah kita ucapkan, tetapi untuk membuat kesempurnaan-Nya dikenal dalam keseluruhan alam semesta, dan dalam keseharian menempatkan Dirinya dalam pandangan kita, dimana kita tidak dapat membuka mata kita tanpa dipaksa untuk mengamatiNya ….untuk membuktikan kebijaksanan-Nya yang mengagumkan, baik langit maupun bumi hadir di hadapan kita sebagai bukti yang takterhitung—tidak hanya pembuktian-pembuktian yang lebih maju di mana astronomi, obat-obatan, dan segala macam ilmu-ilmu alam dirancang untuk menggambarkan alam, melainkan bukti-bukti yang mendesak diri mereka sendiri pada perhatian sebagian besar para petani yang miskin pengetahuan tentang alam, yang tidak dapat membuka mata mereka tanpa melihatnya.

Calvin kemudian memuji studi tentang astronomi dan obat-obatan. Mereka mampu menyelidiki lebih dalam dunia alam dari pada teologi, dan kemudian menyingkapkan lebih jauh bukti keteraturan ciptaan dan kebijaksanaan dari penciptanya. Hal itu juga boleh dinyatakan bahwa Calvin memberi sebuah motivasi baru yang bersifat religius pada penyelidikan ilmu alam. Hal ini sekarang dilihat sebagai sebuah sarana untuk menunjukkan penilaian yang baik pada tangan bijaksana Allah dalam ciptaan. The Confessio Belgica (1561), sebuah pernyataan iman Calvinis yang dipraktekkan pengaruh khususnya dalam Lowlands (sebuah area yang dikenal secara khusus karena para ahli botani dan fisikanya) , menyatakan bahwa alam adalah “di hadapan mata kita sebagai sebuah buku yang paling indah di mana segala ciptaan, apakah itu besar atau kecil, bagaikan surat-surat yang menunjukkan hal-hal yang tak tampak dari Allah pada kita.” Allah kemudian dapat dipahami dalam studi tentang ciptaan secara mendetail melalui ilmu-ilmu alam.
Kontribusi utama kedua Calvin adalah menghilangkan sebuah penghalang yang signifikan pada perkembangan ilmu-ilmu alam, yaitu literalisme biblis. Calvin menunjukkan bahwa Alkitab pada pokoknya berkenaan dengan pengetahuan tentang Yesus Kristus. Hal ini bukanlah tentang sebuah buku astronomi, geografi atau biologi. Dan ketika Alkitab ditafsirkan, hal itu harus ditunjukkan dalam benak kita bahwa Allah “menyesuaikan” dirinya pada kapasitas budi dan hati manusia. Allah harus turun ke level kita jika wahyu hendak disampaikan. Wahyu kemudian menghadirkan versi “scaled down” (pereduksian) atau versi “accomodated” (penyesuaian) Allah pada kita, untuk bertemu dengan kemampuan-kemampuan terbatas kita. Sama seperti seorang ibu yang membungkukkan badannya untuk mendapatkan anaknya, begitu juga Allah membungkukkan diri-Nya untuk mendatangi level kita. Wahyu merupakan tindakan perendahan diri ilahi.
Dalam kasus kisah-kisah biblis tentang penciptaan (Kejadian 1), Calvin berpendapat bahwa kisah-kisah itu disesuaikan pada kemampuan-kemampuan dan horison-horison dari orang-orang yang sederhana dan tidak rumit; kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai gambaran literal tentang kenyataan. Penulis Kejadian berkata bahwa mereka telah ditahbiskan menjadi seorang guru dari orang-orang yang tidak terpelajar dan primitif, sebagaimana orang-orang terpelajar; dan dengan demikian ia tidak dapat mencapai tujuannya tanpa menurunkan sarana-sarana sederhana instruksi. “Frase” Enam hari penciptaan” tidak menunjuk pada enam hari per 24 jam, tetapi sebuah penyesuaian yang sederhana bagi cara berpikir manusia untuk menunjukkan sebuah perluasan periode waktu. “Air di atas cakrawala” secara sederhana merupakan sebuah penyesuaian untuk cara berbicara tentang awan.
Dampak dua gagasan tersebut atas proses pembentukan teori ilmiah, khususnya selama abad ketujuhbelas, besar. Sebagai contoh, penulis Inggris, Edward Wright telah mempertahankan teori heliosentrinya Copernicus tentang solar system melawan para literalis biblis dengan berargumen, di tempat pertama, bahwa kitab suci tidaklah dipikirkan melulu hal-hal fisik saja, dan di tempat kedua, bahwa cara Kitab Suci berbicara telah disesuaikan pada pemahaman dan cara berbicara orang-orang pada umumnya, seperti para perawat kepada anak-anak kecil.” Dua argumen tersebut diturunkan secara langsung dari Calvin, yang mungkin bicara untuk membuat sebuah kontribusi dasar pada kemunculan ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam.
Argumen-argumen yang serupa muncul di Italia selama dekade awal dari abad ketujuhbelas, sama seperti kontroversi baru muncul dari model heliosentris sistem tata surya. Hal ini pada akhirnya menuntun Gereja Katolik Roma pada penghukuman atas Galilei Galileo, yang secara luas dipandang sebagai sebuah kesalahan penilaian yang jelas pada bagian dari beberapa birokrat Gereja. Galileo menyusun sebuah pembelaan utama dari teori Copernicus tentang Sistem Tata Surya. Pandangan Galileo pada awalnya diterima dengan simpatik dalam lingkaran para senior gereja, di mana secara terpisah pada kenyataannya ia mendapat kehormatan besar dari seorang favorit Paus, yaitu Giovanni Ciampoli. Jatuhnya Cimpoli dari kekuasaan mengakibatkan Galileo kehilangan dukungan dalam lingkaran orang-orang Paus, dan dipandang sebagai terbukanya jalan penghukuman atas Galileo oleh musuh-musuhnya.
Walaupun kontroversi berpusat pada Galileo, namun seringkali digambarkan sebagai pertengkaran antara ilmu pengetahuan vs agama, atau libertarianisme vs otoritarianisme, isu yang sesungguhnya adalah lebih mempersoalkan tafsiran yang benar atas Alkitab. Hal yang menarik dari poin ini adalah gagasan untuk menyembunyikan kesalahan para sejarawan di masa lalu untuk mengikat dengan isu-isu teologis (dan lebih tepat, hermeneutis) dalam debat. Sebagian, hal ini dapat dilihat sebagai usaha merefleksikan kenyataan bahwa banyak para terpelajar yang tertarik dalam kontroversi khusus ini adalah ilmuwan atau sejarawan ilmu, yang tidak terbiasa dengan keruwetan debat atas penafsiran biblis dari periode yang kompleks ini. Namun, jelaslah bahwa isu yang mendominasi diskusi antara Galileo dan para pengkritiknya adalah bagaimana menafsirkan perikop tertentu dari Alkitab. Isu akomodasi/penyesuaian ini merupakan hal utama yang penting pada debat itu, seperti yang kita akan lihat.
Untuk menggali poin ini, kita bisa beralih ke sebuah karya yang signifikan yang telah diterbitkan pada bulan Januari 1615. Dalam Lettera sopra l’opinione de’ Pittagorici e del Copernico (“Letter on the opinion of the Pythagoreans and Copernicus”), rahib Carmelit Paolo Antonio Foscarini berargumen bahwa model heliosentris tata surya tidak sesuai dengan Alkitab. Foscarini tidak mengenalkan beberapa prinsip barunya apa pun tentang penafsiran biblis dalam analisanya; namun lebih mengaplikasikan aturan-aturan tradisional penafsiran:

Ketika Kitab Suci mengacu sesuatu pada Allah atau pada ciptaan lain yang akibatnya akan menjadi tidak tepat dan tak dapat diukur, kemudian Kitab Suci itu seharusnya ditafsirkan dan dijelaskan dalam satu atau lebih cara berikut. Pertama, Kitab Suci dikaitkan secara metafor dan proporsional, atau dengan kiasan. Kedua, Kitab Suci ditulis menurut pola pemikiran, penangkapan, pemahaman, pengetahuan kita, dsb. Ketiga, Kitab Suci ditulis menurut pendapat yang terbuka dan cara umum berbicara.

Cara kedua dan ketiga yang Foscarini identifikasikan adalah dianggap secara umum sebagai tipe “Accomodation”(penyesuaian), model ketiga cara penafsiran biblis telah disebut di atas. Seperti yang telah kita lihat, pendekatan pada penafsiran biblis ini dapat dikenali jejaknya kembali pada abad-abad awal kekristenan, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang kontroversial.
Inovasi Foscarini tidak terletak pada metode penafsiran yang dia adopsi, melainkan dalam perikob biblis yang dia gunakan. Dengan kata lain, Foscarini menyarankan bahwa pada perikop-perikop khusus, yang banyak ditafsirkan secara literal pada poin ini, ditafsirkan dalam sebuah cara yang akomodatif. Perikop-perikop yang dia gunakan untuk pendekatan ini nampaknya mengatakan bahwa bumi masih sebagai pusat, dan mataharilah yang bergerak. Argumen Foscarini adalah:

Kitab Suci berbicara menurut pola pemahaman kita, dan menurut penampakan-penampakan, dan dalam rasa hormat pada kita. Oleh karena itu dikatakan bahwa benda-benda ini nampak dihubungkan pada kita dan digambarkan dengan pola pemikiran manusia yang umum dan terbuka, sebutlah, bumi nampak masih tetap berdiri dan tidak bergerak dan matahari nampak mengelilingi bumi. Dan di sinilah Kitab Suci membantu kita berbicara dengan cara yang terbuka dan biasa; karena dari pandangan kita sungguh nampak bahwa bumi memang sungguh-sungguh berdiri tetap di tengah dan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi, dari pada sebaliknya.

Perkembangan komitmen Galileo pada posisi Copernicus menuntunnya untuk mengambil sebuah pendekatan pada penfasiran biblis mirip seperti Foscarini.
Isu sesungguhnya adalah bagaimana menafsirkan Kitab Suci. Kritik Galileo mengatakan bahwa beberapaperikop kitab suci berseberangan dengan dia. Sebagai contoh, mereka mengatakan, Yosua 10:12 berbicara tentang berhentinya matahari atas perintah Yosua. Bukankah hal itu membuktikan bahwa-dengan melampaui keraguan rasional- mataharilah yang mengelilingi bumi? Dalam Letter to the Grand Countess Christina-nya, Galileo membalas dengan sebuah argumen bahwa hal ini secara sederhana merupakan cara umum berbicara. Yosua tidak dapat diharapkan mengetahui kerumitan mekanika angkasa, dan oleh karena itu menggunakan sebuah cara berbicara yang akomodatif.
Hukuman pejabat Gereja pada pandangan ini berdasarkan dua pertimbangan:
1. Kitab Suci ditafsirkan menurut “ makna yang tepat dari kata-kata””. Pendekatan akomodatif yang diambil oleh Foscarini kemudian ditolak karena Gereja saat itu lebih menggunakan pendekatan literal. Seperti telah kita tekankan, kedua metode penafsiran diterima sebagai yang sah, dan mempunyai sebuah sejarah yang panjang dalam teologi Kristiani. Debat berpusat pada pertanyaan yang tepat pada perikop yang dipertanyakan.
2. Kitab Suci ditafsirkan “menurut penafsiran dan pemahaman umum para Bapa-bapa Suci dan para teologan yang terpelajar.” Dengan kata lain, telah dikatakan bahwa tak seorang pun telah mengambil penafsiran Foscarini di masa lalu; oleh karena itu dihapuskan sebagai sebuah inovasi.

Karena itu, dua pertimbangan tersebut kemudian diikuti dengan penolakan terhadap inovasi Foscarini dan Galileo tanpa adanya keteladanan dalam pemikiran Kristen.
Poin kedua ini adalah yang terpenting, dan butuh diuji lebih hati-hati, dimana hal itu perlu dirancang untuk mengatasi debat yang lama dan pahit, yang telah terbakar selama abad ketujuh belas oleh Tiga Tahun Perang (1618-1648), antara Protestantisme dengan Katolisisme Roma melebihi apakah yang poin pertama itu sebuah inovasi atau sebuah pembaharuan keotentikan kekristenan. Gagasan dari tradisi Katolik yang tak dapat diubah menjadi sebuah unsur integral polemik Katolik Roma melawan Protestantisme. Seperti Jaques-Benigne Bossuer (1627-1704), salah satu dari pembela Katolisisme Roma yang paling hebat, mengatakan poin ini pada tahun 1688:

Pengajaran Gereja selalu sama … Injil tidak pernah berbeda dari sebelumnya. Di sinilah, jika suatu saat seseorang berkata bahwa iman melibatkan sesuatu yang kemarin tidak dikatakan menjadi bagian dari iman, Hal itu selalu heterodoksi, yang merupakan doktrin lain yang berbeda dari ortodoksi. Tidak ada kesulitan bagaimana mengenali doktrin palsu; tidak ada argumen tentangnya. Hal itu dikenali satu kali, kapan pun muncul, secara sederhana karena hal itu baru.

Argumen-argumen yang sama ini secara luas digunakan pada permulaan abad, dan secara jelas direfleksikan dan diwujudkan dalam kritik resmi Foscarini. Penafsiran yang dia tawarkan tak pernah ditawarkan sebelumnya—dan hal itu, karena alasan itu sendiri, adalah salah.
Oleh karena itu akan menjadi jelas bahwa debat kritis ini yang melebihi penafsiran Alkitab harus ditempatkan dalam konteks melawan sebuah latar belakang yang kompleks. Atmosfer tuntutan yang tinggi dan yang terpolitisasi saat itu secara serius merugikan debat teologis itu, karena takut bahwa kelonggaran dari beberapa pendekatan baru bisa dilihat sebagai sebuah kelonggaran tidak langsung dari klaim Protestan kepada legitimasi. Membiarkan bahwa ajaran Katolik Roma pada beberapa hal yang signifikan telah “berubah” secara potensial membuka pintu air yang tak terelakkan yang akan membawa pada tuntutan bagi pengakuan ortodoksi dari ajaran-ajaran sentral Protestan—ajaran-ajaran bahwa Gereja Katolik Roma telah mampu menolak apa yang disebut sebagai “inovasi” sampai pada poin ini.
Demikianlah bahwa pandangan Galileo akan bertemu dengan sebuah penolakan. Faktor kunci adalah bahwa dari inovasi teologis: untuk mengakui penafsiran Galileo atas beberapa pasal dalam Alkitab akan secara serius merusakkan penelitian-penelitian Katolik terhadap Protestantisme, yang melibatkan pernyataan tegas bahwa Protestantisme memperkenalkan (dan oleh karena itu salah) penafsiran-penafsiran baru atas beberapa pasal dalam Kitab Suci. Hanya persoalan waktu sajalah sebelum pandangan-pandangannya ditolak. Secara umum pandangannya disetujui bahwa reputasi positif Galileo dalam lingkaran eklesiastikal sampai sebuah tanggal akhir yang mengejutkan telah dikaitkan dengan relasinya yang dekat dengan favorit paus, yaitu Giovanni Ciampoli. Ketika Ciampoli jatuh dari kemuliaan di musim semi tahun 1632, Galileo mengetahui posisinya secara serius lemah, barangkali pada poin di mana secara fatal berbahaya. Tanpa perlindungan Ciampoli, Galileo mudah diserang pada pernyataan “bidaah melalui novasi” yang menumbangkan dia dengan kritik-kritiknya.
Kontroversi yang berpusat pada Galileo seringkali digambarkan dalam sebuah bentuk yang terlalu sederhana dalam buku-buku, secara khusus sebagai sebuah contoh “ilmu pengetahuan melawan agama”. Sebagaimana studi kasus ini akan jelas , isu-isu tersebut jauh lebih komplek dari pada penyederhanaan tersebut. Kontroversi harus ditempatkan dalam konteks melawan sebuah latar belakang pengadilan politik, ketidakcocokan pribadi, dan sebuah perjuangan garang pada sisi gereja Katolik untuk mempertahankan dirinya melawan Protestantisme—seperti halnya sebuah usaha murni untuk memahami Alkitab secara benar!




Rasul Paulus dan Struktur Jemaat Paulus


Oleh Vico SJ

Peristiwa babtisan Kornelius, seorang kapten Romawi dan keluarganya oleh Petrus adalah titik balik tumbuhnya pemahaman dalam diri orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem bahwa kabar keselamatan dalam diri Yesus harus diwartakan juga ke bangsa-bangsa lain nonYahudi. Pemahaman ini dirangsang oleh banyaknya orang-orang Yunani di Antiokia yang percaya dan menerima pemberitaan tentang Yesus oleh jemaat Kristen Yahudi Diaspora dari Siprus dan Sirenaika yang telah meninggalkan Yerusalem sejak pembunuhan Stefanus dan menetap di sana. Oleh karena itu, berdasarkan kesuksesan itu, dimulailah kegiatan misioner dengan mengutus Barnabas untuk melihat sendiri perkembangan Gereja di Antiokia. Di sana, ia menerima masuknya orang-orang Yunani tersebut ke pangkuan Gereja; dan bersamaan dengan itu ia melihat secara jelas bahwa untuk memberitakan Kerajaan Allah di tempat itu dibutuhkan keberanian dan semangat luar biasa yang terdapat dalam diri Paulus—Saulus bertobat—dari Tarsus yang telah mengenal dengan baik peradaban Helenis.
Paulus sendiri lahir di Tarsus di Kilikia tempat komunitas Yahudi diaspora tinggal. Ayahnya memiliki kewarganegaraan Romawi yang kelak berguna bagi Paulus sebagai previlese seorang warga negara Romawi. Selain itu, sejak kecil ia sudah terbiasa dan mengenal budaya Helenis terutama bahasa Yunani, yaitu Koine yang telah dikuasainya. Melalui keluarganya, ia semakin diyakinkan pada agama dan tradisi Yahudi. Mungkin sebelum saat kematian Yesus, ia telah dididik sebagai guru Hukum di sekolah Farisi Gamaliel di Yerusalem. Di sana ia telah mendengar sepak terjang para murid Yesus yang mewartakan kebangkitan Yesus. Oleh karena itu, bergabunglah ia dengan orang-orang Yahudi yang hendak mengejar dan membunuh orang-orang kristen, termasuk ketika ia menyaksikan pembunuhan seorang diakon, Stefanus.
Pencerahan dan perubahan radikal Paulus menjadi pengikut Yesus bermula dari penampakan Yesus yang ditemuinya ketika ia sedang dalam perjalanan ke Damaskus untuk mengejar orang-orang kristen di sana. Menurut pengakuannya, saat itu ia terpanggil menjadi seorang rasul. Segera setelah dibabtis, ia pergi ke Nabatean di Arab selama beberapa waktu lamanya. Setelah itu, di Damaskus dan Yerusalem, ia memberitakan Yesus sebagai Sang Mesias dan Putra Allah. Akibatnya, ia memperoleh perlawanan yang sangat kuat dari kaum Yahudi dan mereka hendak membunuhnya. Lalu, Paulus menarik diri ke Tarsus.
Sejak itu, Paulus mengetahui bahwa ia terpanggil untuk memberitakan Injil kepada kaum non-Yahudi, yaitu di daerah kekaisaran Romawi. Misi Paulus terbagi dalam tiga fase. Fase pertama adalah di Ibu Kota Siria, Antiokia dimana telah tumbuh jemaat kristen di sana. Bersama Barnabas dan Yohanes Markus, ia memulai misi awalnya di sinagoga-sinagoga tempat berlangsungnya pertemuan keagamaan kaum Yahudi dan juga bekas orang nonYahudi yang telah bergabung dengan mereka sebagai pemeluk agama baru. Di sana ia mengalami banyak penolakan dari kaum Yahudi. Namun, tetap ada yang menerima pemberitaannya tentang Injil Yesus Kristus dari kalangan nonYahudi.
Pada fase ini, Paulus tidak mewajibkan kaum Kristen non-Yahudi mematuhi hukum dan tradisi Yahudi, yaitu sunat. Menurutnya, kepercayaan dalam Kristus menandai berakhirnya kewajiban-kewajiban di bawah Hukum Lama (The Old Law). Meskipun pendiriannya ini ditentang keras oleh kaum sayap kiri Kristen Yahudi, dalam suatu pertemuan di Yerusalem para Rasul mengakui pendiriannya. Namun, persoalan sunat atau tidak disunatnya kaum Kristen nonYahudi tetap menjadi bahan perdebatan di kalangan Kristen Yahudi. Hal ini nampak pada sikap Petrus yang masih berpihak pada kaum Kristen Yahudi yang bersunat.
Fase kedua adalah di daerah sekitar provinsi Makedonia, Akaea, dan Prokonsulat Asia yang merupakan pusat kebudayaan Helenis. Paulus, pada periode kedua ini ditemani oleh Silas dan Timotius. Kota-kota yang mereka singgahi adalah Filipi, Yunani, Tesalonika, Beroea, Atena, dan Korintus. Di Filipi, Paulus segera memperoleh pengikut yang membentuk inti dari apa yang nantinya menjadi komunitas subur. Di Yunani, Paulus masih menggunakan metode yang lama dalam misinya. Di Tesalonika, Beroea, Atena, dan Korintus, sinagoga-sinagoga merupakan tempat kotbahnya untuk memberitakan Yesus Sang Mesias. Di dua kota pertama, Paulus membentuk jemaat yang terdiri dari kaum Yahudi dan nonYahudi. Namun, ia mendapat banyak penolakan dan penyiksaan dari kaum Yahudi di sana. Di Atena, kesuksesannya kecil; di Korintus hanya sedikit kaum Yahudi yang menerima Injil, namun dari kaum nonYahudi banyak yang mendengarkannya. Di kota itu, Paulus mendapat perlawanan dari kaum Yahudi yang memperkarakannya di hadapan prokonsul Roma Gallio. Tapi Gallio menolak tuduhan kaum Yahudi terhadap Paulus; segera sesudahnya, bersama pasangan Yahudi Aquila dan Priscilla ia pergi ke Efesus di Asia Kecil.
Fase ketiga berpusat di Efesus. Di Efesus inilah, Paulus selain meraih banyak kesuksesan juga mendapatkan banyak kesulitan baik dari kaum Yahudi maupun dari nonYahudi. Pada masa ini, Paulus menulis surat pada jemaat di Korintus dan Galatia. Pada masa ini pula dia merasa perlu kembali ke Yerusalem untuk memenuhi tanggung jawabnya memberikan uang hasil pengumpulannya selama di tanah misi kepada jemaat miskin di Yerusalem. Selama di Yerusalem, dia hampir dibunuh oleh kaum Yahudi diaspora yang telah mengenalnya. Berkat bantuan tentara Romawi yang melindunginya karena ia berbahasa Yunani dengan baik, ia dibawa ke Gubernur Kaesarea. Dari sana para serdadu Romawi membawanya ke Roma karena Paulus minta naik banding ke Kaisar; selain itu ia ingin kasusnya di dengar di Roma. Dengan demikian, sampailah Injil ke Ibu Kota Kerajaan Roma.
Adanya suatu kelembagaan dalam jemaat Paulus membuktikan bahwa lembaga tersebut diatur dan ditetapkan oleh hidup keagamaan jemaatnya yang tidak lepas dari karya Roh Kudus. Inilah yang menyebabkan Gereja muda terus bertumbuh dan berkembang. Demikianlah, masing-masing anggota jemaat dipanggil oleh Roh Kudus untuk melakukan tugas-tugas khusus demi mengembangkan Gereja. Paulus yang merasa sebagai hamba dari hamba Yesus Kristus merasa dikuatkan dengan kekuatan dan otoritas penuh untuk mengikat mereka, memberikan petunjuk beribadah kepada Allah dan sikap moral dari orang beriman.
Ada beberapa ciri khas dalam lembaga jemaat Paulus, yaitu pertama adalah tugas khusus dalam jemaat Paulus bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi anggota susunan hirarkis seperti merawat orang-orang miskin dan memimpin ibadat. Mereka diantaranya adalah Para Uskup dan para Tua-tua yang telah ditahbiskan Paulus dengan menumpangkan tangannya di atas kepala mereka. Tugas mereka adalah sebagai pengawas untuk mengatur Gereja Allah, sebagai gembala dari domba-domba. Kedua, anugerah karismatis dalam jemaat Paulus yang fungsinya secara hakiki berbeda. Anugerah ini diberikan kepada orang-orang yang Roh Kudus sendiri kehendaki. Jadi, anugerah tersebut tidak terikat secara tetap pada pribadi tertentu dan bukan hal yang perlu bagi keberadaan komunitas. Ketiga, Ada kesadaran dalam setiap anggota jemaat Paulus bahwa mereka yang telah dibabtis adalah ”Israel milik Allah” (the Israel of God) yang telah disatukan dalam satu tubuh, baik Gereja Kristen Yahudi maupun Gereja Kristen non-Yahudi. Kesadaran inilah yang memungkinkan terjadinya penyebaran kekristenan di dunia non-Yahudi.
Ada beberapa ciri khas hidup keagamaan jemaat Paulus, yaitu pertama keyakinan akan kebangkitan Tuhan yang merupakan inti dasar keyakinan mereka; kedua, babtisan merupakan syarat masuk ke dalam jemaat Paulus. Dengan babtisan, ’manusia lama’ jemaat dikuburkan bersama kematian Yesus dan lahir kembali bersama kebangkitan Kristus sebagai ’manusia baru’. Ketiga, peribadatan jemaat dilakukan secara komunal di suatu tempat milik jemaat yang kaya setiap hari pertama dalam minggu. Dalam Ibadat itu diperkenalkan lagu-lagu pujian, hymne, dan mazmur. Ibadat ini dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Bapa atas semua hal dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Keempat, titik pusat dan puncak perayaan adalah perayaan Ekaristi. Bagi jemaat, perayaan Ekaristi mengkonfirmasikan mereka pada ikatan mereka secara langsung dengan Tuhan Surgawi. Oleh karena itu, perayaan Ekarsiti dirayakan dengan gembira dan penuh rasa syukur. Kelima, pertemuan jemaat juga merupakan tempat dimana ”keselamatan diwartakan”. Jadi, kegiatan berkotbah yang mengacu pada perikop Kitab Suci yang berkaitan dengan keselamatan dan diturunkan dari keyakinan mereka akan Kristus mendapat tempat utama dan penting dalam jemaat Paulus. Keenam, realisasi dari hidup keagamaan yang ideal ini mendapat tantangan dan kesulitannya dari budaya dunia nonYahudi yang tertanam dalam keluarga-keluarga Kristen nonYahudi. Seringkali budaya tersebut berlawanan dengan tuntutan moral Kristiani yang monoteistik dan hukum moral Yahudi. Bahwa ada beberapa anggota jemaat yang gagal untuk menghidupi hidup baru ini dapat dilihat dari peringatan yang tak kenal lelah dari surat rasul Paulus. Akhirnya, keberlanjutan jemaat pada jaman berikutnya adalah berkat kekuatan moral dimana Injil telah berkembang di daerah-daerah misi Paulus. Berkat benih-benih yang ditanamkan Paulus melalui kotbah-kotbahnya, dunia Helenis terbungkus oleh jaringan sel-sel Kristiani.

---oo0oo---

Sejarah Di Dalam Norma Kristus Raja

Oleh Vico SJ

Titik sentral dari sejarah adalah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Yesus telah digambarkan dalam realitas historisnya, dalam gerakan di mana ia melibatkan sandaran sejarah dalam diriNya sebagai perkiraan yang perlu bagi eksistensi historisnya sendiri, dan akhirnya dalam kualitasnya sebagai norma dari sandaran sejarah. (the rest of history). Sejarah, sejauh seperti menemukan pembenarannya dalam Yesus, berdiri melawanNya sebagai sebuah subjek yang membedakan dri dariNya: individual, subjek personal; subjek kolektif—Gereja, dan akhirnya sejarah dunia sebagai sebuah keseluruhan. Tetapi, jelaslah bahwa tidak ada pemisahan atau perlawanan yang utuh. Orang-orang beriman, Gereja hidup dari kehidupan Tuhan mereka. Iman, harapan dan kasih adalah hidup Kristus yang menjelma dalam anggota-anggotanya. Gereja sebagai sebuah keseluruhan tidak direncanakan melawanNya sebagai subjek lain, dia adalah tubuhNya, dijiwai dan diatur oleh Roh-Nya. Begitu juga seluruh sejarah ras umat manusia yang diubah ke dalam seluruh kodratnya oleh kesatuan hypostatic, tidak dapat berdiri bertentangan denagn Kristus sebagai berdiri sendiri dariNya.
Namun, penyelesaian makna sejarah dalam Kristus tidak dapat dipahami walau kodrat yang tercipta tidak mempunyai di dalamnya makna imanen, inteligibilitas, eidos, dari dirinya sendiri, tetapi hanya di dalam Krsitus. Kecuali peristiwa Inkarnasi melibatkan penerimaan sebuah hakikat imanen yang dikover dengan tindakan penciptaan dan tidak mampu disesatkan atau dihilangkan, mungkin tidak ada inkarnasi yang sesungguhnya, tidak ada kemungkinan Allah menjadi manusia dan menjadi sejarah.
Ketika Putra Raja akhirnya muncul, yang didahului oleh banyak pembawa pesan dan hamba yang mengumumkan dan menyiapkan kedatanganNya, dia terikat, sesuai dengan tingkat kerajaanNya, untuk memperlihatkan diriNya sendiri semua perbedaan dalam mengemban dan bersikap dari pendahulunya. Di sini Kristus tidak perlu memisahkan diriNya; kualitas jarak adalah sesuatu yang merupakan milikNya dan mengiringiNya. Dia bersikap cukup berbeda dari para pejabat; dia mempunyai cara meninggalkan mereka secara ramah yang mengagumkan, dimana mereka mempunyai fungsi-fungsi yang cukup terpercaya, dia sendiri hanya mengerjakan hal yang megah dimana dirinya sendiri adalah seorang pribadi.
Tindakan dalam pesta, peristiwa ajaib di tengahnya, tergantung secara sederhana dan semata-mata pada penampilannya dan karakter wibawa dari seorang Raja. Tak seorang pun dapat memperkirakan bagaimana ia akan bertindak. Dia sendiri adalah etiketnya sendiri. Dalam apa yang dia kerjakan dan tidak dia kerjakan, dia adalah tetap seorang Raja, di sinilah pikiran dan tindakan-tindakannya takterprediksi bagi siapa pun. Namun, sekali mereka (tindakan-tindakan itu) dikerjakan mereka mempunyai kekuatan untuk menempelkan tanda gambaran mereka pada yang lain.


Ketegangan dalam Eidos dan Keadaan Hidup dalam Gereja
Garis ciptaan dari para anggota diberi tekanan khusus oleh ada-an mereka yang dinaikkan oleh keilahian kepala (lihat John 3:31-32):
“Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya.Ia memberi kesaksian tentang apa yang dilihat-Nya dan yang didengar-Nya”
Karakter manusia “di bawah” yang kemudian ditinggikan dan sitekankan membutuhkan pengingkaran diri untuk membawa kesaksian dan membiarkan eidos-nya ditaril pada pengalaman kepala yang transenden. Hasilnya adalah sebuah metamorfosa dalam eidos sendiri, yaitu pertama, eidos yang masih di dunia tetapi dengan sebuah hubungan pada makna akhir yang ada dalam Kristus. Kedua, eidos yang ditinggikan dan diubah kedalam keunikan.
Jadi sejalan dengan Kristus sendiri, semua benda di dunia ini dibuat secara keseluruhan sebuah funhsi keunikan. Dalam hal ini tidak dapat direduksi tetapi harus digambarkan dalam struktur Gereja Krsitus yang nampak: sebagai “keadan religius” Kristen dan “keadaan dunia” kristen. Keduanya saling tergantung, yaitu saling hadir bagi yang lain dan dengan yang lain, masing-masing melibatkan makna yang lain dalam kasih Kristus, walau mereka tidak identik.
Relasi mutual ini perlu diperhatikan hasilnya sejauh dibuat niscaya secara mutlak oleh sebuah teologi sejarah. Eksistensi kekristenan dan kesejarahan kita dapat dianalisa dalam dua pola, yaitu pertama, sebagai eksistensi “election” (pilihan), yaitu memasrahkan eidos kita pada tanan Krsitus yang mampu mengubah dan menerimanya kembali dalam bentukmisi kita dan tugas-tugas untuk kerajaan Allah di dunia ini. Kedua, eksistensi yang sadar akan keterciptaan eidosnya, tetapi membiarkan dibentuk pada pemenuhan dalam Kristus. Namun, keduanya tidak boleh menyebabkan sebuah keterpisahan atau sebuah pembagian dalam kesatuan eksistensi kekristenan dalam iman, harapan, dan kasih. Jadi, bentuk roh adikodrati harus menjiwai keadaan dunia (1 Kor 7:29-31). Dua keadaan tersebut secara niscaya dalam kesatuan eksistensial dengan yang lain juga. Mereka adalah subjek huibungan anggota dari Pauline dengan fungsi berbeda dan karena anggota adalah pribadi-pribadi, mereka berpartisipasi juga dalam hukum surgawi

Eidos dalam Transendensi: Suatu Keadaan Religius
Aspek transenden yang terungkap dalam adalah, pertama, tindakan dasar kekristenan dari iman, kasih dan harapan (the fundamental Christian act of faith, lve, and hope), kedua, dalam Gereja oleh “ the state of Christian Perfection “ (keadaan kesempurnaan kekristenana). Kodrat manusia disentuh oleh rahmat Krsitus dalam keunikannya dan dibebaskan --dari dosa dan kondisi kedosaan manusia dalam lingkaran hidup dan mati –ke dalam panggilan kemuridan disatukan sebagai murid dan pengantara dalam persatuannmisteri Kristus: Salib dan Kebangkitan. Maka, manusia harus mengesampingkan bentuk eksistensi mereka dengan mengikuti jejak Kristus, hidup seperti Dia dalam jamannya, yaitu terbuka, mempercayai, tanpa kekawatiran, tanpa rencana, tanap melakukan antisipasi kehendak Allah, tetapi mempercayai, bekerja dan mengasihi Allah dan manusia. Hidup dalam jaman kita, harus berjaga-jaga, membaca tanda-tanda jaman dan pesan-pesan mereka, menerima isi dan makna hidupnya, tepatnya menerima jamannya sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu, manusia tahu bahwa konteks satu-satunya adalah bahwa patahnya keberadaan manusia terbuka terhadap Allah, yaitu dengan iman dan doa. Hanya dengan sikap demikian misi dipercayakan, dan dengan demikian rahmat misi menyediakan makna yang penuh dan melimpah bagi setiap penggantian “historical Now”.
Keterbukaan inilah yang membuat kekristenan tetap hidup. Dengan demikian kekristenan mampu menerima kebenaran yang baru dari Allah tanpa dibatasi oleh pola dan prasangka, spiritual dan keduniawian yang merupakan produk masa lalu dan yang walau dibenarkan kemudian, tidak tepat dalam bentuk yang sama dalam zaman ini. Relasi Gereja dan kekristenan dengan dijiwai hidup Sang Putera harus menyerupai relasi Anak dengan Kehendak Bapa,yaitu dalam salah satu konsepsi dan kefemininitasan. Penaburan benih Allah dalam rahim dunia adalah apa yang terjadi dalam ruang sejarah yang terdalam. Tetapi, ‘ngemong’ dan mempercayai menembpati penyerahan diri yang rapuh. Melimpahnya setiap macam perhitungan adalah sebuah gambaran yang esensial dari kepenuhan waktu (the fullness of time). Di pusat alam maskulin terdapat sebuah misteri feminini yang tersembunyi yang bahkan kebijaksanaan dunia ini selalu dikenal sebagai “inspiration” oleh Roh Ilahi yang ada dalam isi hati. Pikiran manusia dapat hanya mengalami di hati budi bahwa terletak misteri kepengantinan.
Pada tingkat kodrat, misteri ini menampakkan sebagai a privilege peculiar (sebuah keistimewaan yang khusus) seperti nampak pada seniman-seniman. Privilise khusus ini dipenuhi oleh kehadiran adikodrati, karen apersatuan tubuh kemanusiaan dengan Allah yang menghadirkannya telah digambarkan pada kita dalam istilah “eros” sebagai pemenuhan dari apa yang nampak dari nyantian telah merauakan lama sebelumnya, yakni eksistensi sebagai sebuah keadaan menikah. Gereja danjiwa tidak dapat melakukan apa pun tetapu menunggunya adlam keterbuakaan dan kesiapsediaan feminin. Keadaan yang tidak mengetahui inilah yang merupakan dasar yang perlu bagi apa pun yang dapat menghargai nama gnosis atau pengetahuan kristen.
Isteri dalam realsi isteri dan suami merupakan tubuh perlindungan dan rahi bagi laki-laki secara fisik. Sedangkan suami merupakan rahim dari kerohanian isterinya siemana itu tunggal dan mengembangkan gambaran dari hakekatnya yang sebenarnya. Demikian pula kekeristenan dan Gereja mencapai hakekat sejati mereka, eidos mereka yang sudah ada dalam Kristus sebagai Sang Pengantin Pria, sejauh mereka menerima dan menjaga dalam hati mereka kehendak Bapa, benih dari Sabda Inkarnasi. Benih rahmat meruoakan benih misi dan merupakan benih formasi dan perkembangan. Hanya dalam konteks diutus dalam sebuah misi, setuap peristiwa dapat akhirnya dimatangkan dalam sebuah kemiripan yang utuh antara apa yang dikehendaki dari kita dan apa yang kita atur untuk dilakukan. Kegiatan menyetujui apa yang Allah kehendaki bagi sejarah dunia merupakan inti yang membuat sejarah terjadi.
Ketersembunyian kebenaran yang paling dalam ini bagaimana pun juga tidak tanpa kesaksian yang nyata. Semakin manusia berusaha menggantikan atau menyatukan rahmat eidosnya dengan beberapa eidos yang diciptakan atau ditemukan oleh dirinya sendiri, orang yang lemah, pucat dan banyak hal negatif menjadi apa yang dia buat bagi hidupnya. Sedikitnya apa yang membentuk di dunia ini bertumbuh dari pola dasar dari Yesus Kristus, semakin hal itu terdiri dari “kayu, rumput kering, dan jerami, yang akan dihancurkan dalam pengadilan eskatologis (1 Kor 3:12-13). Mengingat semakin seorang manusia menyerahkan diri kepada Allah, semakin kurang dia mengantisipasi dirinya sendiri, yang dalam kenyataan, dia hidup in time (dalam jamannya),semakin tepat gambaran-gambaran yang eksistensinya dia bawa dalam jamannya, gambaran-gambaran tersebut begitu memuaskan, begitu kaya dalam kekuatan simbol bahwa mereka melampaui segala sesuatu yang dapat dihasilkan oleh pembentukan dan pengembangan diri. Jadi, tak ada sesuatu pun dalam segala bidang sejarah yang lebih valid dari pada seluruh pola kehidupan Maria: pertemuannya dengan malaikat, pertunangannya dengan Yosef, kelahiran, kepergian, kehidupan yang tersembunyi, Kana, penolakan, salib dan turunnya dari salib, paskah dan pentakosta, kehidupan tersembunyi bersama Yohanes. Masing-masing situasi ini adalah sejarah pada pemenuhannya yang paling penuh. Setiap gamabran di atas adalah cerminan dari totalitas pribadi yang terpenuhi dari kehidupannya sendiri. Tugasnya secara sederhana penyerahan total. Tetapi bahwa persembahannya kemudian terukti menjadi satu dan satu-satunya bahan berharga yang dibentuk oleh tangan Allah menjadi sebuah bentuk yang melampaui segala macam pengambaran.
Penyerahan Maria, yang terindikasi di sini sebagai contoh utama yang ada dari Kristen sejati dan sikap manusia di hadapan Allah, adalah tanpa sebuah jejak kepasifan atau pasrah belaka. Sebaliknya, penyerahan Maria mengundang partisipasi aktif kekuatan manusia yang tersatukan, sebuah usaha penuh hati untuk membuang segalas sesuatu yang dapat meracuni kemurnian dari penerima pertama pesan dan substansi ilahi, dan kemudian menghidupinya. Pemenang sesungguhnya adalah mereka yang bertekun dalam usaha ini sampai akhir. Yohanes tak henti-hentinya berbicara tentang “abiding” suatu kekekalan, tak kunjung padam baik dalam kesabaran, tak tergoncangkan oleh hasrat ketidaksabaran karena tindakan atau penderitaan yang lain, tidak terganggunya dengan semua hal yang tidak tertanggungkan dimana dunia sedemikian adanya, dan hanya ditinggikan, dikuatkan, dan dikeraskan oleh harapan doa yang tidak sabar: “Datanglah cepat!” (Why 22:20); sebuah “abiding” yang melibatkan segala kekuatan kreatif unik manusia: kekuatannya untuk menghasilkan, untuk menciptakan, kegeniusan dalam teknik dan seni. Ketekunan eskatologis inilah yang memberi umat manusia tanda dan bentuk ciptaannya. Di sinilah pola dari segala sesuatu yang harus mengorganisasikan kehidupan setiap orang beriman, yang perlu untuk diungkapkan dalam “ keadaan rohani” dalam Gereja. Mereka yang menarik diri sampai ke ketinggian untuk berpuasa dan berdoa adalah pilar yang membawa bobot rohani dari apa yang terjadi dalam sejarah. Mereka berbagi dalam keunikan Kristus, dalam kebebasan bahwa kaum bangsawan yang dilindungi dari atas; yang tenang, kebebasan yang belum dibelenggu yang tak dapat dikurung dan digunakan begitu saja. bagaimanapun para asketis Kristen bergandengan tangan dengan Kristen yang tugasnya membangun dunia. Untuk apakah berdoa atau bertindak dia dikirim bersama Krsitus ke dunia dan dia ada di jalannya yang terikat dalam misinya. Inilah yang membedakan dia secara radikal dari mistik dan rahib agama-agama Asia yang memutar kembali dirinya ke sejarah.
Sebuah kepemilikan sampai akhir (a longing for the end), kepemilikan eskatologis (eschatological longing) akan berubah pada kemalasan, jika kepemilikan tersebut tidak memposisikan dirinya dibawah semua energi kerja manusia, semua rencananya dan rancangannya—seperti mistisisme pasif menjadi quietisme jika tidak membuktikan dirinya dalam tindakan, dan jika tidak, sesungguhnya memperoleh kekuatan-kekuatan aktif dalam pelayanan penyerahan diri pasif. Puncak sejarah yang di dalam Kerajaan Kristus, memuncak mengatasi semua situasi umat manusia adalah penting berlanjut dengan pendasarannya, yang menutupi keluasan yang penuh dari semua situasi-situasi tersebut, dengan segala faktor historis, sosiologis, dan psikologis yang mendasari mereka. Makna sejarah harus muncul dari kesatuan apa yang Allah tentukan untuknya dengan garis perkembangan interiornya sendiri. Makna sejarah yang imanen tersebut, diturunkan dari kodrat yang tercipta dan tak dapat dipisahkan darinya, sekarang mengundang ujian. Setelah itu, kita mesti membawanya ke dalam sebuah kesatuan tunggal dengan makna pola adikodrati.

Eidos dalam Imanensi:
Suatu Keadaan Awam; Kemajuan, Vertikal dan Horisontal
Struktur hakiki dari keberadaan manusia adalah digambarkan oleh Plato sebagai sebuah tegangan antara latar belakang keabadian dan latar depan kefanaan, mengingat titk tolak dari eksistensi kita dalam waktu melibatkan sebuah keterasingan dari sumber kita dan sebuah usaha melupakan dari latar belakang kita yang sejati, jalan bahwa eksistensi seharusnya terdiri dalam pembentukan ke dalam dan sebuah hasrat menaiki tanah dan sumber mengada-nya kita. Di sisi lain, Aristoteles memasukkan cerita mythico-historis tentang segala sesuatu ke dalam tegangan ontologis antara dynamis dan energeia. Keduanya berusaha memperlihatkan bahwa eksistensi tidak dapat ditafsirkan terpisah dari beberapa konsep kemajuan. Plato menggunakan kemajuan duniawi mulai dari rumah surgawi, asal kita, tetapi kemudian tidak meninggalkan satu ruangpun bagi “evolusi”; sementara Aristoteles berpegang kuat pada gagasan evolusi dalam tegangan komplek antara potensi dan aktus ke dalam mana mereka muncul, tetapi kemudian pergi dari teka-teki yang terdapat di dalam titik tolaknya.
Tidaklah mungkin untuk tidak mengambil jalan pada konsep kemajuan ketika berusaha untuk menafsirkan struktur historis temporal yang disebut “manusia”; segalanya bahwa bahkan mereka yang paling anti-kemajuan dalam penafsiran mengambil apa yang orang0orang Yunani dan setelah mereka adalah kaum idealis, melihat sebagai sebuah “proses” aktualisasi dan kemudian menerobos dan meradikalkannya ke dalam sebuah “ lompatan/langkah”, sebuah “keputusan”; keluar dari kemungkinan (=aesthetic) ke dalam kenyataan (=ethical) dengan Kierkegaard; atau keluar dari ketidakrealitasannya pelupaan Platonis ke dalam realitas keterbukaan menuju yang ada, dengan Heidegger. Tetapi selalu ada sebuah langkah, sebuah gerakan maju: makna, “sense”, terdiri dari perjalanan, berjuang untuk, seperti waktu “bergerak menurut jalan jam” sama seperti tangan yang bergerak. Satu-satunya pertanyaan adalah apa itu penginderaan atas segala sesuatu yang menghasilkan pengalaman kepada kita? Jalannya terbatas; apakah jalan ini hanya memimpin ke kematian? Dan jika makna harus takdibatasi, bagaimana jalan itu mengandung jalan yang terbatas? Makna yang terletak dalam pergerakan waktu masih meninggalkan ambiguitas.
Ambiguitas ini dalam makna kemajuan menghalangi perkembangan dalam pemikiran pra-Kristen tentang penafsiran sejarah yang cermat menurut kategori proses. Dasar gagasan Platonis tentang hubungan antara jatuhnya manusia dari dan kembali ke asalnya adalah lebih mendekati sebuah kata rekaan tentang penafsiran umum tentang mistis, politis, dan religius terhadap perkembangan kebudayaan yang lebih awal. Sebuah pergerakan kemajuan dari bumi ke langit, dari pokok permasalahan kematian menuju ke pertalian dengan dewa-dewa; menciptakan gambaran manusia sebagai orang yang beralih dari horisontal, tingkat binatang ke dunia yang sangat halus di atas: merupakan pengalaman dasar dari kebudayaan yang tinggi selama dua atau tiga milenium sebelum Kristus. Kemenangan duniawi dan pencapaian direkam hanya sebagai konfirmasi dari kemurahan Ilahi.
Pengalaman biblis memiliki konteks periode penentuan ini, pemecahan atau penemuan yang tak dapat kembali dalam jalan alami sejarah: jaspers menyebutnya momen aksial dalam sejarah dunia, karena segala sesuatu sebelumnya terletak di bawah horison pemecahan tersebut, dan segala sesuatu yang mengikuti adalah sebuah konsekuensi darinya yang sederhana. Namun, pengalaman biblis merupakan yang pertama kali membelokkan penafsiran vertikal sehingga nampak bertepatan dengan horisontal. Allah ditunggu dalam sejarah. Dia akan datang dan mengadili bumi dan segala yang ambigu akan menjadi jelas. Dynamis-nya orang Yahudi diarahkan ke sebuah masa depan yang mengandung kemutlakan, dan dalam segala usaha mereka, bahkan setelah Kristus, ada sesuatu yang merupakan karakter absolut.
Dalam periode waktu yang sangat pendek, Yahweh telah membangkitkan umatNya, Israel dari tingkat standard mitos Ketimuran ke tingkat tertinggi dari semua konsep-konsep universal, inkarnasi Putera Allah. Satu hal yang menjadi fokus mereka adalah satu hal yang unik yang mengubah mereka seluruhnya. Israel tidak menaiki tangga kemajuannya sendiri, ia ditarik ke atas dengan bertentangan dengan kehendaknya, oleh rambut kepalanya, berjuang lebih dan lebih keras. Di setiap langkah ia kehilangan sesuatu pada Allah, sampai pada akhirnya ia kehilangan seluruh substansinya, untuk memasuki tanah terjanji Kristus yang sejati hanya sebagai seorang “sisa bekas”. Kristus sebagai Yang Terpilih secara unik oleh Bapa, membawa beban penolakan manusia bahwa dia sekali lagi membalikkan jalan atau arah, membuang jelaga untuk kebaikan dan semua, dan membebaskan pertama kali mereka yang tidak terpilih, bangsa kaum pagan, kaum kafir, dan kemudian secara eskatologis yang terpilih pertama, persediaan kudus juga.
tahap Perjanjian Lama, yang dari iman Abraham melalui Hukum yang diberikan ke pada orang oleh Musa, kepada pengadilan yang berkarisma dan Raja dan Nabi, merupakan tahap dimana wahyu diiternalisasikan dan ditubuhkan ke dalam manusia. Dan sebagai Allah masuk lebih jauh lagi dan jauh bersama manusia, manusia yang dipaksa oleh rahmat untuk memenuhi dan bersatu ke dalam diri sendiri yang kebenaran utama yang tela tertulis ke dalam sejarah orang Israel. Namun, dosa yang mulai sebagai sebuah pelanggaran eksternal, yang dapat secara legal disingkirkan, menjadi sebuah pengalaman perubahan batin bukan kepalang yang pada pokoknya hanya “ Hamba Allah” yang dapat bertobat.
Gambaran tentang Hamba, gambaran tentang Yang Tersalib siap mulai nampak. Dari puncak jaman kenabian, seseorang dapat melihat ke belakang di saat orang-orang mengambil kepemilikan atas tanah terjanji: melihat ke belakang di saat: hari masa mudanya” (Hos 2:15), ketika “Israel masih seorang anak kecil” (Ps 78, 105, 106), tetapi melihat juga dosa-dosa masa lalu. Tahap demi tahap orang-orang kudus telah menyusuri jalan perziarahan yang memimpin ke arah Kota Kudus, diiringi musik dari beberapa mazmur, dipimpin oleh Roh Kudus melalui pengalaman temporal, historis, manusia untuk menemukan diri mereka sendiri di akhir jalan di mana mendekati akhir, mendirkan Qumran, jalan yang membawa pada Elizabet dan Yohanes, kepada Yosef dan Maria dan anaknya.
Sejarah Israel adalah unik karena merupakan pra-historis Kristus yang unik. Kristus membutuhkan pra-historis ini untuk menjadi sejarah yang sesungguhnya. Tetapi Dia dapat hanya menyatukan sejarah ke dalam eksistensiNya sendiri sejauh sejarah itu pada hakikatnya merpakan sejarah yang suci-bagaimanapun juga banyak pendosa telah termasuk di dalamya. Karena Dia baik Allah dan manusia, bukti dari misi keilahiannya harus horisontal dan vertikal. Menjadi seorang Yahudi, putera Abraham, membawa dampak secara logisnya, membuat lompatan ke Kristus. Janji dan pemenuhan membentuk sebuah sejarah diptych yang terbuka pada macam-macam orang untuk membaca dan membandingkan, dan mengandung dua unsur dasar dalam keseluruhan. Sejarah: yang Goethe sebut” Polarity” (polaritas) dan “ascent” (kenaikan). Sebuah polaritas dalam dunia ini dan apda sat ayng sana sebuah terjal naik dari dunia ke Allah ; tetapi kenaikan ini oleh seni dari dunia arsitek, yang terbentang di hadapan kita dalam bentuk sejarah.


Sejarah Suci dalam Sejarah Sekular
Sejarah singkat Israel adalah sebuah sejarah yang dua kali lipat sepanjang beberapa abadnya. Ada perkembangan sekular di mana orang-orang ini melewati bersama mereka the ascent (pendakian/kenaikan) dari masa mitos, pertama ke dalam Yunani, kemudian ke dalam dunia rasio universal Helenis. Namun, ada perbedaan yang besar yang lebih tidak terduga yang mengantar kepada keunikan Kristus. Namun, jika kita berbicara tentang kedatangan Kristus sebagai “Pemenuhan waktu” dalam skema sejarah suci, sebuah kesulitan akan muncul, yang penuh dengan makna bagi para teolog: apakah bahwa sejarah lain, sejarah sekular yang berlangsung di bawah sejarah suci Israel, membawa beberapa hubungan secara tepat sebagai sejarah pada “Pemenuhan Waktu”? Beberapa teolog Protestant telah berusaha keras memulihkan kembali transendensitas dari peristiwa Inkarnasi dengan melepaskannya dari semua ketergantungan dengan sejarah historis kepada keutuhan keagungan dan keaslian biblis.
Ada sebuah perbedaan konsep dalam relasi antara sejarah sekular dan suci. Namun bukan itu persoalannya, persoalannya adalah bahwa ada sebuah pernyataan tegas yang teologis dan biblis, yakni tentang “pendidikan umat manusia” dimana Allah mengerjakan terutama dalam kasus Israel, untuk semua keunikan yang ada, menggunakan evolusi sebagai sebuah vehicle (kendaraan)—secara literalnya sebagai sesuatu yang sudah ada dalam gerakan dan di jalannya—dalam kerangka untuk memperoleh keseluruhan tujuannya sendiri yang berbeda. Poinnya adalah bahwa kemajuan pewahyuan sungguh terdiri dalam sebuah pemberian Allah yang lebih dalam dan semakin membatin, yang selalu hadir, sekali dan untuk selamanya, sehingga manusialah yang lebih bergerak dari pada Allah.
Semakin terang menyinari Israel dan semakin tangan judgment surgawi memberatkannya, semakin secara mendalam dia menjadi sadar atas fungsi pengalamannya belaka di antara bangsa-bangsa: diadili dan memperoleh keselamatan bagi Israel adalah sebuah kesatuan dialektikal. Lalu bagaimana dengan bangsa lain? Bukankah mereka juga bisa mengenali jejak mereka bahwa mereka pun berasal dari keturunan Abraham?Dan oleh karena itu, bukankah sejarah bangsa-bangsa merupakan sebuah sejarah keluarga? Dan bukanlah mereka mengada berdampingan? Dan hal ini tidak hanya berlaku pada individu-indiviu sebagai pribadi-pribadi, tetapi berlaku kepada bangsa-bangsa yang dari Kejadian sampai dengan wahyu mengada sebagai entitas tertentu dalam kaitan dengan peristiwa keselamatan.Oleh karena itu apa yang dapat kita lakukan adalah menyatakan bahwa kairos inkarnasi, yang merupakan pemenuhan jaman sebagai tujuan sejarah Israel, adalah kairos tidak hanya bagi Israel melainkan juga bagi segala bangsa dan bahwa Israel di sini berperan sebagai sebuah penjamin utama sejarah suci dan sekular yang tak terbagi hingga Pengadilan terakhir.

Kesempurnaan dan kemajuan
Masa kekristenan ditentukan oleh peristiwa yang adalah Kristus. Kesempurnaan telah dicapai. Iman berdiri penuh kekaguman di hadapan keajaiban, waktu nampak masih berdiri dan merupakan separuh jam keheningan surga. Seribu tahun dan lebih didedikasikan pada kontemplasi: Kristologi dan doktrin Trinitas yang memegang pikiran tentang iman dalam musim mereka. Apa yang Kristus bawa adalah kebenaran akhir. Kristus yang merupakan kepenuhan telah datang di akhir jaman sebelum perpindahan ke kehidupan abadi dan tentu saja segala hal yang telah hilang sebelum nampak, seperti seseorang melakukan gerak maju ke arahNya. Dalam City of God-nya Agustinus, perlawanan antara sejarah sekular dan suci datang ke dalam pembukaan sebuah momen, hanya untuk memberikan jalan sekali lagi pada harmoni dalam budaya monolithik Abad Pertengahan. Prahistoris awal dari manusia telah menganggap bagian-bagian besar yang dengan perbandingan, peristiwa Kristus muncul sebagai sebuah kesimpulan. Namun, sebaliknya sejarah hanya mulai berlangsung dengan terobosan yang timbul selama beberapa milenium terakhir sebelum Kristus; dan dalam terang itu, Kristus muncul, sebagai permulaan dan dasar dari pertempuran rohani dari keputusan yang memenuhi sejarah, mengingat sejarah singkat Israel nampak hampir tidak lebih dari sejarah keluarga dalam arti yang paling sempit.
Bagaimana pun juga, sementara daya dorong Yahudi mendorong ke arah masa depan umat manusia, menuju realisasi keajaiban mesianik dengan lompatannya dari alam keniscayaan masuk ke alam kebebasan, bagi Kekristenan, kebebasan itu sudah hadir. Kebebasan itu hadir dalam sebuah kesempurnaan yang tidak pernah dapat ditingkatkan hasilnya, dan kemajuan manusia dapat mulai sekarang hanya dalam referansi pada being-at-hand (parousia) dari Yang terakhir, Yang Absolut, puncak dari sejarah.
Kita hanya perlu membawa dalam pikiran kita bahwa kemajuan yang dilibatkan tidak lagi merupakan sebuah wahyu seperti dalam Perjanjian Lama. Namun kemudian, bermacam tahap terletak dalam garis lurus perkembangan logis menuju sebuah tujuan; sekarang, ketika kesempurnaan mutlak telah diberikan, semua penafsiran mengalir mengelilinginya dalam perputaran yang tak perna berhenti, bergerak secara bebas dan tanpa garis yang mendorong perkembangan. Kairoi yang dihasilkan di dalam Sejarah Gereja oleh Roh Kudus sungguh mengandung di dalamnya jawaban bagi beberapa persoalan yang menekan dalam sejarah sekular. Harta kebenaran Kristen yang tak ada habis-habisnya itu selalu di sana, selalu tersedia membantu bahwa penafsiran diri disituasikan secara hakiki melampui bidang kemajuan. Namun, Gereja tidak kembali kepada nasib umat manusia. Segala sesuatu tumbuh subur dalam perkembangan historis manusia akan potensialitasnya. Semua itu dihidupkan oleh kasih di mana segala sesuatu nampak tidak mungkin. Gereja merupakan anugerah utama Pencipta bagi sejarah umat manusia, diberikan kepadanya untuk membawanya pada realisasi dirinya.
Ketika Allah memilih untuk tidak menggunakan bahasa apa pun bagi pengungkapan diriNya secara penuh daripada manusia, Dia kemudian berbicara tidak pada satu orang saja, melainkan seluruh umat manusia. Pemenuhan sejarah Perjanjian Lama secara tidak langsung menyatakan segala cakupan, sesuatu yang karena itu selalu menjadi sebuah intensi, tujuan dari sejarah Perjanjian Lama. Karena Kristus segala sejarah pada dasarnya dikuduskan.
Jadi, hubungan dasar pertama ini sudah mengandung yang kedua, yaitu hubungan yang merupakan anchoring semua iman, Yahudi, dan para penyembah berhala dalam Abraham yang belum terikat oleh Hukum. Kenampakan sejarah keselamatan dibersihkan dengan kematian dan kebangkitanNya. Demikianlah hanya ada satu sejarah dan pemenuhannya baik imanen dan transenden dalam Kyrios. Sejarah sungguh mempunyai eidos imanennya sendiri, tetapi dalam proses turunnya ke neraka dan kemudian naik ke dalam surga dan duduk di sisi kanan Allah Bapa, Kristus telah menngangkatnya bersama-Nya dan hanya ada di sana bahwa sejarah dapat mencari dan memperbaikinya.


Sumber Acuan
Hans Urs Von Balthasar, A Theology of History, Chapter Four, New York: Sheed and Ward, 1963, p. 113—154.