Senin, 13 Agustus 2012

100% DOKAR: 100% Indonesia, 100%Katolik, 100% Lektor

Oleh Vico SJ

Jumlah umat katolik di Indonesia menurut data statistik kependudukan berjumlah sekitar 3,15%, yaitu berjumlah 6,4juta dari 204 juta penduduk Indonesia (2005). Pada tahun 2010 jumlah umat katolik meningkat menjadi 3,5% dari 240.271.522 jiwa (Sebaran agama Islam sekitar 85,12%, Protestan 9,2%, Hindu 1,8%, Buddha 0,4%). Jumlah ini tersebar ke berbagai wilayah keuskupan di Indonesia.
Dari data ini nampak bahwa jumlah umat Katolik di Indonesia sangat sedikit. Kantung-kantung umat terbanyak masih dari keuskupan ende, ruteng, atambua, larantuka, agats, merauke, sanggau, sintang, weetebula, ketapang, timika, dan kupang. Sementara itu jumlah umat katolik di keuskupan agung semarang sekitar 2,64 % (2004).

Meski sedikit, kita adalah bagian dari bangsa Indonesia, sebuah bangsa yang multiagama, multietnik, multibahasa, multitradisi, multikulit, kaya akan aneka kekayaan alam: laut dan bumi. Kemajemukan adalah realitas sesungguhnya dari bangsa kita.

Bumi Indonesia inilah tanah tempat kita berpijak. Tanah yang menjadi tempat kita dilahirkan, dibesarkan, berkembang menjadi pribadi yang utuh, dan menunaikan tugas hingga akhir hayat. Bumi kita ini ibarat tanah kanaan yang dirindukan bangsa Israel, sebuah tanah yang kaya akan susu dan madunya. Tanah yang nyaman untuk kita tinggali. Tanah yang selalu kita rindukan bila kita berada jauh darinya. Oleh karena itulah , para pejuang kita dahulu rela mengorbankan raga dan hidupnya demi mempertahankan dan memperjuangkan tanah kita dari jajahan maupun rebutan bangsa lain. Tanah Indonesia ibarat tanah Israel yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa karena kekayaan dan letak yang sangat strategis. Tanah Indonesia tiada beda dengan tanah Israel.

Namun, gambaran kemiskinan dan kelaparan masih menjadi wajah bangsa kita ini. Pembagian “kue” ternyata tidak merata. Hanya mereka yang hidup di perkotaan itulah yang seringkali menikmati “kue” itu. Sementara itu, mereka yang berada di daerah pedesaan atau perbatasan masih saja mengalami kesulitan untuk menikmati “kue” itu, bahkan malah tidak pernah menikmatinya. Inilah sisi lain dari wajah bangsa kita ini.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 100% itu?
100% adalah angka atau penanda yang menandakan semangat totalitas. Totalitas tidak bisa ditandakan dengan angka 99.99%. Tidak. Tetapi 100%. Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus 100%? Misalnya, apa artinya menjadi 100% Indonesia? 100% Katolik? 100% Lektor? Pertanyaan inilah yang kemudian akan menjadi permenungan kita hari ini.

100% Indonesia
Marilah kita renungkan sejenak apa arti dari 100% Indonesia. Menurut hemat saya, arti 100% Indonesia adalah sungguh-sungguh manusia Indonesia sejati! Kesejatian itu bisa dilihat dari seberapa besar kecintaan kita pada bangsa kita ini. Rasa cinta yang besar tidak akan goyah oleh situasi maupun kondisi yang sedang terjadi di negara kita ini. Apa pun situasinya kita tetap mencintainya. Sebagaimana seorang cewek sungguh mencintai cowoknya apa adanya, 100%! Begitu sebaliknya. Apa pun keadaan negara kita, kita turut merasakannya, setidaknya kita tahu perkembangan dewasa ini (tentu saja lewat pelbagai media yang dapat kita akses: TV, Koran, majalah, internet, dll). Pengetahuan yang luas akan bangsa kita juga menjadi tanda kesejatian itu. Semakin luas pengetahuan kita akan bangsa kita, semakin kita menjadi manusia Indonesia sejati.

Namun, pengetahuan tidaklah cukup, bila tidak disertai perbuatan  konkret. Perbuatan konkret itu adalah hidup kita saat ini. Hidup kita adalah sarana atau kendaraan untuk mewujudkan kecintaan kita kepada bangsa kita. Suatu tanda bahwa bangsa itu berkembang adalah bila warga negaranya semakin sejahtera (baca: utuh) di segala bidang: pangan, papan, sandang, pendidikan, ekonomi, politik, rasa aman, spiritualitas, dll. Bila itu belum terjadi, bangsa tersebut belum bisa dikatakan sejahtera. Oleh karena itu, apa pun yang kita usahakan melalui hidup, karya-karya, dan pekerjaan-pekerjaan kita demi kesejahteraan baik hidup kita, sesama, dan masyarakat adalah bentuk konkret dari kecintaan kita pada bangsa.

100% Katolik
Mungkin ini yang mudah untuk dijelaskan. Yang dimaksud dengan 100% Katolik tidak hanya bahwa kita betul-betul seorang yang telah dibabtis secara Katolik saja, melainkan bahwa babtis itulah yang perlu kita perjuangkan dan pertahankan karena babtis adalah tanda di mana kita diangkat ke hidup pribadi Allah sendiri. Dengan babtis kita diilahikan dan menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari Allah sendiri Sang Pencipta. Itulah rahmat yang tiada terkira yang pernah kita miliki.

Namun, babtis juga mengantar kita pada pengenalan hidup Yesus sendiri sebagai Allah yang hidup. Dengan babtis kita mau mengikuti teladan hidup-Nya, pilihan-pilihan-Nya: mewujudkan Kerajaan Allah di dunia dengan mewartakan Sabda Allah, Sabda Kehidupan. Yang menjadi perhatian utama Yesus adalah bagaimana manusia mengenal Allah yang Mahacinta, Bapa yang penuh kasih melalui hidup dan teladan-Nya. Inilah yang sekiranya perlu kita renungkan, apakah aku sudah sungguh meneladai cara hidup, cara pikir, dan pilihan-pilihan Yesus sendiri. Manusia adalah harta rohani yang abadi. Maka, setiap pribadi adalah harta yang teramat berharga yang perlu dikasihi, diperhatikan, dilibatkan, dan dijunjung harkat dan martabatnya.
Kata kunci untuk hal ini adalah iman yang otentik kepada Allah. Otentik artinya iman yang dihayati dengan keseluruhan diri kita, segala kelebihan dan kekurangan kita, segala bakat kita. Itulah yang dinamakan iman yang otentik.

Selain itu, pengetahuan akan iman juga perlu didalami agar kita tidak berjalan dalam kebutaan. Untuk itu, pendalaman akan harta rohani seperti Kitab Suci, Tradisi dan ajaran Gereja perlu masuk perhatian kita jika kita mau disebut sebagai Katolik sejati. Pengetahuan itu akan mengantar kita pada pemahanan yang semakin luas mengenai iman kita.

100% Lektor
Inilah yang menjadi tanah kita berpijak saat ini, yaitu lektor. Apa seh lektor itu? Mengapa kita memilihnya? Apa yang kita harapkan darinya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi awal usaha kita untuk menyadari pilihan kita. Setiap orang pasti memiliki pilihan-pilihan hidup. Dalam hal ini, lector adalah pilihan teman-teman. Oleh karena itu, lector dan dunianya perlu kita kenali, khususnya lector kota baru ini. Maka penting yang dinamakan masa kandidatur. Apa seh dunia lektor kobar itu? Dunia lektor tentu saja adalah Sabda Allah! Seorang lektor adalah juru bicara Allah! Ia membawakan Sabda yang kudus itu kepada umat Allah. Tentu ini sebuah perutusan yang tidak mudah. Mengapa? Karena setidaknya sebelum menyampaikan Sabda Allah itu, hendaknya kita bertanya terlebih dahulu: apa arti sabda ini bagiku, bagi hidupku saat ini? Pengolahan dan permenungan Sabda inilah yang pertama harus dilakukan dahulu agar Sabda itu sungguh menjadi daging dalam hidup kita. Setelah itu, kita menyampaikannya kepada umat Allah.

Dalam  menyampaikan Sabda Allah, kita tidak sendirian. Ada penopang atau infrastruktur yang membantu kita untuk bisa menyampaikan Sabda Allah itu dengan baik. Apa itu? Komunitas. Komunitaslah tempat kita belajar untuk semakin mampu menghayati Sabda Allah  dan menyampaikannya. Pelbagai kegiatan yang ada dalam komunitas adalah bertujuan untuk semakin memupuk persaudaraan yang sejati di antara kita. Persaudaraan penuh cinta itulah landasan awal bagaimana kita menyampaikan Sabda Allah secara benar. Bagaimana mungkin kita menyampaikan Sabda Allah tanpa ada cinta di situ. Oleh karena itu langkah konkret untuk menjadi seorang lektor sejati adalah dengan sungguh mencintai dunia lektor itu, yaitu Sabda Allah dan komunitas.

Benang Merah: Cinta
Setelah mencoba merenungkan tiga hal di atas, saya merasa bahwa ada benang merah yang mengaitkan ketiganya, yaitu cinta! Cinta yang tulus dan murni pada bangsa Indonesia, iman Katolik kita, dan dunia lector yang kita hidupi saat inilah yang menentukan apakah kita bisa menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik, atau 100% Lektor. Cinta-lah yang mesti kita bangun dahulu agar kita sungguh-sungguh bisa menjadi manusia Indonesia sejati, manusia beriman katolik sejati, dan penyampai Sabda Allah sejati.
Pertanyaan reflektif: Sungguhkah aku mencintai bangsaku, imanku, dan perutusanku sebagai lektor?


Rabu, 06 Juni 2012

Good Governance “Keuangan Gereja” Disarikan dari wawancara dengan Robertus Bambang Rudianto, SJ


Vico Christiawan SJ

Korupsi dalam masyarakat sudah menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan istilah budaya korupsi. Artinya, budaya yang arti awalnya adalah bagian dari kegiatan manusia untuk membangun peradaban yang luhur malah kini menjadi bermakna negatif.  “Budaya korupsi” malah mengorupsi makna dari istilah budaya itu sendiri, yaitu mengerdilkan martabat luhur manusia karena mengubah perilaku manusia dari manusia yang jujur menjadi tidak jujur. Dengan kata lain terjadi dekadensi moral manusia. Ini tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu, dalam kesempatan melakukan wawancara dengan seorang Jesuit, Romo Robertus Bambang Rudianto, SJ, atau yang dikenal dengan Romo Rudi, SJ, penulis mencoba memaparkan pemikiran-pemikiran beliau yang menganalisa akar persoalan dari “budaya korupsi” tersebut dari sisi tata kelola keuangan.

Sumber “korupsi”: Trust yang tidak transparan dan Pembiaran
Menurut  Romo Rudi SJ, terjadinya “korupsi”, khususnya dalam tarekat-tarekat, adalah karena dua hal, yaitu pengelolaan keuangan yang sangat tradisional yang mengandalkan trust yang tidak transparan dan pembiaran-pembiaran yang terjadi atas masalah keuangan selama bertahun-tahun.  Tentang trust yang tidak transparan, beliau yang kini menjabat sebagai seorang ekonom provinsi Serikat Yesus Indonesia ini mengatakan bahwa praktik kepercayaan itu sudah terjadi lama sekali sehingga orang yang bertanggungjawab atas masalah keuangan atau  para pejabat pengambil keputusan dalam tarekat atau Gereja tidak pernah sungguh-sungguh mencoba membaca, melihat, dan mengevaluasi semua laporan keuangan tersebut. Akibatnya adalah bahwa ketika semua laporan keuangan itu harus diklarifikasi, seringkali pejabat yang harus bertanggungjawab itu tidak mengetahui letak kesalahan yang terjadi bertahun-tahun dalam laporan keuangan tersebut. Ketika kesalahan itu sudah terungkap, tarekat atau Gereja tidak berani untuk mengatasi ‘masalah’ yang terlanjur berat ini agar tuntas. Ketidakberanian pihak Tarekat atau Gereja untuk mengungkap ‘masalah’ ini karena terkait soal pajak.
Menurut beliau, tidak sedikit pejabat tarekat atau Gereja telah melakukan tanda tangan tanpa mengetahui secara persis dan jeli dokumen yang ia tanda tangani. Padahal yang ia tanda tangani bisa jadi merupakan urusan yang sangat besar. Apabila terjadi kesalahan, secara hukum, pejabat itulah yang harus bertanggung jawab. Inilah yang beliau lihat sebagai kesalahan dalam manajemen tradisional yang seolah-olah semua saling percaya. Bagi beliau, uang itu, bagaimanapun, tidak bisa dirumuskan dengan percaya saja, melainkan harus dirumuskan dengan pertanggungjawaban. Kelemahan yang sering terjadi dalam pengelolaan keuangan tarekat atau Gereja adalah percaya begitu saja tanpa disertai dengan pertanggungjawaban.
Tentang pembiaran atas masalah keuangan, Romo Rudi SJ mengatakan bahwa organisasi Gereja seringkali membiarkan hal-hal yang seharusnya tidak bisa diteruskan, entah karena memang tidak ada orang yang menuntaskan persoalan tersebut atau merasa bahwa ini dana sosial. Pembiaran yang dimaksudkan beliau adalah bahwa pejabat yang bertanggungjawab sebenarnya mengetahui ada masalah dalam laporan keuangan, ada sesuatu yang tidak transparan, dan tidak jujur, namun tidak mengatakannya atau tidak menyelesaikannya. Bahasa yang beliau pakai adalah ‘neglect’ atau ‘saya ga mau tahulah.’ Menurut beliau, sumber persoalan ini adalah sikap sok tahu yang membahayakan. “Bila tidak tahu ya katakan tidak tahu”, kata beliau. Membahayakan dalam arti bahwa posisi dari pejabat untuk memutuskan apakah uang keluar atau tidak itulah yang bisa keliru bila tidak tahu secara persis untuk apa sejumlah uang itu dikeluarkan. Lebih berbahaya lagi bila pejabat yang memiliki wewenang dalam membuat keputusan tidak tahu bagaimana memutuskan secara tepat terkait dengan pengelolaan keuangan.
Berangkat dari dua sebab di atas, “korupsi” bisa diartikan sebagai pembiaran atas tiadanya pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan transparan, atas model-model pengelolaan keuangan yang sudah tidak bisa lagi dipakai karena mengandalkan trust yang keliru, dan atas masalah-masalah keuangan yang sebenarnya diketahui, namun tidak diselesaikan secara tuntas.

Pertanggungjawaban: Kunci Tata Kelola Keuangan
Pertanggungjawaban adalah kunci dalam tata kelola manajemen keuangan. Pertanggungjawaban bisa dalam bentuk laporan yang jelas, ada voucher-nya, ada bukti kasnya yang semuanya tertulis. Keuangan yang ada baik di bank maupun di kas, serta berbagai macam bentuk piutang juga harus dicatat. Sebagai contoh dari praktik yang tidak ada pertanggungjawaban ini adalah ketika seorang romo atau suster atau frater atau bruder meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain berdasarkan belas kasihan tanpa pernah mencatat pengeluaran uang tersebut. Pengembaliannya pun sering kali juga tidak jelas.  Inilah model pengelolaan keuangan yang bisa dikatakan “korupsi” karena tidak adanya pertanggungjawaban, yaitu tiadanya voucher dan bukti pengeluaran.
Begitu pula pelbagai macam sumbangan yang kita terima. Semua harus dicatat dan dilaporkan penggunaannya secara jelas dan tertulis. Meski sumbangan bukan merupakan wajib pajak, karena merupakan dana sosial, penggunaannya dan sisanya tetap harus dicatat dan dilaporkan dengan disertai bukti-bukti tertulis. Masalahnya, ketika ada sisa dana sumbangan, sisa tersebut seringkali tidak dilaporkan. Inilah kelemahan yang dilihat Romo Rudi sebagai kelemahan Gereja, yaitu kurang adanya laporan yang transparan dan memang jelas bahwa laporan itu menunjukkan aktivitasnya. Lanjutnya, kekayaan Gereja sebenarnya banyak hanya saja banyak yang hilang, banyak yang ditipu, banyak yang dibawa lari karena oknum yang melarikan uang Gereja itu seringkali dimaafkan begitu saja, tanpa mau dipersoalkan secara hukum.
Pertanggungjawaban ini bagi kaum biarawan-biarawati sebenarnya merupakan bagian dari penghayatan kaul. Perhatian bahwa kita tidak memiliki apa-apa adalah penting. Kita sebagai biarawan-biarawati diminta pembesar untuk mengelola keuangan tarekat karena kita memang tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu, sudah wajarlah bila kita mesti mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tugas kita, khususnya dalam mengelola keuangan. Menurut Rm Rudi SJ, di hadapan uang semua sama saja, entah kaum biarawan-biarawati atau awam. Maksudnya adalah bahwa kita semua bisa keblinger, bisa memanfaatkannya secara tidak tepat atau dimanfaatkan oleh orang lain untuk menggunakan uang secara keliru karena kelemahan-kelemahan kita. Disinilah kaul membantu kita untuk menghadapi uang itu secara proposional. Kita terbantu oleh penghayatan kaul-kaul kita untuk mengekspresikan pengelolaan keuangan tersebut dengan semangat transparansi, dapat dipercaya, tanggungjawab, independen, dan adil.

Pengelolaan Keuangan Profesional
Untuk mengantisipasi adanya kebocoran-kebocoran dalam pengelolaan keuangan, baiklah pertama,  kita perlu tahu pengelolaan keuangan yang profesional. Ini berlaku bagi siapa saja, lebih-lebih yang bertanggungjawab langsung atas keuangan tarekat atau Gereja. Namun, kita tidak perlu menjadi seorang yang profesional. Kita bisa minta bantuan dari para konsultan keuangan yang bekerja secara profesional. Mereka bisa membantu kita tentang sekurang-kurangnya bagaimana membaca laporan keuangan, bagaimana melaporkan pajak, dan bagaimana mengelola keuangan. Mengapa ini perlu kita lakukan? Karena di negara kita ini, segala macam hal yang berkaitan dengan uang, ada konsekuensinya. Kita yang menggunakan uang sudah berkaitan dengan negara. Siapa pun itu. Kita menjadi Subjek pajak. Artinya siapa saja yang memegang uang adalah Subjek pajak.
Kedua, hendaknya kita mulai membuat laporan keuangan secara transparan karena laporan keuangan itu akan menunjukkan kegiatan komunitas maupun karya seperti apa. Rumusan laporan itu pun harus jelas, yaitu ada bukti-bukti yang tertulis.
Ketiga, sebagai warga negara, kita juga harus melaporkan kepada negara seandainya ada nilai tambah. Kita tidak usah takut dengan pajak. Justru dengan pengelolaan keuangan yang transparan dan jelas, kita ada dalam jalur hukum yang aman. Meskipun begitu, kita tetap harus mempersiapkan laporan-laporan keuangan kita dengan baik sebelum diberikan kepada negara.
Keempat, hendaknya kita jangan membiarkan masalah keuangan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Jika sekiranya memang ada pelaku yang menyelewengkan uang tarekat atau Gereja, hendaknya diproses secara hukum. Bila tarekat atau Gereja tidak berani menggunakan jalur hukum, jalan keluar paling baik adalah dengan mengganti orang yang lama dengan yang baru, serta memperbaiki tata kelola keuangannya agar tidak terulang kesalahan yang sama. Namun, jalan ini juga masih menyisakan persoalan, yaitu uang yang berjumlah sangat besar itu akhirnya lenyap tanpa ada pertanggungjawaban yang serius. Uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk kemuliaan Allah, malah hilang. Di sini berarti bahwa pemberian maaf kepada pelaku sebenarnya tidak cukup bila tidak disertai dengan pertanggungjawaban.
Akhirnya, “korupsi” dalam tarekat atau Gereja adalah masalah pertanggungjawaban. “Korupsi” bisa terjadi karena memang disengaja, namun seringkali karena ketidaktahuan bagaimana mengelola keuangan secara profesional dengan disertai pertanggungjawaban yang transparan dan jelas. Jadi, tugas kita sekarang ini adalah terus belajar membaca tanda-tanda jaman, berani menggunakan jalur hukum, menggunakan prosedur yang jelas agar kita aman, berani menggunakan tata kelola keuangan yang profesional yang lebih transparan, dapat dipercaya, bertanggungjawab, independen, dan adil.

Mengenali Diri, Membangun Kerjasama


Vico Christiawan SJ

“Kita tidak perlu mengikuti outbond karena setiap hari kita sudah outbond” kata Magister saya kira-kira tujuh tahun yang lalu. Saat itu saya berpikir-pikir benar juga kata magister saya. Jika dibandingkan dengan arti outbond, yaitu keluar dari zona nyaman diri, formasi di novisiat sudah kental akan hal tersebut. Namun, waktu itu saya belum memahami apa itu outbond. Dalam kesempatan inilah saya ingin berbagi pengalaman dan refleksi saya mengenai program outbond ini.

Pengalaman Outbond
Seiring waktu berjalan ketika saya mendampingi anak-anak muda yang tergabung dalam Persatuan Anak-anak SMA Negeri Katolik (PERSINK) Jakarta selama dua tahun (2006-2008), ada acara tahunan yang disebut Retret Kepemimpinan Persink (RKP) selama tiga hari, yang salah satu programnya adalah pelatihan outbond bagi semua peserta untuk memilih calon pengurus. Acara ini paling diminati oleh anak-anak muda. Dari program tersebut, panitia maupun peserta dapat melihat dan menilai diri mereka sendiri dan teman-teman mereka dalam sebuah kelompok. Biasanya muncul satu figur yang menjadi pemimpin kelompok dan diakui anggota-anggotanya. Lalu figur ini diajukan untuk menjadi kandidat pengurus PERSINK pada periode selanjutnya.
Pengalaman kedua adalah ketika mendampingi Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) para mahasiswa tingkat dua Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Cikarang selama lima hari pada tahun 2010. Dalam latihan tersebut, mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari empat hingga lima orang. Tim pendamping sebagian berasal dari para profesional. Para mahasiswa ini diminta untuk belanja dan menyiapkan masak sendiri untuk kebutuhan jasmani mereka. Ada banyak program yang menarik yang dilakukan di situ, salah satunya adalah trust fall. Di situ, saya diberi kesempatan oleh satu kelompok mahasiswa yang saya dampingi untuk menjatuhkan diri saya dari ketinggian kira-kira 1,5 meter ke tangan mereka yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga mampu menahan tubuh saya. Saat itu memang muncul keraguan dalam hati saya. Namun, keraguan itu saya tepiskan karena saya yakin bahwa mereka akan menerima dan menopang saya dengan aman. Di sini tumbuh rasa percaya dalam diri saya.

Mengenal Diri Melalui Nilai-nilai yang Ditawarkan
Dari dua pengalaman tersebut, saya melihat ada ruang untuk mengenal diri dan mengenal teman, serta bagaimana setiap pribadi mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok dengan mengambil peran aktif dalam setiap kerja sama kelompok. Dalam kerja sama itu, setiap anggota diminta untuk memberi sumbangan bagaimana mencari cara dan mengusahakan jalan keluar ketika mereka menghadapi sebuah tantangan. Bila ada satu anggota yang “ogah-ogahan” atau malas, ia akan mengganggu dinamika kelompok. Ruang untuk mengenal diri itu ditopang dengan nilai-nilai yang baik yang bisa ditumbuhkembangkan dalam diri peserta outbond.
Pertama adalah nilai kepercayaan. Setiap anggota diminta dengan penuh kesadaran dan kerelaan untuk mempercayai teman-teman sekelompoknya. Di sini ada dinamika mempercayai dan dipercaya. Setiap anggota harus unggul dalam nilai ini agar mampu menghadapi setiap tantangan bersama-sama sebagai satu kelompok.
Kedua adalah kepemimpinan. Di sini setiap anggota harus bersedia dipimpin dan memimpin. Ia harus menerima keputusan pemimpin kelompok jika sekiranya pendapatnya tidak diterima. Ia harus mau memimpin kelompoknya bila diminta anggotanya atau mendapat giliran memimpin.
Ketiga adalah nilai kesabaran dan ketekunan. Nilai ini penting ketika menghadapi tantangan yang tidak mudah. Setiap anggota diminta sabar dan tekun dalam mencari jalan keluar dari persoalan yang mereka hadapi. Kesabaran dan ketekunan ini akan membuahkan ketahanan mental dalam menghadapi tantangan.
Keempat adalah nilai kecermatan. Kecermatan ini penting untuk melihat setiap tantangan dengan jeli. Oleh karena itu, kecermatan ini membutuhkan konsentrasi yang penuh untuk mencari jalan keluar, membuat strategi penyelesaian masalah, dan bersama-sama melakukan strategi tersebut hingga persoalan dapat teratasi. Nilai ini membuahkan slogan berpikir dahulu sebelum bertindak dan sikap hati-hati dalam membuat sebuah keputusan.
Kelima adalah nilai kepekaan. Kepekaan sangat diperlukan dalam membangun sebuah kelompok yang solid. Kepekaan dalam hal ini adalah kepekaan pada kebutuhan kelompok dan pada sesama anggota kelompok yang membutuhkan bantuan. Yang dilatih dari kepekaan ini adalah keluar dari diri sendiri untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Orang dituntut untuk selalu berinisiatif membantu sesama tanpa diminta.
Dari berbagai macam program outbond yang ditawarkan, seseorang dapat semakin mengenal dirinya: sejauh mana aku bereaksi terhadap setiap tantangan yang ditawarkan dan terhadap perbedaan pendapat dan karakter dalam diri teman sekelompok, sejauh mana aku berperan dalam kelompok, sejauh mana aku masuk dalam dinamika kelompok, sejauh mana aku mampu mengemban tugas yang diberikan kelompok, sejauh mana aku mampu mempercayai anggota kelompok dan dipercaya, dll. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, seseorang diharapkan semakin mengenali dirinya sendiri ketika menghadapi setiap tantangan dan perubahan. Kalau boleh saya katakan bahwa dalam setiap perubahan atau tantangan selalu ada ruang untuk semakin mengenal diri sendiri. Dengan demikian muncul penemuan-penemuan diri yang baru yang bisa dijadikan titik pijak pengembangan diri lebih lanjut. Tujuan dari pengenalan diri sendiri ini adalah kemampuan untuk menata dan memimpin diri agar mampu memimpin orang lain dalam kelompoknya.

Bekerja Sama Penuh Cinta Kasih
            Dalam outbond, kerja sama kelompok mendapat tekanan yang utama. Di sini, orang tidak dapat sendirian menghadapi persoalan dan tantangan hidup. Ia memerlukan orang lain. Orang lain yang bisa dipercaya. Dia sendiri pun harus bersedia untuk percaya dan dipercaya. Ia harus percaya bahwa ada kehendak baik dan hal yang baik dalam diri teman-temannya. Ia pun harus bisa diandalkan untuk dipercaya. Ketika sikap dasar percaya dan dipercaya ini patah oleh karena keengganan atau kemalasan diri, kesatuan dalam kelompok tersebut akan pelahan-pahan sirna. Akibatnya tidak ada lagi hal yang mengikat dalam kelompok tersebut. Kelompok itu akan hancur.
            Kerja sama mengandaikan adanya rasa saling percaya. Namun, hal itu tidak cukup bila tidak dilandasi dengan cinta kasih. Cinta untuk memahami orang lain yang unggul, unik, khas, sekaligus rapuh. Kemampuan untuk mencinta secara utuh diuji di sini. Orang dituntut untuk memberi hati bagi sesamanya. Memberi hati dalam arti memberi ruang dalam hati kita kesalahan-kesalahan dan kerapuhan-kerapuhan pribadi temannya. Bahwa ada kegagalan itu sangatlah wajar. Yang penting adalah bagaimana memberi dukungan bagi teman dan kelompok untuk selalu bangkit dari kegagalan dan ketepurukan. Selain itu, setiap orang dituntut untuk berani mengakui keunggulan sesamanya. Bahwa ia pandai memimpin, bahwa ia cermat, bahwa ia kreatif, dll. Ada sikap kerendahan hati yang dilatih di sini. Di sinilah sisi formatif dari program outbond ini.
Bagaimana dengan Kaum Religius?
            Kembali menanggapi pernyataan magister saya di depan, bahwa, menurut saya, tidak ada salahnya sebuah tarekat maupun ordo religius menyelenggarakan program outbond bagi para anggotanya sejauh perangkat-perangkat formatif di dalam tarekat atau ordo belumlah lengkap. Jika perangkat formatif itu sudah lengkap dan memadai, program outbond ini berfungsi sebagai pelengkap, yaitu sebagai program manajemen krisis di mana seseorang dihadapkan pada situasi penuh tantangan dan dituntut untuk mampu membuat keputusan secara cermat, tepat dan benar berdasarkan situasi yang ia hadapi. Kemudian, ia mengusahakan jalan keluar dengan tekun, sabar, dan teliti.
            Untuk berhadapan dengan situasi krisis baik dalam hidup panggilan maupun dalam persoalan-persoalan tarekat atau ordo, menurut saya, kita memerlukan kemampuan untuk mengelola diri dan lembaga dengan tepat. Secara instingtif, hal itu bisa terasah dengan baik melalui pengalaman berkarya dalam karya-karya tarekat atau ordo. Namun, apakah kita hanya menunggu datangnya krisis baru memiliki kemampuan menghadapi krisis tersebut. Bagaimana kalau kita mempersiapkan diri secara lebih dini hingga ketika krisis itu datang kita bisa mengatasinya dengan baik.

Penutup
Dari pengalaman saya, saya melihat bahwa dibalik setiap permainan dalam program outbond, ada sisi formatif yang bisa direfleksikan dan ditumbuhkembangkan dalam diri masing-masing peserta. Sisi formatif itu adalah bagaimana belajar percaya satu sama lain, bertahan dalam kesabaran, berharap penuh pada penyelenggaraan Ilahi dalam menghadapi krisis, ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kegelapan. Yang dilatih lebih jauh adalah bagaimana kita belajar mempercayakan diri pada penyelenggaraan Allah dalam hidup kita yang penuh dengan kejutan ini. Bahwa Allah akan senantiasa menolong dan mendampingi kita dengan cara-Nya yang khas bagi kita adalah benar adanya. Bagi kita, berharap sepenuhnya pada Allah adalah yang utama.
 Namun, sekali lagi, program outbond ini tidak akan bergema atau sia-sia bila tidak ada niat yang kuat secara terprogram dalam diri peserta untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam tarekat atau ordo religius harus ada perangkat-perangkat yang mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai yang sudah terasah dalam program outbond tersebut. Bila tidak ada, program-program yang ditawarkan dalam outbond hanyalah sebuah permainan belaka.
Akhirnya, kemampuan mengenali diri sendiri terus-menerus untuk semakin mampu menata dan memimpin diri sendirilah yang perlu dikembangkan dalam kerja sama dengan rekan-rekan sekomunitas. Bukan lagi memikirkan komunitas memberi apa padaku, melainkan apa yang bisa kuberikan kepada komunitasku. Dengan demikian outbond harian akan mengarahkan kita menjadi pribadi yang matang dan mandiri penuh cinta kasih pada sesama, dan terutama menghantarkan kita pada pemahaman misteri penyelenggaraan Ilahi yang senantiasa berkarya untuk diri kita.

Sabtu, 02 Juni 2012

Relevansi Metode doa St. Thomas Aquinas


Relevansi metode doa St. Thomas Aquinas bagi orang zaman sekarang ini adalah terletak pada kegairahan untuk terus mengarahkan budi, kehendak, dan tindakan kepada Allah semata. Pencarian akan nilai-nilai yang transenden, yaitu kebenaran, kebaikan, keindahan, kesatuan, kasih, kehidupan, dan semangat menjadi sebuah tawaran bagi orang di jaman ini dalam hidup mereka sehari-hari. Orang jaman ini diajak untuk bisa merenungkan dengan kekuatan akal budinya satu keutamaan yang hendak dipelajari dan diraih dari segala sudut pandang yang memungkinkan (bisa melalui lectio divina). Selama dalam renungan, orang akan diajak untuk mulai mempertanyakan dirinya, sikapnya, pilihan-pilihannya, tindakan-tindakannya, kecenderungan-kecendrungan yang selalu menyetir hidupnya, dan lain-lain. Di akhir renungan, orang diharapkan mengubah kebiasaan hidup yang sekiranya menghalangi penghayatan keutamaan yang direnungkan tersebut. Oleh karena itu, terjadilah perubahan sikap. Jadi, metode doa St. Thomas Aquinas ini tidak berhenti pada tingkat intelektual saja, melainkan sampai pada perubahan cara pandang, sikap hidup, dan tindakan secara konkret.[1]
 Demikianlah, hasrat St. Thomas Aquinas yang berkobar-kobar untuk memahami misteri Allah dalam hidupnya bisa menjadi teladan dan model bagi banyak orang  yang rindu untuk mencapai keutamaan-keutamaan dalam hidupnya. Warisan-warisan doanya yang amat berharga pun masih bisa kita rasakan dalam doa Jiwa Kristus dan Tantum Ergo.


[1] Bdk. www.standonline.org.uk/.../Resource_10_Temperament_Prayer.pdf, http://www.msgr.ca/msgr/WEBPrayerHANDBOOK_17_thomistic_prayer.htm, http://www.premiercommunity.org.uk/forum/topics/find-a-prayer-style-that-suits-1?page=1&commentId=2060181%3AComment%3A957898&x=1#2060181Comment957898.

Penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Kurban


St. Thomas Aquinas berpendapat bahwa kita harus memikirkan tindakan-tindakan yang merupakan hal-hal eksternal yang diperuntukkan kepada Allah. Hal ini memberi kepada kita dua pertimbangan, yaitu  hal-hal yang diberikan kepada Allah oleh orang beriman dan kaul-kaul yang dijanjikan kepada-Nya. Untuk tindakan-tindakan yang diberikan kepada Allah oleh orang beriman kita harus mempertimbangkan kurban, sumbangan-sumbangan, buah-buah pertama, dan perpuluhan. Tentang kurban ada empat pertanyaan untuk dijawab:
(1)   Apakah persembahan kurban kepada Allah merupakan hukum kodrat?
(2)   Apakah kurban harus dipersembahkan kepada Allah saja?
(3)   Apakah persembahan kurban merupakan tindakan khusus dari keutamaan?
(4)   Apakah semua orang beriman terikat untuk memberikan kurban?
Menjawab yang pertama, St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa kodrat akal budi manusia mengatakan bahwa dia berada di bawah pengada yang lebih tinggi darinya, karena ia merasa lemah dan dari pengada tersebut dia membutuhkan bantuan. Pengada tersebut adalah Allah. Oleh karena itu, berdasarkan kodrat dari hal-hal yang lebih rendah yang tunduk kepada yang lebih tinggi, kodrat akal budi manusia pun harus tunduk dan menghormati, sesuai dengan polanya, kepada sesuatu yang di atas manusia. Lanjutnya, manusia harus menggunakan tanda-tanda yang pantas untuk menandai apa pun karena dia mendapatkan pengetahuan dari kebijaksanaan. Dengan demikian, manusia harus menggunakan kebijaksanaan khusus, yaitu dengan mempersembahkan mereka kepada Allah dalam tanda tunduk dan hormat kepada-Nya, seperti mereka yang membuat persembahan khusus kepada tuan mereka karena wewenangnya. Sekarang jelas bahwa arti dari kurban dan persembahan kurban merupakan bagian dari hukum kodrat.[1]
            Kedua, menurut St. Thomas Aquinas, kurban yang dipersembahkan mewakili kurban spiritual dari dalam di mana jiwa mempersembahkan dirinya kepada Allah. Di sini jiwa mempersembahkan dirinya dalam kurban kepada Allah sebagaimana permulaannya dalam ciptaan dan akhirnya dengan pengudusan. Menurut iman sejati Allah sendirilah Sang Pencipta jiwa kita dan hanya di dalam diri-Nyalah jiwa-jiwa itu bahagia. Oleh karenanya, sebagaimana kepada Allah kita harus mempersembahkan kurban spiritual, demikian pula kita mempersembahkan diri kita hanya kepada-Nya. Seperti kata St. Agustinus, “Dalam doa-doa dan pujian-pujian, kita mempersembahkan kata-kata yang pantas kepada-Nya kepada-Nya hati kita mempersembahkan hal-hal yang kita ajukan.” Lebih lanjut lagi, kita temukan bahwa di setiap negara orang-orang tidak akan menunjukkan kepada penguasa yang tertinggi tanda-tanda penghormatan khusus, dan apabila hal tersebut fitunjukkan kepada siapa pun, hal itu adalah sebuah kejahatan pengkhianatan tingkat tinggi. Karenanya, dalam hukum ilahi, hukuman mati diberikan kepada mereka yang mempersembahkan kehormatan ilahi kepada yang lain selain Allah. [2]
            Ketiga, St. Thomas Aquinas menjelaskan apakah persembahan kurban merupakan sebuah tindakan khusus dari keutamaan atau bukan. Di sini, dia mengatakan bahwa di mana sebuah tindakan dari satu keutamaan yang diarahkan kepada akhir dari keutamaan lainnya, tindakan itu merupakan bagian dari spesiesnya. Jadi, ketika seorang manusia mencuri dalam rangka untuk melakukan perzinahan, pencuriannya itu mengasumsikan bentuk lain dari perzinahan, sehingga meskipun hal tersebut bukanlah sebuah dosa, sebaliknya hal itu merupakan dosa dari kenyataan bahwa tindakan itu diarahkan kepada perzinahan.
Dengan demikian, kurban adalah sebuah tindakan khusus yang diperuntukkan bagi Allah. Karena alasan inilah tindakan tersebut merupakan sebuah keutamaan yang definitif, yaitu agama. Namun, menurut St. Thomas, terjadi juga bahwa ada tindakan-tindakan dari keutamaan-keutamaan lain yang diarahkan untuk Allah sebagaimana seorang manusia memberikan sedekah atas nama Allah, atau ketika seorang manusia membungkukkan tubuhnya untuk menghormati Allah. Bagi St. Thomas Aquinas, tindakan-tindakan tersebut bisa disebut pula kurban. Di sisi lain, ada tindakan-tindakan yang tidak pantas selamat melalui penghormatan bagi Allah. Tindakan-tindakan seperti itu tepatnya disebut kurban-kurban dan merupakan milik keutamaan agama.[3]
Keempat, St. Thomas Aquinas menjelaskan tentang keterikatan semua orang untuk memberikan kurban kepada Allah. Di sini, dia menjelaskan bahwa kurban terdiri dari dua, yaitu yang pertama dan utama adalah persembahan batin yang semua orang beriman terikat untuk mempersembahkan kepada Allah dengan budi yang penuh rasa hormat. Yang kedua adalah kurban lahir. Kurban lahir ini ada dua hal. Ada sebuah kurban yang pantas melalui persembahan kepada Allah dalam sikap tunduk kepada Allah. Kewajiban persembahan kurban ini tidak sama dengan mereka yang berada di bawah Hukum Baru atau Lama sebagaimana bagi mereka yang tidak berada di bawah hukum. Bagi mereka yang berada di bawah hukum terikat untuk mempersembahkan kurban khusus menurut hukum tersebut, di mana mereka yang tidak berada di bawah hukum terikat untuk menunjukkan tindakan-tindakan lahir khusus atas kehormatan Allah. Kurban lahir lainnya adalah ketika tindakan-tindakan lahir dari keutamaan-keutamaan lain yang dilakukan bukan untuk menghormati Allah; misalnya soal aturan-aturan yang mengikat semua, atau aturan lain yang merupakan tindakan yang melebihi kewajiban tidak mengikat semuanya.[4]


[1] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 85, Art. 1, hlm 1555.
[2] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 85, Art. 2, hlm 1556.
[3] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 85, Art. 1, hlm 1557.
[4] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 85, Art. 1, hlm 1558.