Minggu, 14 Desember 2008

MASIHKAH ADA HARAPAN DALAM LEMBAH KEKELAMAN?

Menguak Rahasia Metafor Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik dalam Mazmur 23 Bagi Para Pengungsi

Vico SJ

Pengantar

Seringkali para penulis Kitab Suci tidak menggunakan metafor hanya untuk menghias gagasan-gagasan mereka, melainkan untuk mengemas makna yang akan mereka sampaikan ke dalam beberapa kata saja. Kata-kata itu mungkin nampaknya hanya memiliki sedikit makna, namun apabila kata-kata itu masuk ke dalam rasa perasaan kita, kata-kata itu akan memiliki daya untuk membangkitkan imajinasi kita berdasarkan pengalaman kita sendiri. Brown meminta kita untuk masuk dan mengalami lebih dalam imajinasi kita sendiri tentang metafor dan gambaran inti yang pemazmur ketahui dari warisan sosial, budaya, dan religius mereka sendiri dan membiarkan metafor itu mengajari kita.

Dalam tulisan pendek ini, penulis memilih Mazmur 23 sebagai acuan utama untuk mengembangkan daya imajinasinya karena mazmur ini dikenal memiliki daya tarik universal untuk membawa penghiburan dan kepercayaan kepada Allah bagi mereka yang sedang berada dalam masa kelam dalam hidupnya. Masa kelam dalam hidup manusia membawa penulis pada pengalaman buruk para pengungsi yang beberapa di antaranya masih belum memperoleh masa depan yang jelas, misalnya para pengungsi di Timor Leste, Timor Barat, Aceh, Sumatera, Maluku, Yogyakarta[6], dan terakhir para pengungsi dari Sidoarjo akibat semburan Lumpur Lapindo. Untuk itu, penulis hendak mengaitkan imajinasinya atas metafor-metafor dalam Mazmur 23 dengan sebuah pertanyaan: “Masihkah ada harapan bagi para pengungsi yang sampai hari ini berada dalam ‘lembah kekelaman’?”

Metafor Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita melihat metafor apa saja yang ada dalam Mazmur 23 yang diyakini oleh para ahli merupakan hasil karya asli Raja Daud sendiri. Ada banyak metafor yang mewarnai Mazmur 23, yaitu “gembala”, “padang yang berumput hijau”, “air yang tenang”, “menyegarkan jiwa”, “jalan yang benar”, “oleh karena namaNya”, “lembah kekelaman”, “gada dan tongkat”, “hidangan”, “lawan”, “minyak”, “piala penuh berlimpah”, “kebajikan dan kemurahan”, “diam dalam rumah TUHAN”. Dari metafor-metafor ini, penulis hanya akan berfokus pada dua metafor yang menonjol dan merupakan inti dari mazmur ini, yaitu Allah sebagai seorang Gembala yang baik (ay.1-4) dan seorang Tuan rumah yang baik (ay. 5-6).

Menurut beberapa ahli, metafor-metafor ini muncul ketika Daud, di masa tuanya, melihat kembali pengalaman-pengalaman kelamnya dan melihat pertolongan Allah dalam seluruh hidupnya. Keselamatan dari Allah yang ia alami begitu menyentuh dan bergema kembali di hatinya karena pertama, sebagai seorang gembala yang tahu bagaimana memelihara dan melindungi domba-dombanya, ia melihat Allah bertindak bagaikan seorang Gembala yang baik yang mengenal dan mengetahui dia dengan sangat baik bahkan memelihara, merawat, dan melindunginya dari segala musuh sehingga ia merasa berada dalam perlindungan Allah dan Allah mencukupi segala kebutuhannya. Hal ini terungkap dalam ayat pertama: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku[7].” Metafor gembala ini dikembangkan lagi oleh Daud dengan menunjukkan peran seorang gembala yang membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang untuk memulihkan kekuatan mental maupun fisik seluruh domba-dombanya (ay.2.3a). Gambaran tempat yang damai, aman, dan nyaman ini tidak lepas dari jalan yang ditunjukkan sang gembala sendiri kepada domba-dombanya (ay.3b). Peran gembala juga tidak hanya menuntun ke jalan yang benar, tetapi melindungi domba-dombanya ketika mereka berada dalam bahaya besar yang mengancam hidup mereka (ay.4). Di sini, kehadiran sang gembala memberi rasa aman bagi domba-dombanya. Kehadiran sang gembala juga dinantikan oleh domba-dombanya. Domba-domba itu sangat mengenal gembala mereka, terlebih suaranya sehingga kemana pun sang gembala menuntun, domba-domba itu merelakan diri penuh percaya mengikuti sang gembala. Hal ini bisa terjadi karena sudah ada ikatan cinta yang kuat antara sang gembala dengan domba-dombanya: sang gembala bertanggung jawab penuh cinta atas keselamatan dan kesejahteraan domba-dombanya, sementara itu domba-dombanya mengenal, bergantung, dan menaruh kepercayaan yang besar pada sang gembala. Ada unsur pengenalan yang kuat dari domba-domba itu terhadap sifat sang gembala yang harus kita perhatikan. Daud menekankan betapa penting mengenal sifat dan kodrat Allah. Hal ini terungkap dalam ayat 3c: ”oleh karena nama-Nya”. Ungkapan ini bukan berarti bahwa semua yang dilakukan Allah sebagai Sang Gembala melulu demi reputasiNya, melainkan karena Dia adalah TUHAN, kodrat dan kehendakNyalah yang menggerakkan Dia untuk melakukan semua itu. Pengenalan terhadap sifat dan kodrat Allah ini terjadi karena ada kesadaran yang bertumbuh dalam diri Daud, yakni kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidupnya, penyertaan-Nya senantiasa dalam masa-masa kelamnya, dan terutama kesadaran bahwa Dialah Sang Gembala Sejati.

Kedua, Daud juga melihat Allah bagaikan seorang Tuan rumah yang baik yang menyediakan hidangan baginya di hadapan lawan-lawannya, yang mengurapinya dengan minyak, memenuhi pialanya dan yang menyertai hidupnya dengan kebajikan dan kemurahan sehingga ia ingin tinggal dalam rumah TUHAN selamanya. Di sini, Daud melihat dirinya sebagai seorang tamu asing yang sama sekali tidak mengenal Sang Tuan rumah. Namun, ia merasa diperlakukan secara istimewa dan mendapat perhatian kasih sayang yang besar dari Sang Tuan rumah melebihi apa yang telah orang-orang yang ia kasihi berikan padanya. Perlakuan istimewa dan perhatian yang besar ini sungguh sebuah bentuk penerimaan dirinya secara utuh apa adanya. Sang Tuan rumah tidak sedikit pun mencurigai asal-usulnya, memperhitungkan kejahatan atau kesalahan apa pun yang telah dibuatnya. Ia menerima dia sebagaimana adanya dia. Di sisi lain, Daud melihat bahwa Sang Tuan ini telah menyediakan diri dengan meluangkan waktu sepenuhnya bagi kebutuhan dan kenyamanannya, bahkan keberlangsungan hidupnya. Pelayanan Sang Tuan ini begitu total. Hal inilah yang begitu menyentuh hati Daud. Allah yang dilihatnya bukan lagi sebagai Allah yang Mahakuasa, Mahabesar, dan Mahahebat, melainkan sebagai seorang teman, sahabat yang sangat dekat dengan dirinya.


Para Pengungsi dalam Terang Allah sebagai Gembala dan Tuan Rumah yang Baik

Setelah menguraikan metafor Allah sebagai Gembala yang Baik dan Tuan rumah yang baik, kini penulis hendak mengembangkan imajinasinya sendiri berdasarkan uraian kedua metafor itu dalam persoalan konkret masa kini, yakni nasib para pengungsi. Dalam kesempatan ini, kembali penulis ingin menggemakan kembali pertanyaan yang telah disebutkan pada bagian pengantar: “Masihkah ada harapan bagi para pengungsi yang sampai hari ini berada dalam ‘lembah kekelaman’ mereka?” Tentu saja pertanyaan ini tidak berlaku bagi para pengungsi yang sudah mampu mengatasi keterpurukan nasib dengan memulai sebuah awal baru dalam kehidupan mereka. Pertanyaan ini lebih tepat ditujukan kepada beberapa pengungsi yang masih mengalami keterpurukan nasib, yang masih berada dalam ‘lembah kekelaman’. Lalu, bagaimana mengaitkan kedua metafor di atas dengan kenyataan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis hendak melihat lebih dahulu sebab pengungsian itu sendiri. Ada banyak sebab mengapa mereka meninggalkan tanah atau tempat tinggal mereka, misalnya karena peperangan yang tiada henti, persoalan politik, bencana alam, tanah yang tidak lagi memberikan kesuburan atau karena lingkungan yang sudah tidak memberi harapan, kenyamaan dan keamanan lagi. Keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini mendorong mereka untuk pergi dari tempat tinggal mereka selama ini entah untuk sementara waktu atau selamanya dan mencari kehidupan baru di tempat lain. Jadi, kepergian mereka lebih karena situasi lingkungan yang tidak lagi memberi kehidupan yang layak.

Istilah pengungsi ini tidak saja ditujukan kepada sejumlah besar orang yang mengungsi karena beberapa sebab di atas, seperti bencana tsunami, gempa bumi, atau peperangan, tetapi juga kepada siapa saja yang entah karena persoalan pribadi, keluarga, lingkungan atau politik yang kurang mendukung mengungsi ke tempat lain. Aneka alasan pengungsian ini didorong oleh hal yang sama, yaitu kerinduan dan harapan akan kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman. Situasi di mana setiap orang merasa bebas dan kerasan tinggal di tempat itu untuk mengembangkan segenap potensi dirinya dan membangun sebuah kehidupan yang penuh harapan baik bagi dirinya sendiri, orang lain maupun bagi generasi sesudahnya.

Sebenarnya situasi para pengungsi ini sama dengan situasi Daud ketika ia dikejar oleh Saul. Daud, pada saat itu, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari perlindungan. Situasi ini sungguh bukan situasi yang aman dan nyaman, melainkan sebuah situasi yang selalu mengancam hidup dan keberadaannya. Demikian pula para pengungsi merasakan situasi yang jauh dari apa yang mereka inginkan. Mereka berada di tempat pengungsian bukan karena keinginan hati mereka, melainkan karena hidup mereka terancam di tempatnya yang lama yang sudah tidak memberi harapan lagi. Dari situasi ini, penulis hendak berfokus pada ketidakberdayaan yang dialami para pengungsi ketika penulis, sebagai relawan, pernah berada di tengah-tengah para pengungsi korban Tsunami Aceh tahun 2004 yang lalu dan bagaimana peran Allah sebagai Gembala dan Tuan rumah yang baik terwujud nyata dalam ketidakberdayaan mereka.

Jika dilihat secara sekilas, nampak bahwa metafor Allah sebagai Gembala yang baik dan Tuan rumah yang baik kurang cocok dikaitkan dengan nasib para pengungsi. Mereka hidup dalam keterbatasan dan ketidaknyamanan. Mereka hidup dalam penantian yang panjang. Mereka hidup dalam ketidakpastian baik masa kini maupun masa depan seakan-akan tiada lagi tempat untuk bergantung. Mereka seperti kawanan domba yang tercerai berai yang telah ditinggalkan sang gembala. Namun, di tengah-tengah situasi negatif itu, kegembalaan Allah masih dapat dilihat dan dirasakan lebih dalam pada kehidupan yang masih menyertai mereka di tempat pengungsian. Kegembalaan Allah juga masih bisa dirasakan ketika mereka dituntun-Nya keluar dari situasi yang bisa mengancam hidup mereka. Mereka telah dibawa-Nya ke sebuah jalan yang benar, yaitu sebuah cara baru dalam memandang kehidupan. Mereka telah dibimbing-Nya ke sebuah padang yang berumput hijau dan air yang tenang yang bagi mereka adalah sebuah tempat perlindungan entah sementara atau selamanya yang menawarkan sebuah rasa aman, meskipun barangkali masih jauh dari kenyamanan, misalnya dalam tenda-tenda dan barak-barak yang disediakan baik oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya. Selain itu, kegembalaan Allah juga bisa dirasakan dalam kehadiran para relawan yang memberikan diri untuk melayani segala kebutuhan dasar mereka, seperti pakaian, makanan, tenda, peralatan-peralatan masak, peralatan untuk bekerja seperti peralatan tukang kayu, perahu, mesin jahit, buku-buku pelajaran bagi anak-anak dan pendidikan-pendidikan yang diselenggarakan untuk membuka wawasan, pelayanan kesehatan secara gratis, dll. Dengan misi kemanusiaan, para relawan mendampingi dan membantu para pengungsi berdamai dengan keadaannya dan memberdayakan mereka agar tidak terus-menerus bergantung pada bantuan, melainkan mampu berusaha dengan tenaga dan pikirannya sendiri untuk hidup mandiri. Di sinilah peran Allah sebagai Gembala yang baik menurut penulis sangat kuat. Allah melalui kehadiran para relawan tidak hanya membimbing ke tempat yang aman, tetapi juga menyegarkan jiwa para pengungsi dengan memulihkan kembali mental mereka, memberi kesadaran bahwa kehidupan yang masih mereka rasakan adalah anugerah yang harus disyukuri dan diperjuangkan.

Peran Allah sebagai Tuan rumah yang baik terwujud dalam persahabatan yang erat antar-pengungsi sendiri dan dengan para relawan atau siapa saja yang memiliki rasa peduli pada kemanusiaan. Segala macam penghalang persahabatan dihancurkan dengan rasa solidaritas yang tinggi. Hidangan dari Sang Tuan untuk domba-domba-Nya tidak lagi terbatas pada makanan yang lezat, tetapi pada cita rasa yang nikmat dari panggilan hati setiap orang yang terdorong untuk membantu para pengungsi ini. Hidangan lezat lain berupa terbukanya dunia baru yang selama ini tidak diperkirakan oleh para pengungsi. Puluhan ribu, ratusan bahkan mungkin jutaan lembaga-lembaga pemberdayaan para pengungsi di seluruh dunia ini mengulurkan tangannya untuk memberi ‘sajian’ berupa beraneka macam bantuan. Ketidakberdayaan para pengungsi ini mengundang Sang Tuan datang menunjungi mereka menyediakan segala kebutuhan mereka dan mengurapi mereka dengan minyak martabat kemanusiaan. Sang Tuan rumah tidak lagi menunggu tamunya datang ke rumahnya, melainkan menyambangi dan menjemput tamu-tamunya di tempat mereka berada untuk kemudian disatukan dan dimasukkan ke dalam rumahNya.

Kehadiran LSM-LSM, seperti misal Jesuit Refugee Service (JRS) atau Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) di kantung-kantung pengungsian bagaikan seorang tuan rumah yang selalu terbuka pada kehadiran siapa saja yang membutuhkan kebajikan dan kemurahan. Kebajikan dan kemurahan tidak hanya berhenti di tempat pengungsian itu saja, melainkan berlanjut pada relasi persahabatan yang mendalam yang akan terus bergema dalam kehidupan para pengungsi ini. Benih kebajikan dan kemurahan yang mereka rasakan dari Sang Tuan rumah akan bertumbuh subur dalam hati mereka dan akan memenuhi rumah Tuhan. Di sini rumah Tuhan tidak lagi berbentuk bangunan fisik, melainkan suasana ramah dan bersahabat yang ditawarkan bagi para pengungsi untuk bangkit dari kelesuan dan kedukaan hidup. Dengan demikian, peran Sang Tuan rumah yang baik terwujud nyata dalam rasa solidaritas yang kuat yang terwujud dalam suasana persahabatan.


Harapan: Sebuah Sajian Kekal Sang Gembala dan Sang Tuan yang Baik.

Sampai di sini, penulis merasa bahwa kehadiran Allah sebagai Gembala dan Tuan rumah yang baik bukan lagi sebagai utopia belaka, melainkan sebuah kenyataan yang bisa kita alami dan kita rasakan sehari-hari. Kehadiran-Nya dalam berbagai rupa untuk mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi mereka yang terlupakan bisa kita saksikan dalam kehidupan kita maupun melalui berbagai berita yang dapat kita saksikan dan kita dengarkan. Kepercayaan yang besar pada penyelenggaraan ilahi-Nya akan membawa sebuah harapan yang mampu membesarkan hati siapa saja yang berada dalam keterpurukan hidup. Kemalangan dan kekelaman hidup bukan lagi menjadi kata akhir, melainkan sebuah era baru untuk melangkah masuk ke dalam sebuah kehidupan baru yang penuh berkat. Tangan-tangan Allah yang tak kelihatan akan semakin nampak bila kita membuka diri pada kehadiran orang-orang utusan-Nya.

Telah kita lihat bagaimana pun juga, para pengungsi tidak akan luput dari perhatian Sang Gembala dan Tuan rumah yang baik ini karena pada diri-Nya sudah menyatu sifat dan karakter seorang gembala dan tuan rumah sejati. Meskipun dunia sudah melupakannya, namun Allah tidak akan kekurangan cara menggerakkan gembala-gembala dan tuan-tuan rumah yang lain untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya. Keterasingan bukan lagi menjadi momok bagi setiap pengungsi, tetapi malah menjadi sarana rahmat bagi mereka. Pengungsian mereka entah sementara atau sampai pada waktu yang tak bisa dipastikan dapat menumbuhkan sebuah harapan akan hari esok yang lebih baik. Hari-hari mereka di tempat pengungsian bukan lagi menjadi hari-hari kosong penuh kedukaan, melainkan hari-hari yang penuh dengan pengembangan diri, penataan mental dan persiapan diri bagi sebuah masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, harapan baru menjadi sajian kekal dari Sang Gembala dan Tuan rumah yang baik bagi mereka.