Rabu, 06 Juni 2012

Good Governance “Keuangan Gereja” Disarikan dari wawancara dengan Robertus Bambang Rudianto, SJ


Vico Christiawan SJ

Korupsi dalam masyarakat sudah menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan istilah budaya korupsi. Artinya, budaya yang arti awalnya adalah bagian dari kegiatan manusia untuk membangun peradaban yang luhur malah kini menjadi bermakna negatif.  “Budaya korupsi” malah mengorupsi makna dari istilah budaya itu sendiri, yaitu mengerdilkan martabat luhur manusia karena mengubah perilaku manusia dari manusia yang jujur menjadi tidak jujur. Dengan kata lain terjadi dekadensi moral manusia. Ini tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu, dalam kesempatan melakukan wawancara dengan seorang Jesuit, Romo Robertus Bambang Rudianto, SJ, atau yang dikenal dengan Romo Rudi, SJ, penulis mencoba memaparkan pemikiran-pemikiran beliau yang menganalisa akar persoalan dari “budaya korupsi” tersebut dari sisi tata kelola keuangan.

Sumber “korupsi”: Trust yang tidak transparan dan Pembiaran
Menurut  Romo Rudi SJ, terjadinya “korupsi”, khususnya dalam tarekat-tarekat, adalah karena dua hal, yaitu pengelolaan keuangan yang sangat tradisional yang mengandalkan trust yang tidak transparan dan pembiaran-pembiaran yang terjadi atas masalah keuangan selama bertahun-tahun.  Tentang trust yang tidak transparan, beliau yang kini menjabat sebagai seorang ekonom provinsi Serikat Yesus Indonesia ini mengatakan bahwa praktik kepercayaan itu sudah terjadi lama sekali sehingga orang yang bertanggungjawab atas masalah keuangan atau  para pejabat pengambil keputusan dalam tarekat atau Gereja tidak pernah sungguh-sungguh mencoba membaca, melihat, dan mengevaluasi semua laporan keuangan tersebut. Akibatnya adalah bahwa ketika semua laporan keuangan itu harus diklarifikasi, seringkali pejabat yang harus bertanggungjawab itu tidak mengetahui letak kesalahan yang terjadi bertahun-tahun dalam laporan keuangan tersebut. Ketika kesalahan itu sudah terungkap, tarekat atau Gereja tidak berani untuk mengatasi ‘masalah’ yang terlanjur berat ini agar tuntas. Ketidakberanian pihak Tarekat atau Gereja untuk mengungkap ‘masalah’ ini karena terkait soal pajak.
Menurut beliau, tidak sedikit pejabat tarekat atau Gereja telah melakukan tanda tangan tanpa mengetahui secara persis dan jeli dokumen yang ia tanda tangani. Padahal yang ia tanda tangani bisa jadi merupakan urusan yang sangat besar. Apabila terjadi kesalahan, secara hukum, pejabat itulah yang harus bertanggung jawab. Inilah yang beliau lihat sebagai kesalahan dalam manajemen tradisional yang seolah-olah semua saling percaya. Bagi beliau, uang itu, bagaimanapun, tidak bisa dirumuskan dengan percaya saja, melainkan harus dirumuskan dengan pertanggungjawaban. Kelemahan yang sering terjadi dalam pengelolaan keuangan tarekat atau Gereja adalah percaya begitu saja tanpa disertai dengan pertanggungjawaban.
Tentang pembiaran atas masalah keuangan, Romo Rudi SJ mengatakan bahwa organisasi Gereja seringkali membiarkan hal-hal yang seharusnya tidak bisa diteruskan, entah karena memang tidak ada orang yang menuntaskan persoalan tersebut atau merasa bahwa ini dana sosial. Pembiaran yang dimaksudkan beliau adalah bahwa pejabat yang bertanggungjawab sebenarnya mengetahui ada masalah dalam laporan keuangan, ada sesuatu yang tidak transparan, dan tidak jujur, namun tidak mengatakannya atau tidak menyelesaikannya. Bahasa yang beliau pakai adalah ‘neglect’ atau ‘saya ga mau tahulah.’ Menurut beliau, sumber persoalan ini adalah sikap sok tahu yang membahayakan. “Bila tidak tahu ya katakan tidak tahu”, kata beliau. Membahayakan dalam arti bahwa posisi dari pejabat untuk memutuskan apakah uang keluar atau tidak itulah yang bisa keliru bila tidak tahu secara persis untuk apa sejumlah uang itu dikeluarkan. Lebih berbahaya lagi bila pejabat yang memiliki wewenang dalam membuat keputusan tidak tahu bagaimana memutuskan secara tepat terkait dengan pengelolaan keuangan.
Berangkat dari dua sebab di atas, “korupsi” bisa diartikan sebagai pembiaran atas tiadanya pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan transparan, atas model-model pengelolaan keuangan yang sudah tidak bisa lagi dipakai karena mengandalkan trust yang keliru, dan atas masalah-masalah keuangan yang sebenarnya diketahui, namun tidak diselesaikan secara tuntas.

Pertanggungjawaban: Kunci Tata Kelola Keuangan
Pertanggungjawaban adalah kunci dalam tata kelola manajemen keuangan. Pertanggungjawaban bisa dalam bentuk laporan yang jelas, ada voucher-nya, ada bukti kasnya yang semuanya tertulis. Keuangan yang ada baik di bank maupun di kas, serta berbagai macam bentuk piutang juga harus dicatat. Sebagai contoh dari praktik yang tidak ada pertanggungjawaban ini adalah ketika seorang romo atau suster atau frater atau bruder meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain berdasarkan belas kasihan tanpa pernah mencatat pengeluaran uang tersebut. Pengembaliannya pun sering kali juga tidak jelas.  Inilah model pengelolaan keuangan yang bisa dikatakan “korupsi” karena tidak adanya pertanggungjawaban, yaitu tiadanya voucher dan bukti pengeluaran.
Begitu pula pelbagai macam sumbangan yang kita terima. Semua harus dicatat dan dilaporkan penggunaannya secara jelas dan tertulis. Meski sumbangan bukan merupakan wajib pajak, karena merupakan dana sosial, penggunaannya dan sisanya tetap harus dicatat dan dilaporkan dengan disertai bukti-bukti tertulis. Masalahnya, ketika ada sisa dana sumbangan, sisa tersebut seringkali tidak dilaporkan. Inilah kelemahan yang dilihat Romo Rudi sebagai kelemahan Gereja, yaitu kurang adanya laporan yang transparan dan memang jelas bahwa laporan itu menunjukkan aktivitasnya. Lanjutnya, kekayaan Gereja sebenarnya banyak hanya saja banyak yang hilang, banyak yang ditipu, banyak yang dibawa lari karena oknum yang melarikan uang Gereja itu seringkali dimaafkan begitu saja, tanpa mau dipersoalkan secara hukum.
Pertanggungjawaban ini bagi kaum biarawan-biarawati sebenarnya merupakan bagian dari penghayatan kaul. Perhatian bahwa kita tidak memiliki apa-apa adalah penting. Kita sebagai biarawan-biarawati diminta pembesar untuk mengelola keuangan tarekat karena kita memang tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu, sudah wajarlah bila kita mesti mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tugas kita, khususnya dalam mengelola keuangan. Menurut Rm Rudi SJ, di hadapan uang semua sama saja, entah kaum biarawan-biarawati atau awam. Maksudnya adalah bahwa kita semua bisa keblinger, bisa memanfaatkannya secara tidak tepat atau dimanfaatkan oleh orang lain untuk menggunakan uang secara keliru karena kelemahan-kelemahan kita. Disinilah kaul membantu kita untuk menghadapi uang itu secara proposional. Kita terbantu oleh penghayatan kaul-kaul kita untuk mengekspresikan pengelolaan keuangan tersebut dengan semangat transparansi, dapat dipercaya, tanggungjawab, independen, dan adil.

Pengelolaan Keuangan Profesional
Untuk mengantisipasi adanya kebocoran-kebocoran dalam pengelolaan keuangan, baiklah pertama,  kita perlu tahu pengelolaan keuangan yang profesional. Ini berlaku bagi siapa saja, lebih-lebih yang bertanggungjawab langsung atas keuangan tarekat atau Gereja. Namun, kita tidak perlu menjadi seorang yang profesional. Kita bisa minta bantuan dari para konsultan keuangan yang bekerja secara profesional. Mereka bisa membantu kita tentang sekurang-kurangnya bagaimana membaca laporan keuangan, bagaimana melaporkan pajak, dan bagaimana mengelola keuangan. Mengapa ini perlu kita lakukan? Karena di negara kita ini, segala macam hal yang berkaitan dengan uang, ada konsekuensinya. Kita yang menggunakan uang sudah berkaitan dengan negara. Siapa pun itu. Kita menjadi Subjek pajak. Artinya siapa saja yang memegang uang adalah Subjek pajak.
Kedua, hendaknya kita mulai membuat laporan keuangan secara transparan karena laporan keuangan itu akan menunjukkan kegiatan komunitas maupun karya seperti apa. Rumusan laporan itu pun harus jelas, yaitu ada bukti-bukti yang tertulis.
Ketiga, sebagai warga negara, kita juga harus melaporkan kepada negara seandainya ada nilai tambah. Kita tidak usah takut dengan pajak. Justru dengan pengelolaan keuangan yang transparan dan jelas, kita ada dalam jalur hukum yang aman. Meskipun begitu, kita tetap harus mempersiapkan laporan-laporan keuangan kita dengan baik sebelum diberikan kepada negara.
Keempat, hendaknya kita jangan membiarkan masalah keuangan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Jika sekiranya memang ada pelaku yang menyelewengkan uang tarekat atau Gereja, hendaknya diproses secara hukum. Bila tarekat atau Gereja tidak berani menggunakan jalur hukum, jalan keluar paling baik adalah dengan mengganti orang yang lama dengan yang baru, serta memperbaiki tata kelola keuangannya agar tidak terulang kesalahan yang sama. Namun, jalan ini juga masih menyisakan persoalan, yaitu uang yang berjumlah sangat besar itu akhirnya lenyap tanpa ada pertanggungjawaban yang serius. Uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk kemuliaan Allah, malah hilang. Di sini berarti bahwa pemberian maaf kepada pelaku sebenarnya tidak cukup bila tidak disertai dengan pertanggungjawaban.
Akhirnya, “korupsi” dalam tarekat atau Gereja adalah masalah pertanggungjawaban. “Korupsi” bisa terjadi karena memang disengaja, namun seringkali karena ketidaktahuan bagaimana mengelola keuangan secara profesional dengan disertai pertanggungjawaban yang transparan dan jelas. Jadi, tugas kita sekarang ini adalah terus belajar membaca tanda-tanda jaman, berani menggunakan jalur hukum, menggunakan prosedur yang jelas agar kita aman, berani menggunakan tata kelola keuangan yang profesional yang lebih transparan, dapat dipercaya, bertanggungjawab, independen, dan adil.

Tidak ada komentar: