Thomas
lahir di tahun 1225 di kastil Rocca Secca , rumah keturunan bangsawan Aquino,
dalam kerajaan Sisilia di Italia Selatan. Ayahnya, Count Landulf adalah sepupu
kaisar Frederick Barbarossa. Keluarga Aquino mendaku masih memiliki relasi
dengan St. Gregorius Agung dan masih satu darah dengan St. Louis dari Perancis
dan Ferdinand dari Castile, juga kepada Norman Barons yang menaklukkan Sisilia
di abad kesebelas. Semua garis kebangsawanan, pembelajaran, dan kekudusan dari
pendahulunya mempengaruhinya.[1]
Ia
lahir dalam sebuah abad yang memiliki kegiatan intelektual yang luar biasa.
Kegemilangan filsafat Kristen telah dihadirkan oleh St. Agustinus yang telah
mengkristenkan Platonisme. Namun, dengan
penemuan kembali Aristoteles melalui beberapa komentator Arab, sebuah pandangan
baru muncul di arena skolastik. Meski pada awalnya pemikiran Aristoteles dalam
tafsiran kaum Arab dicurigai oleh dunia Kekristenan, St. Albert Agung dan
muridnya yang terkenal, St. Thomas Aquinas telah mengenali dan menguasai
kebenaran dasar dan nilai-nilai teologi Kristiani dalam pemikiran Aristoteles.
Melalui sarana tersebut, St. Tomas Aquinas dapat memformulasikan seluruh
kebenaran tubuh Katolik.
Kisah Panggilannya ke dalam Ordo
Pengkotbah
Di
usia lima tahun, dia memulai pendidikannya di biara Benediktin yang terkenal di
Monte Cassino. Sejak dari semula, dia nampak pendiam, pembelajar, dan pendoa.
Satu pertanyaan yang sempat tercatat darinya adalah “Apa Allah itu?” (“What is God?”) Pertanyaan inilah yang
menggerakkan seluruh hidupnya untuk mencari jawabannya. Kemudian, di usia
sepuluh tahun, dia dikirim orang tuanya ke Universitas Naple. Di situ dia
membaktikan diri dalam doa tidak kurang dari pada studinya. Tempat favoritnya
adalah gereja para Biarawan Dominikan yang telah mendirikan sebuah sekolah
teologi di sana pada tahun 1231. Meskipun cintanya pada Ordo St. Bedeniktus
begitu besar, ia merasa dipanggil Allah untuk bergabung dengan Ordo Pengkotbah
di usia enam belas tahun. Ia dan superiornya merasa bahwa orang tuanya tidak
akan setuju dengan pilihannya itu karena mereka mengharapkan Thomas kelak
menjadi seorang Abas di biara Monte Cassino yang terkenal itu. Kemudian, ia
bergegas pergi menuju Curia Ordo Pengkotbah di Priory Santa Sabina di Roma.
Ibunya, Theodora, mengikutinya dari belakang namun tetap tidak dapat
membujuknya untuk dimintai persetujuannya. Jenderal Ordo Pengkotbah waktu itu,
John the Teutonic hendak mengadakan perjalanan ke Paris dan memutuskan untuk
membawa saudara Thomas bersamanya. Ibunya tidak menyetujuin kepergian anaknya
ke Paris. Ia kemudian meminta kedua anak laki-lakinya yang lebih tua yang
mengabdi dalam militer kaisar di Italia untuk menghentikan rombongan kecil itu
dan membawa Thomas kembali. Rombongan itu dihentikan, dan para serdadu mencoba
menangkap Thomas. Namun, ketika mereka meraih jubah Thomas, mereka berhadapan
dengan perlawanan yang tak mereka duga yang membuat mereka menyerah. Namun,
Thomas tetap dibawa kepada orang tuanya yang marah di Rocca Secca.[2]
Di
Rocca Secca, ia dimasukkan ke dalam salah satu menara di kastil sampai dia
mematuhi keinginan orang tuanya. Dua saudarinya, Marietta dan Theodora diminta
ibunya untuk membujuk Thomas agar memenuhi keinginan ibunya. Namun, keduanya
malah memihak Thomas. Melalui saudarinya itu, Thomas dapat memperoleh buku-buku,
yaitu Kitab Suci dan lima buku Sentences-nya
Petrus Lombardus, buku teologi pada masanya yang kelak ia menulis sebuah
komentar yang luar biasa atas buku itu. Selama kurang lebih satu tahun, ia
berkomitmen menghafal seluruh isi Kitab Suci dan buku Petrus Lombardus itu[3].
Kedua
kakak laki-lakinya berkarakter berbeda dengan kedua saudarinya. Setibanya
mereka di Rocca Secca, mereka memasukkan seorang wanita tuna susila ke dalam
menara tempat Thomas berada. Namun, Thomas mendorongnya keluar. Setelah itu ia
meraba dinding dan berlutut di hadapannya dan memohon Allah rahmat kemurnian
abadi. Selama dia berdoa, dia mengalami ekstase. Dua malaikat menampakkan diri
padanya dan memasangkan sebuah tali kawat dengan ketat dipinggangnya dan
berkata, “Kami berasal dari Allah untuk memberimu dengan rahmat kemurnian abadi
dan kerapuhan manusiawi tak pernah menguasai apa yang telah kau pastikan dengan
rahmat Allah yang tak dapat dibatalkan.” Mereka memperketat tali kawat itu
sehingga dia berteriak kencang. Beberapa pembantu berlari mendatanginya namun
ia tidak mengatakan satu kata patah pun hingga ia mengatakannya di saat
menjelang kematiannya kepada Saudara Reginald dan mengatakan bahwa sejak saat
itu ia tak pernah mengalami godaan kedagingan.
Akhirnya
keluarganya yakin dengan keputusan Thomas. Ia diturunkan dalam sebuah keranjang
dan para biawaran Dominikan menunggunya dan membawanya ke Naples untuk
mengikrarkan kaul dalam Ordo Dominikan. Namun, keluarga masih mencoba satu
usaha lagi untuk menempatkan dia di posisi yang lebih bermartabat. Paus
mengusulkan agar Thomas tetap masuk ke dalam Biara Monte Cassino sementara dia
terus mengenakan jubah Dominikan. Namun, Thomas mengatakan bahwa Kekudusan Paus
secara ketat melarang campur tangan lebih lanjut pada panggilannya. [4]
Bersama
St. Albertus Agung yang diminta Jenderal untuk mengambil gelar doktor di Paris,
Thomas berjalan kaki menuju kota itu di tahun 1245. Keduanya membawa Kitab Suci
dan Brevir. Sementara itu, Thomas menambah bukunya dengan buku The Sentence. Di Biara St. Jacque,
Thomas menjadi model semangat doa bagi seluruh komunitas, kesederhanaannya,
ketaatannya yang sempurna, dan kemurahhatiannya. Tidak pernah ia diketahui
mengeluarkan kata-kata salah, namun kata-katanya menarik dan menimbulkan
kegembiraan rohani bagi siapa pun yang mendengarnya. Di tahun 1248 ia bertemu
dengan St. Bonaventura, seorang fransiskan. Keduanya telah mengambil Bakaloreat
Teologi bersama. Di tahun itu, Albertus dan Thomas kembali ke Cologne dan
reputasi mereka segera memenuhi sekolah teologi Dominikan yang baru di kota
itu.[5]
Karya tulisan-tulisannya
Setelah
mengajar selama empat tahun di Cologne, dia sekali lagi diminta untuk mengambil
gelar doctor di Paris. Selama berada di Cologne, dia telah menulis dua risalah
filsafat: De Ente et Essentia dan De Principiis Naturae dan sebagian
komentarnya pada buku the Sentences. Karya tulisan selanjutnya
adalah risalahnya Contra Impugnantes. Risalah ini ia pakai untuk membela para biarawan
yang dituduh oleh para doktor sekular yang bersama William dari St. Amour
menerbitkan buku berjudul The Perils of
The Latter Times sebagai rasul palsu, tidak memiliki hak untuk mengajar,
penjelajah yang tidak memiliki ijin. Bersama St. Bonaventura, ia mengutuk buku
tersebut dan mengembalikan para biarawan menempati kursi teologi mereka di
universitas. Gelar doktor keduanya akhirnya diakui. Setelah itu, ia menulis
komentarnya pada karya Boethius dalam De
Trinitate dan De Hebdomadibus,
pada Yesaya dan Injil St. Matius,
risalahnya De Veritate, Questiones Quodlibetales pertamanya, dan
bagian terbesar dari Summa Contra
Gentiles-nya. Karyanya yang terakhir ini dipakai untuk melawan doktrin
filosofis dan teologis palsu dari Orang Moor yang masuk ke Spanyol yang juga
masuk ke dalam Universitas di Eropa pada masa Jenderal Ketiga Ordo, St. Raymund
dari Pennafort.[6]
Dari
karya terbesar dan paling terkenalnya, Summa
Theologica, Paus Yohanes ke-22 yang mengkanonisasi dia di Avignon pada
tahun 1323 mengatakan bahwa St. Thomas Aquinas telah bekerja sebanyak mukjizat
yang ada dalam artikelnya. Di tahun 1520 Luther membakar salinan dari karyanya
di ruang terbuka di Wittenberg. Sementara itu reformer lain, Martin Bicer,
mengatakan secara pahit, “Kalahkan Thomas, dan aku akan menghancurkan Gereja.”
Di konsili Trento, hanya tiga karya acuan yang terletak di meja: Kitab Suci,
Hukum Pontifical, dan Summa Theologica-nya
St. Thomas Aquinas.[7]
Persetujuan Ilahi atas
Karya-karyanya
Barangkali
kebesaran St. Thomas adalah terletak pada penjelasannya tentang doktrin Ekaristi
Kudus dan partisipasinya dalam lembaga Pesta Corpus Christi. Risalah
pertamanya tentang Sakramen Terberkati diletakkan di altar di hadapan kaki
Yesus Tersalib sementara ia berdoa kepada Tuhan di situ:
“Tuhan
Yesus, yang sungguh-sungguh hadir dan yang telah melakukan karya yang ajaib
dalam Sakramen Terhormat ini. Aku mohon anugerah dari-Mu, bahwa jika apa yang
kutulis merupakan kebenaran, Engkau akan memampukan aku untuk mengajarkannya;
namun bahwa, bila apa yang kutulis berisi sesuatu yang berlawanan dengan iman,
Engkau akan menjauhkan aku dari akibat lebih jauh saat menyatakannya.”
Kemudian,
beberapa biarawan yang hadir saat itu melihat patung Kristus turun dari salib
dan berdiri di atas risalahnya dan dari mulut-Nya terdengar kata-kata ini:
“Engkau telah menulis sangat baik tentang Sakramen Tubuh-Ku, Thomas.” Peristiwa
yang serupa juga terjadi di Naples ketika ia sedang menulis bagian ketiga dari Summa-nya yang berbicara tentang
kemanusiaan Kristus. Suatu hari, di hadapan Matin, seorang koster, ia melihat St.
Thomas Aquinas terangkat dari tanah dalam kontemplasi di hadapan yang Tersalib.
Tiba-tiba sebuah suara datang dari patung Kristus, “Engkau telah menulis
tentang Aku dengan baik, Thomas. Hadiah apa yang Engkau inginkan dari-Ku atas
semua pekerjaanmu ini?” “Tiada lain selain Engkau sendiri, Tuhan,” jawab
Thomas. Hal tersebut terjadi saat ia diminta oleh Paus Urban IV untuk menulis
sesuatu tentang pesta Corpus Christi
yang akan diperkenalkan ke seluruh Gereja Universal. Dari hasil karya Thomas,
ada beberapa yang sangat akrab di telinga kita saat ini, yaitu Laudatio Sion, O Saluntaris, dan Pange
Lingua dengan bait penutupnya Tantum
Ergo. Selain itu, Gereja juga berhutang darinya karena doa Adoro Te dan Anima Christi.[8]
Kesatuannya dengan Allah
Berkat
kesatuannya dengan Allah, ia mampu memahami tentang rahmat. Baginya rahmat
tidak menghancurkan kodrat. Sebaliknya rahmatlah yang dapat menyempurnakan
kodrat manusia, dan manusia hanya dapat menemukan kesempurnaan sejatinya dalam
hal adikodrati. Satu-satunya humanisme yang sah adalah humanisme
Inkarnasi. Baginya, kesatuannya dengan
Allah adalah baik sebagai sumber maupun tujuan dari studinya. Allah yang menjadi
manusia baginya adalah Alfa dan Omega dari semua kekuatan jiwa dan raganya. Dia
hidup dalam semacam ekstasi abadi, dalam doa, dalam penyesahan diri, dan
terserap oleh hasrat akan Allah, namun juga melakukan cinta kasih kepada
sesamanya. Barangkali dia boleh makan
malam semeja dengan Raja Perancis, namun pikirannya masih terfokus pada hal-hal
tentang Allah. Terbukti, tiba-tiba dia berkata, “Itulah akhir dari Kaum
Manike!” Dia juga mengatur hidupnya dengan sebuah ketaatan yang sederhana dan
paling tepat kepada superior-superiornya. Baginya, ketaatan adalah kesempurnaan
hidup religius. Dengan ketaatan tersebut, seseorang menyerahkan dirinya kepada
orang karena kasih akan Allah sebagaimana Allah telah membuat diri-Nya taat
kepada manusia bagi keselamatan mereka. Devosinya yang mendalam kepada misteri
Inkarnasi secara tak terhindarkan membantunya mengasihi secara mendalam kepada
Bunda Allah Terberkati. Selama masa
prapaskah, dia berkotbah tentang kata-kata Ave
Maria. Kata-kata yang sama tersebut
juga ditemukan secara berulang dalam tulisan tangannya sendiri pada batas
salinan bukunya Contra Gentiles yang
selamat. Saudara Refinald mengatakan bahwa pengetahuan Thomas yang mengagumkan
itu tidak jauh dari kejeniusannya dari pada pada doa-doanya. Dia berdoa dengan
air mata untuk mendapatkan dari Allah pemahaman misteri-misteri-Nya dan
sejumlah terang telah dianugerahkan ke dalam pikirannya. Jika dia berjumpa
dengan beberapa persoalan yang khusus, dia akan menambahkan puasa dan penitensi
pada doanya dan dengan demikian ia mendapatkan jalan keluarnya. Dia merupakan
seorang pujangga yang hebat karena dia adalah seorang kudus yang hebat.[9]
Perjalanan Terakhirnya
Dia
sakit saat meninggalkan Naples di awal 1274 untuk pergi ke Lion dalam rangka
memenuhi undangan Paus Gregorius X untuk menghadiri Konsili Umum. Dalam
perjalanannya, sakitnya semakin parah sehingga tidak memungkinkan baginya
mencapai rumah Dominikan di Lion. Kemudian, ia diminta untuk tinggal di biara
Sistersian di Fossa Nuova yang terdekat. Dia diterima di situ, tinggal di kamar
Abas, dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Melihat kebaikan mereka, ia merasa tidak enak, lalu
berkata, “Bagaimana mungkin orang kudus ini membawaku kayu?” Lalu untuk
membalas kebaikan mereka, ia menuliskan sebuah risalah pendek berjudul Canticle of Canticle. Sayangnya ia tidak
menyelesaikannya. Dia meminta Sakramen Minyak Suci dan minta dibaringkan di
atas abu di atas tanah untuk menerima Tuhannya.
Saat
menerima Sakramen Terberkati, dia berlutut, dan menumpahkan air mata di pipinya
dan berkata: “Aku menerima Engkau, harga dari penebusanku; Aku menerima Engkau,
Bekal perjalanan jiwaku, Engkau yang kukasihi, yang kuselidiki, yang
menginspirasi karya-karyaku, yang kukotbahkan, dan yang kuajarkan. Aku telah
menulis banyak dan seringkali diperdebatkan tentang misteri hukum-Mu, O
Allahku; Engkau yang mengetahui apa yang kuinginkan untuk kuajarkan hanya
dari-Mu saja. Jika apa yang tertulis benar, terimalah sebagai sebuah
penghormatan pada Keagungan-Mu yang Takterbatas; jika salah, mohon ampun atas
kesalahanku; Kupersembahkan semua yang telah kulakukan pada-Mu, dan kuserahkan
semuanya pada penilaian Gereja Roma Kudus-Mu yang tak pernah salah, dengannya
aku menaatinya.” Dia meninggal tiga hari setelahnya pada tanggal 7 Maret 1274,
sebelum berusia genap lima puluh tahun.[10]
[1] Hilary J. Carpenter, St. Thomas Aquinas: Doctor of the Church and
Patron of Catholic Schools (1225-1274), London: Catholic Truth Society,
1956, hlm. 3.
[2] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 3-4.
[3] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 4-5.
[4] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 5-6.
[5] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 7.
[6] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 8.
[7] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 10.
[8] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 10-11.
[9] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 11-13.
[10] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar