Sabtu, 02 Juni 2012

Kisah hidup St. Thomas Aquinas


Thomas lahir di tahun 1225 di kastil Rocca Secca , rumah keturunan bangsawan Aquino, dalam kerajaan Sisilia di Italia Selatan. Ayahnya, Count Landulf adalah sepupu kaisar Frederick Barbarossa. Keluarga Aquino mendaku masih memiliki relasi dengan St. Gregorius Agung dan masih satu darah dengan St. Louis dari Perancis dan Ferdinand dari Castile, juga kepada Norman Barons yang menaklukkan Sisilia di abad kesebelas. Semua garis kebangsawanan, pembelajaran, dan kekudusan dari pendahulunya mempengaruhinya.[1]
Ia lahir dalam sebuah abad yang memiliki kegiatan intelektual yang luar biasa. Kegemilangan filsafat Kristen telah dihadirkan oleh St. Agustinus yang telah mengkristenkan Platonisme.  Namun, dengan penemuan kembali Aristoteles melalui beberapa komentator Arab, sebuah pandangan baru muncul di arena skolastik. Meski pada awalnya pemikiran Aristoteles dalam tafsiran kaum Arab dicurigai oleh dunia Kekristenan, St. Albert Agung dan muridnya yang terkenal, St. Thomas Aquinas telah mengenali dan menguasai kebenaran dasar dan nilai-nilai teologi Kristiani dalam pemikiran Aristoteles. Melalui sarana tersebut, St. Tomas Aquinas dapat memformulasikan seluruh kebenaran tubuh Katolik.

Kisah Panggilannya ke dalam Ordo Pengkotbah
Di usia lima tahun, dia memulai pendidikannya di biara Benediktin yang terkenal di Monte Cassino. Sejak dari semula, dia nampak pendiam, pembelajar, dan pendoa. Satu pertanyaan yang sempat tercatat darinya adalah “Apa Allah itu?” (“What is God?”) Pertanyaan inilah yang menggerakkan seluruh hidupnya untuk mencari jawabannya. Kemudian, di usia sepuluh tahun, dia dikirim orang tuanya ke Universitas Naple. Di situ dia membaktikan diri dalam doa tidak kurang dari pada studinya. Tempat favoritnya adalah gereja para Biarawan Dominikan yang telah mendirikan sebuah sekolah teologi di sana pada tahun 1231. Meskipun cintanya pada Ordo St. Bedeniktus begitu besar, ia merasa dipanggil Allah untuk bergabung dengan Ordo Pengkotbah di usia enam belas tahun. Ia dan superiornya merasa bahwa orang tuanya tidak akan setuju dengan pilihannya itu karena mereka mengharapkan Thomas kelak menjadi seorang Abas di biara Monte Cassino yang terkenal itu. Kemudian, ia bergegas pergi menuju Curia Ordo Pengkotbah di Priory Santa Sabina di Roma. Ibunya, Theodora, mengikutinya dari belakang namun tetap tidak dapat membujuknya untuk dimintai persetujuannya. Jenderal Ordo Pengkotbah waktu itu, John the Teutonic hendak mengadakan perjalanan ke Paris dan memutuskan untuk membawa saudara Thomas bersamanya. Ibunya tidak menyetujuin kepergian anaknya ke Paris. Ia kemudian meminta kedua anak laki-lakinya yang lebih tua yang mengabdi dalam militer kaisar di Italia untuk menghentikan rombongan kecil itu dan membawa Thomas kembali. Rombongan itu dihentikan, dan para serdadu mencoba menangkap Thomas. Namun, ketika mereka meraih jubah Thomas, mereka berhadapan dengan perlawanan yang tak mereka duga yang membuat mereka menyerah. Namun, Thomas tetap dibawa kepada orang tuanya yang marah di  Rocca Secca.[2]
Di Rocca Secca, ia dimasukkan ke dalam salah satu menara di kastil sampai dia mematuhi keinginan orang tuanya. Dua saudarinya, Marietta dan Theodora diminta ibunya untuk membujuk Thomas agar memenuhi keinginan ibunya. Namun, keduanya malah memihak Thomas. Melalui saudarinya itu, Thomas dapat memperoleh buku-buku, yaitu Kitab Suci dan lima buku Sentences-nya Petrus Lombardus, buku teologi pada masanya yang kelak ia menulis sebuah komentar yang luar biasa atas buku itu. Selama kurang lebih satu tahun, ia berkomitmen menghafal seluruh isi Kitab Suci dan buku Petrus Lombardus itu[3].
Kedua kakak laki-lakinya berkarakter berbeda dengan kedua saudarinya. Setibanya mereka di Rocca Secca, mereka memasukkan seorang wanita tuna susila ke dalam menara tempat Thomas berada. Namun, Thomas mendorongnya keluar. Setelah itu ia meraba dinding dan berlutut di hadapannya dan memohon Allah rahmat kemurnian abadi. Selama dia berdoa, dia mengalami ekstase. Dua malaikat menampakkan diri padanya dan memasangkan sebuah tali kawat dengan ketat dipinggangnya dan berkata, “Kami berasal dari Allah untuk memberimu dengan rahmat kemurnian abadi dan kerapuhan manusiawi tak pernah menguasai apa yang telah kau pastikan dengan rahmat Allah yang tak dapat dibatalkan.” Mereka memperketat tali kawat itu sehingga dia berteriak kencang. Beberapa pembantu berlari mendatanginya namun ia tidak mengatakan satu kata patah pun hingga ia mengatakannya di saat menjelang kematiannya kepada Saudara Reginald dan mengatakan bahwa sejak saat itu ia tak pernah mengalami godaan kedagingan.
Akhirnya keluarganya yakin dengan keputusan Thomas. Ia diturunkan dalam sebuah keranjang dan para biawaran Dominikan menunggunya dan membawanya ke Naples untuk mengikrarkan kaul dalam Ordo Dominikan. Namun, keluarga masih mencoba satu usaha lagi untuk menempatkan dia di posisi yang lebih bermartabat. Paus mengusulkan agar Thomas tetap masuk ke dalam Biara Monte Cassino sementara dia terus mengenakan jubah Dominikan. Namun, Thomas mengatakan bahwa Kekudusan Paus secara ketat melarang campur tangan lebih lanjut pada panggilannya. [4]
Bersama St. Albertus Agung yang diminta Jenderal untuk mengambil gelar doktor di Paris, Thomas berjalan kaki menuju kota itu di tahun 1245. Keduanya membawa Kitab Suci dan Brevir. Sementara itu, Thomas menambah bukunya dengan buku The Sentence. Di Biara St. Jacque, Thomas menjadi model semangat doa bagi seluruh komunitas, kesederhanaannya, ketaatannya yang sempurna, dan kemurahhatiannya. Tidak pernah ia diketahui mengeluarkan kata-kata salah, namun kata-katanya menarik dan menimbulkan kegembiraan rohani bagi siapa pun yang mendengarnya. Di tahun 1248 ia bertemu dengan St. Bonaventura, seorang fransiskan. Keduanya telah mengambil Bakaloreat Teologi bersama. Di tahun itu, Albertus dan Thomas kembali ke Cologne dan reputasi mereka segera memenuhi sekolah teologi Dominikan yang baru di kota itu.[5]
 
Karya tulisan-tulisannya
Setelah mengajar selama empat tahun di Cologne, dia sekali lagi diminta untuk mengambil gelar doctor di Paris. Selama berada di Cologne, dia telah menulis dua risalah filsafat: De Ente et Essentia dan De Principiis Naturae dan sebagian komentarnya pada buku the Sentences. Karya tulisan selanjutnya adalah  risalahnya Contra Impugnantes. Risalah ini ia pakai untuk membela para biarawan yang dituduh oleh para doktor sekular yang bersama William dari St. Amour menerbitkan buku berjudul The Perils of The Latter Times sebagai rasul palsu, tidak memiliki hak untuk mengajar, penjelajah yang tidak memiliki ijin. Bersama St. Bonaventura, ia mengutuk buku tersebut dan mengembalikan para biarawan menempati kursi teologi mereka di universitas. Gelar doktor keduanya akhirnya diakui. Setelah itu, ia menulis komentarnya pada karya Boethius dalam De Trinitate dan De Hebdomadibus, pada Yesaya dan Injil St. Matius,  risalahnya De Veritate, Questiones Quodlibetales pertamanya, dan bagian terbesar dari Summa Contra Gentiles-nya. Karyanya yang terakhir ini dipakai untuk melawan doktrin filosofis dan teologis palsu dari Orang Moor yang masuk ke Spanyol yang juga masuk ke dalam Universitas di Eropa pada masa Jenderal Ketiga Ordo, St. Raymund dari Pennafort.[6]
Dari karya terbesar dan paling terkenalnya, Summa Theologica, Paus Yohanes ke-22 yang mengkanonisasi dia di Avignon pada tahun 1323 mengatakan bahwa St. Thomas Aquinas telah bekerja sebanyak mukjizat yang ada dalam artikelnya. Di tahun 1520 Luther membakar salinan dari karyanya di ruang terbuka di Wittenberg. Sementara itu reformer lain, Martin Bicer, mengatakan secara pahit, “Kalahkan Thomas, dan aku akan menghancurkan Gereja.” Di konsili Trento, hanya tiga karya acuan yang terletak di meja: Kitab Suci, Hukum Pontifical, dan Summa Theologica-nya St. Thomas Aquinas.[7]

Persetujuan Ilahi atas Karya-karyanya
Barangkali kebesaran St. Thomas adalah terletak pada penjelasannya tentang doktrin Ekaristi Kudus dan partisipasinya dalam lembaga Pesta Corpus Christi.  Risalah pertamanya tentang Sakramen Terberkati diletakkan di altar di hadapan kaki Yesus Tersalib sementara ia berdoa kepada Tuhan di situ:
“Tuhan Yesus, yang sungguh-sungguh hadir dan yang telah melakukan karya yang ajaib dalam Sakramen Terhormat ini. Aku mohon anugerah dari-Mu, bahwa jika apa yang kutulis merupakan kebenaran, Engkau akan memampukan aku untuk mengajarkannya; namun bahwa, bila apa yang kutulis berisi sesuatu yang berlawanan dengan iman, Engkau akan menjauhkan aku dari akibat lebih jauh saat menyatakannya.”
Kemudian, beberapa biarawan yang hadir saat itu melihat patung Kristus turun dari salib dan berdiri di atas risalahnya dan dari mulut-Nya terdengar kata-kata ini: “Engkau telah menulis sangat baik tentang Sakramen Tubuh-Ku, Thomas.” Peristiwa yang serupa juga terjadi di Naples ketika ia sedang menulis bagian ketiga dari Summa-nya yang berbicara tentang kemanusiaan Kristus. Suatu hari, di hadapan Matin, seorang koster, ia melihat St. Thomas Aquinas terangkat dari tanah dalam kontemplasi di hadapan yang Tersalib. Tiba-tiba sebuah suara datang dari patung Kristus, “Engkau telah menulis tentang Aku dengan baik, Thomas. Hadiah apa yang Engkau inginkan dari-Ku atas semua pekerjaanmu ini?” “Tiada lain selain Engkau sendiri, Tuhan,” jawab Thomas. Hal tersebut terjadi saat ia diminta oleh Paus Urban IV untuk menulis sesuatu tentang pesta Corpus Christi yang akan diperkenalkan ke seluruh Gereja Universal. Dari hasil karya Thomas, ada beberapa yang sangat akrab di telinga kita saat ini, yaitu Laudatio Sion, O Saluntaris, dan Pange Lingua dengan bait penutupnya Tantum Ergo. Selain itu, Gereja juga berhutang darinya karena doa Adoro Te dan Anima Christi.[8]

Kesatuannya dengan Allah
Berkat kesatuannya dengan Allah, ia mampu memahami tentang rahmat. Baginya rahmat tidak menghancurkan kodrat. Sebaliknya rahmatlah yang dapat menyempurnakan kodrat manusia, dan manusia hanya dapat menemukan kesempurnaan sejatinya dalam hal adikodrati. Satu-satunya humanisme yang sah adalah humanisme Inkarnasi.  Baginya, kesatuannya dengan Allah adalah baik sebagai sumber maupun tujuan dari studinya. Allah yang menjadi manusia baginya adalah Alfa dan Omega dari semua kekuatan jiwa dan raganya. Dia hidup dalam semacam ekstasi abadi, dalam doa, dalam penyesahan diri, dan terserap oleh hasrat akan Allah, namun juga melakukan cinta kasih kepada sesamanya.  Barangkali dia boleh makan malam semeja dengan Raja Perancis, namun pikirannya masih terfokus pada hal-hal tentang Allah. Terbukti, tiba-tiba dia berkata, “Itulah akhir dari Kaum Manike!” Dia juga mengatur hidupnya dengan sebuah ketaatan yang sederhana dan paling tepat kepada superior-superiornya. Baginya, ketaatan adalah kesempurnaan hidup religius. Dengan ketaatan tersebut, seseorang menyerahkan dirinya kepada orang karena kasih akan Allah sebagaimana Allah telah membuat diri-Nya taat kepada manusia bagi keselamatan mereka. Devosinya yang mendalam kepada misteri Inkarnasi secara tak terhindarkan membantunya mengasihi secara mendalam kepada Bunda Allah Terberkati.  Selama masa prapaskah, dia berkotbah tentang kata-kata Ave Maria.  Kata-kata yang sama tersebut juga ditemukan secara berulang dalam tulisan tangannya sendiri pada batas salinan bukunya Contra Gentiles yang selamat. Saudara Refinald mengatakan bahwa pengetahuan Thomas yang mengagumkan itu tidak jauh dari kejeniusannya dari pada pada doa-doanya. Dia berdoa dengan air mata untuk mendapatkan dari Allah pemahaman misteri-misteri-Nya dan sejumlah terang telah dianugerahkan ke dalam pikirannya. Jika dia berjumpa dengan beberapa persoalan yang khusus, dia akan menambahkan puasa dan penitensi pada doanya dan dengan demikian ia mendapatkan jalan keluarnya. Dia merupakan seorang pujangga yang hebat karena dia adalah seorang kudus yang hebat.[9]

Perjalanan Terakhirnya
Dia sakit saat meninggalkan Naples di awal 1274 untuk pergi ke Lion dalam rangka memenuhi undangan Paus Gregorius X untuk menghadiri Konsili Umum. Dalam perjalanannya, sakitnya semakin parah sehingga tidak memungkinkan baginya mencapai rumah Dominikan di Lion. Kemudian, ia diminta untuk tinggal di biara Sistersian di Fossa Nuova yang terdekat. Dia diterima di situ, tinggal di kamar Abas, dan dirawat dengan penuh kasih sayang. Melihat  kebaikan mereka, ia merasa tidak enak, lalu berkata, “Bagaimana mungkin orang kudus ini membawaku kayu?” Lalu untuk membalas kebaikan mereka, ia menuliskan sebuah risalah pendek berjudul Canticle of Canticle. Sayangnya ia tidak menyelesaikannya. Dia meminta Sakramen Minyak Suci dan minta dibaringkan di atas abu di atas tanah untuk menerima Tuhannya.
Saat menerima Sakramen Terberkati, dia berlutut, dan menumpahkan air mata di pipinya dan berkata: “Aku menerima Engkau, harga dari penebusanku; Aku menerima Engkau, Bekal perjalanan jiwaku, Engkau yang kukasihi, yang kuselidiki, yang menginspirasi karya-karyaku, yang kukotbahkan, dan yang kuajarkan. Aku telah menulis banyak dan seringkali diperdebatkan tentang misteri hukum-Mu, O Allahku; Engkau yang mengetahui apa yang kuinginkan untuk kuajarkan hanya dari-Mu saja. Jika apa yang tertulis benar, terimalah sebagai sebuah penghormatan pada Keagungan-Mu yang Takterbatas; jika salah, mohon ampun atas kesalahanku; Kupersembahkan semua yang telah kulakukan pada-Mu, dan kuserahkan semuanya pada penilaian Gereja Roma Kudus-Mu yang tak pernah salah, dengannya aku menaatinya.” Dia meninggal tiga hari setelahnya pada tanggal 7 Maret 1274, sebelum berusia genap lima puluh tahun.[10]


[1] Hilary J. Carpenter, St. Thomas Aquinas: Doctor of the Church and Patron of Catholic Schools (1225-1274), London: Catholic Truth Society, 1956, hlm. 3.
[2] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 3-4.
[3] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 4-5.
[4] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 5-6.
[5] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 7.
[6] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 8.
[7] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 10.
[8] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 10-11.
[9] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 11-13.
[10] Carpenter, St. Thomas Aquinas, hlm. 14.

Tidak ada komentar: