Sabtu, 02 Juni 2012

Penjelasan St. Thomas Aquinas tentang Doa


Dalam menjelaskan tentang doa, St. Thomas Aquinas mengusulkan tujuh belas artikel dalam pertanyaan 83. Ketujuh belas artikel itu antara lain pertanyaan-pertanyaan berupa
(1)         Apakah doa merupakan sebuah tindakan kekuatan hasrat atau kekuatan rasio?
(2)         Apakah patut berdoa kepada Allah?
(3)         Apakah doa merupakan sebuah tindakan keagamaan?
(4)         Apakah kita harus berdoa kepada Allah saja?
(5)         Apakah kita harus meminta sesuatu yang jelas ketika kita berdoa?
(6)         Apakah kita harus meminta hal-hal yang fana ketika kita berdoa?
(7)         Apakah kita harus berdoa bagi yang lain?
(8)         Apakah kita harus berdoa bagi musuh-musuh kita?
(9)         Apakah tujuh pemohonan Doa Bapa Kami secara tepat diangkat?
(10)     Apakah doa tepat bagi ciptaan yang rasional?
(11)     Apakah para kudus di Surga berdoa untuk kita?
(12)     Apakah doa seharusnya bersuara?
(13)     Apakah perhatian merupakan sebuah kondisi yang perlu bagi doa?
(14)     Apakah doa seharusnya lama?
(15)     Apakah doa merupakan jasa?
(16)     Apakah pendosa mendapatkan sesuatu dari Allah dengan doa-doa mereka?
(17)     Apakah bagian-bagian doa diurutkan secara tepat sebagai permohonan, doa, perantaraan, dan syukur?

                      Dalam kesempatan ini, penulis ingin memaparkan pokok-pokok pemikiran St. Thomas Aquinas dalam rangka menjawab tujuh belas pertanyaan mengenai doa di atas. 
       
             Doa merupakan sebuah tindakan rasio
Menjawab pertanyaan pertama, doa bagi St. Thomas Aquinas adalah sebuah tindakan rasio. Pertama-tama, terlebih dahulu ia memaparkan perbedaan rasio spekulatif dan rasio praktis. Baginya, rasio spekulasi melulu memahami objeknya belaka. Sementara, rasio praktis tidak hanya memahami melainkan juga menyebabkan. Lanjutnya bahwa satu hal menjadi penyebab bagi hal lain dalam dua cara, yaitu pertama dengan sempurna, ketika penyebab tersebut memerlukan efeknya, dan ini terjadi ketika efek tunduk sepenuhnya pada  kekuatan penyebab. Kedua, dengan tidak sempurna, dengan membuang efeknya karena tidak tunduk sepenuhnya pada kekuatan penyebab.
Kedua, sesuai dengan hal tersebut, rasio merupakan penyebab hal-hal tertentu dalam dua cara, yaitu pertama dengan memaksakan kebutuhan. Dengan demikian kebutuhan lahir dari rasio. Kedua, dengan mengarah pada efeknya, dalam arti tertentu membuangnya, dan dalam arti ini rasio meminta kepada hal-hal yang tidak tunduk untuk melakukan sesuatu, entah mereka menjadi kesamaannya atau melebihinya. Kedua hal tersebut, sebutlah untuk memerintah dan untuk bertanya atau memohon, menyiratkan sebuah perintah tertentu, katakanlah bahwa manusia mengusulkan sesuatu untuk diefektifkan oleh sesuatu yang lain. Oleh karenanya, dengan mengutip kata-kata Aristoteles, rasiolah yang mendesak kita untuk melakukan hal yang terbaik.
Lanjutnya, doa dalam arti ini menandai sebuah permohonan, seperti yang dikatakan St. Agustinus bahwa doa merupakan sebuah permohonan dan Damaskus yang mengatakan bahwa berdoa adalah meminta sesuatu dari Allah. Sesuai dengan hal tersebut, jelas bahwa doa merupakan sebuah tindakan rasio.[1]

1.1.2        Sudah sepatutnyalah kita berdoa kepada Allah
St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa ada tiga kesalahan yang dilakukan orang-orang kuno perihal doa.  Sebagian dari mereka berpegang pada keyakinan bahwa urusan-urusan manusiawi tidaklah diatur oleh penyenggara ilahi. Karenanya, tidak perlulah kita berdoa dan beribadat kepada Allah sama sekali. Yang lain berpegang pada keyakinan bahwa segala hal, termasuk urusan-urusan manusiawi, terjadi apakah oleh penyelenggaraan ilahi yang tidak dapat berubah atau melalui pengaruh daya tarik bintang, atau karena hubungan sebab-akibat. Karenanya, pendapat ini mengesampingkan manfaat doa. Pendapat lain berpegang pada keyakinan bahwa urusan-urusan manusia sungguh diatur oleh penyelenggaraan ilahi, dan urusan-urusan manusia tersebut tidak terjadi dari kebutuhan, namun terjadi oleh disposisi penyelenggaraan ilahi yang dapat berubah, dan perubahan itu terjadi karena doa-doa dan hal-hal lain yang berkenaan dengan peribadatan kepada Allah. Semua pendapat ini sudah disanggah oleh St. Thomas Aquinas dalam bagian pertama bukunya. Oleh karena itu, kita perlu menekankan manfaat doa bukan untuk menekankan perlunya urusan-urusan manusia tunduk pada penyelenggaraan ilahi atau pun untuk menyiratkan bagian yang dapat berubah dari disposisi ilahi.
Untuk menerangi persoalan ini, kita harus memikirkan bahwa penyelenggaran ilahi menentukan tidak hanya efek apa yang akan mengambil alih, namun juga dari efek macam apa yang menyebabkan dan dalam urutan apa efek ini dihasilkan. Di sini, lanjutnya, tindakan manusia merupakan penyebab dari beberapa efek. Karena itu, pastilah bukan bahwa tindakan manusia tertentu yang menyebabkan perubahan disposisi ilahi, namun bahwa tindakan manusia tersebut memperoleh efek-efek tertentu menurut urutan disposisi ilahi atau dengan kata lain penyebab natural. Demikianlah berlaku juga bagi doa. Kita berdoa bukan bahwa kita bisa mengubah disposisi ilahi, melainkan bahwa kita memperoleh apa yang Allah telah tentukan untuk dipenuhi dengan doa-doa kita. [2]

1.1.3        Doa merupakan tindakan agama
Bagi St. Thomas Aquinas, doa merupakan tindakan agama karena segala hal yang melaluinya menunjuk kepada Allah adalah milik agama. Di sini, doa dilakukan untuk menghormati Allah sejauh manusia menundukkan dirinya kepada Allah. Dengan berdoa, manusia mengakui bahwa ia membutuhkan Allah sebagai Penulis dari kebaikan-Nya.[3]

1.1.4        Doa kepada Allah dan peran dari Orang Kudus
Bagi St. Thomas Aquinas, doa dilayangkan seseorang dalam dua cara, yaitu pertama kepada Allah sendiri karena doa-doa kita harus terarah pada rahmat dan kemuliaan yang Allah berikan kepada kita. Kedua, berdoa kepada para Kudus, bukan berarti bahwa melalui mereka Allah mengetahui permohonan kita, namun agar doa-doa kita menjadi efektif melalui doa-doa dan jasa mereka. Lanjutnya, hal ini jelas dari gaya yang dipakai Gereja dalam berdoa: karena kami menyembah Tritunggal Mahakudus yang Terberkati agar mengasihani kita, sementara itu kami memohon kepada para kudus di surga untuk mendoakan kita.[4]

1.1.5        Mintalah sesuatu yang pasti atau tertentu ketika berdoa
Pada bagian ini, St. Thomas menggunakan pemikiran Valerius Maximus, seorang penulis Latin dan penulis dari sejumlah kumpulan anekdot historis pada masa pemerintahan Kaisar Romawi Kuno, Tiberius, dari tahun 14-37 M, untuk menjelaskan mengapa perlu meminta sesuatu yang pasti ketika berdoa. Dalam buku Facta et dicta memorabilia, Maximus mengatakan bahwa Sokrates menganjurkan bahwa kita hendaknya meminta kepada para dewa tiada lain selain hal-hal yang baik bagi kita karena mereka mengetahui apa yang baik bagi setiap orang, di mana ketika berdoa, kita seringkali meminta untuk apa yang terbaik bagi kita.
Menurut St. Thomas Aquinas, pendapat ini benar pada sebuah tingkat tertentu, sebagaimana pada hal-hal yang mungkin menghasilkan sebuah kejahatan, dan yang manusia mungkin menggunakan sakit atau sehat, misalnya kekayaan, yang dengannya banyak yang jatuh ke dalam kejahatan; kehormatan, yang dengannya telah menghancurkan banyak orang; kekuasaan, yang dengannya kita telah menyaksikan hasil-hasil yang tidak membahagiakan; perkawinan-perkawinan yang megah yang kadang-kadang membawa perpecahan dalam keluarga. Namun, bagi St. Thomas Aquinas, ada hal-hal baik yang orang tidak salah dalam menggunakannya karena hal-hal tersebut tidak memiliki hasil akhir yang jahat. Hal-hal tersebut adalah yang menjadi objek dari Sabda Bahagia dan hal-hal inilah yang dicari para Kudus ketika mereka berdoa.[5]
1.1.6        Mintalah hal-hal yang fana ketika berdoa
Bagi St. Thomas Aquinas, berdoa untuk hal-hal yang fana yang diingini adalah sah. Di sini ia mengutip kata-kata St. Agustinus: Adalah sah berdoa untuk apa yang sah untuk diingini: ”it is lawlful to pray for what it is lawful to desire.” Lanjut St. Thomas Aquinas, berdoa memohon hal-hal yang fana adalah sah sejauh mereka menjadi sarana pendukung kehidupan tubuh kita dan pendukung untuk meningkatkan tindakan-tindakan keutamaan.[6]

1.1.7        Berdoalah bagi orang lain
Bagi St. Thomas Aquinas, berdoa untuk mengingini hal-hal yang baik tidak terbatas untuk diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Hal ini untuk menunjukkan kasih kita kepada orang lain.[7]

1.1.8        Berdoalah bagi musuh-musuhmu
Berdoa bagi orang lain adalah sebuah tindakan kasih, menurut St. Thomas Aquinas. Oleh karena itu, kita terikat untuk mendoakan musuh-musuh kita sebagaimana kita terikat untuk mengasihi mereka. Lanjutnya, kita hendaknya mengasihi mereka berdasarkan kodratnya, bukan berdasarkan dosa-dosa mereka. Mengasihi musuh-musuh kita pada umumnya adalah persoalan ajaran. Namun, mengasihi mereka secara individual bukanlah persoalan ajaran, kecuali pikiran orang memang disiapkan untuk mengasihi musuhnya bahkan dalam tingkat individual dalam rangka untuk membantu orang itu, atau jika  musuhnya memohon pengampunan. Tindakan mengasihi musuh dalam tingkat individu merupakan sebuah tindakan yang sempurna.[8].

1.1.9        Ketujuh permohonan dalam doa Bapa Kami patut kita angkat
Bagi St. Thomas Aquinas, doa Bapa Kami adalah doa yang paling sempurna karena seperti yang dikatakan St. Agustinus, jika kita berdoa dengan benar dan pantas, kita tidak dapat mengatakan apa pun selain yang terkandung di dalam doa Bapa Kami. Karena doa itu menafsirkan keinginan kita di hadapan Allah, maka kemudian kita boleh meminta sesuatu dalam doa kita ketika sesuatu itu benar di mana kita hendaknya menginginkannya. Di dalam doa Bapa Kami, kita tidak hanya meminta untuk semua yang mungkin kita inginkan, tetapi juga kita harus mengingini apa yang ada di dalamnya. Dengan demikian, doa tersebut tidak hanya mengajarkan kepada kita untuk meminta, namun juga mengarahkan seluruh afeksi kita. Jadi jelas bahwa hal pertama yang menjadi objek keinginan kita adalah akhir, dan selanjutnya apa pun yang terarah pada akhir. Akhir kita itu adalah Allah yang kepada-Nya seluruh afeksi kita terarah dalam dua cara, yaitu pertama dengan kehendak kita akan kemuliaan Allah, dan  kedua, dengan menghendaki kemuliaan-Nya. Yang pertama adalah kasih di mana kita mengasihi Allah di dalam diri-Nya sendiri, sementara itu yang kedua adalah kasih di mana kita mengasihi diri kita di dalam Allah. Oleh karena itu, permohonan pertama yang terungkap adalah dimuliakanlah nama-Mu, dan yang kedua adalah Datanglah Kerajaan-Mu, yang dengannya kita mohon agar kemuliaan kerajaan-Nya datang.
Pada akhir yang sama suatu hal mengarahkan kita dalam dua cara, yaitu di satu sisi, dengan kodratnya, dan di sisi lain  secara kebetulan. Dari inti kodratnya, yang baik mengarahkan kita pada akhir tersebut. Suatu hal itu berguna dalam dua cara di mana akhir merupakan Sabda Bahagia, yaitu di satu sisi, dengan langsung dan prinsipiil, sesuai dengan jasa kita melakukan Sabda Bahagia dengan menaati Allah, dan dalam kerangka ini kita memohon: Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga. Di sisi lain, kita katakan: Berilah kami roti hari ini. Apakah hal ini berarti Roti yang Terberkati yang bermanfaat bagi manusia atau roti tubuh yang menunjukkan semua makanan yang cukup, sebagaimana dikatakan oleh St. Agustinus bahwa Ekaristi merupakan sakramen yang utama dan roti adalah makanan yang utama.
Secara kebetulan, kita terarah pada Sabda Bahagia dengan membuang halangan-halangan. Ada tiga halangan pada pencapaian kita akan Sabda Bahagia. Pertama adalah dosa yang mengeluarkan manusia dari kerajaan surga. . Oleh karenanya, kita memohon Ampunilah dosa kami. Kedua adalah godaan yang menjauhkan kita dari kehendak Allah, dan karenanya kita berkata janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, di mana kita tidak minta untuk dicobai, melainkan tidak untuk dikuasai oleh pencobaan. Ketiga, ada keadaan hukuman yang merupakan semacam halangan pada kehidupan yang cukup, dan untuk ini kita berkata bebaskanlah aku dari yang jahat.[9]

           Doa itu cocok bagi ciptaan yang rasional
Di sini, St. Thomas Aquinas menjawab bahwa sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, doa merupakan sebuah tindakan dari rasio, dan di dalam permohonannya terdiri atas sesuatu yang unggul, sebagaimana perintah merupakan sebuah tindakan rasio, di mana batin diarahkan untuk melakukan sesuatu. Di sini, doa cocok bagi dia yang memiliki kemampuan untuk memiliki rasio, dan suatu yang unggul yang mungkin ia mohon. Sekarang tiada lagi sesuatu di atas yang merupakan pribadi ilahi, dan hewan yang dungu yang tanpa rasio. Oleh karena itu, doa cocok bagi ciptaan yang rasional.[10]
  
                       Orang Kudus di surga mendoakan kita
Bagi St. Thomas Aquinas, ada sesuatu yang salah dalam pernyataan Vigilantius yang mengatakan bahwa saat kita hidup, kita dapat berdoa bagi satu dengan yang lain; namun, setelah mati tak satu pun doa-doa kita bagi yang lain didengarkan, bahkan doa-doa martir pun tidak didengarkan. Baginya, doa bagi yang lain lahir dari cinta kasih. Semakin besar cinta kasih orang kudus di surga, semakin banyak mereka berdoa bagi para musafir dan semakin mereka bersatu secara dekat dengan Allah, semakin doa-doa mereka manjur. Karena tatanan ilahi mengatur bahwa pengada yang lebih rendah menerima limpahan yang terbaik dari pengada yang lebih tinggi sebagaimana udara menerima terang dari matahari.[11]

1          Berdoa dengan suara
Maksud St. Thomas Aquinas di sini adalah bahwa ada dua macam cara berdoa, yaitu pertama secara  komunal dan individu. Secara komunal, doa yang dilayangkan Gereja kepada Allah mewakili tubuh orang beriman. Oleh karena itu, doa hendaknya masuk  pada pengetahuan seluruh jemaat di mana hal ini hanya mungkin terjadi dengan doa yang diucapkan. Di sisi lain, doa individual adalah doa yang disampaikan oleh satu orang entah dia berdoa bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.  Karenanya doa semacam itu tidak esensial bila bersuara. Namun, ada tiga alasan bahwa doa tersebut dilakukan dengan bersuara, pertama adalah bahwa doa dilakukan untuk membangkitkan gairah devosi di mana pikiran pribadi seseorang terangkat kepada Allah. Karena oleh sarana tanda-tanda eksternal, apakah dengan kata-kata atau tindakan, pikiran manusia digerakkan untuk memahami, dan konsekuensinya menimbulkan afeksi. Jadi bisa dikatakan, kita hendaknya menggunakan kata-kata atau tanda-tanda sejauh mereka membantu membangkitkan gairah pikiran. Namun, jika mereka mengganggu pikiran, kita hendaknya kita hentikan. Kedua, suara yang dipakai saat berdoa, sebagaimana membayar hutang, menunjukkan bahwa manusia ingin melayani Allah yang dari-Nya ia mendapatkan segala hal. Bentuk pelayanan itu tidak hanya dengan pikiran, melainkan juga dengan tubuhnya. Di sini, doa dilakukan sebagai bentuk rasa puas. Ketiga, doa-doa yang disuarakan mengalir dari dalam jiwa ke tubuh, melalui berlimpahnya perasaan seseorang ketika berdoa.[12]

            Perhatian merupakan sebuah syarat yang perlu dari doa
Menurut St. Thomas Aquinas, kita perlu melihat bahwa suatu hal perlu dalam dua cara: pertama, suatu hal perlu karena akhir dicapai lebih baik, dan dengan demikian perhatian mutlak perlu bagi doa. Kedua, suatu hal diperlukan ketika tanpanya sesuatu tidak dapat mencapai efeknya. Di sini, menurut St. Thomas Aquinas, efek doa ada tiga, yaitu pertama sebuah efek yang umum berlaku bagi semua tindakan yang dipicu oleh cinta kasih. Untuk menyadarinya, tidaklah perlu bila doa harus penuh perhatian karena daya maksud asali, yang dengannya orang ingin berdoa,  menyumbang seluruh doa yang berjasa. Efek kedua dari doa adalah pantas pada itu (thereto) dan terdiri dalam tindakan mencapai sesuatu dengan doa. Di sini sekali lagi, maksud asali cukup untuk mendapatkan efek ini. Namun, bila maksud asali berkurang, doa kehilangan jasa dan tindakan mendapatkan sesuatu yang diminta juga berkurang. Hal ini disebabkan karena, sebagaimana Gregorius berkata, Allah tidak mendengar doa dari mereka yang tidak memberi perhatian pada doanya. Efek ketiga doa adalah bahwa yang menghasilkan sekali baik penyegaran rohani pikiran  dan karenanya perhatian sebuah syarat yang perlu.
Tambah St. Thomas Aquinas bahwa ada tiga macam perhatian yang dapat dipakai pada doa yang bersuara, yaitu pertama yang memerhatikan kata-kata; kedua, yang memerhatikan pada kepekaan kata-kata; ketiga, yang memerhatikan akhir doa, sebutlah, Allah. Jenis terakhir inilah yang paling perlu. Lebih lanjut lagi, perhatian ini kadang-kadang begitu kuat sehingga pikiran melupakan hal-hal lain.[13]

1.         Berdoalah dalam waktu yang cukup lama
Di sini St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kita berbicara tentang doa dalam dua cara; pertama, dengan memikirkannya di dalam doa itu sendiri; kedua, dengan memikirkannya dalam penyebabnya. Penyebab doa adalah hasrat akan cinta kasih, yang darinya doa muncul. Hasrat ini harus berlanjut dalam diri kita baik secara aktual maupun virtual karena keutamaan dari hasrat ini tetaplah berada did alam apa paun yang kita lakukan berdasarkan cinta kasih, dan kita harus melakukan segala hal bagi kemuliaan Allah. Dari perspektif inilah doa harus berlanjut.
Namun, doa yang dipikirkan dalam doa sendiri, tidak dapat berlanjut karena kita masih memiliki kesibukan pekerjaan lain. Oleh karena itu, kuantitas suatu hal harus diukur dengan akhirnya, contohnya kuantitas dosis harus diukur dengan kesehatan. Demikianlah bahwa doa haruslah berakhir cukup lama untuk membangkitkan gairah hasrat batin. Ketika gairah dari dalam batin ini melampaui ukuran ini, dia tidak dapat dilanjutkan lebih lama lagi. Doa harus dihentikan tanpa menyebabkan kekuatiran.[14]
 
1.1.15    Doa adalah tindakan yang berjasa
St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa doa, disamping menyebabkan kegembiraan rohani disaat berdoa, memiliki dua kemanjuran yaitu dalam melakukan perbuatan yang berjasa dan dalam mendapatkan. Sekarang, doa manjur dalam melakukan perbuatan jasa karena dihasilkan dari cinta kasih sebagai akarnya.           Di sini doa lahir dari cinta kasih melalui media agama di mana doa merupakan sebuah tindakan dan syarat bagi kebaikan doa, misalnya kerendahan hati dan iman. Iman diperlukan dalam berdoa kepada Allah.. kita perlu oercaya bahwa kita dapat meraih dari-Nya apa yang kita cari. Kerendahan hati perlu pada bagian pribadi yang berdoa, karena dia mengenali kebutuhannya. Devosi juga perlu.
Sebagaimana pada kemanjurannya dalam mendapatkan apa yang diingini, kemanjuran doa berasal dari rahmat Allah kepadanya kita berdoa, dan Yang meminta kita untuk berdoa, sebagaimana yang dikatakan St. Agustinus: Dia tidak akan mendesak kita untuk meminta namun dia berkehendak untuk memberi, juga yang dikatakan Krisostomus: Dia takpernah menolak untuk mengabulkan doa-doa kita karena dalam kebaikan cinta kasih-Nya dia mendesak kita untuk tidak berhenti berdoa.[15]
 
1.        Pendosa dapat memperoleh sesuatu dari Allah dengan doanya sejauh doanya lahir dari hasrat alami akan kebaikan
Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa, menurut St. Thomas Aquinas, dalam diri seorang pendosa ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu kodratnya di mana Allah mengasihi dia, dan dosa di mana Allah membenci dosa itu. Ketika seorang  pendosa berdoa untuk sesuatu dengan hasrat yang penuh dosa,  Allah tidak akan mendengarkan doanya dengan belas kasih, tetapi tidak jarang dengan kemurkaan saat Dia membiarkan pendosa itu jatuh ke dalam dosa yang lebih dalam. Namun, Allah akan mendengar doa si pendosa jika doanya lahir dari hasrat alami yang baik, bukan berasal dari keadilan-Nya, karena pendosa tersebut tidak layak untuk didengarkan, namun dari belas kasihan-Nya.[16]

1.1.     Bagian-bagian doa: permohonan, doa, perantaraan, dan syukur
Di sini St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa ada tiga syarat doa. Pertama, bahwa pribadi yang berdoa harus mendekati Allah kepada-Nya ia berdoa. Hal ini ditandai dalam kata doa sendiri karena doa adalah mengangkat pikiran kepada Allah. Kedua, haruslah ada sebuah permohonan, dan ini ditandai dalam kata doa perantara bagi orang lain. Ketiga, adalah alasan untuk mendapatkan apa yang kita minta. Hal ini terjadi di pihak Allah atau di pihak pribadi yang berdoa. Dari pihak Allah, alasan untuk mendapatkan bagian dari Allah adalah kekudusan-Nya. Sementara itu. alasan untuk mendapatkan di pihak pribadi yang meminta adalah syukur karena melalui pemberian rasa syukur atas keuntungan yang diterima, kita akan menerima keuntungan yang lebih. Demikianlah dalam 1 Tim 2:1 dikatakan bahwa dalam Misa, konsekreasi didahului dengan permohonan untuk mengundang hal-hal yang kudus ke dalam pikiran. Doa ada di dalam konsekrasi itu sendiri yang di dalamnya pikiran haruslah terarah kepada Allah. Doa perantara adalah permohonan-permohoanan yang mengikuti, dan syukur berada di akhir doa.
Dalam konferensi Bapa-Bapa Gereja, kita membaca bahwa permohonan adalah saat meratapi dosa seseorang; doa adalah berjanji kepada Allah; doa perantara adalah doa bagi orang lain, syukur adalah pikiran yang terangkat ke Allah dalam keadaan kegembiraan yang tak terkatakan.[17]


[1] Penjelasan ini dibuat Thomas untuk menanggapi keberatan bahwa doa bukanlah berasal dari kegiatan rasio melainkan berasal dari keinginan belaka. Lihat Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 1, hlm. 1537-1538.
[2] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 2, hlm. 1539.
[3] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 3, hlm. 1539.
[4] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 4, hlm. 1540
[5] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 5, hlm. 1541
[6] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 6, hlm. 1541
[7] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 7, hlm. 1542
[8] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 8, hlm. 1543
[9] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 9, hlm. 1544.
[10] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 10, hlm. 1545.
[11] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 11, hlm. 1546
[12] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 12, hlm. 1547
[13] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 13, hlm. 1548.
[14] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 14, hlm. 1549.
[15] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 15, hlm. 1549-1550.
[16] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 16, hlm. 1551.
[17] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 17, hlm. 1551-1552.

Tidak ada komentar: