Dalam
menjelaskan tentang doa, St. Thomas Aquinas mengusulkan tujuh belas artikel
dalam pertanyaan 83. Ketujuh belas artikel itu antara lain
pertanyaan-pertanyaan berupa
(1)
Apakah doa merupakan sebuah tindakan
kekuatan hasrat atau kekuatan rasio?
(2)
Apakah patut berdoa kepada Allah?
(3)
Apakah doa merupakan sebuah tindakan
keagamaan?
(4)
Apakah kita harus berdoa kepada Allah
saja?
(5)
Apakah kita harus meminta sesuatu yang
jelas ketika kita berdoa?
(6)
Apakah kita harus meminta hal-hal yang
fana ketika kita berdoa?
(7)
Apakah kita harus berdoa bagi yang lain?
(8)
Apakah kita harus berdoa bagi
musuh-musuh kita?
(9)
Apakah tujuh pemohonan Doa Bapa Kami
secara tepat diangkat?
(10) Apakah
doa tepat bagi ciptaan yang rasional?
(11) Apakah
para kudus di Surga berdoa untuk kita?
(12) Apakah
doa seharusnya bersuara?
(13) Apakah
perhatian merupakan sebuah kondisi yang perlu bagi doa?
(14) Apakah
doa seharusnya lama?
(15) Apakah
doa merupakan jasa?
(16) Apakah
pendosa mendapatkan sesuatu dari Allah dengan doa-doa mereka?
(17) Apakah
bagian-bagian doa diurutkan secara tepat sebagai permohonan, doa, perantaraan,
dan syukur?
Dalam
kesempatan ini, penulis ingin memaparkan pokok-pokok pemikiran St. Thomas
Aquinas dalam rangka menjawab tujuh belas pertanyaan mengenai doa di atas.
Doa
merupakan sebuah tindakan rasio
Menjawab
pertanyaan pertama, doa bagi St. Thomas Aquinas adalah sebuah tindakan rasio. Pertama-tama, terlebih dahulu ia memaparkan
perbedaan rasio spekulatif dan rasio praktis. Baginya, rasio spekulasi melulu
memahami objeknya belaka. Sementara, rasio praktis tidak hanya memahami
melainkan juga menyebabkan. Lanjutnya bahwa satu hal menjadi penyebab bagi hal
lain dalam dua cara, yaitu pertama
dengan sempurna, ketika penyebab tersebut memerlukan efeknya, dan ini terjadi
ketika efek tunduk sepenuhnya pada
kekuatan penyebab. Kedua,
dengan tidak sempurna, dengan membuang efeknya karena tidak tunduk sepenuhnya
pada kekuatan penyebab.
Kedua,
sesuai dengan hal tersebut, rasio
merupakan penyebab hal-hal tertentu dalam dua cara, yaitu pertama dengan memaksakan kebutuhan.
Dengan demikian kebutuhan lahir dari rasio. Kedua,
dengan mengarah pada efeknya, dalam arti tertentu membuangnya, dan dalam arti
ini rasio meminta kepada hal-hal yang tidak tunduk untuk melakukan sesuatu,
entah mereka menjadi kesamaannya atau melebihinya. Kedua hal tersebut, sebutlah
untuk memerintah dan untuk bertanya atau memohon, menyiratkan sebuah perintah
tertentu, katakanlah bahwa manusia mengusulkan sesuatu untuk diefektifkan oleh
sesuatu yang lain. Oleh karenanya, dengan mengutip kata-kata Aristoteles,
rasiolah yang mendesak kita untuk melakukan hal yang terbaik.
Lanjutnya,
doa dalam arti ini menandai sebuah permohonan, seperti yang dikatakan St.
Agustinus bahwa doa merupakan sebuah permohonan dan Damaskus yang mengatakan
bahwa berdoa adalah meminta sesuatu dari Allah. Sesuai dengan hal tersebut,
jelas bahwa doa merupakan sebuah tindakan rasio.[1]
1.1.2
Sudah
sepatutnyalah kita berdoa kepada Allah
St.
Thomas Aquinas mengatakan bahwa ada tiga kesalahan yang dilakukan orang-orang
kuno perihal doa. Sebagian dari mereka
berpegang pada keyakinan bahwa urusan-urusan manusiawi tidaklah diatur oleh
penyenggara ilahi. Karenanya, tidak perlulah kita berdoa dan beribadat kepada
Allah sama sekali. Yang lain berpegang pada keyakinan bahwa segala hal,
termasuk urusan-urusan manusiawi, terjadi apakah oleh penyelenggaraan ilahi
yang tidak dapat berubah atau melalui pengaruh daya tarik bintang, atau karena
hubungan sebab-akibat. Karenanya, pendapat ini mengesampingkan manfaat doa.
Pendapat lain berpegang pada keyakinan bahwa urusan-urusan manusia sungguh
diatur oleh penyelenggaraan ilahi, dan urusan-urusan manusia tersebut tidak
terjadi dari kebutuhan, namun terjadi oleh disposisi penyelenggaraan ilahi yang
dapat berubah, dan perubahan itu terjadi karena doa-doa dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan peribadatan kepada Allah. Semua pendapat ini sudah disanggah
oleh St. Thomas Aquinas dalam bagian pertama bukunya. Oleh karena itu, kita
perlu menekankan manfaat doa bukan untuk menekankan perlunya urusan-urusan
manusia tunduk pada penyelenggaraan ilahi atau pun untuk menyiratkan bagian
yang dapat berubah dari disposisi ilahi.
Untuk
menerangi persoalan ini, kita harus memikirkan bahwa penyelenggaran ilahi
menentukan tidak hanya efek apa yang akan mengambil alih, namun juga dari efek
macam apa yang menyebabkan dan dalam urutan apa efek ini dihasilkan. Di sini,
lanjutnya, tindakan manusia merupakan penyebab dari beberapa efek. Karena itu,
pastilah bukan bahwa tindakan manusia tertentu yang menyebabkan perubahan
disposisi ilahi, namun bahwa tindakan manusia tersebut memperoleh efek-efek
tertentu menurut urutan disposisi ilahi atau dengan kata lain penyebab natural.
Demikianlah berlaku juga bagi doa. Kita berdoa bukan bahwa kita bisa mengubah
disposisi ilahi, melainkan bahwa kita memperoleh apa yang Allah telah tentukan
untuk dipenuhi dengan doa-doa kita. [2]
1.1.3
Doa
merupakan tindakan agama
Bagi
St. Thomas Aquinas, doa merupakan tindakan agama karena segala hal yang
melaluinya menunjuk kepada Allah adalah milik agama. Di sini, doa dilakukan
untuk menghormati Allah sejauh manusia menundukkan dirinya kepada Allah. Dengan
berdoa, manusia mengakui bahwa ia membutuhkan Allah sebagai Penulis dari
kebaikan-Nya.[3]
1.1.4
Doa
kepada Allah dan peran dari Orang Kudus
Bagi
St. Thomas Aquinas, doa dilayangkan seseorang dalam dua cara, yaitu pertama kepada Allah sendiri karena
doa-doa kita harus terarah pada rahmat dan kemuliaan yang Allah berikan kepada
kita. Kedua, berdoa kepada para
Kudus, bukan berarti bahwa melalui mereka Allah mengetahui permohonan kita,
namun agar doa-doa kita menjadi efektif melalui doa-doa dan jasa mereka.
Lanjutnya, hal ini jelas dari gaya yang dipakai Gereja dalam berdoa: karena
kami menyembah Tritunggal Mahakudus yang Terberkati agar mengasihani kita, sementara itu kami memohon kepada para kudus
di surga untuk mendoakan kita.[4]
1.1.5
Mintalah
sesuatu yang pasti atau tertentu ketika berdoa
Pada
bagian ini, St. Thomas menggunakan pemikiran Valerius Maximus, seorang penulis
Latin dan penulis dari sejumlah kumpulan anekdot historis pada masa
pemerintahan Kaisar Romawi Kuno, Tiberius, dari tahun 14-37 M, untuk
menjelaskan mengapa perlu meminta sesuatu yang pasti ketika berdoa. Dalam buku Facta et dicta memorabilia,
Maximus mengatakan bahwa Sokrates menganjurkan bahwa kita hendaknya meminta
kepada para dewa tiada lain selain hal-hal yang baik bagi kita karena mereka
mengetahui apa yang baik bagi setiap orang, di mana ketika berdoa, kita
seringkali meminta untuk apa yang terbaik bagi kita.
Menurut
St. Thomas Aquinas, pendapat ini benar pada sebuah tingkat tertentu,
sebagaimana pada hal-hal yang mungkin menghasilkan sebuah kejahatan, dan yang
manusia mungkin menggunakan sakit atau sehat, misalnya kekayaan, yang dengannya
banyak yang jatuh ke dalam kejahatan; kehormatan, yang dengannya telah
menghancurkan banyak orang; kekuasaan, yang dengannya kita telah menyaksikan
hasil-hasil yang tidak membahagiakan; perkawinan-perkawinan yang megah yang
kadang-kadang membawa perpecahan dalam keluarga. Namun, bagi St. Thomas
Aquinas, ada hal-hal baik yang orang tidak salah dalam menggunakannya karena
hal-hal tersebut tidak memiliki hasil akhir yang jahat. Hal-hal tersebut adalah
yang menjadi objek dari Sabda Bahagia dan hal-hal inilah yang dicari para Kudus
ketika mereka berdoa.[5]
1.1.6
Mintalah
hal-hal yang fana ketika berdoa
Bagi
St. Thomas Aquinas, berdoa untuk hal-hal yang fana yang diingini adalah sah. Di
sini ia mengutip kata-kata St. Agustinus: Adalah sah berdoa untuk apa yang sah
untuk diingini: ”it is lawlful to pray
for what it is lawful to desire.” Lanjut St. Thomas Aquinas, berdoa memohon
hal-hal yang fana adalah sah sejauh mereka menjadi sarana pendukung kehidupan
tubuh kita dan pendukung untuk meningkatkan tindakan-tindakan keutamaan.[6]
1.1.7
Berdoalah
bagi orang lain
Bagi
St. Thomas Aquinas, berdoa untuk mengingini hal-hal yang baik tidak terbatas
untuk diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Hal ini untuk menunjukkan
kasih kita kepada orang lain.[7]
1.1.8
Berdoalah
bagi musuh-musuhmu
Berdoa
bagi orang lain adalah sebuah tindakan kasih, menurut St. Thomas Aquinas. Oleh
karena itu, kita terikat untuk mendoakan musuh-musuh kita sebagaimana kita
terikat untuk mengasihi mereka. Lanjutnya, kita hendaknya mengasihi mereka
berdasarkan kodratnya, bukan berdasarkan dosa-dosa mereka. Mengasihi
musuh-musuh kita pada umumnya adalah persoalan ajaran. Namun, mengasihi mereka
secara individual bukanlah persoalan ajaran, kecuali pikiran orang memang
disiapkan untuk mengasihi musuhnya bahkan dalam tingkat individual dalam rangka
untuk membantu orang itu, atau jika
musuhnya memohon pengampunan. Tindakan mengasihi musuh dalam tingkat
individu merupakan sebuah tindakan yang sempurna.[8].
1.1.9
Ketujuh
permohonan dalam doa Bapa Kami patut kita angkat
Bagi
St. Thomas Aquinas, doa Bapa Kami adalah doa yang paling sempurna karena
seperti yang dikatakan St. Agustinus, jika kita berdoa dengan benar dan pantas,
kita tidak dapat mengatakan apa pun selain yang terkandung di dalam doa Bapa
Kami. Karena doa itu menafsirkan keinginan kita di hadapan Allah, maka kemudian
kita boleh meminta sesuatu dalam doa kita ketika sesuatu itu benar di mana kita
hendaknya menginginkannya. Di dalam doa Bapa Kami, kita tidak hanya meminta
untuk semua yang mungkin kita inginkan, tetapi juga kita harus mengingini apa
yang ada di dalamnya. Dengan demikian, doa tersebut tidak hanya mengajarkan
kepada kita untuk meminta, namun juga mengarahkan seluruh afeksi kita. Jadi
jelas bahwa hal pertama yang menjadi objek keinginan kita adalah akhir, dan
selanjutnya apa pun yang terarah pada akhir. Akhir kita itu adalah Allah yang
kepada-Nya seluruh afeksi kita terarah dalam dua cara, yaitu pertama dengan kehendak kita akan
kemuliaan Allah, dan kedua, dengan menghendaki kemuliaan-Nya.
Yang pertama adalah kasih di mana
kita mengasihi Allah di dalam diri-Nya sendiri, sementara itu yang kedua adalah kasih di mana kita
mengasihi diri kita di dalam Allah. Oleh karena itu, permohonan pertama yang terungkap
adalah dimuliakanlah nama-Mu, dan
yang kedua adalah Datanglah Kerajaan-Mu,
yang dengannya kita mohon agar kemuliaan kerajaan-Nya datang.
Pada
akhir yang sama suatu hal mengarahkan kita dalam dua cara, yaitu di satu sisi,
dengan kodratnya, dan di sisi lain
secara kebetulan. Dari inti kodratnya, yang baik mengarahkan kita pada
akhir tersebut. Suatu hal itu berguna dalam dua cara di mana akhir merupakan
Sabda Bahagia, yaitu di satu sisi, dengan langsung dan prinsipiil, sesuai
dengan jasa kita melakukan Sabda Bahagia dengan menaati Allah, dan dalam
kerangka ini kita memohon: Jadilah
kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga. Di sisi lain, kita
katakan: Berilah kami roti hari ini.
Apakah hal ini berarti Roti yang Terberkati yang bermanfaat bagi manusia atau
roti tubuh yang menunjukkan semua makanan yang cukup, sebagaimana dikatakan
oleh St. Agustinus bahwa Ekaristi merupakan sakramen yang utama dan roti adalah
makanan yang utama.
Secara
kebetulan, kita terarah pada Sabda Bahagia dengan membuang halangan-halangan.
Ada tiga halangan pada pencapaian kita akan Sabda Bahagia. Pertama adalah dosa yang mengeluarkan manusia dari kerajaan surga.
. Oleh karenanya, kita memohon Ampunilah
dosa kami. Kedua adalah godaan
yang menjauhkan kita dari kehendak Allah, dan karenanya kita berkata janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
di mana kita tidak minta untuk dicobai, melainkan tidak untuk dikuasai oleh
pencobaan. Ketiga, ada keadaan
hukuman yang merupakan semacam halangan pada kehidupan yang cukup, dan untuk ini
kita berkata bebaskanlah aku dari yang
jahat.[9]
Doa itu cocok bagi ciptaan yang
rasional
Di
sini, St. Thomas Aquinas menjawab bahwa sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,
doa merupakan sebuah tindakan dari rasio, dan di dalam permohonannya terdiri
atas sesuatu yang unggul, sebagaimana perintah merupakan sebuah tindakan rasio,
di mana batin diarahkan untuk melakukan sesuatu. Di sini, doa cocok bagi dia
yang memiliki kemampuan untuk memiliki rasio, dan suatu yang unggul yang
mungkin ia mohon. Sekarang tiada lagi sesuatu di atas yang merupakan pribadi
ilahi, dan hewan yang dungu yang tanpa rasio. Oleh karena itu, doa cocok bagi
ciptaan yang rasional.[10]
Orang Kudus di surga mendoakan kita
Bagi
St. Thomas Aquinas, ada sesuatu yang salah dalam pernyataan Vigilantius yang
mengatakan bahwa saat kita hidup, kita dapat berdoa bagi satu dengan yang lain;
namun, setelah mati tak satu pun doa-doa kita bagi yang lain didengarkan,
bahkan doa-doa martir pun tidak didengarkan. Baginya, doa bagi yang lain lahir
dari cinta kasih. Semakin besar cinta kasih orang kudus di surga, semakin
banyak mereka berdoa bagi para musafir dan semakin mereka bersatu secara dekat
dengan Allah, semakin doa-doa mereka manjur. Karena tatanan ilahi mengatur
bahwa pengada yang lebih rendah menerima limpahan yang terbaik dari pengada yang
lebih tinggi sebagaimana udara menerima terang dari matahari.[11]
1 Berdoa dengan suara
Maksud
St. Thomas Aquinas di sini adalah bahwa ada dua macam cara berdoa, yaitu
pertama secara komunal dan individu.
Secara komunal, doa yang dilayangkan Gereja kepada Allah mewakili tubuh orang
beriman. Oleh karena itu, doa hendaknya masuk
pada pengetahuan seluruh jemaat di mana hal ini hanya mungkin terjadi
dengan doa yang diucapkan. Di sisi lain, doa individual adalah doa yang
disampaikan oleh satu orang entah dia berdoa bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain. Karenanya doa semacam itu
tidak esensial bila bersuara. Namun, ada tiga alasan bahwa doa tersebut
dilakukan dengan bersuara, pertama
adalah bahwa doa dilakukan untuk membangkitkan gairah devosi di mana pikiran
pribadi seseorang terangkat kepada Allah. Karena oleh sarana tanda-tanda
eksternal, apakah dengan kata-kata atau tindakan, pikiran manusia digerakkan
untuk memahami, dan konsekuensinya menimbulkan afeksi. Jadi bisa dikatakan,
kita hendaknya menggunakan kata-kata atau tanda-tanda sejauh mereka membantu
membangkitkan gairah pikiran. Namun, jika mereka mengganggu pikiran, kita
hendaknya kita hentikan. Kedua, suara
yang dipakai saat berdoa, sebagaimana membayar hutang, menunjukkan bahwa
manusia ingin melayani Allah yang dari-Nya ia mendapatkan segala hal. Bentuk
pelayanan itu tidak hanya dengan pikiran, melainkan juga dengan tubuhnya. Di
sini, doa dilakukan sebagai bentuk rasa puas. Ketiga, doa-doa yang disuarakan mengalir dari dalam jiwa ke tubuh,
melalui berlimpahnya perasaan seseorang ketika berdoa.[12]
Perhatian merupakan sebuah syarat
yang perlu dari doa
Menurut
St. Thomas Aquinas, kita perlu melihat bahwa suatu hal perlu dalam dua cara: pertama, suatu hal perlu karena akhir
dicapai lebih baik, dan dengan demikian perhatian mutlak perlu bagi doa. Kedua, suatu hal diperlukan ketika
tanpanya sesuatu tidak dapat mencapai efeknya. Di sini, menurut St. Thomas
Aquinas, efek doa ada tiga, yaitu pertama
sebuah efek yang umum berlaku bagi semua tindakan yang dipicu oleh cinta kasih.
Untuk menyadarinya, tidaklah perlu bila doa harus penuh perhatian karena daya
maksud asali, yang dengannya orang ingin berdoa, menyumbang seluruh doa yang berjasa. Efek kedua dari doa adalah pantas pada
itu (thereto) dan terdiri dalam
tindakan mencapai sesuatu dengan doa. Di sini sekali lagi, maksud asali cukup
untuk mendapatkan efek ini. Namun, bila maksud asali berkurang, doa kehilangan
jasa dan tindakan mendapatkan sesuatu yang diminta juga berkurang. Hal ini
disebabkan karena, sebagaimana Gregorius berkata, Allah tidak mendengar doa
dari mereka yang tidak memberi perhatian pada doanya. Efek ketiga doa adalah
bahwa yang menghasilkan sekali baik penyegaran rohani pikiran dan karenanya perhatian sebuah syarat yang
perlu.
Tambah
St. Thomas Aquinas bahwa ada tiga macam perhatian yang dapat dipakai pada doa
yang bersuara, yaitu pertama yang
memerhatikan kata-kata; kedua, yang
memerhatikan pada kepekaan kata-kata; ketiga,
yang memerhatikan akhir doa, sebutlah, Allah. Jenis terakhir inilah yang paling
perlu. Lebih lanjut lagi, perhatian ini kadang-kadang begitu kuat sehingga
pikiran melupakan hal-hal lain.[13]
1. Berdoalah dalam waktu yang cukup
lama
Di
sini St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kita berbicara tentang doa dalam dua
cara; pertama, dengan memikirkannya di dalam doa itu sendiri; kedua, dengan
memikirkannya dalam penyebabnya. Penyebab doa adalah hasrat akan cinta kasih,
yang darinya doa muncul. Hasrat ini harus berlanjut dalam diri kita baik secara
aktual maupun virtual karena keutamaan dari hasrat ini tetaplah berada did alam
apa paun yang kita lakukan berdasarkan cinta kasih, dan kita harus melakukan
segala hal bagi kemuliaan Allah. Dari perspektif inilah doa harus berlanjut.
Namun,
doa yang dipikirkan dalam doa sendiri, tidak dapat berlanjut karena kita masih
memiliki kesibukan pekerjaan lain. Oleh karena itu, kuantitas suatu hal harus
diukur dengan akhirnya, contohnya kuantitas dosis harus diukur dengan
kesehatan. Demikianlah bahwa doa haruslah berakhir cukup lama untuk
membangkitkan gairah hasrat batin. Ketika gairah dari dalam batin ini melampaui
ukuran ini, dia tidak dapat dilanjutkan lebih lama lagi. Doa harus dihentikan
tanpa menyebabkan kekuatiran.[14]
1.1.15 Doa adalah tindakan yang berjasa
St.
Thomas Aquinas menjelaskan bahwa doa, disamping menyebabkan kegembiraan rohani
disaat berdoa, memiliki dua kemanjuran yaitu dalam melakukan perbuatan yang
berjasa dan dalam mendapatkan. Sekarang, doa manjur dalam melakukan perbuatan
jasa karena dihasilkan dari cinta kasih sebagai akarnya. Di sini doa lahir dari cinta kasih
melalui media agama di mana doa merupakan sebuah tindakan dan syarat bagi
kebaikan doa, misalnya kerendahan hati dan iman. Iman diperlukan dalam berdoa
kepada Allah.. kita perlu oercaya bahwa kita dapat meraih dari-Nya apa yang
kita cari. Kerendahan hati perlu pada bagian pribadi yang berdoa, karena dia
mengenali kebutuhannya. Devosi juga perlu.
Sebagaimana
pada kemanjurannya dalam mendapatkan apa yang diingini, kemanjuran doa berasal
dari rahmat Allah kepadanya kita berdoa, dan Yang meminta kita untuk berdoa,
sebagaimana yang dikatakan St. Agustinus: Dia tidak akan mendesak kita untuk
meminta namun dia berkehendak untuk memberi, juga yang dikatakan Krisostomus:
Dia takpernah menolak untuk mengabulkan doa-doa kita karena dalam kebaikan
cinta kasih-Nya dia mendesak kita untuk tidak berhenti berdoa.[15]
1. Pendosa dapat memperoleh sesuatu
dari Allah dengan doanya sejauh doanya lahir dari hasrat alami akan kebaikan
Maksud
dari pernyataan ini adalah bahwa, menurut St. Thomas Aquinas, dalam diri
seorang pendosa ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu kodratnya di mana
Allah mengasihi dia, dan dosa di mana Allah membenci dosa itu. Ketika
seorang pendosa berdoa untuk sesuatu
dengan hasrat yang penuh dosa, Allah
tidak akan mendengarkan doanya dengan belas kasih, tetapi tidak jarang dengan
kemurkaan saat Dia membiarkan pendosa itu jatuh ke dalam dosa yang lebih dalam.
Namun, Allah akan mendengar doa si pendosa jika doanya lahir dari hasrat alami
yang baik, bukan berasal dari keadilan-Nya, karena pendosa tersebut tidak layak
untuk didengarkan, namun dari belas kasihan-Nya.[16]
1.1. Bagian-bagian doa: permohonan, doa,
perantaraan, dan syukur
Di
sini St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa ada tiga syarat doa. Pertama, bahwa pribadi yang berdoa harus
mendekati Allah kepada-Nya ia berdoa. Hal ini ditandai dalam kata doa sendiri karena doa adalah mengangkat
pikiran kepada Allah. Kedua, haruslah
ada sebuah permohonan, dan ini ditandai dalam kata doa perantara bagi orang lain. Ketiga,
adalah alasan untuk mendapatkan apa yang kita minta. Hal ini terjadi di pihak
Allah atau di pihak pribadi yang berdoa. Dari pihak Allah, alasan untuk
mendapatkan bagian dari Allah adalah kekudusan-Nya. Sementara itu. alasan untuk
mendapatkan di pihak pribadi yang meminta adalah syukur karena melalui pemberian rasa syukur atas keuntungan yang diterima,
kita akan menerima keuntungan yang lebih. Demikianlah dalam 1 Tim 2:1 dikatakan
bahwa dalam Misa, konsekreasi didahului dengan permohonan untuk mengundang
hal-hal yang kudus ke dalam pikiran. Doa ada di dalam konsekrasi itu sendiri
yang di dalamnya pikiran haruslah terarah kepada Allah. Doa perantara adalah
permohonan-permohoanan yang mengikuti, dan syukur berada di akhir doa.
Dalam
konferensi Bapa-Bapa Gereja, kita membaca bahwa permohonan adalah saat meratapi
dosa seseorang; doa adalah berjanji kepada Allah; doa perantara adalah doa bagi
orang lain, syukur adalah pikiran yang terangkat ke Allah dalam keadaan
kegembiraan yang tak terkatakan.[17]
[1] Penjelasan ini dibuat Thomas
untuk menanggapi keberatan bahwa doa bukanlah berasal dari kegiatan rasio melainkan
berasal dari keinginan belaka. Lihat Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 1, hlm. 1537-1538.
[2] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 2, hlm. 1539.
[3] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 3, hlm. 1539.
[4] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 4, hlm. 1540
[5] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 5, hlm. 1541
[6] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 6, hlm. 1541
[7] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 7, hlm. 1542
[8] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 8, hlm. 1543
[9] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 9, hlm. 1544.
[10] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 10, hlm. 1545.
[11] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 11, hlm. 1546
[12] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 12, hlm. 1547
[13] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 13, hlm. 1548.
[14] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 14, hlm. 1549.
[15] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 15, hlm. 1549-1550.
[16] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 16, hlm. 1551.
[17] Aquinas, Summa Theologica, Pt. II-II, Q. 83, Art. 17, hlm. 1551-1552.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar