Senin, 13 Agustus 2012

100% DOKAR: 100% Indonesia, 100%Katolik, 100% Lektor

Oleh Vico SJ

Jumlah umat katolik di Indonesia menurut data statistik kependudukan berjumlah sekitar 3,15%, yaitu berjumlah 6,4juta dari 204 juta penduduk Indonesia (2005). Pada tahun 2010 jumlah umat katolik meningkat menjadi 3,5% dari 240.271.522 jiwa (Sebaran agama Islam sekitar 85,12%, Protestan 9,2%, Hindu 1,8%, Buddha 0,4%). Jumlah ini tersebar ke berbagai wilayah keuskupan di Indonesia.
Dari data ini nampak bahwa jumlah umat Katolik di Indonesia sangat sedikit. Kantung-kantung umat terbanyak masih dari keuskupan ende, ruteng, atambua, larantuka, agats, merauke, sanggau, sintang, weetebula, ketapang, timika, dan kupang. Sementara itu jumlah umat katolik di keuskupan agung semarang sekitar 2,64 % (2004).

Meski sedikit, kita adalah bagian dari bangsa Indonesia, sebuah bangsa yang multiagama, multietnik, multibahasa, multitradisi, multikulit, kaya akan aneka kekayaan alam: laut dan bumi. Kemajemukan adalah realitas sesungguhnya dari bangsa kita.

Bumi Indonesia inilah tanah tempat kita berpijak. Tanah yang menjadi tempat kita dilahirkan, dibesarkan, berkembang menjadi pribadi yang utuh, dan menunaikan tugas hingga akhir hayat. Bumi kita ini ibarat tanah kanaan yang dirindukan bangsa Israel, sebuah tanah yang kaya akan susu dan madunya. Tanah yang nyaman untuk kita tinggali. Tanah yang selalu kita rindukan bila kita berada jauh darinya. Oleh karena itulah , para pejuang kita dahulu rela mengorbankan raga dan hidupnya demi mempertahankan dan memperjuangkan tanah kita dari jajahan maupun rebutan bangsa lain. Tanah Indonesia ibarat tanah Israel yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa karena kekayaan dan letak yang sangat strategis. Tanah Indonesia tiada beda dengan tanah Israel.

Namun, gambaran kemiskinan dan kelaparan masih menjadi wajah bangsa kita ini. Pembagian “kue” ternyata tidak merata. Hanya mereka yang hidup di perkotaan itulah yang seringkali menikmati “kue” itu. Sementara itu, mereka yang berada di daerah pedesaan atau perbatasan masih saja mengalami kesulitan untuk menikmati “kue” itu, bahkan malah tidak pernah menikmatinya. Inilah sisi lain dari wajah bangsa kita ini.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 100% itu?
100% adalah angka atau penanda yang menandakan semangat totalitas. Totalitas tidak bisa ditandakan dengan angka 99.99%. Tidak. Tetapi 100%. Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus 100%? Misalnya, apa artinya menjadi 100% Indonesia? 100% Katolik? 100% Lektor? Pertanyaan inilah yang kemudian akan menjadi permenungan kita hari ini.

100% Indonesia
Marilah kita renungkan sejenak apa arti dari 100% Indonesia. Menurut hemat saya, arti 100% Indonesia adalah sungguh-sungguh manusia Indonesia sejati! Kesejatian itu bisa dilihat dari seberapa besar kecintaan kita pada bangsa kita ini. Rasa cinta yang besar tidak akan goyah oleh situasi maupun kondisi yang sedang terjadi di negara kita ini. Apa pun situasinya kita tetap mencintainya. Sebagaimana seorang cewek sungguh mencintai cowoknya apa adanya, 100%! Begitu sebaliknya. Apa pun keadaan negara kita, kita turut merasakannya, setidaknya kita tahu perkembangan dewasa ini (tentu saja lewat pelbagai media yang dapat kita akses: TV, Koran, majalah, internet, dll). Pengetahuan yang luas akan bangsa kita juga menjadi tanda kesejatian itu. Semakin luas pengetahuan kita akan bangsa kita, semakin kita menjadi manusia Indonesia sejati.

Namun, pengetahuan tidaklah cukup, bila tidak disertai perbuatan  konkret. Perbuatan konkret itu adalah hidup kita saat ini. Hidup kita adalah sarana atau kendaraan untuk mewujudkan kecintaan kita kepada bangsa kita. Suatu tanda bahwa bangsa itu berkembang adalah bila warga negaranya semakin sejahtera (baca: utuh) di segala bidang: pangan, papan, sandang, pendidikan, ekonomi, politik, rasa aman, spiritualitas, dll. Bila itu belum terjadi, bangsa tersebut belum bisa dikatakan sejahtera. Oleh karena itu, apa pun yang kita usahakan melalui hidup, karya-karya, dan pekerjaan-pekerjaan kita demi kesejahteraan baik hidup kita, sesama, dan masyarakat adalah bentuk konkret dari kecintaan kita pada bangsa.

100% Katolik
Mungkin ini yang mudah untuk dijelaskan. Yang dimaksud dengan 100% Katolik tidak hanya bahwa kita betul-betul seorang yang telah dibabtis secara Katolik saja, melainkan bahwa babtis itulah yang perlu kita perjuangkan dan pertahankan karena babtis adalah tanda di mana kita diangkat ke hidup pribadi Allah sendiri. Dengan babtis kita diilahikan dan menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari Allah sendiri Sang Pencipta. Itulah rahmat yang tiada terkira yang pernah kita miliki.

Namun, babtis juga mengantar kita pada pengenalan hidup Yesus sendiri sebagai Allah yang hidup. Dengan babtis kita mau mengikuti teladan hidup-Nya, pilihan-pilihan-Nya: mewujudkan Kerajaan Allah di dunia dengan mewartakan Sabda Allah, Sabda Kehidupan. Yang menjadi perhatian utama Yesus adalah bagaimana manusia mengenal Allah yang Mahacinta, Bapa yang penuh kasih melalui hidup dan teladan-Nya. Inilah yang sekiranya perlu kita renungkan, apakah aku sudah sungguh meneladai cara hidup, cara pikir, dan pilihan-pilihan Yesus sendiri. Manusia adalah harta rohani yang abadi. Maka, setiap pribadi adalah harta yang teramat berharga yang perlu dikasihi, diperhatikan, dilibatkan, dan dijunjung harkat dan martabatnya.
Kata kunci untuk hal ini adalah iman yang otentik kepada Allah. Otentik artinya iman yang dihayati dengan keseluruhan diri kita, segala kelebihan dan kekurangan kita, segala bakat kita. Itulah yang dinamakan iman yang otentik.

Selain itu, pengetahuan akan iman juga perlu didalami agar kita tidak berjalan dalam kebutaan. Untuk itu, pendalaman akan harta rohani seperti Kitab Suci, Tradisi dan ajaran Gereja perlu masuk perhatian kita jika kita mau disebut sebagai Katolik sejati. Pengetahuan itu akan mengantar kita pada pemahanan yang semakin luas mengenai iman kita.

100% Lektor
Inilah yang menjadi tanah kita berpijak saat ini, yaitu lektor. Apa seh lektor itu? Mengapa kita memilihnya? Apa yang kita harapkan darinya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi awal usaha kita untuk menyadari pilihan kita. Setiap orang pasti memiliki pilihan-pilihan hidup. Dalam hal ini, lector adalah pilihan teman-teman. Oleh karena itu, lector dan dunianya perlu kita kenali, khususnya lector kota baru ini. Maka penting yang dinamakan masa kandidatur. Apa seh dunia lektor kobar itu? Dunia lektor tentu saja adalah Sabda Allah! Seorang lektor adalah juru bicara Allah! Ia membawakan Sabda yang kudus itu kepada umat Allah. Tentu ini sebuah perutusan yang tidak mudah. Mengapa? Karena setidaknya sebelum menyampaikan Sabda Allah itu, hendaknya kita bertanya terlebih dahulu: apa arti sabda ini bagiku, bagi hidupku saat ini? Pengolahan dan permenungan Sabda inilah yang pertama harus dilakukan dahulu agar Sabda itu sungguh menjadi daging dalam hidup kita. Setelah itu, kita menyampaikannya kepada umat Allah.

Dalam  menyampaikan Sabda Allah, kita tidak sendirian. Ada penopang atau infrastruktur yang membantu kita untuk bisa menyampaikan Sabda Allah itu dengan baik. Apa itu? Komunitas. Komunitaslah tempat kita belajar untuk semakin mampu menghayati Sabda Allah  dan menyampaikannya. Pelbagai kegiatan yang ada dalam komunitas adalah bertujuan untuk semakin memupuk persaudaraan yang sejati di antara kita. Persaudaraan penuh cinta itulah landasan awal bagaimana kita menyampaikan Sabda Allah secara benar. Bagaimana mungkin kita menyampaikan Sabda Allah tanpa ada cinta di situ. Oleh karena itu langkah konkret untuk menjadi seorang lektor sejati adalah dengan sungguh mencintai dunia lektor itu, yaitu Sabda Allah dan komunitas.

Benang Merah: Cinta
Setelah mencoba merenungkan tiga hal di atas, saya merasa bahwa ada benang merah yang mengaitkan ketiganya, yaitu cinta! Cinta yang tulus dan murni pada bangsa Indonesia, iman Katolik kita, dan dunia lector yang kita hidupi saat inilah yang menentukan apakah kita bisa menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik, atau 100% Lektor. Cinta-lah yang mesti kita bangun dahulu agar kita sungguh-sungguh bisa menjadi manusia Indonesia sejati, manusia beriman katolik sejati, dan penyampai Sabda Allah sejati.
Pertanyaan reflektif: Sungguhkah aku mencintai bangsaku, imanku, dan perutusanku sebagai lektor?