Vico Christiawan SJ
Korupsi
dalam masyarakat sudah menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan
akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan istilah budaya korupsi. Artinya, budaya
yang arti awalnya adalah bagian dari kegiatan manusia untuk membangun peradaban
yang luhur malah kini menjadi bermakna negatif.
“Budaya korupsi” malah mengorupsi makna dari istilah budaya itu sendiri,
yaitu mengerdilkan martabat luhur manusia karena mengubah perilaku manusia dari
manusia yang jujur menjadi tidak jujur. Dengan kata lain terjadi dekadensi
moral manusia. Ini tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu, dalam kesempatan
melakukan wawancara dengan seorang Jesuit, Romo Robertus Bambang Rudianto, SJ,
atau yang dikenal dengan Romo Rudi, SJ, penulis mencoba memaparkan
pemikiran-pemikiran beliau yang menganalisa akar persoalan dari “budaya
korupsi” tersebut dari sisi tata kelola keuangan.
Sumber “korupsi”:
Trust yang tidak transparan dan Pembiaran
Menurut Romo Rudi SJ, terjadinya “korupsi”, khususnya
dalam tarekat-tarekat, adalah karena dua hal, yaitu pengelolaan keuangan yang
sangat tradisional yang mengandalkan trust
yang tidak transparan dan pembiaran-pembiaran yang terjadi atas masalah
keuangan selama bertahun-tahun. Tentang trust yang tidak transparan, beliau yang
kini menjabat sebagai seorang ekonom provinsi Serikat Yesus Indonesia ini
mengatakan bahwa praktik kepercayaan itu sudah terjadi lama sekali sehingga
orang yang bertanggungjawab atas masalah keuangan atau para pejabat pengambil keputusan dalam tarekat
atau Gereja tidak pernah sungguh-sungguh mencoba membaca, melihat, dan
mengevaluasi semua laporan keuangan tersebut. Akibatnya adalah bahwa ketika
semua laporan keuangan itu harus diklarifikasi, seringkali pejabat yang harus
bertanggungjawab itu tidak mengetahui letak kesalahan yang terjadi bertahun-tahun
dalam laporan keuangan tersebut. Ketika kesalahan itu sudah terungkap, tarekat atau
Gereja tidak berani untuk mengatasi ‘masalah’ yang terlanjur berat ini agar
tuntas. Ketidakberanian pihak Tarekat atau Gereja untuk mengungkap ‘masalah’
ini karena terkait soal pajak.
Menurut
beliau, tidak sedikit pejabat tarekat atau Gereja telah melakukan tanda tangan
tanpa mengetahui secara persis dan jeli dokumen yang ia tanda tangani. Padahal
yang ia tanda tangani bisa jadi merupakan urusan yang sangat besar. Apabila
terjadi kesalahan, secara hukum, pejabat itulah yang harus bertanggung jawab.
Inilah yang beliau lihat sebagai kesalahan dalam manajemen tradisional yang
seolah-olah semua saling percaya. Bagi beliau, uang itu, bagaimanapun, tidak
bisa dirumuskan dengan percaya saja, melainkan harus dirumuskan dengan
pertanggungjawaban. Kelemahan yang sering terjadi dalam pengelolaan keuangan
tarekat atau Gereja adalah percaya begitu saja tanpa disertai dengan
pertanggungjawaban.
Tentang
pembiaran atas masalah keuangan, Romo Rudi SJ mengatakan bahwa organisasi
Gereja seringkali membiarkan hal-hal yang seharusnya tidak bisa diteruskan,
entah karena memang tidak ada orang yang menuntaskan persoalan tersebut atau merasa
bahwa ini dana sosial. Pembiaran yang dimaksudkan beliau adalah bahwa pejabat
yang bertanggungjawab sebenarnya mengetahui ada masalah dalam laporan keuangan,
ada sesuatu yang tidak transparan, dan tidak jujur, namun tidak mengatakannya
atau tidak menyelesaikannya. Bahasa yang beliau pakai adalah ‘neglect’ atau ‘saya ga mau tahulah.’ Menurut beliau, sumber persoalan ini adalah sikap
sok tahu yang membahayakan. “Bila tidak tahu ya katakan tidak tahu”, kata
beliau. Membahayakan dalam arti bahwa posisi dari pejabat untuk memutuskan
apakah uang keluar atau tidak itulah yang bisa keliru bila tidak tahu secara
persis untuk apa sejumlah uang itu dikeluarkan. Lebih berbahaya lagi bila
pejabat yang memiliki wewenang dalam membuat keputusan tidak tahu bagaimana memutuskan
secara tepat terkait dengan pengelolaan keuangan.
Berangkat
dari dua sebab di atas, “korupsi” bisa diartikan sebagai pembiaran atas
tiadanya pertanggungjawaban keuangan yang jelas dan transparan, atas
model-model pengelolaan keuangan yang sudah tidak bisa lagi dipakai karena
mengandalkan trust yang keliru, dan
atas masalah-masalah keuangan yang sebenarnya diketahui, namun tidak
diselesaikan secara tuntas.
Pertanggungjawaban: Kunci Tata Kelola Keuangan
Pertanggungjawaban
adalah kunci dalam tata kelola manajemen keuangan. Pertanggungjawaban bisa
dalam bentuk laporan yang jelas, ada voucher-nya,
ada bukti kasnya yang semuanya tertulis. Keuangan yang ada baik di bank maupun
di kas, serta berbagai macam bentuk piutang juga harus dicatat. Sebagai contoh
dari praktik yang tidak ada pertanggungjawaban ini adalah ketika seorang romo
atau suster atau frater atau bruder meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain
berdasarkan belas kasihan tanpa pernah mencatat pengeluaran uang tersebut.
Pengembaliannya pun sering kali juga tidak jelas. Inilah model pengelolaan keuangan yang bisa
dikatakan “korupsi” karena tidak adanya pertanggungjawaban, yaitu tiadanya voucher dan bukti pengeluaran.
Begitu
pula pelbagai macam sumbangan yang kita terima. Semua harus dicatat dan
dilaporkan penggunaannya secara jelas dan tertulis. Meski sumbangan bukan
merupakan wajib pajak, karena merupakan dana sosial, penggunaannya dan sisanya
tetap harus dicatat dan dilaporkan dengan disertai bukti-bukti tertulis.
Masalahnya, ketika ada sisa dana sumbangan, sisa tersebut seringkali tidak
dilaporkan. Inilah kelemahan yang dilihat Romo Rudi sebagai kelemahan Gereja,
yaitu kurang adanya laporan yang transparan dan memang jelas bahwa laporan itu
menunjukkan aktivitasnya. Lanjutnya, kekayaan Gereja sebenarnya banyak hanya
saja banyak yang hilang, banyak yang ditipu, banyak yang dibawa lari karena
oknum yang melarikan uang Gereja itu seringkali dimaafkan begitu saja, tanpa mau
dipersoalkan secara hukum.
Pertanggungjawaban
ini bagi kaum biarawan-biarawati sebenarnya merupakan bagian dari penghayatan
kaul. Perhatian bahwa kita tidak memiliki apa-apa adalah penting. Kita sebagai
biarawan-biarawati diminta pembesar untuk mengelola keuangan tarekat karena
kita memang tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu, sudah wajarlah bila kita
mesti mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tugas kita, khususnya dalam
mengelola keuangan. Menurut Rm Rudi SJ, di hadapan uang semua sama saja, entah
kaum biarawan-biarawati atau awam. Maksudnya adalah bahwa kita semua bisa keblinger, bisa memanfaatkannya secara
tidak tepat atau dimanfaatkan oleh orang lain untuk menggunakan uang secara
keliru karena kelemahan-kelemahan kita. Disinilah kaul membantu kita untuk
menghadapi uang itu secara proposional. Kita terbantu oleh penghayatan
kaul-kaul kita untuk mengekspresikan pengelolaan keuangan tersebut dengan
semangat transparansi, dapat dipercaya, tanggungjawab, independen, dan adil.
Pengelolaan Keuangan Profesional
Untuk
mengantisipasi adanya kebocoran-kebocoran dalam pengelolaan keuangan, baiklah pertama, kita perlu tahu pengelolaan keuangan yang
profesional. Ini berlaku bagi siapa saja, lebih-lebih yang bertanggungjawab
langsung atas keuangan tarekat atau Gereja. Namun, kita tidak perlu menjadi
seorang yang profesional. Kita bisa minta bantuan dari para konsultan keuangan
yang bekerja secara profesional. Mereka bisa membantu kita tentang sekurang-kurangnya
bagaimana membaca laporan keuangan, bagaimana melaporkan pajak, dan bagaimana
mengelola keuangan. Mengapa ini perlu kita lakukan? Karena di negara kita ini,
segala macam hal yang berkaitan dengan uang, ada konsekuensinya. Kita yang
menggunakan uang sudah berkaitan dengan negara. Siapa pun itu. Kita menjadi
Subjek pajak. Artinya siapa saja yang memegang uang adalah Subjek pajak.
Kedua, hendaknya kita mulai membuat laporan keuangan secara transparan
karena laporan keuangan itu akan menunjukkan kegiatan komunitas maupun karya
seperti apa. Rumusan laporan itu pun harus jelas, yaitu ada bukti-bukti yang
tertulis.
Ketiga, sebagai warga negara, kita juga harus melaporkan kepada negara
seandainya ada nilai tambah. Kita tidak usah takut dengan pajak. Justru dengan
pengelolaan keuangan yang transparan dan jelas, kita ada dalam jalur hukum yang
aman. Meskipun begitu, kita tetap harus mempersiapkan laporan-laporan keuangan
kita dengan baik sebelum diberikan kepada negara.
Keempat, hendaknya kita jangan membiarkan masalah keuangan
berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Jika sekiranya memang ada pelaku yang
menyelewengkan uang tarekat atau Gereja, hendaknya diproses secara hukum. Bila
tarekat atau Gereja tidak berani menggunakan jalur hukum, jalan keluar paling
baik adalah dengan mengganti orang yang lama dengan yang baru, serta
memperbaiki tata kelola keuangannya agar tidak terulang kesalahan yang sama.
Namun, jalan ini juga masih menyisakan persoalan, yaitu uang yang berjumlah
sangat besar itu akhirnya lenyap tanpa ada pertanggungjawaban yang serius. Uang
yang sebenarnya bisa digunakan untuk kemuliaan Allah, malah hilang. Di sini
berarti bahwa pemberian maaf kepada pelaku sebenarnya tidak cukup bila tidak
disertai dengan pertanggungjawaban.
Akhirnya,
“korupsi” dalam tarekat atau Gereja adalah masalah pertanggungjawaban. “Korupsi”
bisa terjadi karena memang disengaja, namun seringkali karena ketidaktahuan
bagaimana mengelola keuangan secara profesional dengan disertai
pertanggungjawaban yang transparan dan jelas. Jadi, tugas kita sekarang ini
adalah terus belajar membaca tanda-tanda jaman, berani menggunakan jalur hukum,
menggunakan prosedur yang jelas agar kita aman, berani menggunakan tata kelola
keuangan yang profesional yang lebih transparan, dapat dipercaya,
bertanggungjawab, independen, dan adil.