Selasa, 06 April 2010

GEREJA BERHADAPAN DENGAN NASIONALISME, TOTALITARIANISME, DAN FASISME

Paham Nasionalisme dan Totalitarianisme (selanjutnya disingkat N dan T) yang muncul di Barat sering dikaitkan dengan Kultus Idolatris (KI), yaitu pemujaan terhadap kedaulatan mutlak, terutama yang berkaitan dengan paham-paham kenegaraan atau tokoh-tokoh tertentu dalam tata kenegaraan. Dengan bertitik tolak pada KI ini, N suatu bangsa terletak pada apa yang disebut autarki, yaitu suatu kedaulatan mutlak baik dalam tata pemerintahan maupun ekonomi untuk menghindari ketergantungan pada negara-negara lain. Ciri-ciri N dan T adalah pertama bahwa nasionalisme merupakan suatu gagasan yang bermaksud untuk mengungkapkan otonomi suatu bangsa tanpa membangun kerja sama atau ketergantungan pada pihak lain. Kedua, koeksistensi damai dipandang sebagai utopia yang tidak masuk akal. Ketiga, superioritas ras atau bangsa ditempatkan di atas rata-rata ras atau bangsa lain. Pada akhirnya, ciri-ciri ini mengarah pada fasistik.

Dampak dari perkembangan N dan T, yang ditaruh di bawah chauvinsime ini, adalah terjadi konflik horizontal antarnegara (konflik ideologi), perlombaan senjata, persaingan anglo-saxonisme demi mendapat pengakuan supremasi orang-orang pihak samudera raya, muncul nasionalisme kekaisaran Hongaria (wangsa Habsburg). Di Jerman, NT mengambil bentuk yang ekstrem: Rasistik dan Imperialistik. Kebijakan politik praktis itu diwujudkan dalam penyingkirkan orang-orang yang tidak bermanfaat, pelenyapan anggota-anggota radikal sayap oposisi kelompok kanan, perlawanan terhadap orang-orang Yahudi dengan teror, membakar rumah, pembunuhan legal, euthanasia bagi orang-orang yang sakit-sakitan. Di Italia, banyak pihak kehilangan kebebasan berpolitik, sementara perekonomian carut-marut. Prinsip NT adalah bahwa setiap pribadi disubordinasi di bawah negara.

Berhadapan dengan perkembangan ini, Gereja nampaknya menerima NT tanpa perlawanan. Bahkan ini dipakai Gereja sebagai kendaraan untuk misi civilization. Akibatnya, Gereja tidak kritis lagi. Bahkan rasa simpati para pemimpin Gereja terhadap NT menjadi sinyal keberpihakan Gereja. Yang dilakukan Gereja adalah mendukung paham integralistik terbuka. Hal ini bisa kita lihat pada program Paus Benediktus XV, yaitu menegakkan perdamaian untuk selesaikan konflik, memulihkan korban akibat perang, dan membereskan masalah Roma menyangkut status Gereja di Italia. Di sini, Gereja sama sekali tidak memihak kelompok-kelompok yang bertikai. Keadaan ini membuat Tahta Suci menerapkan standard ganda: di satu sisi tidak memihak, di sisi lain tidak mengecam ketidakadilan. Namun. Gereja memperlihatkan sikap yang realistis, yaitu menyelamatkan apa saja yang bisa diselamatkan, menempuh jalan hukum, menghimbau secara moral jalan perdamaian. Yang menjadi kepedulian Gerea adalah keselamatan warga manusia.

Tidak ada komentar: