Selasa, 06 April 2010

MODERNISME

Tidak ada batasan definisi yang baku tentang modernisme. Yang sering dikatakan tentang modernisme adalah radikalisme teologi liberal yang tidak puas dengan ajaran-ajaran, metode-metode dan refleksi teologis yang mengulang pokok-pokok yang sama tanpa kemajuan. Salah satu cara untuk mengetahui tentang modernisme adalah dengan mempelajari pemikiran sejumlah tokoh yang sering kali dipandang sebagai kaum modernis, seperti Alfred F. Loisy, Goerge Tyrell, Frederich von Hügel, Paul Sabatier, Maurice Blondel, Antonio Fogazzaro, dan Ernesto Buonaiuti. Cara lain yang bisa bisa dipakai sebagai panduan dalam memahami modernisme adalah ensiklik yang dipromulgasikan oleh Paus Pius X, yaitu Pascendi Domini Sregis (selanjutnya disingkat PDS).

Perhatian utama modernisme adalah praksis yang merupakan mahkota dari seluruh refleksi. Dan menurut tokoh-tokoh modernis di atas, keinginan modernisme adalah mendekatkan iman pada gagasan modern dan merapatkan gagasan teologis yang spekulatif dengan perkembangan dunia saat ini.

Ada tiga kecenderungan atau gagasan yang menyintesiskan modernisme. Pertama., kaum modernis memiliki pandangan sangat kritis terhadap Alkitab sehingga memunculkan pendekatan historis kritis dalam menafsirkan Alkitab. Eksesnya adalah bahwa para penulis Kitab Suci dipandang tidak lepas dari keterbatasan mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan secara ekstrim bahwa sedikit sekali kata-kata Yesus yang asli. Karena menimbulkan keragu-raguan dan kesimpangsiuran, Pius X dalam ensiklik PDS mengecam modernisme sebagai sintesa ajaran sesat. Kecaman paus ini diwujudkan dengan memasukkan 35 tulisan dari tokoh-tokoh di atas di bawah Indix Libri Prohibitorum (Daftar buku-buu terlarang) yang kemudian berkembang menjadi 150 judul buku di akhir masa pemerintahannya. Kecaman paus ini didukung dengan ”Sodalitium Pianum”, organisasi intelegen ciptaan paus untuk mengontrol semua bidang kehidupan Gereja. Kedua, pendekatan naratif yang menekankan model bercerita untuk menangkap inti pesannya. Di sini, para modernis cenderung menolak intelektualisme teologi skolastik yang mengantar pada pendekatan yang terlalu spekulatif. Oleh karena itu, mereka mengajukan konsep teologi baru, seperti philosophy of action (Maurice Blondel), intuisionisme (Henry Bergson), pragmatisme (William James). Ketiga, unsur telelologis, orang harus sampai pada asal-usul dan perkembangan sejarah.

Berdasarkan kecenderungan gerakan modernisme tersebut, dapat kita katakan bahwa kelompok modernisme merupakan aliran dalam Gereja yang tidak dapat terdamakan dengan prinsip-prinsip yang lain karena sangat liberal sehingga menjadi sangat konservatif. Kelompok ini menjadi hiperaktif dalam rangka melakukan kritik terhadap magisterium Gereja yang berhubungan dengan wahyu, adi kodrati, dan tradisi. Bahkan mereka menganjurkan agar sejumlah tradisi ditinggalkan saja, seperti ajaran-ajaran dogmatis yang tidak berhubungan langsung dengan Allah (dogma tentang Maria). Berhadapan dengan hal ini, sebaiknya Gereja mesti terbuka pada perkembangan ilmu, menyintesiskan unsur-unsur yang baik dari gerakan ini, dan mempertanyakan integritas wahyu.

Tidak ada komentar: