Sebuah usaha dekonstruksi Gambaran Yesus Palestina
Oleh Vico SJ
Pengantar: Sebuah Pergulatan
Mencari gambaran Yesus menurut daerah di mana saya berasal (Semarang-Jawa) sungguh tidaklah mudah. Selama ini gambaran Yesus yang saya tangkap adalah gambaran Yesus yang saya peroleh dari gambar-gambar Yesus pada saat saya ikut Sekolah Minggu, gambar-gambar dan film-film yang dijual di toko-toko buku Katolik, buku-buku pelajaran sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan selama saya berada di dalam Novisiat Serikat Jesus. Gambaran Yesus yang berasal dari Palestina itulah yang melekat dalam benak saya, yaitu Yesus yang berambut gondrong, berkumis dan bercambang lebat, dengan jubah khas Palestina, dan berperawakan tinggi.
Lingkungan di mana saya tumbuh sebagai seorang Kristiani sangatlah berbau ke-Barat-baratan, mulai dari Kitab Suci sendiri yang menceritakan kisah perjalanan bangsa Israel di daerah sekitar Mesopotamia (Iran-Irak), Mesir, dan Palestina, Yesus yang berasal dari Nasaret, kisah Para Rasul termasuk Paulus yang berkarya di Asia kecil. Sungguh pengetahuan agama saya banyak diwarnai oleh situasi daerah yang jauh dari tempat saya lahir. Untuk itulah saya berusaha mengetahui tempat-tempat itu, budaya yang berkembang di daerah tersebut, bahasa yang digunakan melalui gambar-gambar, film-film, dan melalui pelajaran-pelajaran agama.
Singkatnya, sejak kecil gambaran Yesus yang hidup dalam diri saya adalah Yesus yang berasal dari Palestina.
Sebuah Usaha Dekonstruksi
Pertanyaan Yesus kepada murid-muridNya,”Menurut kamu, siapakah Aku ini?” bagi saya tetaplah aktual dan relevan untuk terus dijawab pada masa kini. Gambaran tentang Yesus selalu berubah di setiap waktu. Usaha mengenal Yesus secara pribadi menuntut pula usaha untuk mengenal diri saya: siapa saya, dari mana saya berasal, dan di mana saya tinggal sekarang. Oleh karena itu, saya merenungkan pertanyaan Yesus itu dalam kaitan dengan usaha pengenalan kembali perjalanan hidup saya.
Kejawaan saya tidaklah sekental teman-teman dari Yogyakarta atau dari Solo. Namun, saya mempunyai banyak teman yang berasal dari dua daerah tersebut. Dari merekalah saya mengenal budaya Jawa yang dekat dengan lingkungan Keraton. Tidak hanya dari mereka saya mengenal budaya Jawa, saya juga mengenal budaya Jawa melalui buku-buku sejarah, novel-novel sejarah seperti Senopati Pamungkasnya Arswendo Atmowiloto, film-film sejarah seperti Tutur Tinular, dan kelompok-kelompok kejawen seperti Susila Budi Dharma (SUBUD) yang pernah saya ikuti. Dari sanalah saya mengenal budaya Jawa entah melalui cara berbusana, cara bersikap dan bertutur, pandangan-pandangan mereka tentang Sang Pencipta, manusia, dan alam, struktur masyarakat, tingkatan bahasa, puisi-puisinya seperti gurindam, alat-alat musiknya seperti gamelan, maupun kebudayaannya seperti wayang kulit.
Berangkat dari pengalaman itulah saya mencoba mencari sendiri gambaran Yesus sejauh yang bisa saya bayangkan. Yesus yang saya pahami tentu saja seorang tokoh spiritual yang menjadi panutan orang-orang Jawa, seorang yang sungguh terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat kecil (seperti Romo Mangun Wijaya), seorang yang mempunyai karisma yang kuat dan memancar, seorang yang banyak dihormati baik oleh orang-orang kecil maupun oleh orang-orang besar, seorang yang sungguh memahami budaya bangsaNya, dan di saat-saat tertentu mengikuti kesenian Jawa seperti misal menonton wayang, dan menari bersama orang-orang di suatu pesta perkawinan Jawa. Yesus juga saya pahami sebagai seseorang yang berdarah biru, yang tinggal di lingkungan masyarakat biasa, bergaul dengan masyarakat biasa, ikut dalam arus kehidupan sehari-hari di desa-desa di daerah Jawa Tengah seperti mencangkul sawah, menabur benih padi, menanam bibit padi, memanen, “angon wedus” (menggembala kambing), ke pasar, dan mandi di sungai.
Dari usaha inilah, pelan-pelan saya mulai bisa membayangkan seperti apakah gambaran Yesus versi Jawa, Yesus Palestina yang saya tafsirkan menurut versi Jawa. Sifat-sifat dan perilaku keseharian Yesus dalam Injil barangkali tidak mengalami perubahan dalam budaya Jawa atau di dalam hal-hal yang saya sebutkan di atas. Perubahan hanyalah pada tempat di mana Yesus hidup, budaya dan tata cara kehidupan di Jawa yang tentu berbeda sekali dengan di Palestina.
Singkat kata, Yesus versi Jawa akan bisa terlihat jelas di dalam sebuah gambar berikut, yang setidak-tidaknya mewakili apa yang yang telah saya uraikan di atas.
Oleh Vico SJ
Pengantar: Sebuah Pergulatan
Mencari gambaran Yesus menurut daerah di mana saya berasal (Semarang-Jawa) sungguh tidaklah mudah. Selama ini gambaran Yesus yang saya tangkap adalah gambaran Yesus yang saya peroleh dari gambar-gambar Yesus pada saat saya ikut Sekolah Minggu, gambar-gambar dan film-film yang dijual di toko-toko buku Katolik, buku-buku pelajaran sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan selama saya berada di dalam Novisiat Serikat Jesus. Gambaran Yesus yang berasal dari Palestina itulah yang melekat dalam benak saya, yaitu Yesus yang berambut gondrong, berkumis dan bercambang lebat, dengan jubah khas Palestina, dan berperawakan tinggi.
Lingkungan di mana saya tumbuh sebagai seorang Kristiani sangatlah berbau ke-Barat-baratan, mulai dari Kitab Suci sendiri yang menceritakan kisah perjalanan bangsa Israel di daerah sekitar Mesopotamia (Iran-Irak), Mesir, dan Palestina, Yesus yang berasal dari Nasaret, kisah Para Rasul termasuk Paulus yang berkarya di Asia kecil. Sungguh pengetahuan agama saya banyak diwarnai oleh situasi daerah yang jauh dari tempat saya lahir. Untuk itulah saya berusaha mengetahui tempat-tempat itu, budaya yang berkembang di daerah tersebut, bahasa yang digunakan melalui gambar-gambar, film-film, dan melalui pelajaran-pelajaran agama.
Singkatnya, sejak kecil gambaran Yesus yang hidup dalam diri saya adalah Yesus yang berasal dari Palestina.
Sebuah Usaha Dekonstruksi
Pertanyaan Yesus kepada murid-muridNya,”Menurut kamu, siapakah Aku ini?” bagi saya tetaplah aktual dan relevan untuk terus dijawab pada masa kini. Gambaran tentang Yesus selalu berubah di setiap waktu. Usaha mengenal Yesus secara pribadi menuntut pula usaha untuk mengenal diri saya: siapa saya, dari mana saya berasal, dan di mana saya tinggal sekarang. Oleh karena itu, saya merenungkan pertanyaan Yesus itu dalam kaitan dengan usaha pengenalan kembali perjalanan hidup saya.
Kejawaan saya tidaklah sekental teman-teman dari Yogyakarta atau dari Solo. Namun, saya mempunyai banyak teman yang berasal dari dua daerah tersebut. Dari merekalah saya mengenal budaya Jawa yang dekat dengan lingkungan Keraton. Tidak hanya dari mereka saya mengenal budaya Jawa, saya juga mengenal budaya Jawa melalui buku-buku sejarah, novel-novel sejarah seperti Senopati Pamungkasnya Arswendo Atmowiloto, film-film sejarah seperti Tutur Tinular, dan kelompok-kelompok kejawen seperti Susila Budi Dharma (SUBUD) yang pernah saya ikuti. Dari sanalah saya mengenal budaya Jawa entah melalui cara berbusana, cara bersikap dan bertutur, pandangan-pandangan mereka tentang Sang Pencipta, manusia, dan alam, struktur masyarakat, tingkatan bahasa, puisi-puisinya seperti gurindam, alat-alat musiknya seperti gamelan, maupun kebudayaannya seperti wayang kulit.
Berangkat dari pengalaman itulah saya mencoba mencari sendiri gambaran Yesus sejauh yang bisa saya bayangkan. Yesus yang saya pahami tentu saja seorang tokoh spiritual yang menjadi panutan orang-orang Jawa, seorang yang sungguh terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat kecil (seperti Romo Mangun Wijaya), seorang yang mempunyai karisma yang kuat dan memancar, seorang yang banyak dihormati baik oleh orang-orang kecil maupun oleh orang-orang besar, seorang yang sungguh memahami budaya bangsaNya, dan di saat-saat tertentu mengikuti kesenian Jawa seperti misal menonton wayang, dan menari bersama orang-orang di suatu pesta perkawinan Jawa. Yesus juga saya pahami sebagai seseorang yang berdarah biru, yang tinggal di lingkungan masyarakat biasa, bergaul dengan masyarakat biasa, ikut dalam arus kehidupan sehari-hari di desa-desa di daerah Jawa Tengah seperti mencangkul sawah, menabur benih padi, menanam bibit padi, memanen, “angon wedus” (menggembala kambing), ke pasar, dan mandi di sungai.
Dari usaha inilah, pelan-pelan saya mulai bisa membayangkan seperti apakah gambaran Yesus versi Jawa, Yesus Palestina yang saya tafsirkan menurut versi Jawa. Sifat-sifat dan perilaku keseharian Yesus dalam Injil barangkali tidak mengalami perubahan dalam budaya Jawa atau di dalam hal-hal yang saya sebutkan di atas. Perubahan hanyalah pada tempat di mana Yesus hidup, budaya dan tata cara kehidupan di Jawa yang tentu berbeda sekali dengan di Palestina.
Singkat kata, Yesus versi Jawa akan bisa terlihat jelas di dalam sebuah gambar berikut, yang setidak-tidaknya mewakili apa yang yang telah saya uraikan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar