Jumat, 14 November 2008

Bagaimana Seharusnya Kita Berbicara tentang Kristus Saat Ini

Oleh Vico SJ

Salah satu tugas penting dari Gereja Latin akhir-akhir ini adalah pembentukan kembali sebuah tema besar tentang iman, khususnya di bidang Kristologi, yaitu bagaimana seharusnya kita berbicara tentang Kristus saat ini? Persoalan ini, menurut Vidales, perlu didekati dari hal-hal yang sangat sederhana dan melalui kepekaan perasaan kita ketika bersentuhan dengan pengalaman rohani kita. Memang perlu diakui bahwa kehadiran Kristus adalah merupakan suatu tanda perbantahan di tengah sebuah kontradiksi yang lebih luas. Ia selalu menjadi sebuah teka-teki dalam diri-Nya yang seseorang tidak mudah untuk memecahkan-Nya. Ia hadir secara kontekstual dalam dunia kita yang unik dan ganjil, yang sarat dengan problem modernitas, seperti kolonialisme, imperialisme, rasisme, dan semacamnya. Dalam situasi inilah Yesus hadir menyampaikan pesan-pesanNya yang paling mendalam, asli, dan misterius yang diwujudkan dalam kontradiksi dialektis yang terbagi-bagi untuk dipersatukan, meninggalkan untuk kemudian memiliki, mati untuk kemudian meraih kehidupan.
Hal kontradiktroris dalam diri Kristus, menurut Vidales, adalah tampak dalam apa yang Ia perbuat, khususnya saat ia menerima penyesahan atas diriNya. Di satu sisi, Ia tampak sebagai seorang yang revolusioiner, idealis dan konservatif, sebagai nabi atau mesias atau pembebas bagi banyak orang sampai saat kematianNya sehingga menyentuh banyak orang. Sebaliknya di sisi lain, Ia menghilang ketika beberapa kelompok yang memojokkan-Nya. Dan hal ini mengecewakan banyak orang. Namun, hal yang mengejutkan adalah bahwa nampaknya ke-kontradiktorisan dalam diriNya justru merupakan intensionalNya untuk menuntun manusia ke arah sebuah pola aktivitas yang baru, bangkit dari pembaharuan batiniah. Dengan demikian manusia dibaharui oleh Yesus menjadi “sesuatu yang baru”.
Di sinilah Yesus mengambil tempat dalam sejarah proses menjadi dalam dua proyeksi, yaitu historis dan metahistoris, di mana keduanya tidak bisa begitu saja disejajarkan, diparalelkan, bahkan disatukan. Keduanya merupakan dua vector dari sebuah kekuatan tunggal yang mendorong laki-laki dan perempuan dan proses-proses sejarah. Pengalaman baru iman pertama seseorang dan keutuhan total komitmen pembebasan merupakan loci dasar yang memprakarsai dan memanggil kejadian dan evolusi tugas teologi pembebasan. Sikap yang mengarah pada pesan Injili ini disebut iman. Iman yang dialami dalam situasi konflik, situasi pribadi yang mengalami kebutuhan yang sangat konkret, sebuah garis kebutuhan, percaya dalam Kristus secara baru. Oleh karena itu, perlulah memskematisasi tuntutan tugas yang juga merefleksikan sebuah metodologi yang dilihat dari tiga perspektif, yaitu perspektif tentang iman, teologi, dan evangelisasi.

Perspektif Iman: Pengalaman Umat Kristiani
Menurut Vidales, peristiwa inti bagi umat Kristiani yang terlibat dengan pembebasan adalah sebuah pengalaman yang baru akan Kristus. Cara baru mereka beriman dalam Yesus Kristus melibatkan sebuah cara pemahamaan, penerimaan, dan perwujudan pesan-pesan Kristus yang baru pula. Hal ini bisa kita lihat dalam pertemuan dengan Kristus dalam sejarah, terutama umat Kristiani di Amerika Latin yang di saat mengalami krisis secara politis menggunakan wajah eklesial. Gereja saat itu mulai menampakkan tidak hanya kelemahannya, tetapi juga secara terbuka terlibat dengan kekuasaan yang cenderung mempertahankan sebuah kekuasaan yang tidak manusiawi karena melibatkan perbudakan seluruh orang. Ada ketegangan di sini antara menolak kekuasaan atau memilikinya. Ketegangan itu menghasilkan pengaruh yang mendalam pada gerakan-gerakan awal Gereja, yaitu tuduhan-tuduhan terhadapnya yang lama-kelamaan membatasi bentuk konkret persoalan Kristologi yang lebih dalam. Di sini, gambaran mengenai Kristus mulai nampak seperti gambaran yang memberontak dan bernada kasar dan sulit ditemukan. Di saat seperti itulah, Gereja tidak menemukan sumber inspirasi atau orientasi mereka kepada Injil. Yesus mereka rasakan sebagai sebuah absenteeisme. Selain itu, ada juga persoalan lain yang bisa membuat lebih komplek dalam rangka mencari Kristologi yang relevan, yaitu gambaran Kristus yang reaktif, gambaran Kristus tradisional yang ke-peradabanNya keBarat-Baratan yang tidak biblis, tidak menyejarah, gambaran Kristus yang diidealkan.
Tantangan saat ini adalah bagaimana menemukan gambaran wajah Kristus yang baru. Kadang-kadang wajah Yesus mempunyai sebuah nama dan sebuah kelompok sifat yang akrab dengan kita, namun, kadang-kadang Ia tak bernama, 'nothing', rata-rata pada umumnya, orang yang termarjinalisasi, orang-orang pinggiran. Oleh karena itu, pengalaman akan wajah Kristus yang seperti inilah yang akhirnya memasuki petualangan akan Kristologi yang baru. Pengalaman rohani seperti inilah yang secara kodrat dasarnya membawa gerakan pertobatan, yang berarti membuat konkret pilihan memihak dan hidup bersama orang-orang tersingkir dalam pergulatan mereka. Iman inilah yang menjadi sebuah tindakan solider dengan mereka, tindakan protes melawan kemiskinan yang mereka hidupi, tindakan identifikasi dengan keberpihakan pada kelas yang ditindas, dan tindakan terus-terang mengadukan eksploitasi yang mengorbankan mereka. Akhirnya muncul gambaran Kristus Sang Pembebas yang nantinya diwujudkan dalam kebebasan. Di sini Kristus menampakkan diri-Nya dari realita keberadaan dan proses dari hati ke hati dan jerit tangis setiap orang yang tertekan dan tertindas oleh struktur. Demikianlah pengalaman personal akan Kristus merupakan kriteria discernmen yang utama dan definitif yang melampaui segala yang lain.

Perspektif Teologis
Dalam perspektif ini, Vidales menyebutkan bahwa keyakinan terhadap kristologi merupakan suatu bagian yang menyakitkan dalam sejarah kekristenan, terutama pada abad pertama di mana jemaat Kristen tidak hanya mengalami kemartiran, melainkan juga mengalami kontroversi seputar kristologi yang terasa paling ketat di konsili Efesus dan Kalsedon. Peristiwa menyakitkan, menurut Vidales berlanjut ketika timbul kritik atas Kitab Suci yang tidak berhubungan dengan sejarah Yesus, melainkan perbincangan tentang tradisi Kristus sejak adanya tulisan awal D.F. Styrauss dan Renan yang merupakan produk dari rasionalisasi atau kebebasan sekolah.
Dari perspektif teologi pembebasan sendiri, dasar kristologi mempunyai nilai-nilai yang bertitik tolak dari suatu bagian yang panjang, kata dan praksis atas pembebasan di mana keduanya bertemu berdasarkan dialektika dalam kenyataan proses sejarah.
Namun, ada beberapa persoalan yang nampaknya muncul akibat kecenderungan mereduksi teologi logos hanya diperuntukkan kepada dominasi kelas-kelas tradisional Kristen Barat. Mereka bahkan bisa melakukan tindakan manipulatif pemikiran tentang Tuhan bagi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan demikian teologi hanya akan menjadi sebuah teologi elit yang berpindah dari persoalan-persoalan aktual menuju bagaimana melanggengkan kekuasaan dari suatu kelompok elit tertentu dalam masyarakat.
Namun, da beberapa keuntungan yang dapat diambil dari situasi di atas bagi perkembangan kristologi di antaranya adalah penekanan pada keheningan dan doa dalam membangun teologi Kristus, keterbukaan pada Kristus dan juga keterbukaan pada yang lain, Kristus yang dipertemukan dalam kenyataan sejarah, dimensi politik dari kehidupan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya, persoalan bagaimana melakukan tafsiran secara kontekstual atas Kitab Suci sehingga mampu menyumbangkan sebuah makna dan pemahaman baru dalam bidang kristologi, dan akhirnya melahirkan sebuah eklesiologi baru.
Sebuah kristologi yang mempunyai kebebasan perspektif akan berangkat dari pengalaman akan Kristus yang hanya bisa dihayati dalam suatu area yang melampaui semua bahasa, yang hanya mampu bertemu dengan Sang Sabda dalam sebuah keheningan dan doa. Karena dari keheningan dan doa, Kristus mampu diwartakan dengan baik dan keterbukaan akan Kristus memungkinkan untuk terus-menerus dilakukan dan dialami sehingga mendorong pula suatu sikap terbukaan kepada yang lain. Justru dengan keterbukaan dengan yang lain itulah Kristus dapat ditemukan. Kristus juga sungguh dapat ditemukan hidup dalam tradisi dan budaya yang aktual di mana setiap orang dapat mengalaminya secara nyata, bukan lagi dalam tataran ideal atau cita-cita. Dengan demikian, teologi pembebasan menekankan tidak hanya ketokohan dan sifat Kristus dari Nazaret, melainkan sifat dari Misteri Kristus yang selalu hadir dan mengikuti ritme sejarah manusia karena ia tinggal bersama dengan mereka. Di sinilah letak kenosis-nya Yesus yang bersedia terlibat dalam kenyataan manusia dunia ini.
Jika kita ingin lebih dalam menghayati Yesus yang kita temukan dalam kenyataan sejarah manusia, Vidales mengajak kita untuk melihat dimensi politis dari Yesus sendiri yang tampak dalam hidup danajaran-ajaranNya. Gambaran yang tepat untuk Yesus adalah Sang Pembebas karena Dia secara berkesinambungan memanggil suatu perubahan yang terus-menerus menuju sebuah transformasi revolusioner didalam manusia dan di dalam masyarakat. Dimensi politis ini nyata dalam sebuah bentuk subversif yang dinamis. Di sini, Yesus menekankan suatu dimensi kenabian untuk secara jujur dan terbuka menyampaikan pesan-pesanNya kepada dunia. Dengan demikian, figurnya sebagai seorang Pembebas menjadi sebuah kenyamanan dan harapan bagi kaum yang tak bersuara.
Pemahaman dan pengetahuan akan pesan-pesan Yesus dalam Kitab Suci tidak bisa tidak harus ditafsirkan secara baru. Teologi Pembebasan sedang menggali jejak baru di dalam teologi hermeneutik Kitab Suci untuk mempertajam Kristologi. Di sini, teologi pembebasan membutuhkan sebuah hermeneutika yang akan diperdengarkan tidak hanya bagi para ilmuwan yang akan membantu memahami lebih baik tentang Kitab Suci tetapi juga mempunyai daya tarik bahasa bagi orang-orang tertindas dan bagi mereka yang lapar politik secara menyeluruh di Amerika Latin. Teologi memang sebaiknya mampu menginterpretasikan tindakan keselamatan Allah tidak hanya dalam ranah gagasan atau pemikiran-pemikiran, melainkan berkolaborasi dengan wilayah praksis. Dengan demikian kebebasan untuk meraih akses kepada kebenaran dapat dirasakan oleh semua kalangan umat beriman.
Pemahaman Kristologi yang baru dengan sendirinya melahirkan sebuah eklesiologi yang baru. Eklesiologi baru di Amerika Latin nampak dan lebih jelas sebagai kenosis Kristus. Konkretnya sebagai sebuah Gereja kaum miskin. Menurut Vidales, kita membutuhkan Gereja yang tidak hanya mampu memegang kunci politik, sosisal, budaya, ekonomi, atau setiap persoalan-persoalan etika, melainkan kita tetap membutuhkan Gereja sebagai kenosis, sebuah Gereja yang mengosongkan diri supaya mampu bersikap lepas bebas terhadap superioritas. Singkatnya kita membutuhkan gereja yang kuat, yang tidak hanya menerima sejumlah doktrin yang dipercaya atau doa-doa yang didaraskan secara berulang-ulang, melainkan Gereja yang menyerupai gambaran Kristus sendiri dalam kenosis-Nya.

Perspektif Evangelisasi
Perspektif ini memunculkan soal-soal pastoral, yaitu bagaimana kita harus memberitakan Kristus di sini dan sekarang? Pertanyaan lain yang lebih relevan adalah bagaimana kita harus berbicara tentang Kristus saat ini dari sudut pandang teori dan praksis pastoral? Ada tiga momen yang terkait secara dialektikal, yaitu praksis sebagai kesaksian, kerygma sebagai praksis, dan praksis dari nubuat.

Praksis sebagai Kesaksian
Pada poin ini kita sebaiknya mulai dari pengalaman baru dari sebuah evangelisasi yang membebaskan di Amerika Latin. Evangelisasi yang membebaskan harus memeluk tidak hanya dimensi ekonomi-politik dari manusia tetapi juga totalitas kemanusiaan dan orijinalitas (keaslian) Kekristenan yang masing-masing terkait secara mendalam satu sama lain. Kandungan pemberitaan evangelisasi primordial ini adalah peristiwa radikal di mana orang-orang Kristiani dipertemukan dengan sebuah pewahyuan terus-menerus, sebuah pembebasan yang telah dicapai dan dibuktikan di jantung sejarah melalui visi iman.
Pemberitaan evangelisasi primordial ini juga membawa kegembiraan atas penemuan diri, kegembiraan atas pengalaman seseorang, kegembiraan atas pengalaman seseorang yang dicintai Allah, dan kegembiraan atas karya cinta dan berbagai verifikasinya. Pemberitaan evangelisasi primordial ini bertitik tolak dari solidaritas dasar dengan kelas-kelas yang tereksploitasi sehingga di sini pemberitaan ini mempunyai dimensi politis sebagai sebuah dimensi intrinsik dari Kasih Bapa bagi seluruh umat manusia. Pemberitaan evangelisasi primordial ini menyumbangkan sebuah pengaruh politis dan kelas, langsung dan kritis, pada semua proses pembebasan-terbuka. Oleh karena itu, ia mempunyai karakter sejarah yang konfliktual. Hal ini dapat kita lihat pada tempat perwujudannya (locus of realization) secara konkret dalam situasi yang konkret pula dalam rangka option for the poor. Dalam hal ini, tempat dan situasi konkret adalah kelas-kelas (mereka) yang tereksploitasi.

Kerygma sebagai Praksis
Di sini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan kita yang merupakan dasar "pengkotbah" atau pewarta Yesus, melainkan Yesus sendiri yang mewartakan diriNya, Roh-Nyalah yang berbicara, Kristuslah yang bekerja dan mewujudkan diriNya sendiri melalui sebuah "bahasa total" (total language), bekerja dan berbicara dari sebuah keterlibatanNya dalam sejarah dan dari sebuah kedalaman kepada setiap umat manusia sama seperti pada dinamisme internal dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu kita harus mengosongkan diri dan memurnikan diri dengan rasa hormat pada diri kita sendiri dan komitmen konkret kita dalam bentuk keheningan sikap dan tingkah laku yang secara total merupakan prakseologis. Dengan demikian, misi dapat dilihat sebagai melayani, sebuah komintmen dan sebuah tanggungjawab yang terbagi. Misi tidak hanya mengajar, melainkan kenyataan, kehadiran dan dinamisme. Di sini pesan Injil harus dibaca dari bukti konret dan pelayanan khusus yang dituntut oleh kehadiran Kristus di setiap umat manusia dan budaya.
Kristus adalah inti dari Kerygma Kekristenan. Oleh karena itu kerygma ini dijaga sebagai karakter yang hakiki bukan hanya sebagai logos atau pengetahuan, tetapi juga pneuma dan kedinamisan logos. Kerygma kekeristenan ini hanya bisa diwujudkan sebagai sebuah gerak dinamis yang historis atau menyejarah. Jika tidak, evangelisasi menjadi tidak berguna alias impoten karena hanya melayani kelas-kelas yang mendominasi.
Secara tradisional, ortodoksi pesan Kekristenan telah direduksi ke formula teoritisnya atau pewartaan oralnya. Maka sangatlah mendesak untuk menghindari pereduksian ortodoksi hanya pada sebuah pemikiran dan perkataan yang benar (correct). Lebih baiknya jika kita berjuang untuk memulihkan makna penuhnya sebagai tindakan yang benar (correct doing). Namun, kita tidak boleh mempertentangkan bertindak atau praksis sebagai sebuah teori diametrical yang bertentangan, melainkan sebuah totalitas atau penyeluruhan konsep praksi yang membentuk sifat dialektiknya. Di sini, praksis melampaui empirisisme, voluntarisme, dan penyederhanaan yang berlebihan. Lebih lagi, pewartaan pesan Kristiani harus tidak dilihat sebagai sebuah tindakan pragmatis yang terisolasi atau murni, melainkan sebuah fase dari keseluruhan aktivitas dari proyeksi historis kekristenan.

Praksis Kenabian
Ortopraksis dari iman yang nyata terdiri dari sebuah profetisisme dalam kata-kata, karya, pilihan-pilihan dan proses-proses. Dan contoh utama dari profetisisme ini adalah sebuah aktivitas evangelisasi yang bermula dari sebuah pilihan bagi kelas-kelas yang terekspoitasi.
Dalam berkotbah, berbicara tentang Kristus adalah untuk mengisi pewartaan tentang keselamatan dengan kandungan historis, untuk membawa pada penyempurnaan, dibawah bentuk-bentuk norma konkret yang baru: Cinta Kristiani dan sebuah komunitas Persaudaraan Kristiani. Oleh karena itu berbicara tentang sebuah evangelisasi yang membebaskan berarti bahwa laki-laki dan perempuan akan menjadi laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan ditentukan oleh strukturasi sebuah masyarakat yang menstigmasi mereka sebagai yang tereksploitasi dan yang tertekan. Di sini seringkali terlupa bahwa hubungan kerygma Kristiani pada umat manusia merupakan sebuah hubungan yang hakiki dari kerygma yang mengandung resiko-resiko. Itulah hukum inkarnasi bahwa ketika segalannya sudah dikatakan dan dilakukan untuk mewartakan Kristus, kita harus siap untuk mengambil tantangan dari sebuah pesan yang berhadapan dengan mediasi-mediasi politis dan yang memolitisasi.
Oleh karena itu, proyek historis konkret primordial dari tugas evangelisasi Amerika Latin adalah sebuah pembelengguan ideologis, dimana tugas profetisnya harus mengambil arah sebuah penyerangan peran, mekanisme dan dinamisme internal yang membentuk peperangan di mana laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam situasi yang berubah—di mana kerygma diprivatisasi dan dimanipulasi. Kita harus menjaga saluran yang paling konkret dari keuntungan yang digunakan kasih dalam perubahan sejarah. Artinya, walaupun manusia baru bukan merupakan produk spontan yang berpura-pura dari perubahan struktural, namun perubahan struktural adalah kondisi yang perlu bagi kelahiran manusia baru.
Sebagai praksis konkret, kerygma Kristiani harus memandang dengan rasa hormat yang istimewa nilai-niai yang dihidupi oleh komunitas. Pesan terwujud dan dihidupi dalam cara-cara yang berbeda dan di waktu yang berbeda. Pertemuaan kembali dengan Kristus di bawah bentuk baru dan dalam loci yang berbeda-beda harus menjadi tema yang relevan dalam bidang total pembebasan dan komitmen revolusioner.


Tanggapan dan Komentar
Bagi saya, mengunyah dan memahami apa yang disampaikan Raul Vidales tidaklah mudah. Ini perlu saya sampaikan sebagai sebuah kejujuran untuk menyuarakan apa yang ada dalam hati saya. Sikap saya ini sendiri tidak terlepas dari usaha saya untuk memahami apa yang menjadi pemikiran Vidales sendiri. Ia secara gamblang mengemukakan gagasan-gagasannya tentang bagaimana sebaiknya kita menyuarakan Kristus di tengah dunia dewasa ini yang tentu saja mempunyai keragaman dan kemajemukan situasi. Karena begitu banyaknya keragaman situasi dunia dan tentu saja pengalaman akan Kristus, ia membatasi diri dengan bercermin pada pengalaman Gereja di Amerika Latin. Setidak-tidaknya, dasar pemikirannya yang saya tangkap adalah teologi pembebasan yang memang berakar pada situasi konkret masyarakat Amerika Latin sendiri. Metode berteologinya nampak berawal dari bawah kemudian direfleksikan dan diangkat untuk mencari bentuk dan wajah Kristus ideal yang tepat untuk situasi yang ia maksudkan.
Bagi saya, hal yang ideal dalam berteologi saat ini memang dari bawah ke atas. Mengapa? Karena seperti yang dikatakan oleh Vidales bahwa dalam peristiwa Inkarnasi, Allah justru hadir dalam realitas dunia manusia untuk melihat, mengalami, mendengar, dan merasakan kedinamisan hidup bangsa manusia supaya dengan itu, Allah mampu mengarahkan manusia menuju pada diriNya. Tentu saja Allah hadir bagi siapa saja. Ia bersifat universal. Namun, memang perlu dipertimbangkan kelemahan-kelemahan manusia sepanjang sejarah dalam melakukan interpretasi keselamatan Allah. Ada banyak kekeliruan dan perkembangan yang dialami manusia untuk menafsirkan keselamatan Allah itu. Namun, justru dalam kelemahan manusia itu, Allah senantiasa hadir membimbing manusia untuk menemukan gambaran diriNya dalam situasi khusus setiap daerah, setiap manusia, setiap jaman.
Dengan demikian keterbukaan Gereja kepada kehendak Allah menuntunnya pada pembaharuan diri terus-menerus yang memungkinkan Gereja terus dapat hidup dan oleh karenanya Gereja mampu berbicara tentang Kristus dalam setiap situasi dan jaman yang berbeda.

Tidak ada komentar: