Sebuah Ringkasan Bagian Introduction buku The Asian Jesus
Oleh Vico SJ
Dalam bagian pendahuluan ini, Amalados mengungkapkan beberapa hal berkaitan dengan bukunya berjudul The Asian Jesus. Pertama, bagaimana kekristenan menyebar tidak hanya di daerah Barat, yaitu di daerah Kekaisaran Romawi dan di daerah Timur, seperti di Konstantinopel, melainkan juga di daerah Asia dan sekitarnya seperti di India, Cina, dan Jepang. Penyebaran tersebut pada jaman modern banyak dilakukan oleh para misionaris Barat. Oleh karenanya, gambaran mengenai Yesus sangat berbau ke-Barat-baratan. Hal ini berakibat timbulnya reaksi negatif yang tidak sedikit dari para kaum elit agama dan pemikir di daerah-daerah tersebut. Di India, kekristenan nampak diterima dengan baik, meskipun perkembangannya disesuaikan dengan agama dan budaya setempat. Sedangkan di daerah Cina dan Jepang, perkembangan Kekristenan nampak mengalami banyak kesulitan.
Kedua, berkaitan dengan gambaran dan simbol tentang Yesus yang dihayati oleh orang-orang Asia. Di India, figur Yesus lebih mudah ditangkap sebagai seorang guru dari pada figur-figur yang tertera secara dogmatis di dalam Gereja. Hal ini dipertegas dengan adanya sinode Uskup se-Asia, di mana para Uskup menggambarkan Yesus sebagai Guru Kebijaksanaan, Penyembuh, Pembebas, Penuntun Kerohanian, Orang yang Tercerahkan, Sahabat yang berbelas kasih pada yang miskin, Samaritan yang baik hati, Gembala yang baik, Orang yang Taat. Gambaran-gambaran mengenai Yesus itu tentu saja berbeda dengan formula dogmatis Gereja tentang Yesus. Ketegangan ini berlangsung lama di kalangan umat Gereja.
Ketiga, peran gambaran dan simbol tentang Yesus berkaitan dengan formula dogmatis tentang Yesus. Menurut Amalados, semua gambaran mengenai Yesus muncul dalam konteks dialektis antara pribadi dan kehidupan Yesus dan pribadi dan kehidupan para murid-Nya. Oleh karena itu peran gambaran dan simbol tentang Yesus dalam kehidupan beriman kita saat ini mempunyai dua akar: satu dalam kehidupan Yesus yang dikisahkan dalam Injil, yang lain dalam budaya dan sejarah para murid-muridNya. Dengan demikian, simbol dan gambaran mengenai Yesus bersifat terbuka, banyak, dan tidak monopolistik karena terkait dengan pengalaman hidup yang dihayati para muridNya. Simbol dan gambaran mengenai Yesus sangat beragam tergantung konteks simbol dan gambaran tersebut lahir, entah dalam alur sejarah tertentu, budaya tertentu, pengalaman dan alasan pribadi tertentu. Namun, tidak semua gambaran dan simbol mengenai Yesus itu ditangkap oleh setiap orang sehingga semua gambar dan simbol mengenai Yesus itu tidaklah mencukupi untuk menerangkan gambaran Yesus yang sebenarnya. Hal ini pun berlaku pada gambaran Yesus secara dogmatis. Formula-formula dogmatis yang mencoba menggambarkan Yesus tidak lepas dari situasi-situasi saat formula itu dibuat, kapasitas dan pencerahan yang dialami para pembuatnya. Dengan demikian, meskipun simbol dan gambaran mengenai Yesus tidak sangat konseptual dan logis, mereka tidak boleh begitu saja dituduh sebagai sesuatu yang salah jika dibandingkan dengan formula-formula dogmatis. Simbol dan gambar berbeda dengan formula dogmatis tersebut. Mereka berakar pada iman dan bersifat pra-teologis. Oleh karena itu, mereka dapat memberikan sumbangan baru dalam refleksi teologis. Mereka juga bisa membantu kita memahami proses keselamatan yang coba ditawarkan Yesus kepada kita dalam hidup kita. Mereka membantu kita untuk hidup. Dengan kata lain, mereka harus dihargai pada apa yang mereka katakan bukan pada apa yang tidak mereka katakan.
Keempat, tentang gambaran Asia. Menurut Amalados, budaya-budaya dan agama-agama di Asia bukanlah barang baru baginya karena mereka merupakan warisan dari para leluhurnya. Oleh karena itu, penggunaan hak istilah 'guru' pada Yesus bukanlah milik agama tertentu saja, seperti misal agama Hindu. Menurutnya, istilah 'guru' itu milik India secara umum. Jadi, simbol itu menjadi milik siapa saja yang ingin menggunakannya; dan bila istilah 'guru' (tentu saja berlaku pula bagi istilah lain yang berkembang di Negara-negara Asia, seperti Orang Bijaksana, Nabi) dikenakan pada Yesus, istilah itu akan mempunyai makna baru. Mengapa? Karena di dalam diri Yesus sendiri terdapat banyak aspek yang bisa digali, seperti ajaran-ajaranNya, tindakan-tindakanNya, dan hidupNya. Aspek-aspek itu memperkaya makna istilah yang dikenakan kepadaNya bukan karena ia dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh di mana istilah itu juga dikenakan kepada mereka, seperti Muhammad—Sang Nabi, Confucius—Sang Orang Bijaksana, melainkan dalam diriNya terdapat keunikan dan kekhususan yang membuat diriNya bukan ini atau itu.
Demikianlah Amalados lebih suka menyebut Yesus sebagai guru dan orang bijaksana karena terkait dengan budaya, agama tempat ia berasal. Ia berharap pula pada para penganut agama lain yang telah mengenal Yesus untuk memahamiNya menurut konteks sosio-religi di mana mereka berada. Simbol dan gambaran mengenai Yesus ini akhirnya bersifat personal dan tidak berseberangan dengan formula dogmatis, melainkan melengkapi dan memperkaya refleksi teologis dogmatis.
Komentar dan Tanggapan
Saya setuju pada yang dikatakan Amalados dalam bagian pendahuluan bukunya itu bahwa ia lebih suka menyebut Yesus sebagai guru dan orang bijaksana menurut konteks sosio-religi di mana ia berada. Saya hanya menduga bahwa ia hendak memberikan ruang interpretatif bagi mereka yang ingin mengenal dan memahami Yesus tidak melulu secara dogmatis, melainkan secara personal. Di sini, saya menjadi teringat pada apa yang ditanyakan Yesus kepada para murid-muridNya: "Menurutmu, siapakah Aku ini?" Menurut saya, pertanyaan ini mengandaikan adanya pengalaman eksistensial dari para muridNya akan Dia, suatu pengalaman eksistensial yang tidak terlepas pula dari konteks histori-sosiologis para muridNya yang dikawinkan dengan pengalaman mereka akan Yesus. Oleh karena itu, tercetuslah dari mulut Petrus: "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup". Meskipun pernyataan ini, menurut pengakuan Yesus, tidak berasal dari pemikiran Petrus sendiri, namun mengandaikan adanya kerja sama aktif dari Petrus, sebagai manusia temporal-historis dengan Allah yang transenden.
Saya sendiri sebagai orang Indonesia, khususnya suku Jawa, yang juga merupakan bagian dari Asia, tentu saja mempunyai gambaran tentang Yesus sendiri menurut gambaran umum orang-orang tentang figur yang mempunyai daya linuwih dan budi pekerti yang adi-luhur. Gambaran tersebut sangat bersifat sosio-historis, yaitu gambaran yang terkait dengan budaya, geografi di mana saya tinggal. Menurut saya, proses terjadinya Injil juga tidak terlepas dari budaya, politik, ekonomi, dan sosiologis masyarakat di mana penulis Injil tinggal atau berada. Hal utama yang mau disampaikan adalah bagaimana Yesus dapat diterima dan dipahami menurut pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian, Yesus tidak lagi menjadi sesuatu yang di luar diri mereka, tetapi menjadi milik mereka sendiri.
Benar apa yang dikatakan Amalados bahwa banyaknya simbol dan gambaran tentang Yesus malah bisa mengakibatkan kesimpangsiuran simbol dan gambaran tentang Yesus, khususnya untuk generasi muda. Oleh karena itu, formula-formula dogmatis tentang Yesus diperlukan untuk menengahi atau mengakomodasi segala pengalaman eksistensial Umat Allah akan Yesus Kristus. Jadi, formula dogmatis tetap diperlukan sejauh menjembatani keberagaman simbol dan gambaran tentang Yesus dikalangan umat.meskipun tidak sangat personal .
Oleh Vico SJ
Dalam bagian pendahuluan ini, Amalados mengungkapkan beberapa hal berkaitan dengan bukunya berjudul The Asian Jesus. Pertama, bagaimana kekristenan menyebar tidak hanya di daerah Barat, yaitu di daerah Kekaisaran Romawi dan di daerah Timur, seperti di Konstantinopel, melainkan juga di daerah Asia dan sekitarnya seperti di India, Cina, dan Jepang. Penyebaran tersebut pada jaman modern banyak dilakukan oleh para misionaris Barat. Oleh karenanya, gambaran mengenai Yesus sangat berbau ke-Barat-baratan. Hal ini berakibat timbulnya reaksi negatif yang tidak sedikit dari para kaum elit agama dan pemikir di daerah-daerah tersebut. Di India, kekristenan nampak diterima dengan baik, meskipun perkembangannya disesuaikan dengan agama dan budaya setempat. Sedangkan di daerah Cina dan Jepang, perkembangan Kekristenan nampak mengalami banyak kesulitan.
Kedua, berkaitan dengan gambaran dan simbol tentang Yesus yang dihayati oleh orang-orang Asia. Di India, figur Yesus lebih mudah ditangkap sebagai seorang guru dari pada figur-figur yang tertera secara dogmatis di dalam Gereja. Hal ini dipertegas dengan adanya sinode Uskup se-Asia, di mana para Uskup menggambarkan Yesus sebagai Guru Kebijaksanaan, Penyembuh, Pembebas, Penuntun Kerohanian, Orang yang Tercerahkan, Sahabat yang berbelas kasih pada yang miskin, Samaritan yang baik hati, Gembala yang baik, Orang yang Taat. Gambaran-gambaran mengenai Yesus itu tentu saja berbeda dengan formula dogmatis Gereja tentang Yesus. Ketegangan ini berlangsung lama di kalangan umat Gereja.
Ketiga, peran gambaran dan simbol tentang Yesus berkaitan dengan formula dogmatis tentang Yesus. Menurut Amalados, semua gambaran mengenai Yesus muncul dalam konteks dialektis antara pribadi dan kehidupan Yesus dan pribadi dan kehidupan para murid-Nya. Oleh karena itu peran gambaran dan simbol tentang Yesus dalam kehidupan beriman kita saat ini mempunyai dua akar: satu dalam kehidupan Yesus yang dikisahkan dalam Injil, yang lain dalam budaya dan sejarah para murid-muridNya. Dengan demikian, simbol dan gambaran mengenai Yesus bersifat terbuka, banyak, dan tidak monopolistik karena terkait dengan pengalaman hidup yang dihayati para muridNya. Simbol dan gambaran mengenai Yesus sangat beragam tergantung konteks simbol dan gambaran tersebut lahir, entah dalam alur sejarah tertentu, budaya tertentu, pengalaman dan alasan pribadi tertentu. Namun, tidak semua gambaran dan simbol mengenai Yesus itu ditangkap oleh setiap orang sehingga semua gambar dan simbol mengenai Yesus itu tidaklah mencukupi untuk menerangkan gambaran Yesus yang sebenarnya. Hal ini pun berlaku pada gambaran Yesus secara dogmatis. Formula-formula dogmatis yang mencoba menggambarkan Yesus tidak lepas dari situasi-situasi saat formula itu dibuat, kapasitas dan pencerahan yang dialami para pembuatnya. Dengan demikian, meskipun simbol dan gambaran mengenai Yesus tidak sangat konseptual dan logis, mereka tidak boleh begitu saja dituduh sebagai sesuatu yang salah jika dibandingkan dengan formula-formula dogmatis. Simbol dan gambar berbeda dengan formula dogmatis tersebut. Mereka berakar pada iman dan bersifat pra-teologis. Oleh karena itu, mereka dapat memberikan sumbangan baru dalam refleksi teologis. Mereka juga bisa membantu kita memahami proses keselamatan yang coba ditawarkan Yesus kepada kita dalam hidup kita. Mereka membantu kita untuk hidup. Dengan kata lain, mereka harus dihargai pada apa yang mereka katakan bukan pada apa yang tidak mereka katakan.
Keempat, tentang gambaran Asia. Menurut Amalados, budaya-budaya dan agama-agama di Asia bukanlah barang baru baginya karena mereka merupakan warisan dari para leluhurnya. Oleh karena itu, penggunaan hak istilah 'guru' pada Yesus bukanlah milik agama tertentu saja, seperti misal agama Hindu. Menurutnya, istilah 'guru' itu milik India secara umum. Jadi, simbol itu menjadi milik siapa saja yang ingin menggunakannya; dan bila istilah 'guru' (tentu saja berlaku pula bagi istilah lain yang berkembang di Negara-negara Asia, seperti Orang Bijaksana, Nabi) dikenakan pada Yesus, istilah itu akan mempunyai makna baru. Mengapa? Karena di dalam diri Yesus sendiri terdapat banyak aspek yang bisa digali, seperti ajaran-ajaranNya, tindakan-tindakanNya, dan hidupNya. Aspek-aspek itu memperkaya makna istilah yang dikenakan kepadaNya bukan karena ia dapat dibandingkan dengan tokoh-tokoh di mana istilah itu juga dikenakan kepada mereka, seperti Muhammad—Sang Nabi, Confucius—Sang Orang Bijaksana, melainkan dalam diriNya terdapat keunikan dan kekhususan yang membuat diriNya bukan ini atau itu.
Demikianlah Amalados lebih suka menyebut Yesus sebagai guru dan orang bijaksana karena terkait dengan budaya, agama tempat ia berasal. Ia berharap pula pada para penganut agama lain yang telah mengenal Yesus untuk memahamiNya menurut konteks sosio-religi di mana mereka berada. Simbol dan gambaran mengenai Yesus ini akhirnya bersifat personal dan tidak berseberangan dengan formula dogmatis, melainkan melengkapi dan memperkaya refleksi teologis dogmatis.
Komentar dan Tanggapan
Saya setuju pada yang dikatakan Amalados dalam bagian pendahuluan bukunya itu bahwa ia lebih suka menyebut Yesus sebagai guru dan orang bijaksana menurut konteks sosio-religi di mana ia berada. Saya hanya menduga bahwa ia hendak memberikan ruang interpretatif bagi mereka yang ingin mengenal dan memahami Yesus tidak melulu secara dogmatis, melainkan secara personal. Di sini, saya menjadi teringat pada apa yang ditanyakan Yesus kepada para murid-muridNya: "Menurutmu, siapakah Aku ini?" Menurut saya, pertanyaan ini mengandaikan adanya pengalaman eksistensial dari para muridNya akan Dia, suatu pengalaman eksistensial yang tidak terlepas pula dari konteks histori-sosiologis para muridNya yang dikawinkan dengan pengalaman mereka akan Yesus. Oleh karena itu, tercetuslah dari mulut Petrus: "Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup". Meskipun pernyataan ini, menurut pengakuan Yesus, tidak berasal dari pemikiran Petrus sendiri, namun mengandaikan adanya kerja sama aktif dari Petrus, sebagai manusia temporal-historis dengan Allah yang transenden.
Saya sendiri sebagai orang Indonesia, khususnya suku Jawa, yang juga merupakan bagian dari Asia, tentu saja mempunyai gambaran tentang Yesus sendiri menurut gambaran umum orang-orang tentang figur yang mempunyai daya linuwih dan budi pekerti yang adi-luhur. Gambaran tersebut sangat bersifat sosio-historis, yaitu gambaran yang terkait dengan budaya, geografi di mana saya tinggal. Menurut saya, proses terjadinya Injil juga tidak terlepas dari budaya, politik, ekonomi, dan sosiologis masyarakat di mana penulis Injil tinggal atau berada. Hal utama yang mau disampaikan adalah bagaimana Yesus dapat diterima dan dipahami menurut pengalaman mereka sendiri. Dengan demikian, Yesus tidak lagi menjadi sesuatu yang di luar diri mereka, tetapi menjadi milik mereka sendiri.
Benar apa yang dikatakan Amalados bahwa banyaknya simbol dan gambaran tentang Yesus malah bisa mengakibatkan kesimpangsiuran simbol dan gambaran tentang Yesus, khususnya untuk generasi muda. Oleh karena itu, formula-formula dogmatis tentang Yesus diperlukan untuk menengahi atau mengakomodasi segala pengalaman eksistensial Umat Allah akan Yesus Kristus. Jadi, formula dogmatis tetap diperlukan sejauh menjembatani keberagaman simbol dan gambaran tentang Yesus dikalangan umat.meskipun tidak sangat personal .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar