Jumat, 14 November 2008

TEOLOGI DAN ASTRONOMI:

Debat-debat para Corpenican dan Galileian
Oleh Vico SJ

Salah satu perkembangan yang terpenting selama periode kajian studi ini adalah pentingnya pertumbuhan ilmu-ilmu alam, dan pengenalan akan implikasi-implikasi potensial dari pandangan-pandangan dan metode baru bagi teologi kristen. Dalam pembelajaran kali ini, kita harus menguji kontroversi yang berpusat pada pandangan Nicholaus Copernicus dan Galileo Galilei tentang sistim tata surya
Di bulan Mei 1543, karya Nicholaus Copernicus yaitu De revolutionibus orbium coelestium (“On the revolutions of the heavenly bodies”) telah diterbitkan. Namun, karya itu baru diperlihatkan padanya sesaat sebelum dia meninggal pada bulan 24 Mei tahun itu menurut tradisi saat itu yang telah berlangsung lama. Buku itu berisi pandangan heliosentris tentang sistem tata surya. Menurut Copernicus, bumi dan planet-planet lainnya berotasi mengelilingi matahari, yang posisinya di pusat tata surya. (Bulan, tentu saja, dipahami mengelilingi bumi). Pandangan baru ini menandai sebuah gerakan yang meninggalkan secara signifikan pandangan lama, yang berpegang pada pandangan bahwa semua benda langit-termasuk matahari dan planet-planetnya—berotasi mengelilingi bumi.
Pandangan lama, yang seringkali disebut sebagai teori geosentris, telah diterima secara umum dan luas oleh para teolog Abad Pertengahan. Mereka yang telah terbiasa dengan pandangan lama itu dan yang telah terbiasa melakukan pembacaan dan penafsiran teks-teks Alkitab dengan kaca mata geosentris mengalami kesulitan menguasai pandangan baru itu. Terbitan-terbitan awal yang mempertahankan teori Copernicus (seperti G.J. Rheticus’ Treatise on Holy Scripture and the Motion of the Earth, yang diakui secara luas sebagai karya terkenal paling awal yang berkaitan secara eksplisit dengan relasi antara Alkitab dan teori Copernicus) harus berurusan dengan dua isu. Pertama, mereka harus mencari bukti pengamatan yang mengarah pada kesimpulan bahwa bumi dan planet-planet lain berotasi mengelilingi matahari. Kedua, mereka harus menunjukkan bahwa pandangan ini konsisten dengan Alkitab, yang telah lama dibaca sebagai pengabsahan sebuah pandangan geosentris tentang alam semesta.
Munculnya teori heliosentris tentang sistem tata surya kemudian menyebabkan para teolog menguji kembali cara menginterpretasi beberapa perikop tertentu dalam Kitab Suci. Tiga pendekatan besar dapat diidentifikasikan dalam tradisi Kristen tentang tafsiran Biblis:
1. A literal Approach (Pendekatan literal) yang mengatakan bahwa perikop tertentu diambil pada nilai permukaannya. Sebagai contoh, tafsiran literal dari bab pertama Kejadian akan mengatakan bahwa penciptaan terjadi dalam enam periode 24 jam.
2. An allegorical approach (Pendekatan Alegoris), menekankan bahwa beberapa bagian tertentu dari Alkitab di tulis dalam gaya yang tidak tepat bila ditafsirkan secara mutlak. Selama zaman Abad Pertengahan, tiga pemahaman Kitab Suci non-literal diakui; hal tersebut diakui oleh banyak penulis abad tujuh belasan sebagai suatu cara yang lebih detail. Pandangan ini menganggap bab pembukaan Kejadian sebagai puisi atau catatan alegoris, dimana beberapa prinsip teologis dan etis dapat diturunkan. Hal ini tidak memperlakukan mereka sebagai catatan literal historis tentang bumi yang sesungguhnya.
3. Sebuah pendekatan yang berdasarkan pada gagasan tentang akomodasi (penyesuaian). Pendekatan ini telah sekian lama menjadi pendekatan yang terpenting dalam hubungannya pada interaksi tafsiran Kitab Suci dan ilmu-ilmu alam. Pendekatan ini mengatakan bahwa wahyu terjadi dalam cara-cara dan bentuk yang terkondisikan secara kultural dan antropologis, dengan catatan bahwa wahyu selanjutnya perlu ditafsirkan secara tepat. Pendekatan ini mempunyai sebuah tradisi yang lama tentang kegunaannya dalam Judaism dan kemudian di dalam teologi Kristen, dan dapat dengan mudah ditunjukkan pengaruhnya di dalam periode patristik. Namun, perkembangan matangnya dapat ditemukan di dalam abad keenambelas. Pendekatan ini menyatakan bahwa bab-bab pembuka dari Kejadian menggunakan bahasa dan gambaran yang tepat menurut kondisi-kondisi budaya dari pendengar aselinya; bab-bab tersebut tidak diambil secara literal, tetapi diinterpretasikan bagi pembaca kontemporer dengan mengambil gagasan-gagasan kuncinya, yang telah diungkapkan dalam bentuk-bentuk dan istilah-istilah yang secara khusus disesuaikan atau “diakomodasikan” menurut pendengar aselinya.

Pendekatan ketiga terbukti menjadi hal khusus yang penting selama debat melampaui relasi antara teologi dan astronomi selama abad keenam belas dan ketujuh belas. Reformis yang terkenal John Calvin (1509-1564) bisa dianggap sebagai pembuat dua kontribusi yang sangat penting dan positif pada karya dan perkembangan ilmu-ilmu alam. Pertama, dia secara positif mendukung studi ilmu-ilmu alam; kedua, dia menghilangkan sebuah penghalang yang sangat penting pada perkembangan studi itu, melalui pemahamannya tentang cara Alkitab ditafsirkan dalam istilah “akomodasi”.
Kontribusinya yang pertama adalah secara spesifik dikaitkan dengan penekanannya pada keteraturan penciptaan; baik bukti dari dunia fisis maupun tubuh manusia pada kebijaksanaan dan sifat Allah:

Dalam kerangka bahwa tak seorangpun boleh dikesampingkan dari sarana mencapai kebahagiaan, Allah telah digembirakan, tidak hanya ketika menanamkan benih-benih agama di benak kita yang telah kita ucapkan, tetapi untuk membuat kesempurnaan-Nya dikenal dalam keseluruhan alam semesta, dan dalam keseharian menempatkan Dirinya dalam pandangan kita, dimana kita tidak dapat membuka mata kita tanpa dipaksa untuk mengamatiNya ….untuk membuktikan kebijaksanan-Nya yang mengagumkan, baik langit maupun bumi hadir di hadapan kita sebagai bukti yang takterhitung—tidak hanya pembuktian-pembuktian yang lebih maju di mana astronomi, obat-obatan, dan segala macam ilmu-ilmu alam dirancang untuk menggambarkan alam, melainkan bukti-bukti yang mendesak diri mereka sendiri pada perhatian sebagian besar para petani yang miskin pengetahuan tentang alam, yang tidak dapat membuka mata mereka tanpa melihatnya.

Calvin kemudian memuji studi tentang astronomi dan obat-obatan. Mereka mampu menyelidiki lebih dalam dunia alam dari pada teologi, dan kemudian menyingkapkan lebih jauh bukti keteraturan ciptaan dan kebijaksanaan dari penciptanya. Hal itu juga boleh dinyatakan bahwa Calvin memberi sebuah motivasi baru yang bersifat religius pada penyelidikan ilmu alam. Hal ini sekarang dilihat sebagai sebuah sarana untuk menunjukkan penilaian yang baik pada tangan bijaksana Allah dalam ciptaan. The Confessio Belgica (1561), sebuah pernyataan iman Calvinis yang dipraktekkan pengaruh khususnya dalam Lowlands (sebuah area yang dikenal secara khusus karena para ahli botani dan fisikanya) , menyatakan bahwa alam adalah “di hadapan mata kita sebagai sebuah buku yang paling indah di mana segala ciptaan, apakah itu besar atau kecil, bagaikan surat-surat yang menunjukkan hal-hal yang tak tampak dari Allah pada kita.” Allah kemudian dapat dipahami dalam studi tentang ciptaan secara mendetail melalui ilmu-ilmu alam.
Kontribusi utama kedua Calvin adalah menghilangkan sebuah penghalang yang signifikan pada perkembangan ilmu-ilmu alam, yaitu literalisme biblis. Calvin menunjukkan bahwa Alkitab pada pokoknya berkenaan dengan pengetahuan tentang Yesus Kristus. Hal ini bukanlah tentang sebuah buku astronomi, geografi atau biologi. Dan ketika Alkitab ditafsirkan, hal itu harus ditunjukkan dalam benak kita bahwa Allah “menyesuaikan” dirinya pada kapasitas budi dan hati manusia. Allah harus turun ke level kita jika wahyu hendak disampaikan. Wahyu kemudian menghadirkan versi “scaled down” (pereduksian) atau versi “accomodated” (penyesuaian) Allah pada kita, untuk bertemu dengan kemampuan-kemampuan terbatas kita. Sama seperti seorang ibu yang membungkukkan badannya untuk mendapatkan anaknya, begitu juga Allah membungkukkan diri-Nya untuk mendatangi level kita. Wahyu merupakan tindakan perendahan diri ilahi.
Dalam kasus kisah-kisah biblis tentang penciptaan (Kejadian 1), Calvin berpendapat bahwa kisah-kisah itu disesuaikan pada kemampuan-kemampuan dan horison-horison dari orang-orang yang sederhana dan tidak rumit; kisah-kisah itu tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai gambaran literal tentang kenyataan. Penulis Kejadian berkata bahwa mereka telah ditahbiskan menjadi seorang guru dari orang-orang yang tidak terpelajar dan primitif, sebagaimana orang-orang terpelajar; dan dengan demikian ia tidak dapat mencapai tujuannya tanpa menurunkan sarana-sarana sederhana instruksi. “Frase” Enam hari penciptaan” tidak menunjuk pada enam hari per 24 jam, tetapi sebuah penyesuaian yang sederhana bagi cara berpikir manusia untuk menunjukkan sebuah perluasan periode waktu. “Air di atas cakrawala” secara sederhana merupakan sebuah penyesuaian untuk cara berbicara tentang awan.
Dampak dua gagasan tersebut atas proses pembentukan teori ilmiah, khususnya selama abad ketujuhbelas, besar. Sebagai contoh, penulis Inggris, Edward Wright telah mempertahankan teori heliosentrinya Copernicus tentang solar system melawan para literalis biblis dengan berargumen, di tempat pertama, bahwa kitab suci tidaklah dipikirkan melulu hal-hal fisik saja, dan di tempat kedua, bahwa cara Kitab Suci berbicara telah disesuaikan pada pemahaman dan cara berbicara orang-orang pada umumnya, seperti para perawat kepada anak-anak kecil.” Dua argumen tersebut diturunkan secara langsung dari Calvin, yang mungkin bicara untuk membuat sebuah kontribusi dasar pada kemunculan ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam.
Argumen-argumen yang serupa muncul di Italia selama dekade awal dari abad ketujuhbelas, sama seperti kontroversi baru muncul dari model heliosentris sistem tata surya. Hal ini pada akhirnya menuntun Gereja Katolik Roma pada penghukuman atas Galilei Galileo, yang secara luas dipandang sebagai sebuah kesalahan penilaian yang jelas pada bagian dari beberapa birokrat Gereja. Galileo menyusun sebuah pembelaan utama dari teori Copernicus tentang Sistem Tata Surya. Pandangan Galileo pada awalnya diterima dengan simpatik dalam lingkaran para senior gereja, di mana secara terpisah pada kenyataannya ia mendapat kehormatan besar dari seorang favorit Paus, yaitu Giovanni Ciampoli. Jatuhnya Cimpoli dari kekuasaan mengakibatkan Galileo kehilangan dukungan dalam lingkaran orang-orang Paus, dan dipandang sebagai terbukanya jalan penghukuman atas Galileo oleh musuh-musuhnya.
Walaupun kontroversi berpusat pada Galileo, namun seringkali digambarkan sebagai pertengkaran antara ilmu pengetahuan vs agama, atau libertarianisme vs otoritarianisme, isu yang sesungguhnya adalah lebih mempersoalkan tafsiran yang benar atas Alkitab. Hal yang menarik dari poin ini adalah gagasan untuk menyembunyikan kesalahan para sejarawan di masa lalu untuk mengikat dengan isu-isu teologis (dan lebih tepat, hermeneutis) dalam debat. Sebagian, hal ini dapat dilihat sebagai usaha merefleksikan kenyataan bahwa banyak para terpelajar yang tertarik dalam kontroversi khusus ini adalah ilmuwan atau sejarawan ilmu, yang tidak terbiasa dengan keruwetan debat atas penafsiran biblis dari periode yang kompleks ini. Namun, jelaslah bahwa isu yang mendominasi diskusi antara Galileo dan para pengkritiknya adalah bagaimana menafsirkan perikop tertentu dari Alkitab. Isu akomodasi/penyesuaian ini merupakan hal utama yang penting pada debat itu, seperti yang kita akan lihat.
Untuk menggali poin ini, kita bisa beralih ke sebuah karya yang signifikan yang telah diterbitkan pada bulan Januari 1615. Dalam Lettera sopra l’opinione de’ Pittagorici e del Copernico (“Letter on the opinion of the Pythagoreans and Copernicus”), rahib Carmelit Paolo Antonio Foscarini berargumen bahwa model heliosentris tata surya tidak sesuai dengan Alkitab. Foscarini tidak mengenalkan beberapa prinsip barunya apa pun tentang penafsiran biblis dalam analisanya; namun lebih mengaplikasikan aturan-aturan tradisional penafsiran:

Ketika Kitab Suci mengacu sesuatu pada Allah atau pada ciptaan lain yang akibatnya akan menjadi tidak tepat dan tak dapat diukur, kemudian Kitab Suci itu seharusnya ditafsirkan dan dijelaskan dalam satu atau lebih cara berikut. Pertama, Kitab Suci dikaitkan secara metafor dan proporsional, atau dengan kiasan. Kedua, Kitab Suci ditulis menurut pola pemikiran, penangkapan, pemahaman, pengetahuan kita, dsb. Ketiga, Kitab Suci ditulis menurut pendapat yang terbuka dan cara umum berbicara.

Cara kedua dan ketiga yang Foscarini identifikasikan adalah dianggap secara umum sebagai tipe “Accomodation”(penyesuaian), model ketiga cara penafsiran biblis telah disebut di atas. Seperti yang telah kita lihat, pendekatan pada penafsiran biblis ini dapat dikenali jejaknya kembali pada abad-abad awal kekristenan, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang kontroversial.
Inovasi Foscarini tidak terletak pada metode penafsiran yang dia adopsi, melainkan dalam perikob biblis yang dia gunakan. Dengan kata lain, Foscarini menyarankan bahwa pada perikop-perikop khusus, yang banyak ditafsirkan secara literal pada poin ini, ditafsirkan dalam sebuah cara yang akomodatif. Perikop-perikop yang dia gunakan untuk pendekatan ini nampaknya mengatakan bahwa bumi masih sebagai pusat, dan mataharilah yang bergerak. Argumen Foscarini adalah:

Kitab Suci berbicara menurut pola pemahaman kita, dan menurut penampakan-penampakan, dan dalam rasa hormat pada kita. Oleh karena itu dikatakan bahwa benda-benda ini nampak dihubungkan pada kita dan digambarkan dengan pola pemikiran manusia yang umum dan terbuka, sebutlah, bumi nampak masih tetap berdiri dan tidak bergerak dan matahari nampak mengelilingi bumi. Dan di sinilah Kitab Suci membantu kita berbicara dengan cara yang terbuka dan biasa; karena dari pandangan kita sungguh nampak bahwa bumi memang sungguh-sungguh berdiri tetap di tengah dan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi, dari pada sebaliknya.

Perkembangan komitmen Galileo pada posisi Copernicus menuntunnya untuk mengambil sebuah pendekatan pada penfasiran biblis mirip seperti Foscarini.
Isu sesungguhnya adalah bagaimana menafsirkan Kitab Suci. Kritik Galileo mengatakan bahwa beberapaperikop kitab suci berseberangan dengan dia. Sebagai contoh, mereka mengatakan, Yosua 10:12 berbicara tentang berhentinya matahari atas perintah Yosua. Bukankah hal itu membuktikan bahwa-dengan melampaui keraguan rasional- mataharilah yang mengelilingi bumi? Dalam Letter to the Grand Countess Christina-nya, Galileo membalas dengan sebuah argumen bahwa hal ini secara sederhana merupakan cara umum berbicara. Yosua tidak dapat diharapkan mengetahui kerumitan mekanika angkasa, dan oleh karena itu menggunakan sebuah cara berbicara yang akomodatif.
Hukuman pejabat Gereja pada pandangan ini berdasarkan dua pertimbangan:
1. Kitab Suci ditafsirkan menurut “ makna yang tepat dari kata-kata””. Pendekatan akomodatif yang diambil oleh Foscarini kemudian ditolak karena Gereja saat itu lebih menggunakan pendekatan literal. Seperti telah kita tekankan, kedua metode penafsiran diterima sebagai yang sah, dan mempunyai sebuah sejarah yang panjang dalam teologi Kristiani. Debat berpusat pada pertanyaan yang tepat pada perikop yang dipertanyakan.
2. Kitab Suci ditafsirkan “menurut penafsiran dan pemahaman umum para Bapa-bapa Suci dan para teologan yang terpelajar.” Dengan kata lain, telah dikatakan bahwa tak seorang pun telah mengambil penafsiran Foscarini di masa lalu; oleh karena itu dihapuskan sebagai sebuah inovasi.

Karena itu, dua pertimbangan tersebut kemudian diikuti dengan penolakan terhadap inovasi Foscarini dan Galileo tanpa adanya keteladanan dalam pemikiran Kristen.
Poin kedua ini adalah yang terpenting, dan butuh diuji lebih hati-hati, dimana hal itu perlu dirancang untuk mengatasi debat yang lama dan pahit, yang telah terbakar selama abad ketujuh belas oleh Tiga Tahun Perang (1618-1648), antara Protestantisme dengan Katolisisme Roma melebihi apakah yang poin pertama itu sebuah inovasi atau sebuah pembaharuan keotentikan kekristenan. Gagasan dari tradisi Katolik yang tak dapat diubah menjadi sebuah unsur integral polemik Katolik Roma melawan Protestantisme. Seperti Jaques-Benigne Bossuer (1627-1704), salah satu dari pembela Katolisisme Roma yang paling hebat, mengatakan poin ini pada tahun 1688:

Pengajaran Gereja selalu sama … Injil tidak pernah berbeda dari sebelumnya. Di sinilah, jika suatu saat seseorang berkata bahwa iman melibatkan sesuatu yang kemarin tidak dikatakan menjadi bagian dari iman, Hal itu selalu heterodoksi, yang merupakan doktrin lain yang berbeda dari ortodoksi. Tidak ada kesulitan bagaimana mengenali doktrin palsu; tidak ada argumen tentangnya. Hal itu dikenali satu kali, kapan pun muncul, secara sederhana karena hal itu baru.

Argumen-argumen yang sama ini secara luas digunakan pada permulaan abad, dan secara jelas direfleksikan dan diwujudkan dalam kritik resmi Foscarini. Penafsiran yang dia tawarkan tak pernah ditawarkan sebelumnya—dan hal itu, karena alasan itu sendiri, adalah salah.
Oleh karena itu akan menjadi jelas bahwa debat kritis ini yang melebihi penafsiran Alkitab harus ditempatkan dalam konteks melawan sebuah latar belakang yang kompleks. Atmosfer tuntutan yang tinggi dan yang terpolitisasi saat itu secara serius merugikan debat teologis itu, karena takut bahwa kelonggaran dari beberapa pendekatan baru bisa dilihat sebagai sebuah kelonggaran tidak langsung dari klaim Protestan kepada legitimasi. Membiarkan bahwa ajaran Katolik Roma pada beberapa hal yang signifikan telah “berubah” secara potensial membuka pintu air yang tak terelakkan yang akan membawa pada tuntutan bagi pengakuan ortodoksi dari ajaran-ajaran sentral Protestan—ajaran-ajaran bahwa Gereja Katolik Roma telah mampu menolak apa yang disebut sebagai “inovasi” sampai pada poin ini.
Demikianlah bahwa pandangan Galileo akan bertemu dengan sebuah penolakan. Faktor kunci adalah bahwa dari inovasi teologis: untuk mengakui penafsiran Galileo atas beberapa pasal dalam Alkitab akan secara serius merusakkan penelitian-penelitian Katolik terhadap Protestantisme, yang melibatkan pernyataan tegas bahwa Protestantisme memperkenalkan (dan oleh karena itu salah) penafsiran-penafsiran baru atas beberapa pasal dalam Kitab Suci. Hanya persoalan waktu sajalah sebelum pandangan-pandangannya ditolak. Secara umum pandangannya disetujui bahwa reputasi positif Galileo dalam lingkaran eklesiastikal sampai sebuah tanggal akhir yang mengejutkan telah dikaitkan dengan relasinya yang dekat dengan favorit paus, yaitu Giovanni Ciampoli. Ketika Ciampoli jatuh dari kemuliaan di musim semi tahun 1632, Galileo mengetahui posisinya secara serius lemah, barangkali pada poin di mana secara fatal berbahaya. Tanpa perlindungan Ciampoli, Galileo mudah diserang pada pernyataan “bidaah melalui novasi” yang menumbangkan dia dengan kritik-kritiknya.
Kontroversi yang berpusat pada Galileo seringkali digambarkan dalam sebuah bentuk yang terlalu sederhana dalam buku-buku, secara khusus sebagai sebuah contoh “ilmu pengetahuan melawan agama”. Sebagaimana studi kasus ini akan jelas , isu-isu tersebut jauh lebih komplek dari pada penyederhanaan tersebut. Kontroversi harus ditempatkan dalam konteks melawan sebuah latar belakang pengadilan politik, ketidakcocokan pribadi, dan sebuah perjuangan garang pada sisi gereja Katolik untuk mempertahankan dirinya melawan Protestantisme—seperti halnya sebuah usaha murni untuk memahami Alkitab secara benar!




Tidak ada komentar: