Vico SJ
Apakah ada norma-norma moral yang selalu dan di mana saja merupakan kewajiban? Lalu apa yang dimaksud dengan norma moral itu sendiri? Pertanyaan ini harus diletakkan pada perspektif yang tepat. Hampir semua orang akan setuju bahwa ada beberapa norma yang mutlak dan secara universal mengikat norma-norma yang lain. Hampir sebagian besar para etikawan mendiskusikan pertanyaan tentang norma-norma absolut tersebut dari perspektif moralitas personal, namun jangan lupa juga untuk memperhatikan dimensi sosial dari isu tersebut karena keduanya seharusnya tidak dipisahkan secara total.
Pendekatan yang dilakukan orang-orang Kristiani terhadap isu di atas mengacu pada empat hal sebagai sumber dari kebijaksanaan dan pengetahuan. Sumber-sumber itu adalah Kitab Suci, tradisi, akal budi, dan pengalaman. Norma-norma yang ada telah lama berakar pada keempat sumber ini dengan penekanan lebih besar pada Kitab Suci dan akal budi manusia. Kitab Suci seringkali dijadikan dasar bagi norma moral absolut dan hukum-hukum Kristen. Salah satu yang dijadikan dasar adalah sepuluh perintah Allah. Banyak dari katekisme dan diskusi tentang moralitas kekristenan mengikuti skema dari sepuluh perintah Allah ini.
Menurut sebagian besar orang-orang Kristiani sebelum adanya studi kritis atas Alkitab pada abad ke-19, ajaran moral dalam Alkitab dianggap sebagai perintah Allah bagi segala jaman dan tempat. Kaum fundamentalis masih berpegang pada cara ini. Namun, menurut para ahli Kitab Suci dan para teolog moral dalam gereja Protestan dan Katolik, ajaran-ajaran Alkitab secara historis, kultural, dan sosial adalah dikondisikan. Jadi, apa yang telah diterima sebagai suatu kebenaran dalam Alkitab yang ditulis di jaman yang berbeda bisa jadi tidak benar lagi di jaman kita karena kita hidup di alam dan situasi yang berbeda secara historis, kultural, dan sosial. Sebagai contoh adalah tentang kepatuhan dan ketaatan para isteri pada suaminya yang terdapat dalam Galatia 3:18—4:1 dan Efesus 5:22—6:9. Kaum fundamentalis dan beberapa orang Kristiani konservatif masih melihat fenomena tersebut sebagai sebuah norma biblis yang dibenarkan pada jaman kita ini. Namun, bagi mereka yang lebih menerima pendekatan kritis terhadap Kitab Suci melihat ‘kode rumah tangga’ ini sebagai ungkapan jaman patriarki saat itu dan tidak lagi mengikat pada keadaan jaman kita yang sudah berubah. Contoh lain adalah kontroversi terkini tentang homoseksualitas. Semua Gereja-gereja Kristen mempunyai cara pandang yang berbeda atas kasus tersebut. Sampai pada akhir tahun 1960-an, Gereja-gereja Kristen menggunakan Imamat 18:22 dan 20:13 sebagai dasar biblis untuk menghukum tindakan-tindakan homoseksual tersebut, disamping tiga perikop lainnya, yaitu Rm 1:27, 1 Kor 6:9-10, dan 1Tim 1:9-10. Namun, hari ini, beberapa orang Kristen tidak melihat dalam Kitab Suci sebuah hukuman atas tindakan-tindakan homoseksualitas yang dilakukan oleh pasangan homoseksual. Tindakan homoseksual yang dilakukan atas dasar cinta oleh pasangan homoseksual dapat secara moral baik. Jadi, dalam menafsirkan makna Kitab Suci bagi kita saat ini, kita harus mengenali perbedaan-perbedaan budaya, historis, dan sosial yang besar antara jaman biblis dengan jaman kita..
Di sisi lain, pengalaman dan khususnya akal budi manusia telah mendukung pendasaran norma-norma absolut bagi para filsuf (Immanuel Kant) dan para teolog Kristen dan gereja-gereja. Akal budi manusia inilah yang menerangi pengembangan posisi moral tradisi Katolik Roma dan dari perspektif ini lahirlah beberapa norma-norma absolut. ]Selain itu, tradisi Katolik juga menggunakan teori hukum kodrat untuk mendasari norma-normanya.
Untuk tujuan tersebut, hukum kodrat menjaga agar akal budi manusia yang mencerminkan kodrat manusia dapat mencapai kebijaksanaan dan pengetahuan moral. Dalam hal ini, ajaran resmi Gereja menggunakan sebuah metode hukum kodrat untuk mempertahankan norma-norma moral absolut. Hal ini nampak pada hukuman absolut yang berdasar pada teori hukum kodrat atas kontrasepsi, masturbasi, sterilisasi langsung, dan pembunuhan langsung. Namun segera muncul pertanyaan tentang bagaimana tindakan-tindakan tersebut secara moral dipersalahkan. Pertanyaan lain yang menyusul adalah mengapa kasus-kasus yang timbul akibat tindakan tersebut menjadi begitu berbeda dari bidang-bidang moralitas lainnya. Seperti misal adalah membunuh. Membunuh adalah tindakan fisik. Tetapi tidak setiap pembunuhan adalah salah. Tidak juga setiap perkataan palsu adalah sebuah kebohongan atau hasrat untuk berbohong (the malice of lying) dibenarkan secara moral bila dikenakan pada orang yang tidak mempunyai hak atas kebenaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebohongan secara fisik tidak selalu merupakan sebuah kebohongan moral. Namun, kadang-kadang hal-hal fisik dan moral adalah sama. Tetapi tidak untuk manusia. Manusia tidak tak dapat secara a priori diidentifikasi dengan hal-hal fisik saja. Hal-hal fisik hanyalah satu aspek dari manusia dan moral. Untuk itu moral utama harus terbuka dan menyeimbangkan segala aspek yang ada pada diri manusia.
Dua faktor yang mempengaruhi pemahaman akan kodrat manusia dan akal budi manusia dan yang mempengaruhi realisasi norma-norma absolut yang konkret, spesifik, dan lengkap adalah historisitas dan kesadaran historis di satu sisi dan juga keberalihan pada subjek di sisi lain. Penekanan pada sejarah berbeda dengan penekanan pada kodrat yang terberikan (given) yang pada dasarnya sama sepanjang sejarah. Kesadaran historis tertanam dalam historisitasnya yang cenderung melihat manusia secara partikular, individual, kontingen, dan berkembang; berbeda dengan klasikisme kuno yang memahami manusia lebih sebagai yang tetap, abadi, tak berubah. Kesadaran historis ini menggunakan sebuah metodologi induktif namun menolak sebuah realitivisme total atau eksistensialisme yang lebih menekankan kekinian tanpa ada kaitannya dengan masa lalu dan masa depan dan tidak berhubungan dengan yang lain dalam kekinian. Di sisi lain, keberalihan pada subjek menekankan bahwa pribadi tidak hanya sebagai sebuah objek atau kodrat melainkan sebagai subjek sejati dari eksistensi seseorang. Pribadi adalah sebuah subjek kesadaran diri yang membuat dan membentuk dirinya dalam bagian sejarah. Meskipun dibatasi dengan kodratnya, subjek tidak secara total dideterminasi olehnya.
Dua perpindahan pada kesadaran historis dan pada subjek telah mempengaruhi semua usaha etika, termasuk Etika Filosofis. Ada tiga perkembangan terbaru dalam etika filosofis yang juga mempengaruhi teologi moral atau etika Kekristenan. Pertama, etika diikat pada tradisi dan komunitas tertentu dan tidak mesti universal. Namun, perkembangan ini tidak diterima oleh tradisi Kekristenan mainstream yang menekankan keuniversalitasan dari moralitas. Kedua, ada penolakan oleh para filsuf terhadap fundasionalisme atas adanya satu sumber atau dasar yang darinya pengetahuan kita tentang etika dan norma-norma khusus dapat diperoleh. Namun, mereka tetap menerima beberapa realitas moral universal dan menentang relativisme. Ketiga, banyak pihak lebih memilih pada perbedaan-perbedaan dua metodologi dasar yang memperhatikan kegiatan manusia, yaitu pendekatan deontologis, yang melihat kehidupan moral pertama-tama adalah tugas, hukum, dan kewajiban; dan pendekatan teologis yang memahami kehidupan moral sebagai akhir atau tujuan yang harus dicapai. Pendekatan ini mempunyai salah satu bentuk ekstremnya, yaitu konsekuensilisme yang mendasarkan moralitas hanya pada konsekuensi-konsekuensi; jika konsekuensinya baik, tindakan tertentu secara moral dapat dikatakan baik.
Ada tiga pendekatan umum dalam Katolisisme Roma pada pertanyaan tentang norma absolut yang berkaitan dengan tingkah laku yang konkret dan material. Pertama, pendekatan hukum kodrat dengan penekanannya pada tujuan dari kemampuan seksualitas. Kedua, pendekatan hukum kodrat yang penekanannya pada perkembangan manusia atau pemenuhan manusia yang integral. Ketiga, pendekatan yang sering disebut revisionis atau proposionalis ini tidak menyetujui perluasan teori dan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum kodrat yang diusulkan oleh magisterium hierarkis. Pendekatan ini hendak menghindari adanya bahaya-bahaya fisikalisme dan konsekuensilialisme total.
Sebagai kesimpulan, pertanyaan atas norma-norma moral mutlak bukanlah yang terpenting bagi etika dasar Katolik. Yang terpenting adalah nilai-nilai yang merupakan pertimbangan penting dalam etika kristiani. Hukum ada untuk menjaga nilai-nilai ini. Namun, semakin komplek dan spesifik nilai-nilai tersebut, semakin sulit untuk menyatakan bahwa satu nilai moral tidak akan bertentangan satu sama lain. Namun, menurut Thomas Aquinas pada abad ke-13, ia membuat pemilahan penting antara prinsip-prinsip primer dari hukum kodrat yang berlaku kapan saja dan dimana saja; dan prinsip-prinsip sekunder dari hukum kodrat yang berlaku ut in pluribus—sebagaimana terjadi secara umum, tetapi tidak selalu.
Diskusi mengenai norma-norma absolut secara umum nampak hanya dalam konteks moralitas personal. Namun, nampak juga dalam konteks dari moralitas sosialnya. Dalam hal ini, tradisi kristen dan pendekatan Katolik Roma menekankan pentingnya kebaikan bersama yang terungkap dalam hidup bersama dalam masyarakat dan komunitas. Namun, individualisme menjadi sebuah masalah utama saat ini karena hanya mengejar keuntungan atau keberhasilan pribadi dan tidak punya perhatian pada kebaikan umum. Oleh karena itu perlu adanya keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia bagi komunitas dan masyarakat. Hak-hak manusia itu terbagi dua, yaitu pertama hak-hak politis dan sipil yang meliputi kebebasan pers, agama, berkumpul, dan berbicara; kedua, hak-hak sosial atau ekonomi yang meliputi hak atas makan, pakaian, tempat tinggal dan atas pelayanan kesehatan.
Beberapa perkembangan terakhir dalam etika teologi Kristiani sepintas tampak terlihat melawan norma-norma absolut dari keadilan dan hak-hak dalam sebuah komunitas politik. Para pembela kemerdekaan dan teolog feminis menekankan bahwa tidak ada yang netral, objektif, universal, tetapi kita semua adalah subjek-subjek manusia yang datang dari latar belakang sejarah dan lokasi sosial yang berbeda-beda. Hal tersebut nampak pada teologi pembebasan yang memulai dengan lokasi dan pengalaman yang tertindas, yakni orang-orang miskin, people of colour, para perempuan, dan mengambil perjuangan-perjuangan subjektif mereka bagi kebebasan yang serius. Kebenaran bukanlah realitas abstrak yang diterapkan pada isu-isu partikular. Kebenaran muncul dari pengalaman orang-orang yang berjuang bagi kebebasan. Namun, para teolog pembebasan tidak ingin menyangkal universalitas. Hal ini terlihat dari kebanyakan pemikir yang mulai dari lokasi sosial yang partikular. Mereka tetap membutuhkan beberapa moralitas umum dan norma-norma universal keadilan dan hak-hak asasi dalam masyarakat. Tanpa penerimaan secara umum prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi tidak dapat ada komunitas politik yang benar.
Apakah ada norma-norma moral yang selalu dan di mana saja merupakan kewajiban? Lalu apa yang dimaksud dengan norma moral itu sendiri? Pertanyaan ini harus diletakkan pada perspektif yang tepat. Hampir semua orang akan setuju bahwa ada beberapa norma yang mutlak dan secara universal mengikat norma-norma yang lain. Hampir sebagian besar para etikawan mendiskusikan pertanyaan tentang norma-norma absolut tersebut dari perspektif moralitas personal, namun jangan lupa juga untuk memperhatikan dimensi sosial dari isu tersebut karena keduanya seharusnya tidak dipisahkan secara total.
Pendekatan yang dilakukan orang-orang Kristiani terhadap isu di atas mengacu pada empat hal sebagai sumber dari kebijaksanaan dan pengetahuan. Sumber-sumber itu adalah Kitab Suci, tradisi, akal budi, dan pengalaman. Norma-norma yang ada telah lama berakar pada keempat sumber ini dengan penekanan lebih besar pada Kitab Suci dan akal budi manusia. Kitab Suci seringkali dijadikan dasar bagi norma moral absolut dan hukum-hukum Kristen. Salah satu yang dijadikan dasar adalah sepuluh perintah Allah. Banyak dari katekisme dan diskusi tentang moralitas kekristenan mengikuti skema dari sepuluh perintah Allah ini.
Menurut sebagian besar orang-orang Kristiani sebelum adanya studi kritis atas Alkitab pada abad ke-19, ajaran moral dalam Alkitab dianggap sebagai perintah Allah bagi segala jaman dan tempat. Kaum fundamentalis masih berpegang pada cara ini. Namun, menurut para ahli Kitab Suci dan para teolog moral dalam gereja Protestan dan Katolik, ajaran-ajaran Alkitab secara historis, kultural, dan sosial adalah dikondisikan. Jadi, apa yang telah diterima sebagai suatu kebenaran dalam Alkitab yang ditulis di jaman yang berbeda bisa jadi tidak benar lagi di jaman kita karena kita hidup di alam dan situasi yang berbeda secara historis, kultural, dan sosial. Sebagai contoh adalah tentang kepatuhan dan ketaatan para isteri pada suaminya yang terdapat dalam Galatia 3:18—4:1 dan Efesus 5:22—6:9. Kaum fundamentalis dan beberapa orang Kristiani konservatif masih melihat fenomena tersebut sebagai sebuah norma biblis yang dibenarkan pada jaman kita ini. Namun, bagi mereka yang lebih menerima pendekatan kritis terhadap Kitab Suci melihat ‘kode rumah tangga’ ini sebagai ungkapan jaman patriarki saat itu dan tidak lagi mengikat pada keadaan jaman kita yang sudah berubah. Contoh lain adalah kontroversi terkini tentang homoseksualitas. Semua Gereja-gereja Kristen mempunyai cara pandang yang berbeda atas kasus tersebut. Sampai pada akhir tahun 1960-an, Gereja-gereja Kristen menggunakan Imamat 18:22 dan 20:13 sebagai dasar biblis untuk menghukum tindakan-tindakan homoseksual tersebut, disamping tiga perikop lainnya, yaitu Rm 1:27, 1 Kor 6:9-10, dan 1Tim 1:9-10. Namun, hari ini, beberapa orang Kristen tidak melihat dalam Kitab Suci sebuah hukuman atas tindakan-tindakan homoseksualitas yang dilakukan oleh pasangan homoseksual. Tindakan homoseksual yang dilakukan atas dasar cinta oleh pasangan homoseksual dapat secara moral baik. Jadi, dalam menafsirkan makna Kitab Suci bagi kita saat ini, kita harus mengenali perbedaan-perbedaan budaya, historis, dan sosial yang besar antara jaman biblis dengan jaman kita..
Di sisi lain, pengalaman dan khususnya akal budi manusia telah mendukung pendasaran norma-norma absolut bagi para filsuf (Immanuel Kant) dan para teolog Kristen dan gereja-gereja. Akal budi manusia inilah yang menerangi pengembangan posisi moral tradisi Katolik Roma dan dari perspektif ini lahirlah beberapa norma-norma absolut. ]Selain itu, tradisi Katolik juga menggunakan teori hukum kodrat untuk mendasari norma-normanya.
Untuk tujuan tersebut, hukum kodrat menjaga agar akal budi manusia yang mencerminkan kodrat manusia dapat mencapai kebijaksanaan dan pengetahuan moral. Dalam hal ini, ajaran resmi Gereja menggunakan sebuah metode hukum kodrat untuk mempertahankan norma-norma moral absolut. Hal ini nampak pada hukuman absolut yang berdasar pada teori hukum kodrat atas kontrasepsi, masturbasi, sterilisasi langsung, dan pembunuhan langsung. Namun segera muncul pertanyaan tentang bagaimana tindakan-tindakan tersebut secara moral dipersalahkan. Pertanyaan lain yang menyusul adalah mengapa kasus-kasus yang timbul akibat tindakan tersebut menjadi begitu berbeda dari bidang-bidang moralitas lainnya. Seperti misal adalah membunuh. Membunuh adalah tindakan fisik. Tetapi tidak setiap pembunuhan adalah salah. Tidak juga setiap perkataan palsu adalah sebuah kebohongan atau hasrat untuk berbohong (the malice of lying) dibenarkan secara moral bila dikenakan pada orang yang tidak mempunyai hak atas kebenaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebohongan secara fisik tidak selalu merupakan sebuah kebohongan moral. Namun, kadang-kadang hal-hal fisik dan moral adalah sama. Tetapi tidak untuk manusia. Manusia tidak tak dapat secara a priori diidentifikasi dengan hal-hal fisik saja. Hal-hal fisik hanyalah satu aspek dari manusia dan moral. Untuk itu moral utama harus terbuka dan menyeimbangkan segala aspek yang ada pada diri manusia.
Dua faktor yang mempengaruhi pemahaman akan kodrat manusia dan akal budi manusia dan yang mempengaruhi realisasi norma-norma absolut yang konkret, spesifik, dan lengkap adalah historisitas dan kesadaran historis di satu sisi dan juga keberalihan pada subjek di sisi lain. Penekanan pada sejarah berbeda dengan penekanan pada kodrat yang terberikan (given) yang pada dasarnya sama sepanjang sejarah. Kesadaran historis tertanam dalam historisitasnya yang cenderung melihat manusia secara partikular, individual, kontingen, dan berkembang; berbeda dengan klasikisme kuno yang memahami manusia lebih sebagai yang tetap, abadi, tak berubah. Kesadaran historis ini menggunakan sebuah metodologi induktif namun menolak sebuah realitivisme total atau eksistensialisme yang lebih menekankan kekinian tanpa ada kaitannya dengan masa lalu dan masa depan dan tidak berhubungan dengan yang lain dalam kekinian. Di sisi lain, keberalihan pada subjek menekankan bahwa pribadi tidak hanya sebagai sebuah objek atau kodrat melainkan sebagai subjek sejati dari eksistensi seseorang. Pribadi adalah sebuah subjek kesadaran diri yang membuat dan membentuk dirinya dalam bagian sejarah. Meskipun dibatasi dengan kodratnya, subjek tidak secara total dideterminasi olehnya.
Dua perpindahan pada kesadaran historis dan pada subjek telah mempengaruhi semua usaha etika, termasuk Etika Filosofis. Ada tiga perkembangan terbaru dalam etika filosofis yang juga mempengaruhi teologi moral atau etika Kekristenan. Pertama, etika diikat pada tradisi dan komunitas tertentu dan tidak mesti universal. Namun, perkembangan ini tidak diterima oleh tradisi Kekristenan mainstream yang menekankan keuniversalitasan dari moralitas. Kedua, ada penolakan oleh para filsuf terhadap fundasionalisme atas adanya satu sumber atau dasar yang darinya pengetahuan kita tentang etika dan norma-norma khusus dapat diperoleh. Namun, mereka tetap menerima beberapa realitas moral universal dan menentang relativisme. Ketiga, banyak pihak lebih memilih pada perbedaan-perbedaan dua metodologi dasar yang memperhatikan kegiatan manusia, yaitu pendekatan deontologis, yang melihat kehidupan moral pertama-tama adalah tugas, hukum, dan kewajiban; dan pendekatan teologis yang memahami kehidupan moral sebagai akhir atau tujuan yang harus dicapai. Pendekatan ini mempunyai salah satu bentuk ekstremnya, yaitu konsekuensilisme yang mendasarkan moralitas hanya pada konsekuensi-konsekuensi; jika konsekuensinya baik, tindakan tertentu secara moral dapat dikatakan baik.
Ada tiga pendekatan umum dalam Katolisisme Roma pada pertanyaan tentang norma absolut yang berkaitan dengan tingkah laku yang konkret dan material. Pertama, pendekatan hukum kodrat dengan penekanannya pada tujuan dari kemampuan seksualitas. Kedua, pendekatan hukum kodrat yang penekanannya pada perkembangan manusia atau pemenuhan manusia yang integral. Ketiga, pendekatan yang sering disebut revisionis atau proposionalis ini tidak menyetujui perluasan teori dan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum kodrat yang diusulkan oleh magisterium hierarkis. Pendekatan ini hendak menghindari adanya bahaya-bahaya fisikalisme dan konsekuensilialisme total.
Sebagai kesimpulan, pertanyaan atas norma-norma moral mutlak bukanlah yang terpenting bagi etika dasar Katolik. Yang terpenting adalah nilai-nilai yang merupakan pertimbangan penting dalam etika kristiani. Hukum ada untuk menjaga nilai-nilai ini. Namun, semakin komplek dan spesifik nilai-nilai tersebut, semakin sulit untuk menyatakan bahwa satu nilai moral tidak akan bertentangan satu sama lain. Namun, menurut Thomas Aquinas pada abad ke-13, ia membuat pemilahan penting antara prinsip-prinsip primer dari hukum kodrat yang berlaku kapan saja dan dimana saja; dan prinsip-prinsip sekunder dari hukum kodrat yang berlaku ut in pluribus—sebagaimana terjadi secara umum, tetapi tidak selalu.
Diskusi mengenai norma-norma absolut secara umum nampak hanya dalam konteks moralitas personal. Namun, nampak juga dalam konteks dari moralitas sosialnya. Dalam hal ini, tradisi kristen dan pendekatan Katolik Roma menekankan pentingnya kebaikan bersama yang terungkap dalam hidup bersama dalam masyarakat dan komunitas. Namun, individualisme menjadi sebuah masalah utama saat ini karena hanya mengejar keuntungan atau keberhasilan pribadi dan tidak punya perhatian pada kebaikan umum. Oleh karena itu perlu adanya keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia bagi komunitas dan masyarakat. Hak-hak manusia itu terbagi dua, yaitu pertama hak-hak politis dan sipil yang meliputi kebebasan pers, agama, berkumpul, dan berbicara; kedua, hak-hak sosial atau ekonomi yang meliputi hak atas makan, pakaian, tempat tinggal dan atas pelayanan kesehatan.
Beberapa perkembangan terakhir dalam etika teologi Kristiani sepintas tampak terlihat melawan norma-norma absolut dari keadilan dan hak-hak dalam sebuah komunitas politik. Para pembela kemerdekaan dan teolog feminis menekankan bahwa tidak ada yang netral, objektif, universal, tetapi kita semua adalah subjek-subjek manusia yang datang dari latar belakang sejarah dan lokasi sosial yang berbeda-beda. Hal tersebut nampak pada teologi pembebasan yang memulai dengan lokasi dan pengalaman yang tertindas, yakni orang-orang miskin, people of colour, para perempuan, dan mengambil perjuangan-perjuangan subjektif mereka bagi kebebasan yang serius. Kebenaran bukanlah realitas abstrak yang diterapkan pada isu-isu partikular. Kebenaran muncul dari pengalaman orang-orang yang berjuang bagi kebebasan. Namun, para teolog pembebasan tidak ingin menyangkal universalitas. Hal ini terlihat dari kebanyakan pemikir yang mulai dari lokasi sosial yang partikular. Mereka tetap membutuhkan beberapa moralitas umum dan norma-norma universal keadilan dan hak-hak asasi dalam masyarakat. Tanpa penerimaan secara umum prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi tidak dapat ada komunitas politik yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar