Jumat, 14 November 2008

Sejarah Di Dalam Norma Kristus Raja

Oleh Vico SJ

Titik sentral dari sejarah adalah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia. Yesus telah digambarkan dalam realitas historisnya, dalam gerakan di mana ia melibatkan sandaran sejarah dalam diriNya sebagai perkiraan yang perlu bagi eksistensi historisnya sendiri, dan akhirnya dalam kualitasnya sebagai norma dari sandaran sejarah. (the rest of history). Sejarah, sejauh seperti menemukan pembenarannya dalam Yesus, berdiri melawanNya sebagai sebuah subjek yang membedakan dri dariNya: individual, subjek personal; subjek kolektif—Gereja, dan akhirnya sejarah dunia sebagai sebuah keseluruhan. Tetapi, jelaslah bahwa tidak ada pemisahan atau perlawanan yang utuh. Orang-orang beriman, Gereja hidup dari kehidupan Tuhan mereka. Iman, harapan dan kasih adalah hidup Kristus yang menjelma dalam anggota-anggotanya. Gereja sebagai sebuah keseluruhan tidak direncanakan melawanNya sebagai subjek lain, dia adalah tubuhNya, dijiwai dan diatur oleh Roh-Nya. Begitu juga seluruh sejarah ras umat manusia yang diubah ke dalam seluruh kodratnya oleh kesatuan hypostatic, tidak dapat berdiri bertentangan denagn Kristus sebagai berdiri sendiri dariNya.
Namun, penyelesaian makna sejarah dalam Kristus tidak dapat dipahami walau kodrat yang tercipta tidak mempunyai di dalamnya makna imanen, inteligibilitas, eidos, dari dirinya sendiri, tetapi hanya di dalam Krsitus. Kecuali peristiwa Inkarnasi melibatkan penerimaan sebuah hakikat imanen yang dikover dengan tindakan penciptaan dan tidak mampu disesatkan atau dihilangkan, mungkin tidak ada inkarnasi yang sesungguhnya, tidak ada kemungkinan Allah menjadi manusia dan menjadi sejarah.
Ketika Putra Raja akhirnya muncul, yang didahului oleh banyak pembawa pesan dan hamba yang mengumumkan dan menyiapkan kedatanganNya, dia terikat, sesuai dengan tingkat kerajaanNya, untuk memperlihatkan diriNya sendiri semua perbedaan dalam mengemban dan bersikap dari pendahulunya. Di sini Kristus tidak perlu memisahkan diriNya; kualitas jarak adalah sesuatu yang merupakan milikNya dan mengiringiNya. Dia bersikap cukup berbeda dari para pejabat; dia mempunyai cara meninggalkan mereka secara ramah yang mengagumkan, dimana mereka mempunyai fungsi-fungsi yang cukup terpercaya, dia sendiri hanya mengerjakan hal yang megah dimana dirinya sendiri adalah seorang pribadi.
Tindakan dalam pesta, peristiwa ajaib di tengahnya, tergantung secara sederhana dan semata-mata pada penampilannya dan karakter wibawa dari seorang Raja. Tak seorang pun dapat memperkirakan bagaimana ia akan bertindak. Dia sendiri adalah etiketnya sendiri. Dalam apa yang dia kerjakan dan tidak dia kerjakan, dia adalah tetap seorang Raja, di sinilah pikiran dan tindakan-tindakannya takterprediksi bagi siapa pun. Namun, sekali mereka (tindakan-tindakan itu) dikerjakan mereka mempunyai kekuatan untuk menempelkan tanda gambaran mereka pada yang lain.


Ketegangan dalam Eidos dan Keadaan Hidup dalam Gereja
Garis ciptaan dari para anggota diberi tekanan khusus oleh ada-an mereka yang dinaikkan oleh keilahian kepala (lihat John 3:31-32):
“Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya.Ia memberi kesaksian tentang apa yang dilihat-Nya dan yang didengar-Nya”
Karakter manusia “di bawah” yang kemudian ditinggikan dan sitekankan membutuhkan pengingkaran diri untuk membawa kesaksian dan membiarkan eidos-nya ditaril pada pengalaman kepala yang transenden. Hasilnya adalah sebuah metamorfosa dalam eidos sendiri, yaitu pertama, eidos yang masih di dunia tetapi dengan sebuah hubungan pada makna akhir yang ada dalam Kristus. Kedua, eidos yang ditinggikan dan diubah kedalam keunikan.
Jadi sejalan dengan Kristus sendiri, semua benda di dunia ini dibuat secara keseluruhan sebuah funhsi keunikan. Dalam hal ini tidak dapat direduksi tetapi harus digambarkan dalam struktur Gereja Krsitus yang nampak: sebagai “keadan religius” Kristen dan “keadaan dunia” kristen. Keduanya saling tergantung, yaitu saling hadir bagi yang lain dan dengan yang lain, masing-masing melibatkan makna yang lain dalam kasih Kristus, walau mereka tidak identik.
Relasi mutual ini perlu diperhatikan hasilnya sejauh dibuat niscaya secara mutlak oleh sebuah teologi sejarah. Eksistensi kekristenan dan kesejarahan kita dapat dianalisa dalam dua pola, yaitu pertama, sebagai eksistensi “election” (pilihan), yaitu memasrahkan eidos kita pada tanan Krsitus yang mampu mengubah dan menerimanya kembali dalam bentukmisi kita dan tugas-tugas untuk kerajaan Allah di dunia ini. Kedua, eksistensi yang sadar akan keterciptaan eidosnya, tetapi membiarkan dibentuk pada pemenuhan dalam Kristus. Namun, keduanya tidak boleh menyebabkan sebuah keterpisahan atau sebuah pembagian dalam kesatuan eksistensi kekristenan dalam iman, harapan, dan kasih. Jadi, bentuk roh adikodrati harus menjiwai keadaan dunia (1 Kor 7:29-31). Dua keadaan tersebut secara niscaya dalam kesatuan eksistensial dengan yang lain juga. Mereka adalah subjek huibungan anggota dari Pauline dengan fungsi berbeda dan karena anggota adalah pribadi-pribadi, mereka berpartisipasi juga dalam hukum surgawi

Eidos dalam Transendensi: Suatu Keadaan Religius
Aspek transenden yang terungkap dalam adalah, pertama, tindakan dasar kekristenan dari iman, kasih dan harapan (the fundamental Christian act of faith, lve, and hope), kedua, dalam Gereja oleh “ the state of Christian Perfection “ (keadaan kesempurnaan kekristenana). Kodrat manusia disentuh oleh rahmat Krsitus dalam keunikannya dan dibebaskan --dari dosa dan kondisi kedosaan manusia dalam lingkaran hidup dan mati –ke dalam panggilan kemuridan disatukan sebagai murid dan pengantara dalam persatuannmisteri Kristus: Salib dan Kebangkitan. Maka, manusia harus mengesampingkan bentuk eksistensi mereka dengan mengikuti jejak Kristus, hidup seperti Dia dalam jamannya, yaitu terbuka, mempercayai, tanpa kekawatiran, tanpa rencana, tanap melakukan antisipasi kehendak Allah, tetapi mempercayai, bekerja dan mengasihi Allah dan manusia. Hidup dalam jaman kita, harus berjaga-jaga, membaca tanda-tanda jaman dan pesan-pesan mereka, menerima isi dan makna hidupnya, tepatnya menerima jamannya sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu, manusia tahu bahwa konteks satu-satunya adalah bahwa patahnya keberadaan manusia terbuka terhadap Allah, yaitu dengan iman dan doa. Hanya dengan sikap demikian misi dipercayakan, dan dengan demikian rahmat misi menyediakan makna yang penuh dan melimpah bagi setiap penggantian “historical Now”.
Keterbukaan inilah yang membuat kekristenan tetap hidup. Dengan demikian kekristenan mampu menerima kebenaran yang baru dari Allah tanpa dibatasi oleh pola dan prasangka, spiritual dan keduniawian yang merupakan produk masa lalu dan yang walau dibenarkan kemudian, tidak tepat dalam bentuk yang sama dalam zaman ini. Relasi Gereja dan kekristenan dengan dijiwai hidup Sang Putera harus menyerupai relasi Anak dengan Kehendak Bapa,yaitu dalam salah satu konsepsi dan kefemininitasan. Penaburan benih Allah dalam rahim dunia adalah apa yang terjadi dalam ruang sejarah yang terdalam. Tetapi, ‘ngemong’ dan mempercayai menembpati penyerahan diri yang rapuh. Melimpahnya setiap macam perhitungan adalah sebuah gambaran yang esensial dari kepenuhan waktu (the fullness of time). Di pusat alam maskulin terdapat sebuah misteri feminini yang tersembunyi yang bahkan kebijaksanaan dunia ini selalu dikenal sebagai “inspiration” oleh Roh Ilahi yang ada dalam isi hati. Pikiran manusia dapat hanya mengalami di hati budi bahwa terletak misteri kepengantinan.
Pada tingkat kodrat, misteri ini menampakkan sebagai a privilege peculiar (sebuah keistimewaan yang khusus) seperti nampak pada seniman-seniman. Privilise khusus ini dipenuhi oleh kehadiran adikodrati, karen apersatuan tubuh kemanusiaan dengan Allah yang menghadirkannya telah digambarkan pada kita dalam istilah “eros” sebagai pemenuhan dari apa yang nampak dari nyantian telah merauakan lama sebelumnya, yakni eksistensi sebagai sebuah keadaan menikah. Gereja danjiwa tidak dapat melakukan apa pun tetapu menunggunya adlam keterbuakaan dan kesiapsediaan feminin. Keadaan yang tidak mengetahui inilah yang merupakan dasar yang perlu bagi apa pun yang dapat menghargai nama gnosis atau pengetahuan kristen.
Isteri dalam realsi isteri dan suami merupakan tubuh perlindungan dan rahi bagi laki-laki secara fisik. Sedangkan suami merupakan rahim dari kerohanian isterinya siemana itu tunggal dan mengembangkan gambaran dari hakekatnya yang sebenarnya. Demikian pula kekeristenan dan Gereja mencapai hakekat sejati mereka, eidos mereka yang sudah ada dalam Kristus sebagai Sang Pengantin Pria, sejauh mereka menerima dan menjaga dalam hati mereka kehendak Bapa, benih dari Sabda Inkarnasi. Benih rahmat meruoakan benih misi dan merupakan benih formasi dan perkembangan. Hanya dalam konteks diutus dalam sebuah misi, setuap peristiwa dapat akhirnya dimatangkan dalam sebuah kemiripan yang utuh antara apa yang dikehendaki dari kita dan apa yang kita atur untuk dilakukan. Kegiatan menyetujui apa yang Allah kehendaki bagi sejarah dunia merupakan inti yang membuat sejarah terjadi.
Ketersembunyian kebenaran yang paling dalam ini bagaimana pun juga tidak tanpa kesaksian yang nyata. Semakin manusia berusaha menggantikan atau menyatukan rahmat eidosnya dengan beberapa eidos yang diciptakan atau ditemukan oleh dirinya sendiri, orang yang lemah, pucat dan banyak hal negatif menjadi apa yang dia buat bagi hidupnya. Sedikitnya apa yang membentuk di dunia ini bertumbuh dari pola dasar dari Yesus Kristus, semakin hal itu terdiri dari “kayu, rumput kering, dan jerami, yang akan dihancurkan dalam pengadilan eskatologis (1 Kor 3:12-13). Mengingat semakin seorang manusia menyerahkan diri kepada Allah, semakin kurang dia mengantisipasi dirinya sendiri, yang dalam kenyataan, dia hidup in time (dalam jamannya),semakin tepat gambaran-gambaran yang eksistensinya dia bawa dalam jamannya, gambaran-gambaran tersebut begitu memuaskan, begitu kaya dalam kekuatan simbol bahwa mereka melampaui segala sesuatu yang dapat dihasilkan oleh pembentukan dan pengembangan diri. Jadi, tak ada sesuatu pun dalam segala bidang sejarah yang lebih valid dari pada seluruh pola kehidupan Maria: pertemuannya dengan malaikat, pertunangannya dengan Yosef, kelahiran, kepergian, kehidupan yang tersembunyi, Kana, penolakan, salib dan turunnya dari salib, paskah dan pentakosta, kehidupan tersembunyi bersama Yohanes. Masing-masing situasi ini adalah sejarah pada pemenuhannya yang paling penuh. Setiap gamabran di atas adalah cerminan dari totalitas pribadi yang terpenuhi dari kehidupannya sendiri. Tugasnya secara sederhana penyerahan total. Tetapi bahwa persembahannya kemudian terukti menjadi satu dan satu-satunya bahan berharga yang dibentuk oleh tangan Allah menjadi sebuah bentuk yang melampaui segala macam pengambaran.
Penyerahan Maria, yang terindikasi di sini sebagai contoh utama yang ada dari Kristen sejati dan sikap manusia di hadapan Allah, adalah tanpa sebuah jejak kepasifan atau pasrah belaka. Sebaliknya, penyerahan Maria mengundang partisipasi aktif kekuatan manusia yang tersatukan, sebuah usaha penuh hati untuk membuang segalas sesuatu yang dapat meracuni kemurnian dari penerima pertama pesan dan substansi ilahi, dan kemudian menghidupinya. Pemenang sesungguhnya adalah mereka yang bertekun dalam usaha ini sampai akhir. Yohanes tak henti-hentinya berbicara tentang “abiding” suatu kekekalan, tak kunjung padam baik dalam kesabaran, tak tergoncangkan oleh hasrat ketidaksabaran karena tindakan atau penderitaan yang lain, tidak terganggunya dengan semua hal yang tidak tertanggungkan dimana dunia sedemikian adanya, dan hanya ditinggikan, dikuatkan, dan dikeraskan oleh harapan doa yang tidak sabar: “Datanglah cepat!” (Why 22:20); sebuah “abiding” yang melibatkan segala kekuatan kreatif unik manusia: kekuatannya untuk menghasilkan, untuk menciptakan, kegeniusan dalam teknik dan seni. Ketekunan eskatologis inilah yang memberi umat manusia tanda dan bentuk ciptaannya. Di sinilah pola dari segala sesuatu yang harus mengorganisasikan kehidupan setiap orang beriman, yang perlu untuk diungkapkan dalam “ keadaan rohani” dalam Gereja. Mereka yang menarik diri sampai ke ketinggian untuk berpuasa dan berdoa adalah pilar yang membawa bobot rohani dari apa yang terjadi dalam sejarah. Mereka berbagi dalam keunikan Kristus, dalam kebebasan bahwa kaum bangsawan yang dilindungi dari atas; yang tenang, kebebasan yang belum dibelenggu yang tak dapat dikurung dan digunakan begitu saja. bagaimanapun para asketis Kristen bergandengan tangan dengan Kristen yang tugasnya membangun dunia. Untuk apakah berdoa atau bertindak dia dikirim bersama Krsitus ke dunia dan dia ada di jalannya yang terikat dalam misinya. Inilah yang membedakan dia secara radikal dari mistik dan rahib agama-agama Asia yang memutar kembali dirinya ke sejarah.
Sebuah kepemilikan sampai akhir (a longing for the end), kepemilikan eskatologis (eschatological longing) akan berubah pada kemalasan, jika kepemilikan tersebut tidak memposisikan dirinya dibawah semua energi kerja manusia, semua rencananya dan rancangannya—seperti mistisisme pasif menjadi quietisme jika tidak membuktikan dirinya dalam tindakan, dan jika tidak, sesungguhnya memperoleh kekuatan-kekuatan aktif dalam pelayanan penyerahan diri pasif. Puncak sejarah yang di dalam Kerajaan Kristus, memuncak mengatasi semua situasi umat manusia adalah penting berlanjut dengan pendasarannya, yang menutupi keluasan yang penuh dari semua situasi-situasi tersebut, dengan segala faktor historis, sosiologis, dan psikologis yang mendasari mereka. Makna sejarah harus muncul dari kesatuan apa yang Allah tentukan untuknya dengan garis perkembangan interiornya sendiri. Makna sejarah yang imanen tersebut, diturunkan dari kodrat yang tercipta dan tak dapat dipisahkan darinya, sekarang mengundang ujian. Setelah itu, kita mesti membawanya ke dalam sebuah kesatuan tunggal dengan makna pola adikodrati.

Eidos dalam Imanensi:
Suatu Keadaan Awam; Kemajuan, Vertikal dan Horisontal
Struktur hakiki dari keberadaan manusia adalah digambarkan oleh Plato sebagai sebuah tegangan antara latar belakang keabadian dan latar depan kefanaan, mengingat titk tolak dari eksistensi kita dalam waktu melibatkan sebuah keterasingan dari sumber kita dan sebuah usaha melupakan dari latar belakang kita yang sejati, jalan bahwa eksistensi seharusnya terdiri dalam pembentukan ke dalam dan sebuah hasrat menaiki tanah dan sumber mengada-nya kita. Di sisi lain, Aristoteles memasukkan cerita mythico-historis tentang segala sesuatu ke dalam tegangan ontologis antara dynamis dan energeia. Keduanya berusaha memperlihatkan bahwa eksistensi tidak dapat ditafsirkan terpisah dari beberapa konsep kemajuan. Plato menggunakan kemajuan duniawi mulai dari rumah surgawi, asal kita, tetapi kemudian tidak meninggalkan satu ruangpun bagi “evolusi”; sementara Aristoteles berpegang kuat pada gagasan evolusi dalam tegangan komplek antara potensi dan aktus ke dalam mana mereka muncul, tetapi kemudian pergi dari teka-teki yang terdapat di dalam titik tolaknya.
Tidaklah mungkin untuk tidak mengambil jalan pada konsep kemajuan ketika berusaha untuk menafsirkan struktur historis temporal yang disebut “manusia”; segalanya bahwa bahkan mereka yang paling anti-kemajuan dalam penafsiran mengambil apa yang orang0orang Yunani dan setelah mereka adalah kaum idealis, melihat sebagai sebuah “proses” aktualisasi dan kemudian menerobos dan meradikalkannya ke dalam sebuah “ lompatan/langkah”, sebuah “keputusan”; keluar dari kemungkinan (=aesthetic) ke dalam kenyataan (=ethical) dengan Kierkegaard; atau keluar dari ketidakrealitasannya pelupaan Platonis ke dalam realitas keterbukaan menuju yang ada, dengan Heidegger. Tetapi selalu ada sebuah langkah, sebuah gerakan maju: makna, “sense”, terdiri dari perjalanan, berjuang untuk, seperti waktu “bergerak menurut jalan jam” sama seperti tangan yang bergerak. Satu-satunya pertanyaan adalah apa itu penginderaan atas segala sesuatu yang menghasilkan pengalaman kepada kita? Jalannya terbatas; apakah jalan ini hanya memimpin ke kematian? Dan jika makna harus takdibatasi, bagaimana jalan itu mengandung jalan yang terbatas? Makna yang terletak dalam pergerakan waktu masih meninggalkan ambiguitas.
Ambiguitas ini dalam makna kemajuan menghalangi perkembangan dalam pemikiran pra-Kristen tentang penafsiran sejarah yang cermat menurut kategori proses. Dasar gagasan Platonis tentang hubungan antara jatuhnya manusia dari dan kembali ke asalnya adalah lebih mendekati sebuah kata rekaan tentang penafsiran umum tentang mistis, politis, dan religius terhadap perkembangan kebudayaan yang lebih awal. Sebuah pergerakan kemajuan dari bumi ke langit, dari pokok permasalahan kematian menuju ke pertalian dengan dewa-dewa; menciptakan gambaran manusia sebagai orang yang beralih dari horisontal, tingkat binatang ke dunia yang sangat halus di atas: merupakan pengalaman dasar dari kebudayaan yang tinggi selama dua atau tiga milenium sebelum Kristus. Kemenangan duniawi dan pencapaian direkam hanya sebagai konfirmasi dari kemurahan Ilahi.
Pengalaman biblis memiliki konteks periode penentuan ini, pemecahan atau penemuan yang tak dapat kembali dalam jalan alami sejarah: jaspers menyebutnya momen aksial dalam sejarah dunia, karena segala sesuatu sebelumnya terletak di bawah horison pemecahan tersebut, dan segala sesuatu yang mengikuti adalah sebuah konsekuensi darinya yang sederhana. Namun, pengalaman biblis merupakan yang pertama kali membelokkan penafsiran vertikal sehingga nampak bertepatan dengan horisontal. Allah ditunggu dalam sejarah. Dia akan datang dan mengadili bumi dan segala yang ambigu akan menjadi jelas. Dynamis-nya orang Yahudi diarahkan ke sebuah masa depan yang mengandung kemutlakan, dan dalam segala usaha mereka, bahkan setelah Kristus, ada sesuatu yang merupakan karakter absolut.
Dalam periode waktu yang sangat pendek, Yahweh telah membangkitkan umatNya, Israel dari tingkat standard mitos Ketimuran ke tingkat tertinggi dari semua konsep-konsep universal, inkarnasi Putera Allah. Satu hal yang menjadi fokus mereka adalah satu hal yang unik yang mengubah mereka seluruhnya. Israel tidak menaiki tangga kemajuannya sendiri, ia ditarik ke atas dengan bertentangan dengan kehendaknya, oleh rambut kepalanya, berjuang lebih dan lebih keras. Di setiap langkah ia kehilangan sesuatu pada Allah, sampai pada akhirnya ia kehilangan seluruh substansinya, untuk memasuki tanah terjanji Kristus yang sejati hanya sebagai seorang “sisa bekas”. Kristus sebagai Yang Terpilih secara unik oleh Bapa, membawa beban penolakan manusia bahwa dia sekali lagi membalikkan jalan atau arah, membuang jelaga untuk kebaikan dan semua, dan membebaskan pertama kali mereka yang tidak terpilih, bangsa kaum pagan, kaum kafir, dan kemudian secara eskatologis yang terpilih pertama, persediaan kudus juga.
tahap Perjanjian Lama, yang dari iman Abraham melalui Hukum yang diberikan ke pada orang oleh Musa, kepada pengadilan yang berkarisma dan Raja dan Nabi, merupakan tahap dimana wahyu diiternalisasikan dan ditubuhkan ke dalam manusia. Dan sebagai Allah masuk lebih jauh lagi dan jauh bersama manusia, manusia yang dipaksa oleh rahmat untuk memenuhi dan bersatu ke dalam diri sendiri yang kebenaran utama yang tela tertulis ke dalam sejarah orang Israel. Namun, dosa yang mulai sebagai sebuah pelanggaran eksternal, yang dapat secara legal disingkirkan, menjadi sebuah pengalaman perubahan batin bukan kepalang yang pada pokoknya hanya “ Hamba Allah” yang dapat bertobat.
Gambaran tentang Hamba, gambaran tentang Yang Tersalib siap mulai nampak. Dari puncak jaman kenabian, seseorang dapat melihat ke belakang di saat orang-orang mengambil kepemilikan atas tanah terjanji: melihat ke belakang di saat: hari masa mudanya” (Hos 2:15), ketika “Israel masih seorang anak kecil” (Ps 78, 105, 106), tetapi melihat juga dosa-dosa masa lalu. Tahap demi tahap orang-orang kudus telah menyusuri jalan perziarahan yang memimpin ke arah Kota Kudus, diiringi musik dari beberapa mazmur, dipimpin oleh Roh Kudus melalui pengalaman temporal, historis, manusia untuk menemukan diri mereka sendiri di akhir jalan di mana mendekati akhir, mendirkan Qumran, jalan yang membawa pada Elizabet dan Yohanes, kepada Yosef dan Maria dan anaknya.
Sejarah Israel adalah unik karena merupakan pra-historis Kristus yang unik. Kristus membutuhkan pra-historis ini untuk menjadi sejarah yang sesungguhnya. Tetapi Dia dapat hanya menyatukan sejarah ke dalam eksistensiNya sendiri sejauh sejarah itu pada hakikatnya merpakan sejarah yang suci-bagaimanapun juga banyak pendosa telah termasuk di dalamya. Karena Dia baik Allah dan manusia, bukti dari misi keilahiannya harus horisontal dan vertikal. Menjadi seorang Yahudi, putera Abraham, membawa dampak secara logisnya, membuat lompatan ke Kristus. Janji dan pemenuhan membentuk sebuah sejarah diptych yang terbuka pada macam-macam orang untuk membaca dan membandingkan, dan mengandung dua unsur dasar dalam keseluruhan. Sejarah: yang Goethe sebut” Polarity” (polaritas) dan “ascent” (kenaikan). Sebuah polaritas dalam dunia ini dan apda sat ayng sana sebuah terjal naik dari dunia ke Allah ; tetapi kenaikan ini oleh seni dari dunia arsitek, yang terbentang di hadapan kita dalam bentuk sejarah.


Sejarah Suci dalam Sejarah Sekular
Sejarah singkat Israel adalah sebuah sejarah yang dua kali lipat sepanjang beberapa abadnya. Ada perkembangan sekular di mana orang-orang ini melewati bersama mereka the ascent (pendakian/kenaikan) dari masa mitos, pertama ke dalam Yunani, kemudian ke dalam dunia rasio universal Helenis. Namun, ada perbedaan yang besar yang lebih tidak terduga yang mengantar kepada keunikan Kristus. Namun, jika kita berbicara tentang kedatangan Kristus sebagai “Pemenuhan waktu” dalam skema sejarah suci, sebuah kesulitan akan muncul, yang penuh dengan makna bagi para teolog: apakah bahwa sejarah lain, sejarah sekular yang berlangsung di bawah sejarah suci Israel, membawa beberapa hubungan secara tepat sebagai sejarah pada “Pemenuhan Waktu”? Beberapa teolog Protestant telah berusaha keras memulihkan kembali transendensitas dari peristiwa Inkarnasi dengan melepaskannya dari semua ketergantungan dengan sejarah historis kepada keutuhan keagungan dan keaslian biblis.
Ada sebuah perbedaan konsep dalam relasi antara sejarah sekular dan suci. Namun bukan itu persoalannya, persoalannya adalah bahwa ada sebuah pernyataan tegas yang teologis dan biblis, yakni tentang “pendidikan umat manusia” dimana Allah mengerjakan terutama dalam kasus Israel, untuk semua keunikan yang ada, menggunakan evolusi sebagai sebuah vehicle (kendaraan)—secara literalnya sebagai sesuatu yang sudah ada dalam gerakan dan di jalannya—dalam kerangka untuk memperoleh keseluruhan tujuannya sendiri yang berbeda. Poinnya adalah bahwa kemajuan pewahyuan sungguh terdiri dalam sebuah pemberian Allah yang lebih dalam dan semakin membatin, yang selalu hadir, sekali dan untuk selamanya, sehingga manusialah yang lebih bergerak dari pada Allah.
Semakin terang menyinari Israel dan semakin tangan judgment surgawi memberatkannya, semakin secara mendalam dia menjadi sadar atas fungsi pengalamannya belaka di antara bangsa-bangsa: diadili dan memperoleh keselamatan bagi Israel adalah sebuah kesatuan dialektikal. Lalu bagaimana dengan bangsa lain? Bukankah mereka juga bisa mengenali jejak mereka bahwa mereka pun berasal dari keturunan Abraham?Dan oleh karena itu, bukankah sejarah bangsa-bangsa merupakan sebuah sejarah keluarga? Dan bukanlah mereka mengada berdampingan? Dan hal ini tidak hanya berlaku pada individu-indiviu sebagai pribadi-pribadi, tetapi berlaku kepada bangsa-bangsa yang dari Kejadian sampai dengan wahyu mengada sebagai entitas tertentu dalam kaitan dengan peristiwa keselamatan.Oleh karena itu apa yang dapat kita lakukan adalah menyatakan bahwa kairos inkarnasi, yang merupakan pemenuhan jaman sebagai tujuan sejarah Israel, adalah kairos tidak hanya bagi Israel melainkan juga bagi segala bangsa dan bahwa Israel di sini berperan sebagai sebuah penjamin utama sejarah suci dan sekular yang tak terbagi hingga Pengadilan terakhir.

Kesempurnaan dan kemajuan
Masa kekristenan ditentukan oleh peristiwa yang adalah Kristus. Kesempurnaan telah dicapai. Iman berdiri penuh kekaguman di hadapan keajaiban, waktu nampak masih berdiri dan merupakan separuh jam keheningan surga. Seribu tahun dan lebih didedikasikan pada kontemplasi: Kristologi dan doktrin Trinitas yang memegang pikiran tentang iman dalam musim mereka. Apa yang Kristus bawa adalah kebenaran akhir. Kristus yang merupakan kepenuhan telah datang di akhir jaman sebelum perpindahan ke kehidupan abadi dan tentu saja segala hal yang telah hilang sebelum nampak, seperti seseorang melakukan gerak maju ke arahNya. Dalam City of God-nya Agustinus, perlawanan antara sejarah sekular dan suci datang ke dalam pembukaan sebuah momen, hanya untuk memberikan jalan sekali lagi pada harmoni dalam budaya monolithik Abad Pertengahan. Prahistoris awal dari manusia telah menganggap bagian-bagian besar yang dengan perbandingan, peristiwa Kristus muncul sebagai sebuah kesimpulan. Namun, sebaliknya sejarah hanya mulai berlangsung dengan terobosan yang timbul selama beberapa milenium terakhir sebelum Kristus; dan dalam terang itu, Kristus muncul, sebagai permulaan dan dasar dari pertempuran rohani dari keputusan yang memenuhi sejarah, mengingat sejarah singkat Israel nampak hampir tidak lebih dari sejarah keluarga dalam arti yang paling sempit.
Bagaimana pun juga, sementara daya dorong Yahudi mendorong ke arah masa depan umat manusia, menuju realisasi keajaiban mesianik dengan lompatannya dari alam keniscayaan masuk ke alam kebebasan, bagi Kekristenan, kebebasan itu sudah hadir. Kebebasan itu hadir dalam sebuah kesempurnaan yang tidak pernah dapat ditingkatkan hasilnya, dan kemajuan manusia dapat mulai sekarang hanya dalam referansi pada being-at-hand (parousia) dari Yang terakhir, Yang Absolut, puncak dari sejarah.
Kita hanya perlu membawa dalam pikiran kita bahwa kemajuan yang dilibatkan tidak lagi merupakan sebuah wahyu seperti dalam Perjanjian Lama. Namun kemudian, bermacam tahap terletak dalam garis lurus perkembangan logis menuju sebuah tujuan; sekarang, ketika kesempurnaan mutlak telah diberikan, semua penafsiran mengalir mengelilinginya dalam perputaran yang tak perna berhenti, bergerak secara bebas dan tanpa garis yang mendorong perkembangan. Kairoi yang dihasilkan di dalam Sejarah Gereja oleh Roh Kudus sungguh mengandung di dalamnya jawaban bagi beberapa persoalan yang menekan dalam sejarah sekular. Harta kebenaran Kristen yang tak ada habis-habisnya itu selalu di sana, selalu tersedia membantu bahwa penafsiran diri disituasikan secara hakiki melampui bidang kemajuan. Namun, Gereja tidak kembali kepada nasib umat manusia. Segala sesuatu tumbuh subur dalam perkembangan historis manusia akan potensialitasnya. Semua itu dihidupkan oleh kasih di mana segala sesuatu nampak tidak mungkin. Gereja merupakan anugerah utama Pencipta bagi sejarah umat manusia, diberikan kepadanya untuk membawanya pada realisasi dirinya.
Ketika Allah memilih untuk tidak menggunakan bahasa apa pun bagi pengungkapan diriNya secara penuh daripada manusia, Dia kemudian berbicara tidak pada satu orang saja, melainkan seluruh umat manusia. Pemenuhan sejarah Perjanjian Lama secara tidak langsung menyatakan segala cakupan, sesuatu yang karena itu selalu menjadi sebuah intensi, tujuan dari sejarah Perjanjian Lama. Karena Kristus segala sejarah pada dasarnya dikuduskan.
Jadi, hubungan dasar pertama ini sudah mengandung yang kedua, yaitu hubungan yang merupakan anchoring semua iman, Yahudi, dan para penyembah berhala dalam Abraham yang belum terikat oleh Hukum. Kenampakan sejarah keselamatan dibersihkan dengan kematian dan kebangkitanNya. Demikianlah hanya ada satu sejarah dan pemenuhannya baik imanen dan transenden dalam Kyrios. Sejarah sungguh mempunyai eidos imanennya sendiri, tetapi dalam proses turunnya ke neraka dan kemudian naik ke dalam surga dan duduk di sisi kanan Allah Bapa, Kristus telah menngangkatnya bersama-Nya dan hanya ada di sana bahwa sejarah dapat mencari dan memperbaikinya.


Sumber Acuan
Hans Urs Von Balthasar, A Theology of History, Chapter Four, New York: Sheed and Ward, 1963, p. 113—154.

Tidak ada komentar: