Selasa, 06 April 2010

GEREJA BERHADAPAN DENGAN NASIONALISME, TOTALITARIANISME, DAN FASISME

Paham Nasionalisme dan Totalitarianisme (selanjutnya disingkat N dan T) yang muncul di Barat sering dikaitkan dengan Kultus Idolatris (KI), yaitu pemujaan terhadap kedaulatan mutlak, terutama yang berkaitan dengan paham-paham kenegaraan atau tokoh-tokoh tertentu dalam tata kenegaraan. Dengan bertitik tolak pada KI ini, N suatu bangsa terletak pada apa yang disebut autarki, yaitu suatu kedaulatan mutlak baik dalam tata pemerintahan maupun ekonomi untuk menghindari ketergantungan pada negara-negara lain. Ciri-ciri N dan T adalah pertama bahwa nasionalisme merupakan suatu gagasan yang bermaksud untuk mengungkapkan otonomi suatu bangsa tanpa membangun kerja sama atau ketergantungan pada pihak lain. Kedua, koeksistensi damai dipandang sebagai utopia yang tidak masuk akal. Ketiga, superioritas ras atau bangsa ditempatkan di atas rata-rata ras atau bangsa lain. Pada akhirnya, ciri-ciri ini mengarah pada fasistik.

Dampak dari perkembangan N dan T, yang ditaruh di bawah chauvinsime ini, adalah terjadi konflik horizontal antarnegara (konflik ideologi), perlombaan senjata, persaingan anglo-saxonisme demi mendapat pengakuan supremasi orang-orang pihak samudera raya, muncul nasionalisme kekaisaran Hongaria (wangsa Habsburg). Di Jerman, NT mengambil bentuk yang ekstrem: Rasistik dan Imperialistik. Kebijakan politik praktis itu diwujudkan dalam penyingkirkan orang-orang yang tidak bermanfaat, pelenyapan anggota-anggota radikal sayap oposisi kelompok kanan, perlawanan terhadap orang-orang Yahudi dengan teror, membakar rumah, pembunuhan legal, euthanasia bagi orang-orang yang sakit-sakitan. Di Italia, banyak pihak kehilangan kebebasan berpolitik, sementara perekonomian carut-marut. Prinsip NT adalah bahwa setiap pribadi disubordinasi di bawah negara.

Berhadapan dengan perkembangan ini, Gereja nampaknya menerima NT tanpa perlawanan. Bahkan ini dipakai Gereja sebagai kendaraan untuk misi civilization. Akibatnya, Gereja tidak kritis lagi. Bahkan rasa simpati para pemimpin Gereja terhadap NT menjadi sinyal keberpihakan Gereja. Yang dilakukan Gereja adalah mendukung paham integralistik terbuka. Hal ini bisa kita lihat pada program Paus Benediktus XV, yaitu menegakkan perdamaian untuk selesaikan konflik, memulihkan korban akibat perang, dan membereskan masalah Roma menyangkut status Gereja di Italia. Di sini, Gereja sama sekali tidak memihak kelompok-kelompok yang bertikai. Keadaan ini membuat Tahta Suci menerapkan standard ganda: di satu sisi tidak memihak, di sisi lain tidak mengecam ketidakadilan. Namun. Gereja memperlihatkan sikap yang realistis, yaitu menyelamatkan apa saja yang bisa diselamatkan, menempuh jalan hukum, menghimbau secara moral jalan perdamaian. Yang menjadi kepedulian Gerea adalah keselamatan warga manusia.

MODERNISME

Tidak ada batasan definisi yang baku tentang modernisme. Yang sering dikatakan tentang modernisme adalah radikalisme teologi liberal yang tidak puas dengan ajaran-ajaran, metode-metode dan refleksi teologis yang mengulang pokok-pokok yang sama tanpa kemajuan. Salah satu cara untuk mengetahui tentang modernisme adalah dengan mempelajari pemikiran sejumlah tokoh yang sering kali dipandang sebagai kaum modernis, seperti Alfred F. Loisy, Goerge Tyrell, Frederich von Hügel, Paul Sabatier, Maurice Blondel, Antonio Fogazzaro, dan Ernesto Buonaiuti. Cara lain yang bisa bisa dipakai sebagai panduan dalam memahami modernisme adalah ensiklik yang dipromulgasikan oleh Paus Pius X, yaitu Pascendi Domini Sregis (selanjutnya disingkat PDS).

Perhatian utama modernisme adalah praksis yang merupakan mahkota dari seluruh refleksi. Dan menurut tokoh-tokoh modernis di atas, keinginan modernisme adalah mendekatkan iman pada gagasan modern dan merapatkan gagasan teologis yang spekulatif dengan perkembangan dunia saat ini.

Ada tiga kecenderungan atau gagasan yang menyintesiskan modernisme. Pertama., kaum modernis memiliki pandangan sangat kritis terhadap Alkitab sehingga memunculkan pendekatan historis kritis dalam menafsirkan Alkitab. Eksesnya adalah bahwa para penulis Kitab Suci dipandang tidak lepas dari keterbatasan mereka. Oleh karena itu, bisa dikatakan secara ekstrim bahwa sedikit sekali kata-kata Yesus yang asli. Karena menimbulkan keragu-raguan dan kesimpangsiuran, Pius X dalam ensiklik PDS mengecam modernisme sebagai sintesa ajaran sesat. Kecaman paus ini diwujudkan dengan memasukkan 35 tulisan dari tokoh-tokoh di atas di bawah Indix Libri Prohibitorum (Daftar buku-buu terlarang) yang kemudian berkembang menjadi 150 judul buku di akhir masa pemerintahannya. Kecaman paus ini didukung dengan ”Sodalitium Pianum”, organisasi intelegen ciptaan paus untuk mengontrol semua bidang kehidupan Gereja. Kedua, pendekatan naratif yang menekankan model bercerita untuk menangkap inti pesannya. Di sini, para modernis cenderung menolak intelektualisme teologi skolastik yang mengantar pada pendekatan yang terlalu spekulatif. Oleh karena itu, mereka mengajukan konsep teologi baru, seperti philosophy of action (Maurice Blondel), intuisionisme (Henry Bergson), pragmatisme (William James). Ketiga, unsur telelologis, orang harus sampai pada asal-usul dan perkembangan sejarah.

Berdasarkan kecenderungan gerakan modernisme tersebut, dapat kita katakan bahwa kelompok modernisme merupakan aliran dalam Gereja yang tidak dapat terdamakan dengan prinsip-prinsip yang lain karena sangat liberal sehingga menjadi sangat konservatif. Kelompok ini menjadi hiperaktif dalam rangka melakukan kritik terhadap magisterium Gereja yang berhubungan dengan wahyu, adi kodrati, dan tradisi. Bahkan mereka menganjurkan agar sejumlah tradisi ditinggalkan saja, seperti ajaran-ajaran dogmatis yang tidak berhubungan langsung dengan Allah (dogma tentang Maria). Berhadapan dengan hal ini, sebaiknya Gereja mesti terbuka pada perkembangan ilmu, menyintesiskan unsur-unsur yang baik dari gerakan ini, dan mempertanyakan integritas wahyu.

KULTURKAMPF

Kulturkampf adalah istilah Jerman yang mengacu pada kebijakan Jerman dalam kaitannya dengan sekularitas dan pengaruh Gereja Katolik Roma (selanjutnya disingkat GKR) yang berlangsung antara tahun 1871-1878 di bawah kepemimpinan Konselir Kerajaan Jerman, Otto von Bismarck. Secara harafiah, kulturkampf berarti perjuangan budaya (culture struggle) karena hendak memperjuangkan kedaulatan Jerman, terutama Prusia dan menekankan nilai-nilai budaya setempat untuk merelatifkan intervensi agama. Istilah ini pertama kali diprakarsai oleh seorang ahli patologi dan anggota parlemen dari Deutsche Fortscrittspartei (Progressive Liberal) bernama Rudolf Virchow pada tanggal 17 Januati 1873.

Dua faktor yang menentukan dari kulturkampf ini adalah memuncaknya perbedaan ideologi yang kontras antara kaum ultramontan GKR dan kaum liberal dalam mengontrol kehidupan rohani dan politik selama pemberlakuan Syllabus oleh Paus Pius IX dan ketidaksamaan yang terus berlanjut di dalam Negara Prusia sendiri. Konflik ideologis yang diikuti dengan serangan-serangan terhadap sekolah-sekolah swasta (keagamaan), biara-biara dan lembaga-lembaga gerejawi tersebut malah memperkuat katolikisme sebagai sebuah kekuatan sosial dan membidani lahirnya Partai Zentrum yang dianggap Bismarck sebagai konglomerat yang memusuhi kekaisaran. Demikian pula, faksi-faksi ultramontan dalam parlemen dianggap oleh Bismarck sebagai musuh kekaisaran.

Dengan didukung kaum liberal nasionalis, Bismarck ingin mengembalikan kejayaan Prusia lama atas Gereja dengan mengadopsi secara luas maksim eklesiastikal liberalisme. Implikasi dari konsep politik liberalnya adalah bahwa imam dilarang masuk dalam urusan-urusan publik karena akan membahayakan kedamaian hidup publik, Negara berhak mengawasi semua sekolah negeri maupun swasta dan menunjuk inspektur sekolah yang sebelumnya dipegang oleh Gereja, Serikat Yesus dan ordo-ordo yang berkaitan dilarang dalam kerajaan karena dituduh sebagai penanggungjawab Syllabus, dogma infallibilitas, penentang keberadaan negara modern dan kebebasan sipil. Di sini, Bismarck telah menebarkan perang terbuka yang tidak dimotivasi oleh alasan-alasan religius, melainkan alasan politik Dengan demikian, perjuangan Bismarck tidak diarahkan langsung melawan infallibilitas Paus, melainkan terhadap Partai Zentrum dan ‘konspirasi’ ultramontan. Konflik yang sulit didamaikan ini telah dikenali Mgr. Ketteler.

Singkatnya, kebijakan kulturkampf ini, khususnya dalam undang-undang Mei (1873), dalam praktiknya menganiaya Gereja. Akibatnya, timbullah asosiasi perlawanan katolik terhadap kulturkampf bernama the Society of German’s Catholic yang diprakarsai Felix von Loë. Program Serikat ini adalah menolak mentah-mentah tuduhan terhadap Gereja, Yesuit, Partai Zentrum sebagai musuh yang membahayakan Negara.

KONSILI VATIKAN 1

Konsili Vatikan I (selanjutnya disingkat KV I) ini diselenggarakan pada tahun 1869-1870 oleh prakarsa Paus Pius IX tanpa pernah ditutup karena pasukan Italia menyerbu Vatikan dan menahan para konsiliaris ketika konsili sedang berlangsung. Konteks yang melatarbelakangi konsili ini, pertama adalah konservatisme yang diusung oleh Felix S. Silvany, seorang imam diosesan Spanyol. Paham konservatisme ini masih dekat dengan paham ultramontanisme yang menekankan bahwa segala sesuatu atau semua kekuasaan dipusatkan pada Sri Paus. Ia menerbitkan buku “Liberalism as a sin” yang isinya menentang paham liberalisme yang menekankan secara berlebihan kebebasan manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah mana yang harus diikuti konservatisme atau liberalisme. Kedua, munculnya bulla “In effabilis Deus” (8 Desember 1854) yang menegaskan bahwa Gereja sebagai bunda ditengarai memperoleh insipirasi dari Allah sendiri. Ketiga, munculnya “the Question of Rome” (selanjutnya disingkat QR) dan “tahanan vatikan”. Isi dari QR adalah suatu persaingan antara nasionalisme Italia yang ingin membangun negara secara independen dengan Roma sebagai negara kepausan. Di sini terjadi perebutan wilayah yang dimenangkan oleh Italia. Italia waktu itu dipimpin oleh Raja Victor Emmanuel II, dibantu oleh Cavour dan Garibaldi berhasil menahan para konsiliaris di Vatikan.

Tujuan Paus menghimpun konsili ini adalah untuk memperoleh pengakuan atas sikap yang telah ditetapkannya dalam ensiklik Quanta Cura atau yang lebih dikenal Syllabus Errorum (8 Desember 1864) yang berisi kompendium 80 kesalahan utama zaman ini, seperti panteisme, naturalisme, rasionalisme, indeferentisme, liberalisme, sosialisme, yurisdiksionalisme, dlsb. Ensiklik ini juga mengutuk konsep kebebasan agama dan perpisahan Negara dan Gereja. Inti dari ensiklik ini adalah bahwa Gereja yang benar adalah Gereja Kristus yang melampaui kesalahan-kesalahan tersebut.

Hasil dari KV I adalah dua konstitusi, yakni Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik (Dei Filius) yang berisikan antara lain pengakuan bahwa Allah Pencipta segala sesuatu, Wahyu, Iman, Relasi iman dan Rasio; dan Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Kristus (Pastor Aeternus) yang menguraikan keutamaan dan infalibilitas Uskup Roma ketika sedang memberikan dogma tentang iman atau moral secara resmi.

Hasil KV I, khususnya tentang infalibilitas menuai reaksi negatif pertama dari pemerintahan Italia. Pemerintahan Italia kawatir terhadap kesuperioran Paus atas negara. Dengan hasil tersebut, negara bisa disubordinasi di bawah Gereja. Oleh karena itu, ketika Perancis menarik pasukannya yang menjaga konsili karena harus berperang dengan Prusia, Italia menyerang Roma dan menahan para konsiliaris. Kedua, munculnya kelompok Altkatholiken (The Old Chatolic) di Jerman yang menolak rancangan dokumen infalibilitas. Kelompok ini akhirnya keluar dari Gereja Katolik Roma (GKR). Ketiga, Kanselir Jerman, Otto von Bismarck mengeluarkan kebijakan kulturkamptf untuk menegakkan negara sekular dan mengurangi pengaruh politis dan sosial GKR. Keempat, muncul tren menentang klerikalisme di berbagai negara yang berdasarkan paham liberalisme. Akhirnya, dampak langsung KV I adalah tenggelamnya negara kepausan di mana Sri Paus dikurung dalam urusan spiritual saja.

REVOLUSI PERANCIS DAN GEREJA

Revolusi Perancis (selanjutnya disingkat RP) terjadi antara tahun 1789 dan 1799. Dalam RP, kekuasaan monarki di Perancis dijatuhkan oleh para demokrat dan pendukung republikanisme. Gereja Katolik Roma (selanjutnya disingkat GKR) pun harus menjalani restrukturisasi radikal. Sebab terjadinya RP adalah bahwa sistem monarki dipandang sudah tidak sesuai dengan kemajuan jaman karena mengusung paham absolutisme yang kaku yang berlawanan dengan semangat RP, yaitu liberté, fraternité, dan egalité. Penyebab lain adalah ambisi yang berkembang dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Ambisi tersebut lahir karena pengaruh ide-ide pencerahan. Dalam RP ini, Raja Louis XVI dieksekusi tanggal 21 Januari 1793 dan permaisurinya, Marie Antoinette tanggal 16 Oktober 1793.

Dampak negatif yang ditimbulkan dari RP adalah banyaknya korban yang berjatuhan. Selain itu, sejak dipromulgasikan The Civil Constitution of the Clergy pada 12 Juli 1790, Gereja disubordinasi di bawah Negara. GKR banyak mengalami kerugian. Kerugian-kerugian itu adalah bahwa pertama batas keuskupan harus disetujui oleh departemen, gelar Uskup Agung dihapus, segala macam pungutan ditiadakan, bila ada persoalan tidak boleh lari ke Roma, tetapi cukup ke negara saja. Para uskup dan imam digaji oleh Negara. Kedua, kekayaan Gereja disita oleh negara. Akibatnya, Gereja menjadi miskin. Gereja harus kembali kepada fungsinya yang elementer. Ketiga, uskup dan imam dipilih secara lokal. Para pemilihnya harus bersumpah setia kepada konstitusi. Keempat, otoritas atas terpilihnya imam direduksi pada hak-hak untuk menginformasi pemilu. Konstitusi ini sarat dengan Gallikanisme yang ditentang oleh GKR.

Dampak negatif tersebut, akhirnya menimbulkan resistensi. Pertama, runtuhnya monarki, mematangkan lahirnya “aliansi suci”, yaitu raja-raja di negara lain yang bergabung untuk mengembalikan lagi pola monarkianisme. Kedua, munculnya Kongres Wina (1 September 1814 - 9 Juni 1815) di Wina yang didukung oleh Negara Rusia, Prusia (Austria), Britania Raya, dan Perancis. Kongres ini bertujuan untuk menentukan kembali peta politik di Eropa setelah kekalahan Perancis dan ingin membangkitkan kembali monarkianisme. Ketiga, dimulainya zaman restorasi yang ingin membangun kembali sistem kegerejaan. Keempat, deklarasi tentang hak-hak dasar manusia yang mendorong munculnya gagasan dan praksis tentang dihapuskannya agama tertentu sebagai agama negara. Kelima, munculnya separasi agama dan negara yang bercirikan saling bermusuhan, murni (seperti di Amerika Serikat), dan campuran (seperti di Spanyol, Jerman, dan Indonesia).

Menurut Hugues Felicité Robert de Lamennais (1782-1854), seorang imam dan penulis filsafat dan politik Perancis, dampak positif RP bagi GKR adalah bahwa GKR di Perancis harus lahir kembali. Artinya, para Uskup dan imam harus berani menentang pengaruh Gallikanisme dalam konstitusi untuk para klerus tersebut. Selain itu, semangat RP mempengaruhi meledaknya tarekat atau kongregasi di akhir abad 18 (1789) dan awal abad 19.

SEJUMLAH ALIRAN: QUIETISME, GALLIKANISME, JANSENISME, FEBRONIANISME, ULTRAMONTANISME

Quietisme menyatakan bahwa kesempurnaan dicapai dengan jalan berdiam diri sama sekali, baik pikiran maupun kehendak, dan berserah diri kepada Allah dalam iman yang otentik. Tokoh aliran ini adalah Miguel de Molinos (dikutuk pada 1687) dam Madam Guyon. Hal yang ganjil dalam aliran ini adalah apabila orang sudah mencapai taraf ini, dosa tidak akan mungkin ada lagi dan perbuatan baik tidak diperlukan lagi. Bahkan secara ekstrim, orang tidak memerlukan lagi ibadat dan sakramen.

Gallikanisme adalah aturan atau gerakan yang bersifat gerejani dan politis di Perancis. Gerekan ini menuntut pembebasan dari Gereja Katolik Roma (GKR) di Perancis dan dari kekuasaan Sri Paus. Gallikanisme ini menolak campur tangan uskup dan paus dalam pemerintahan duniawi termasuk pengangkatan dan pemecatan raja-raja oleh paus.

Jansenisme dimotori oleh Ornelius Otto Jansen. Ia mengecam relasi antara kebebasan kehendak manusia dan ”effacious grace”. Baginya, rahmat Allah-lah yang mutlak. Di sini, ia sangat terpengaruh oleh St. Agustinus. Ia menekankan dosa asal, kerapuhan insani, perlunya rahmat ilahi dan predestinasi. Gerakan ini hidup dalam GKR selama abad ke-16 s/d 18. Benteng terpenting Jansenisme adalah biara Paris di Port-Royal. Sejumlah teolog dan penulis kenamaan memeluk gerakan ini, seperti Antoine Armauld, Pierre Nicole, dan Blaise Pascal.

Febronianisme adalah gerakan dalam GKR di Jerman yang menolak kekuasaan duniawi Sri Paus. Gerakan ini mengakui Paus sebagai Kepala Gereja dalam hal iman dan moral, tetapi tidak dalam hal kekuasaan duniawi. Kekuasaan duniawi paus yang didasarkan pada Donatio Constantini dan kumpulan keputusan paus yang dikumpulkan oleh Isidorus Sevilla ditolak karena dokumen-dokumen tersebut palsu. Gerakan ini tidak berhasil karena pecahnya Revolusi Perancis dan kurangnya dukungan dari para uskup Jerman lainnya.

Ultramontanisme menekankan bahwa perubahan kekuasaan di dunia ini akan rusak bila tidak dipusatkan pada kekuasaan paus. Gerakan ini membela sentralisasi kekuasaan paus dan menentang konsiliarisme. Gerakan ini baru muncul di Perancis pada abad ke-19. Pandangannya adalah bahwa pembaharuan Gereja sangat bergantung pada sentralisasi kekuasaan dalam tangan paus. Doktrin infabilitas paus merupakan hasil dari gerakan ini

EKSPANSI KEKRISTENAN

Ekspansi kekristenan ini mempunyai latar belakang teologis, yaitu program kristenisasi dari Gereja Katolik yang menyatakan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan: extra ecclesiam nulla salus. Di samping itu, Gereja Katolik memandang dirinya sebagai masyarakat yang sempurna: ecclesia est societas perfecta, berhadapan dengan pluralitas agama di Eropa. Oleh karena itu, Tahta Suci memberikan kekuasaan kepada Spanyol dan Portugis untuk mengelola dunia ini dan menyebarluaskan kekristenan dengan memberi kemudahan fasilitas bagi para utusan. Namun, negara juga memiliki hak memilih orang untuk didudukkan di wilayah-wilayah yang menjadi daerah misi. Konsekuensinya, sistem pelaporan buku bukan pada Tahta Suci, tetapi kepada negara. Negara mau memanfaatkan tenaga-tenaga misioner ini. Dengan demikian timbul intervensi dari negara. Karena intervensi negara begitu kuat, Tahta Suci mengeluarkan kongregasi Propaganda Fidei yang bertujuan untuk melepaskan urusan Gereja Katolik dari intervensi negara. Dengan demikian sikap profetis dari Gereja Katolik dijalankan.

Selain itu, ada peristiwa lain yang mewarnai ekspansi Kekristenan ini, yaitu Ritus China, Dekret Clemens XI, dan Dekret K’ang-Hsi. Dalam Ritus China, konsep agama dan budaya di masyarakat China belum sinkron. Tahta Suci mempertanyakan apakah ritus dan sesaji agama kerakyatan China untuk kaisar merupakan idolatri atau bukan. Karena Paus Clemens XI dipengaruhi oleh para Dominikan yang setia pada Konsili Trento agar bahasa Latin di pakai di daerah misi, ia menegaskan bahwa agama dan persembahan masyarakat China kepada kaisar tidak sejalan dengan katekismus. Konsekuensinya adalah bahwa terjadi pengurangan besar-besaran aktifitas misionaris Katolik di China. Dekret K’ang-Hsi (1692) pada awalnya tidak menentang kegiatan misionaris Katolik. Namun, setelah keluar Dekret Clemens XI (1715) Kaisar K’ang-Hsi tidak senang. Sebabnya adalah bahwa dekret Clemens XI menegaskan bahwa pertama, istilah “Heavenly Lord” harus dihapuskan dan digantikan dengan istilah “Deus”; kedua, Confusianisme dinyatakan sebagai agama; ketiga, orang-orang China yang sudah menjadi Katolik dilarang mempraktikkan lagi ajaran-ajarannya dan menggunakan sarana-sarana peribadatan agama tersebut; keempat, orang-orang China Katolik tidak boleh lagi menyembah lagi nenek moyang mereka. Oleh karena inilah , Kaisar K’ang Hsi melarang misi Kristen di China.

Hal serupa juga terjadi di Ritus Malabar yang melarang Robert de Nobili untuk melakukan metode pendekatan kultural di India.

TOLERANSI DAN INTOLERANSI

Sejak lahirnya Reformasi Protestantisme oleh Luther Cs, perpecahan agama di Eropa Barat dari satu agama (baca: Gereja) Katolik Roma pecah menjadi dua agama bahkan lebih melahirkan masalah toleransi, yaitu bagaimana mewujudkan koeksistensi damai dalam keanekaragaman agama itu. Padahal selama kurun waktu yang relatif lama gagasan dan praktik toleransi dipandang oleh pihak Katolik (dan Protestan) sebagai tindak kriminal serta pelecehan terhadap kebenaran, cinta kasih, masyarakat, dan Negara. Namun, dengan meletusnya perang agama yang berkesinambungan antara Huguenots (Calvinis) dan Katolik di Perancis pada abad XVI dan perang 30 tahun (1618-1648) yang melibatkan Perancis, Jerman, dan Swedia menimbulkan kesadaran bahwa sudah tidak mungkin lagi menciptakan sebuah Eropa dengan satu agama saja. Dari pada jatuh korban yang semakin banyak akibat perang bermotifkan agama ini di dalam negara-negara tersebut, lebih baiklah mengusahakan hidup bersama dengan damai.

Dalam perdamaian Westfalen yang disepakati di Münster antara kaisar Jerman dan pihak Perancis, dan di Osnabrück antara kaisar Jerman dan pihak Swedia yang Protestan disepakati: persamaan hak antara orang Katolik, Lutheran, dan Calvinis. Namun, di Inggris, Raja Henry VIII melakukan terror dan penganiayaan terhadap orang Katolik dan Lutheran. Selanjutnya, pembatasan terhadap praktik kebebasan beragama bagi orang Katolik ini ditetapkan dalam The Test Act yang dipromulgasikan oleh Charles II tahun 1673. Traktat ini meminta semua pegawai negeri bersumpah demi menegasi transubstansiasi. Di tahun 1687, James II, saudara dan pengganti Charles II menarik kembali The Test Act dan mengizinkan kebebasan beragama bagi orang non-Anglikan. Namun, iklim kebebasan ini tidak lama berlangsung setelah James III naik tahta.

Sementara di Perancis, Edikt Nantes yang dipromulgasikan oleh Raja Henry IV pada tanggal 13 April 1598 mengijinkan minoritas pengikut Calvin (Huguenots) untuk mempraktikan tuntutan dan ajaran agama mereka kecuali di beberapa kota tertentu. Mereka juga memperoleh kesamaan hak dan kewajiban sipil serta politik. Langkah ini dilihat sebagai kekalahan pihak Katolik dan kemenangan pihak Protestan oleh Paus Clemens VIII. Pada tanggal 18 Oktober 1685 Edikt Nantes ditarik kembali oleh Louis XIV. Penarikan ini berimplikasi pada penghancuran gedung-gedung ibadat Calvinis, penutupan semua sekolah Protestan, larangan terhadap setiap rapat yang dimaksudkan untuk beribadat, mewajibkan semua keluarga Calvinis untuk membabtiskan anak-anak mereka secara Katolik, melarang Calvinis untuk meninggalkan negeri Perancis.

Belajar dari tegangan antara praktik toleransi dan intoleransi tersebut, Gereja Katolik akhirnya mengambil sikap hormat pada martabat manusia yang sulit dicari duanya, setia pada pembaruan berdasarkan tradisi sehat, dan Gereja Katolik kian terbuka dan mengakui butir-butir kebenaran dalam agama lain.

REFORMASI KATOLIK DAN KONTRA REFORMASI

Reformasi Katolik (Selanjutnya di singkat dengan RK) adalah usaha-usaha untuk memperbarui Gereja Katolik yang didasarkan pada kesadaran diri. Corak dari RK adalah pendekatan personal “dari bawah”, internal, karismatis, ada kepedulian pada karya-karya sosial karitatif, dan ada perutusan untuk misi. Contoh dari RK ini adalah munculnya ordo-ordo baru dan “diperbarui” dalam Gereja, seperti misal Serikat Jesus, OFM Kapusin, OSA, OCD. Ada beberapa pengandaian keliru dari istilah RK ini, yaitu pertama karena ada begitu banyak keluhan dalam Gereja abad pertengahan, maka Reformasi harus terjadi. Sesungguhnya, pembaruan telah terjadi di dalam Gereja Katolik, tetapi bukan Reformasi. Kedua, RK menandingi Reformasi Protestan. Ketiga, istilah “RK” merupakan ciptaan para cerdik pandai sebagai dalih untuk membenarkan ecclesia semper reformanda et reformata. Tetapi mengapa mesti menggunakan istilah Katolik? Bukankah istilah ‘katolik’ merupakan faktor distingtif?

Kontra Reformasi (selanjutrnya disingkat dengan KR) adalah segala bentuk usaha Gereja Katolik untuk membendung, menandingi, dan melawan laju gerakan pembaharuan kagamaan yang dirintis oleh Martin Luther Cs. Pendekatan yang dilakukan KR adalah bersifat institusional, doktrinal, “dari atas”, otoritatif, dalam kerja sama dengan lembaga agama. Konsep KR dikembangkan pertama kali pada abad ke-19 oleh para sejarawan Protestan ketika mereka perlu menamai “resistensi” Katolik terhadap Reformasi yang dilakukan oleh Luther Cs.

Alasan dimunculkan KR adalah pertama kegagalan-kegagalan dalam usaha pembaruan Gereja, misalnya konsiliarisme yang menekankan pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Gereja berada di tangan konsili. Kedua, adanya cuius region eius religio, yang artinya adalah siapa yang menguasai sebuah wilayah, dialah yang mempunyai kuasa untuk menentukan agama di daerahnya. Dalam kasus ini, reformasi Luther berdampak luas ke daerah-daerah Katolik yang akhirnya menjadi basis protestantisme. Ketiga, muncul kebingungan di masyarakat akar rumput yang tidak lagi memiliki pegangan pasti doktrin ajaran iman. Keempat, teologi protestan yang tidak seimbang, pesimis, dan menyesatkan perlu disehatkan dengan sakramen, justifikasi, primat Sri Paus, Kitab Suci, Komuni dua rupa, dan ‘purgatory’.

KR yang paling kentara adalah Konsili Trento yang bertujuan pertama, mengecam prinsip dan doktrin protestantisme serta menetapkan doktrin Katolik sejauh diserang oleh Protestantisme. Kedua, mereformasi disiplin dan administrasi, termasuk soal bagaimana komuni dibagikan. Ketiga, interpretasi Gereja atas Kitab Suci itu final, di mana pelaksana interpretasi adalah hierarki. Keempat, relasi iman dan perbuatan ditetapkan, menentang ajaran justifikasi Luther (sola fidei). Kelima, praksis Katolik seperti indulgensi, ziarah, penghormatan kepada para santo/a, devosi marianis ditegaskan ulang.

INTERAKSI ANTARA SPIRITUALITAS DAN LITURGI DALAM KERASULAN DOA AMOR DEI[1]

“The Christian who has become accustomed to participating in Church’s public worship and making it the center of his spiritual activity will readily model his own life on it.”

Gabriel M. Braso, O.S.B.

Salah satu fenomena gerakan spiritualitas di dalam Gereja adalah adanya beberapa kelompok-kelompok doa yang mendasarkan diri pada hidup devosi kepada tokoh Kudus seperti devosi kepada Bunda Maria, Hati Kudus Yesus, Sakramen Mahakudus, Yesus dan salib-Nya. Kelompok-kelompok doa tersebut hadir untuk mengambil bagian dalam tugas menguduskan Gereja. Keyakinan bahwa Kristus hadir di tengah-tengah dua tiga orang yang berkumpul dan berdoa dalam nama Yesus Kristus (Mat 18:20) juga menjadi alasan utama munculnya kelompok-kelompok doa ini. Ada beberapa motivasi dan alasan terbentuknya kelompok-kelompok doa ini, seperti misal ada yang ingin semakin dekat dengan pengalaman misteri akan Allah dan karya keselamatan-Nya, ada yang berangkat dari keprihatinan akan suatu hal yang menggelisahkan dalam hidup menggereja, misalnya keprihatinan akan kurangnya keteladanan yang baik dalam diri para imam, dan ada yang ingin meneruskan karya Bunda Maria dalam melayani jiwa-jiwa melalui tindakan-tindakan yang konkret. Apa pun motivasi itu, mereka terpanggil untuk menjadi sehati dan sejiwa dalam kasih sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah dan mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman[2].

Dalam tulisan singkat ini, saya hendak berfokus pada sebuah kelompok doa yang saya amati dan saya ikuti, khususnya kelompok doa tanpa imam, yaitu Kerasulan Doa Amor Dei. Pertanyaan pokok yang akan saya coba jawab dalam tulisan ini adalah bagaimana kelompok ini dapat berjalan sedemikian lama tanpa imam? Semangat atau spiritualitas apa yang menjadi penggerak bagi kelompok doa ini? Bagaimana kaitannya dengan liturgi Gereja Katolik? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan membagi tulisan saya menjadi dua bagian, yaitu Kerasulan Doa Amor Dei, Interaksi Spiritualitas Kerasulan Doa Amor Dei dan Liturgi, dan sebuah refleksi kritis.

Kerasulan Doa Amor Dei

Pada awalnya, kelompok ini merupakan perkumpulan berjumlah 12 orang yang ingin berbagi pengalaman doa-doa devosi mereka kepada Bunda Maria. Kelompok ini merasakan dorongan untuk lebih mengarahkan kegiatan doa mereka bagi para imam melalui ekaristi. Ekaristi yang bagi mereka merupakan puncak kegiatan, memberi kesempatan bagi kelompok untuk selalu bersama-sama dengan imam mencari dan menemukan kehendak Allah bagi kelompok dalam terang ajaran dan tradisi Gereja. Lalu, kelompok doa ini menamakan dirinya Amor Dei pada tanggal 20 Februari 1993.

Semangat yang diambil dari kelompok ini adalah teladan Maria “Bunda Sang Imam Agung” yang dengan setia berdoa di kaki salib puteranya, Sang Imam Agung. Dengan semangat ini, kelompok ini menyusun bentuk dan cara doa tersendiri sejak 6 Desember 1995, dimana sebelumnya mereka menggabungkan diri dengan doa senakel dalam Gerakan Imam Maria. Lalu pada tanggal 18 Desember 1995, kelompok ini menyatakan dirinya secara resmi sebagai “Kerasulan Doa Amor Dei” dengan menyerahkan brosur dan surat kepada Vikep Karya Kategorial Keuskupan Agung Jakarta[3].

Kegiatan mereka adalah ekaristi bagi para imam pada setiap Sabtu pertama sesudah Jumat pertama dalam bulan pada pukul 10.00-12.00 dan doa rosario untuk para imam setiap hari Sabtu pukul 15.00-17.00 di Ruang Seminar III Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD). Selain di STFD, kelompok ini juga mengadakan kegiatan setiap hari Sabtu di Gereja Sunter. Jumlah kehadiran setiap ekaristi bisa mencapai sekitar 20-30 orang. Namun, dalam kegiatan doa setiap hari Sabtu, jumlah kehadiran anggota antara 3-6 orang.

Struktur doa mereka terdiri dari dua bagian, yakni bagian pertama yang terdiri dari doa untuk para imam; kedua, terdiri dari doa-doa renungan. Kedua bagian ini tidak terpisah satu sama lain, melainkan saling melengkapi. Berikut ini struktur doa mereka:

Bagian Pertama

Doa Pembukaan

Doa Amor Dei

Doa untuk Para Imam

Doa Rosario

Doa Penutup

§ Doa untuk Amor Dei

§ Doa Ulang Tahun Imamat

Lagu Penutup: Lagu Bunda Maria

Bagian Dua

Pembacaan Kitab Suci

Pengantar Doa Hening

Doa Hening

Sharing Pengalaman doa

Pertemuan ini diakhiri dengan sharing rohani, yang isinya tentang pengalaman doa. Dari struktur doa yang biasa mereka lakukan, nampak bahwa ada dua tujuan mereka berdoa, yaitu mendoakan para imam dengan menyebut nama mereka satu persatu secara lengkap, bahkan menyebut ulang tahun imamat para imam pada bulan mereka berdoa, dan mendoakan diri mereka sendiri agar tetap setia dalam mendoakan para imam.

Struktur doa inilah yang menjadikan Kerasulan Amor Dei ini khas dan memiliki daya tarik sendiri. Selain mendoakan para imam secara khusus dengan menyebut nama mereka satu per satu, mereka juga melakukan doa meditasi kontemplatif untuk merenungkan kisah sengsara Yesus pada bagian kedua. Bagian ini merupakan cara alternatif untuk melakukan jalan salib. Dengan diiringi musik dari petikan gitar, mereka melangkah dari satu renungan ke renungan berikutnya. Yang tidak kalah menariknya adalah bagian akhir dari pertemuan doa mereka, yaitu sharing rohani. Setiap orang boleh mensharingkan pengalaman doa mereka atau pencerahan yang mereka dapat dari renungan atas bacaan Kitab Suci. Dengan cara ini, setiap orang merasa diteguhkan oleh kesaksian dari sharing pengalaman doa tersebut. Dengan beranggotakan para bapak, ibu, dan anak muda, sharing pengalaman mereka menjadi kaya.

Interaksi Spiritualitas Kerasulan Doa Amor Dei dan Liturgi

Belajar dari Kerasulan Doa Amor Dei ini, saya melihat adanya interaksi antara spiritualitas kelompok ini dan liturgi. Yang saya maksudkan dengan spiritualitas di sini adalah nilai-nilai religius atau etis yang diungkapkan sebagai sebuah sikap atau semangat dari mana tindakan seseorang mengalir[4]. Lebih khususnya lagi, nilai religius dan etis yang mendorong sebuah sikap dan semangat tersebut berpusat dalam Yesus Kristus dan melalui Dia menuju ke Allah Trinitas. Dengan demikian, kehidupan spiritual orang-orang Kristiani adalah secara menonjol bersifat Trinitarian[5].

Dalam kelompok ini, spiritualitas yang hendak dihayati adalah semangat Bunda Maria yang dengan setia bersimpuh pada Puteranya, Sang Imam Agung. Semangat kesetiaan pada Yesus Kristus, Sang Imam Agung inilah yang mendorong anggota kelompok ini meskipun sedikit untuk tetap terus bertemu, berdoa bersama, dan berbagi pengalaman iman. Sekali lagi pusat dari kelompok ini adalah Ekaristi Suci yang darinya mengalir rahmat[6] yang memanggil mereka untuk secara khusus berdoa bagi para imam. Dengan demikian ada kaitan antara spiritualitas yang mendasari kelompok ini dengan liturgi karena liturgi sendiri merupakan sebuah tanda yang mampu mempertemukan manusia dengan Allah dan mengalami misteri Kristus lewat lambang-lambang yang sesuai dengan cita rasa dan kepribadiannya[7].

Hal lain yang menarik bagi saya adalah pemilihan hari Sabtu sebagai tempat berjumpa dan berdoa. Salah satu anggota kelompok mengatakan alasannya bahwa hari Sabtu pukul 15.00 adalah saat persiapan menjelang ekaristi kudus hari Sabtu sore dan hari Minggu, di mana mereka selain mendoakan para imam yang disebut namanya, juga mempersiapkan diri mereka agar bisa menghayati ekaristi yang menjadi puncak hidup iman mereka. Berangkat dari ini, saya mengambil gagasan dari Gabriel M. Braso, O.S.B, seorang kepala biara Montserrat dalam bukunya berjudul Liturgy and Spirituality yang mengatakan: ”The participation in the mystery of Christ and the sacramental life, even in so far as their application to us produces of itself an effect of expiation, demand first of all that the subject prepare himself for them by a sincere feeling of compunction ... Compunction of soul should be habitual in the Christian, since he is to live in God’s presence and in close relationship with Him, and since he so often has occasion to vivify this presence in the acts of the sacramental life.”[8] Dengan kata lain, persiapan batin dengan penyesalan sangat perlu dilakukan bahkan dibiasakan agar semakin mampu berpartisipasi dalam misteri Kristus dan dalam kehidupan sakramental. Dengan demikian, persiapan pribadi maupun komunal menjadi sebuah sarana vital untuk berasimilasi dengan liturgi. Artinya, dengan menjadikan Ekaristi sebagai pusat dari kegiatan spiritualitasnya dan menjadikannya model bagi kehidupannya, mereka akan memadukan segala sesuatu yang membentuk tindakan liturgis, yaitu doktrinnya, norma-norma praktis kehidupan Kristiani, dan prosedurnya, bahkan menjadikannya bagian dari atmosfer kebiasaan dari jiwa mereka[9].

Refleksi Kritis

Berdasarkan dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci dekrit 12, ulah kesalehan perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi Suci, sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu. Dari sini, hal yang menurut saya agak janggal adalah penempatan bacaan Kitab Suci pada bagian kedua dalam struktur doa mereka. Hal tersebut seakan-akan kurang menempatkan Kitab Suci pada tempat yang utama. Padahal dari padanyalah kegiatan ibadat publik serta lambang-lambang mendapat maknanya[10]. Menurut saya, dan sesuai dengan tata urutan dalam peribadatan Gereja, yang penting adalah pertama-tama menimba pada sumber iman Katolik, yaitu Kitab Suci. Karena dari Kitab Suci inilah kita bisa merenungkan hidup, karya, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus. Yang menjadi pusat sekali lagi adalah Yesus Kristus yang kisah-Nya ada dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, kelompok sebaiknya menempatkan pembacaan Kitab Suci di bagian pertama. Dengan demikian, menempatkan Kitab Suci ditempat utama dalam kegiatan pertemuan doa menjadikan kelompok doa apa pun selaras dengan Liturgi Suci yang telah diatur oleh pimpinan Gereja, yakni Tahta Apostolik[11].

Sumber Pustaka:

Aumann, Jordan, 1980, Spiritual Theology, London: Sheed and Ward.

Braso, Gabriel M., 1971, Liturgy and Spirituality, Collegeville: The Liturgical Press.

Tarigan, Jacobus, 2009, Pemahaman Awal Mengenai Liturgi (Bahan Ajar Liturgika),

Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Sacrosanctum Concilium: Dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci.



[1] Paper Ujian Akhir Mata Kuliah Liturgika yang diampu oleh P. Jacobus Tarigan, Pr.

[2] Sacrosanctum Concilium, 7.

[3] Informasi ini diambil dari buklet Kerasulan Doa Amor Dei.

[4] Jordan Aumann, Spiritual Theology (London: Sheed and Ward, 1980), 17.

[5] Aumann, Spiritual Theology, 18.

[6] SC, 10.

[7] Gagasan kalimat ini diambil dari buku diktat mata kuliah liturgika oleh Jacobus Tarigan, Pemahaman Awal Mengenai Liturgi (Bahan Ajar Liturgika) (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2009), 7.

[8] Gabriel M. Braso, Liturgy and Spirituality (Collegeville: The Liturgical Press, 1971), 168-169.

[9] Braso, Liturgy and Spirituality 181.

[10] Bdk. SC, 24.

[11] Bdk. SC, 22.