“The Christian who has become accustomed to participating in Church’s public worship and making it the center of his spiritual activity will readily model his own life on it.”
Gabriel M. Braso, O.S.B.
Salah satu fenomena gerakan spiritualitas di dalam Gereja adalah adanya beberapa kelompok-kelompok doa yang mendasarkan diri pada hidup devosi kepada tokoh Kudus seperti devosi kepada Bunda Maria, Hati Kudus Yesus, Sakramen Mahakudus, Yesus dan salib-Nya. Kelompok-kelompok doa tersebut hadir untuk mengambil bagian dalam tugas menguduskan Gereja. Keyakinan bahwa Kristus hadir di tengah-tengah dua tiga orang yang berkumpul dan berdoa dalam nama Yesus Kristus (Mat 18:20) juga menjadi alasan utama munculnya kelompok-kelompok doa ini. Ada beberapa motivasi dan alasan terbentuknya kelompok-kelompok doa ini, seperti misal ada yang ingin semakin dekat dengan pengalaman misteri akan Allah dan karya keselamatan-Nya, ada yang berangkat dari keprihatinan akan suatu hal yang menggelisahkan dalam hidup menggereja, misalnya keprihatinan akan kurangnya keteladanan yang baik dalam diri para imam, dan ada yang ingin meneruskan karya Bunda Maria dalam melayani jiwa-jiwa melalui tindakan-tindakan yang konkret. Apa pun motivasi itu, mereka terpanggil untuk menjadi sehati dan sejiwa dalam kasih sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah dan mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman.
Dalam tulisan singkat ini, saya hendak berfokus pada sebuah kelompok doa yang saya amati dan saya ikuti, khususnya kelompok doa tanpa imam, yaitu Kerasulan Doa Amor Dei. Pertanyaan pokok yang akan saya coba jawab dalam tulisan ini adalah bagaimana kelompok ini dapat berjalan sedemikian lama tanpa imam? Semangat atau spiritualitas apa yang menjadi penggerak bagi kelompok doa ini? Bagaimana kaitannya dengan liturgi Gereja Katolik? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan membagi tulisan saya menjadi dua bagian, yaitu Kerasulan Doa Amor Dei, Interaksi Spiritualitas Kerasulan Doa Amor Dei dan Liturgi, dan sebuah refleksi kritis.
Kerasulan Doa Amor Dei
Pada awalnya, kelompok ini merupakan perkumpulan berjumlah 12 orang yang ingin berbagi pengalaman doa-doa devosi mereka kepada Bunda Maria. Kelompok ini merasakan dorongan untuk lebih mengarahkan kegiatan doa mereka bagi para imam melalui ekaristi. Ekaristi yang bagi mereka merupakan puncak kegiatan, memberi kesempatan bagi kelompok untuk selalu bersama-sama dengan imam mencari dan menemukan kehendak Allah bagi kelompok dalam terang ajaran dan tradisi Gereja. Lalu, kelompok doa ini menamakan dirinya Amor Dei pada tanggal 20 Februari 1993.
Semangat yang diambil dari kelompok ini adalah teladan Maria “Bunda Sang Imam Agung” yang dengan setia berdoa di kaki salib puteranya, Sang Imam Agung. Dengan semangat ini, kelompok ini menyusun bentuk dan cara doa tersendiri sejak 6 Desember 1995, dimana sebelumnya mereka menggabungkan diri dengan doa senakel dalam Gerakan Imam Maria. Lalu pada tanggal 18 Desember 1995, kelompok ini menyatakan dirinya secara resmi sebagai “Kerasulan Doa Amor Dei” dengan menyerahkan brosur dan surat kepada Vikep Karya Kategorial Keuskupan Agung Jakarta.
Kegiatan mereka adalah ekaristi bagi para imam pada setiap Sabtu pertama sesudah Jumat pertama dalam bulan pada pukul 10.00-12.00 dan doa rosario untuk para imam setiap hari Sabtu pukul 15.00-17.00 di Ruang Seminar III Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD). Selain di STFD, kelompok ini juga mengadakan kegiatan setiap hari Sabtu di Gereja Sunter. Jumlah kehadiran setiap ekaristi bisa mencapai sekitar 20-30 orang. Namun, dalam kegiatan doa setiap hari Sabtu, jumlah kehadiran anggota antara 3-6 orang.
Struktur doa mereka terdiri dari dua bagian, yakni bagian pertama yang terdiri dari doa untuk para imam; kedua, terdiri dari doa-doa renungan. Kedua bagian ini tidak terpisah satu sama lain, melainkan saling melengkapi. Berikut ini struktur doa mereka:
Bagian Pertama
Doa Pembukaan
Doa Amor Dei
Doa untuk Para Imam
Doa Rosario
Doa Penutup
§ Doa untuk Amor Dei
§ Doa Ulang Tahun Imamat
Lagu Penutup: Lagu Bunda Maria
Bagian Dua
Pembacaan Kitab Suci
Pengantar Doa Hening
Doa Hening
Sharing Pengalaman doa
Pertemuan ini diakhiri dengan sharing rohani, yang isinya tentang pengalaman doa. Dari struktur doa yang biasa mereka lakukan, nampak bahwa ada dua tujuan mereka berdoa, yaitu mendoakan para imam dengan menyebut nama mereka satu persatu secara lengkap, bahkan menyebut ulang tahun imamat para imam pada bulan mereka berdoa, dan mendoakan diri mereka sendiri agar tetap setia dalam mendoakan para imam.
Struktur doa inilah yang menjadikan Kerasulan Amor Dei ini khas dan memiliki daya tarik sendiri. Selain mendoakan para imam secara khusus dengan menyebut nama mereka satu per satu, mereka juga melakukan doa meditasi kontemplatif untuk merenungkan kisah sengsara Yesus pada bagian kedua. Bagian ini merupakan cara alternatif untuk melakukan jalan salib. Dengan diiringi musik dari petikan gitar, mereka melangkah dari satu renungan ke renungan berikutnya. Yang tidak kalah menariknya adalah bagian akhir dari pertemuan doa mereka, yaitu sharing rohani. Setiap orang boleh mensharingkan pengalaman doa mereka atau pencerahan yang mereka dapat dari renungan atas bacaan Kitab Suci. Dengan cara ini, setiap orang merasa diteguhkan oleh kesaksian dari sharing pengalaman doa tersebut. Dengan beranggotakan para bapak, ibu, dan anak muda, sharing pengalaman mereka menjadi kaya.
Interaksi Spiritualitas Kerasulan Doa Amor Dei dan Liturgi
Belajar dari Kerasulan Doa Amor Dei ini, saya melihat adanya interaksi antara spiritualitas kelompok ini dan liturgi. Yang saya maksudkan dengan spiritualitas di sini adalah nilai-nilai religius atau etis yang diungkapkan sebagai sebuah sikap atau semangat dari mana tindakan seseorang mengalir. Lebih khususnya lagi, nilai religius dan etis yang mendorong sebuah sikap dan semangat tersebut berpusat dalam Yesus Kristus dan melalui Dia menuju ke Allah Trinitas. Dengan demikian, kehidupan spiritual orang-orang Kristiani adalah secara menonjol bersifat Trinitarian.
Dalam kelompok ini, spiritualitas yang hendak dihayati adalah semangat Bunda Maria yang dengan setia bersimpuh pada Puteranya, Sang Imam Agung. Semangat kesetiaan pada Yesus Kristus, Sang Imam Agung inilah yang mendorong anggota kelompok ini meskipun sedikit untuk tetap terus bertemu, berdoa bersama, dan berbagi pengalaman iman. Sekali lagi pusat dari kelompok ini adalah Ekaristi Suci yang darinya mengalir rahmat yang memanggil mereka untuk secara khusus berdoa bagi para imam. Dengan demikian ada kaitan antara spiritualitas yang mendasari kelompok ini dengan liturgi karena liturgi sendiri merupakan sebuah tanda yang mampu mempertemukan manusia dengan Allah dan mengalami misteri Kristus lewat lambang-lambang yang sesuai dengan cita rasa dan kepribadiannya.
Hal lain yang menarik bagi saya adalah pemilihan hari Sabtu sebagai tempat berjumpa dan berdoa. Salah satu anggota kelompok mengatakan alasannya bahwa hari Sabtu pukul 15.00 adalah saat persiapan menjelang ekaristi kudus hari Sabtu sore dan hari Minggu, di mana mereka selain mendoakan para imam yang disebut namanya, juga mempersiapkan diri mereka agar bisa menghayati ekaristi yang menjadi puncak hidup iman mereka. Berangkat dari ini, saya mengambil gagasan dari Gabriel M. Braso, O.S.B, seorang kepala biara Montserrat dalam bukunya berjudul Liturgy and Spirituality yang mengatakan: ”The participation in the mystery of Christ and the sacramental life, even in so far as their application to us produces of itself an effect of expiation, demand first of all that the subject prepare himself for them by a sincere feeling of compunction ... Compunction of soul should be habitual in the Christian, since he is to live in God’s presence and in close relationship with Him, and since he so often has occasion to vivify this presence in the acts of the sacramental life.” Dengan kata lain, persiapan batin dengan penyesalan sangat perlu dilakukan bahkan dibiasakan agar semakin mampu berpartisipasi dalam misteri Kristus dan dalam kehidupan sakramental. Dengan demikian, persiapan pribadi maupun komunal menjadi sebuah sarana vital untuk berasimilasi dengan liturgi. Artinya, dengan menjadikan Ekaristi sebagai pusat dari kegiatan spiritualitasnya dan menjadikannya model bagi kehidupannya, mereka akan memadukan segala sesuatu yang membentuk tindakan liturgis, yaitu doktrinnya, norma-norma praktis kehidupan Kristiani, dan prosedurnya, bahkan menjadikannya bagian dari atmosfer kebiasaan dari jiwa mereka.
Refleksi Kritis
Berdasarkan dokumen Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci dekrit 12, ulah kesalehan perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan Liturgi Suci, sedikit banyak harus bersumber pada Liturgi, dan menghantar Umat kepadanya; sebab menurut hakekatnya Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu. Dari sini, hal yang menurut saya agak janggal adalah penempatan bacaan Kitab Suci pada bagian kedua dalam struktur doa mereka. Hal tersebut seakan-akan kurang menempatkan Kitab Suci pada tempat yang utama. Padahal dari padanyalah kegiatan ibadat publik serta lambang-lambang mendapat maknanya. Menurut saya, dan sesuai dengan tata urutan dalam peribadatan Gereja, yang penting adalah pertama-tama menimba pada sumber iman Katolik, yaitu Kitab Suci. Karena dari Kitab Suci inilah kita bisa merenungkan hidup, karya, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus. Yang menjadi pusat sekali lagi adalah Yesus Kristus yang kisah-Nya ada dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, kelompok sebaiknya menempatkan pembacaan Kitab Suci di bagian pertama. Dengan demikian, menempatkan Kitab Suci ditempat utama dalam kegiatan pertemuan doa menjadikan kelompok doa apa pun selaras dengan Liturgi Suci yang telah diatur oleh pimpinan Gereja, yakni Tahta Apostolik.
Sumber Pustaka: