Sabtu, 21 Mei 2011

GEREJA DAN NASIONALISME DI ITALIA DAN JERMAN

Oleh Vico Christiawan


Berhadapan dengan nasionalisme sempit yang berkembang di Italia (Fasisme) dan Jerman (Nazisme) pasca-Perang Dunia I, Gereja menunjukkan sikap politis sebagai ibu yang mengusahakan negosiasi-negosiasi politis sebagai sarana pewartaan perdamaian dan keadilan.

Tesis ini berlatarbelakang rasa penasaran penulis mengenai sikap politis apa yang sebenarnya diambil Gereja ketika berhadapan dengan perkembangan nasionalisme yang sempit di Italia dan Jerman pasca-perang dunia I, lebih-lebih dampak yang dihasilkan dari nasionalisme itu bagi tragedi kemanusiaan, yaitu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi di Jerman. Langsung atau tidak langsung, Gereja, dalam hal ini Tahta Suci, cukup memiliki hubungan dan pengaruh terhadap negara Italia dan Jerman tersebut.

Oleh karenanya dalam mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, penulis ingin membagi paper ini menjadi empat bagian. Pertama tentang apa itu nasionalisme sempit dan apa yang melatarbelakanginya. Kedua tentang bagaimana perkembangan secara singkat Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman. Ketiga tentang sikap politis yang diambil Gereja pada waktu itu terhadap Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman. Keempat, refleksi teologis atas sikap Gereja tersebut.

1. Nasionalisme sempit dengan Latar Belakang Modernisme

Persoalan nasionalisme yang berkembang di Eropa adalah akibat dari persoalan modernitas dan modernisme yang berkembang pada awal abad XIX. Dalam abad tersebut, dunia mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Tidak salah bila kemudian abad XIX di sebut sebagai abad modernitas. Gereja sendiri tidak luput dari pengaruh modernisme ini. Nyatanya, Gereja telah banyak disibukkan dengan orang-orang yang menyulutkan modernisme dalam Gereja.

Sebagai sebuah lembaga keagamaan yang besar dan memiliki pengaruh internasional, Gereja, yang merupakan tanda dan sakramen Allah di dunia ini, berkewajiban untuk menyerukan suara kenabian untuk terus-menerus menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini dengan mengkritisi aliran yang berkembang ini. Oleh karenanya, Paus Pius X mempromulgasikan dekrit Lamentabili Sane tanggal 3 Juli 1907 dan ensiklik Pascendi Dominici Gregis tanggal 8 September 1907. Dalam ensiklik ini Pius X mengelompokkan modernisme sebagai paham radikalisme teologi liberal. Pada prinsipnya, kedua dokumen tersebut memberi tekanan khusus tentang modernisme. Paus memandang kaum modernis sebagai ancaman bagi Gereja karena mereka telah memangkas iman Katolik tidak hanya di batang melainkan sampai ke akarnya. Kesalahan modernisme yang paling mendasar menurut Pascendi Dominici Gregis adalah agnostisisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu, tentang Allah, adalah tidak dapat diketahui oleh akal manusia yang terbatas, dan imanentisisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa pewahyuan akan kebenaran tidak berasal dari luar manusia, tetapi dari dalam diri manusia, yaitu dalam sebuah gerakan hati yang disebut perasaan yang berasal dari alam bawah sadar manusia. Bagi kaum modernis, pewahyuan Allah dapat ditemukan atau dialami oleh seseorang tanpa harus memiliki pengalaman religius.

Harus dipahami bahwa modernisme berhubungan erat dengan dua prinsip, yaitu otonomi dan perbedaan sosial. Prinsip otonomi ini akhirnya melahirkan apa yang disebut paham “cultus idolatry”, yakni pemujaan terhadap kedaulatan mutlak terutama terkait paham-paham kenegaraan atau tokoh-tokoh tertentu dalam tata kenegaraan. Cultus idolatry ini mengikat negara dalam sistem yang sangat autarki. Paham nasionalisme yang sempit, yaitu totalitarianisme sangat dipengaruhi dan berhubungan erat dengan cultus idolatry ini. Paham ini, kemudian, akan begitu tajam dikritisi oleh Tahta Suci dalam ensiklik Mit Brennender Sorge art. 8 dan 12. Di situ, Pius XI menekankan bahwa tidak tepat adanya tindakan pengilahian (deifikasi) ras, suku bangsa, penduduk, negara, atau partai.

Nasionalisme pada prinsipnya adalah gagasan atau ide yang bermaksud mengungkapkan otonomi suatu bangsa, artinya suatu bangsa tidak lagi tergantung pada negara atau pihak lain. Batasan sempit terletak pada nihilnya perdamaian sebagai meningkatnya rasa superioritas suatu bangsa di atas bangsa lain. Koeksistensi damai dipandang sebagai utopia yang absurd dan tidak masuk akal. Oleh karena itu, interdependensi atau saling ketergantungan harus disingkirkan dan dihilangkan. Dengan demikian, antara satu negara dengan negara lain tidak ada kesetaraan.

2. Perkembangan Paham Nasionalisme di Italia dan Jerman

Perkembangan paham nasionalisme telah memberikan beragam dampak yang signifikan dalam perkembangan kehidupan di Eropa khususnya. Salah satu titik ekstrimnya adalah terjadinya perang dunia pertama (1914-1918). Namun, perdamaian dapat diusahakan dengan adanya Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919. Kemudian, dalam masa damai, atau tepatnya pada masa tenggang antara perang dunia pertama dan perang dunia kedua, terjadi beragam peristiwa-peristiwa yang mencengangkan. Yang menonjol salah satunya adalah perkembangan yang begitu cepat dari Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman ditambah dengan perlakuan mereka terhadap umat manusia. Fasisme dan Nazisme sendiri merupakan perkembangan dari paham nasionalisme; tetapi, paham yang dibangun adalah nasionalisme secara sempit sehingga paham ini bukannya menyejahterakan masyarakat, tetapi menyengsarakan masyarakat.

Perkembangan nasionalisme totalitarianisme di Italia (Fasisme) dan Jerman (Nazisme) menjadi perhatian Tahta Suci. Terkait dengan perkembangan paham Fasisme dan Nazisme ini, Tahta Suci beberapa kali mengadakan perjanjian dan mengeluarkan surat apostolik ataupun ensiklik kepada pemerintah negara terkait (Italia dan Jerman). Oleh karena itu, sebelum melihat tanggapan Gereja atas perkembangan nasionalisme tersebut, marilah kita melihat perkembangan lebih lanjut dan pengaruh dari Fasisme dan Nazisme.

2.1. Nasionalisme di Italia: Fasisme

Setelah perang dunia pertama, Italia yang termasuk dalam tripple alliance bersama dengan Jerman dan Turki dalam perang dunia pertama, mengalami ragam permasalahan politik dan ekonomi. Sistem politik dan ekonomi negara Italia berantakan. Banyak orang menderita dan tak memiliki pekerjaan. Intinya, kesejahteraan masyarakat Italia menurun pesat. Kemudian, situasi ini dimanfaatkan oleh seorang politikus, Benito Mussolini, untuk mengambil kekuasaan yang ada.

Mussolini adalah pemimpin dan pendiri partai Fasis. Partai Fasis merupakan sebuah partai di Italia yang muncul pada tahun 1919. Partai Fasis ini kemudian memperkembangkan paham fasisme dalam negara Italia. Fasisme menjadi salah satu jenis gerakan revolusi nasionalis baru pada abad ke-20. Fasisme merupakan perkembangan dari nasionalisme. Fasisme mengagung-agungkan negara, mendukung nasionalisme agresif, dan mengutuk prinsip demokrasi karena para penganut fasis percaya bahwa persaingan partai akan membuat perpecahan dalam negara. Fasisme meyakini bahwa semuanya ada di dalam negara, tak ada satu pun di luar negara, tak ada sedikitpun usaha untuk melawan negara, dan semuanya adalah untuk negara.

Pada tahun 1922, Mussolini dan pengikutnya mendapat dukungan dari masyarakat setelah mengalahkan komunisme dan sosialisme yang berkembang. Lalu, pada tahun 1925, ia menjadi perdana menteri di negara Italia. Dan, masa kediktatorannya dimulai. Dalam masa pemerintahannya, Mussolini menjunjung tinggi paham fasis yang dikembangkannya. Ia membangun kekuasaannya dengan menyensor semua media, mengorganisir sebuah polisi rahasia (salah satu peran polisi rahasia adalah menjadi mata-mata jika ada gerak-gerik mencurigakan yang hendak menghancurkan pemerintahan), dan melarang adanya kritik pada pemerintahan. Mussolini pun mengendalikan kekuatan militer dan semua lembaga pendidikan.

Selain itu, pada periode Mussolini permasalahan yang dikenal dengan nama Roman Question, terpecahkan secara bijaksana dalam Lateran Treaty (Perjanjian Lateran) antara pemerintah Italia dengan Tahta Suci. Perjanjian ini ditandatangani oleh Mussolini sebagai wakil pemerintahan Italia dan Gasparri sebagai wakil Tahta Suci pada 7 Juni 1929. Beberapa poin pokok dari Perjanjian Lateran adalah (1) pengembalian harta benda Vatikan sebagai negara kepausan yang diambil oleh pemerintah Italia; (2) setiap tahun, pemerintah Italia akan memberikan 1.500.000 lira untuk Vatikan; dan (3) kota Roma tidak lagi disebut sebagai kota suci karena Katolik tak lagi jadi agama negara.

Pasca perjanjian Lateran ini, tegangan antara Mussolini dan Tahta Suci tetap berlanjut. Ketegangan tersebut terjadi ketika Mussolini menciptakan krisis di tahun 1931 dan 1938. Pada tanggal 29 Mei 1931, ia membubarkan semua kelompok kaum muda dan pelajar Katolik. Pada tanggal 17 November 1938, ia mengamandemen hukum perkawinan Italia sesuai dengan pandangan rasial Jerman. Tegangan demi tegangan dalam negeri terus terjadi. Seiring dengan itu, perang dunia kedua meletus. Situasi pemerintahan semakin parah. Salah satu fakta yang terjadi adalah bahwa sekitar tahun 1943, Italia kerap kali mengalami kekalahan. Pada masa itulah, Mussolini dicabut dari jabatannya sebagai perdana menteri Italia secara paksa pada tahun 1943. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 April 1945, ia dieksekusi mati di daerah Como, Italia Utara, dalam usahanya untuk melarikan diri dari Italia.

2.2. Nasionalisme di Jerman: Nazisme

Pasca perang dunia pertama, pemerintahan Republik Weimar di Jerman menghadapi beragam masalah. Situasi inflasi yang melanda negara Jerman membuat masyarakat ragu dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Pada tahun 1920-an, muncullah Hitler sebagai pemimpin partai Nazi, sebuah partai yang nasionalis, anti-komunis, dan anti-organisasi semitik. Motif awal pertumbuhan Nazi ini hampir serupa dengan awal perkembangan fasisme di Italia. Bahkan nantinya, diketahui bahwa tak jarang Hitler memasukkan unsur fasisme dalam penerapan paham kenegaraan di Jerman.

Setelah pemilu tanggal 5 Maret 1933, Nazi tampil sebagai pemenang di Jerman dan mulai memimpin pemerintahan di Jerman. Di masa pemerintahannya, Hitler menekan dan menghabiskan semua partai oposisinya. Lalu, ia membangun sebuah negara fasis di Jerman. Dengan belajar dari Mussolini dan Stalin, ia membangun sebuah totalitarianisme di Jerman. Nazi menggunakan beragam media, sekolah, dan juga gereja-gereja untuk pencapaian tujuannya. Nazi juga menggunakan Gestapo (polisi rahasia) untuk menangkap semua orang yang berniat melawan Nazi.

Selain itu, terkait dengan nasionalisme radikal yang dibangunnya, Hitler mengklaim bahwa orang Jerman adalah ras Aria, ras terpilih yang kodratnya adalah memimpin dunia. Nasionalisme totalitarianisme yang dibangun ini mengambil bentuk ekstrimnya dengan rasisme. Karena merasa sebagai ras yang unggul, Hitler menggerakkan warga Jerman untuk memusnahkan orang-orang Yahudi. Inilah kebijakan politik Hitler yang dianggap begitu kejam. Tepat pada permasalahan genocide ini, banyak pihak beranggapan bahwa Tahta Suci—ketika itu masa jabatan Pius XII—berdiam diri dan tak memberikan tanggapan apapun.

Pada masa kepemimpinan Hitler ini, meletuslah Perang Dunia kedua (1939). Perang Dunia kedua ini dimulai dengan serangan Jerman ke Polandia pada 1 September 1939. Tindakan Jerman ini menjadi sebuah pengingkaran dari Jerman atas perjanjian Versalilles yang telah dibuat bersama. Lalu, perang semakin meledak dan banyak pihak yang menjadi korban. Seiring dengan perang dunia yang terjadi, usaha genocide terus berlangsung. Ratusan ribu orang Yahudi dimasukkan ke dalam ”kamp konsentrasi” dan kemudian dibunuh. Kekejian dari pemerintahan Nazi tersebut terus berlangsung sampai tahun 1945 dan runtuhnya Nazi ditandai dengan kekalahan total Jerman dalam perang dunia. Kehancuran Nazi juga ditandai dengan kematian Hitler pada 30 April 1945. Sesaat setelahnya, Nazi sebagai partai politik dibubarkan secara resmi.

3. Sikap dan Tindakan Gereja

3.1 Terhadap Fasisme Italia

Setelah dicapai kesepakatan perjanjian antara pemerintahan Mussolini dan Tahta Suci dalam perjanjian Lateran (5 Agustus 1926-10 Februari 1929), dalam jangka pendek, Gereja mendapat beberapa keuntungan, yaitu intervensi negara Italia ke dalam Gereja Italia dan administrasi Gereja berakhir. Vatikan dapat memulai lagi pemerintahannya atas Gereja universal di atas kakinya sendiri, Gereja meraih posisi sah yang kuat untuk mempertahankan sistem organisasi Katolik. Namun, dalam jangka panjang, Mussolini akhirnya mengenali bahwa sesungguhnya Gereja tidak pernah sepenuhnya mendukungnya baik dalam kebijakan dalam negeri maupun dalam semua kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, Musssolini menciptakan krisis di tahun 1931 yang memuncak pada bulan Maret dan berlanjut di tahun 1938.

Krisis tahun 1931 ini bermula dari tuduhan utama Mussolini kepada kelompok Catholic Action yang telah melampaui kompetensi dan pengaruhnya di bidang politik sosial, khususnya pendidikan bagi kelompok kaum muda dan siswa. Kiprah kelompok Cahtolic Action ini meresahkan pemerintahan Mussolini karena menghalangi penanaman fasisme bagi masyarakat Italia, khususnya anak-anak muda. Selain itu, Mussolini mengenali bahwa kegiatan kelompok ini telah melanggar Konkordat Italia. Dalam konkordat tersebut dinyatakan bahwa Catholic Action dan segala organisasinya adalah subjek bagi arahan eklesiastikal, sejauh mereka menampilkan kegiatan mereka di luar setiap partai politik untuk menyebarkan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar Katolik. Oleh karena itu, pemerintah Italia menuntut Gereja lewat jalan diplomatis yang mempersoalkan pertama, batas antara ”ecclesiastical” dan ”extraecclesiastical”; kedua, siapa yang sebenarnya menentukan pembatasan ini. Dua persoalan yang diajukan pemerintahan Italia ini kemudian dijawab oleh Gereja bahwa pertama, Gereja berhak untuk tidak hanya memiliki secara murni orientasi keagamaan, seperti liturgi dan pelayanan sakramen, melainkan juga hak untuk terlibat dalam bidang katolisisme sosial. Kedua, gereja mendaku sebuah kompetensi otonomi yang tak terbatas. Jawaban Gereja tersebut tidak menghentikan langkah Mussolini yang membubarkan semua kelompok anak muda dan siswa dengan aturan administratif yang dibuatnya. Tindakan Mussolini ini menuai kritik dari Pius XI yang menulis surat kepada Kardinal Milan, Schuster pada tanggal 27 April 1931 atas pendidikan kaum fasis kepada anak-anak muda yang berorientasi pada kebencian dan sikap tidak hormat.

Kritik Pius XI dilanjutkan dengan mengeluarkan ensiklik Non Abbiamo Bisogno pada tanggal 29 Juni 1931. Melalui ensiklik ini, Pius XI mencela serangan kaum fasis sebagai sebuah kekerasan yang tidak adil bagi Gereja. Menurut ensiklik ini, monopoli Mussolini atas pendidikan anak-anak dan orang-orang muda dengan dalih agar mereka sampai pada sebuah gagasan yang mengarah pada pendewaan negara yang sejati dan otentik tanpa kecuali tidak sesuai dengan ajaran Katolik. Monopoli ini membuat anak-anak sulit membedakan hal-hal yang senyatanya baik atau pun tidak. Suara hati tak terasah karena pendidikan monopoli yang berpedoman pada kepentingan tertentu. Namun, ensiklik ini tidak membuat hubungan Gereja dengan rezim yang berkuasa berakhir.

Krisis kedua terjadi di tahun 1938 dimana terjadi perubahan situasi politik karena pemerintahan Italia melakukan pendekatan kembali pada Jerman sejak tahun 1936. Mussolini meniru sebagian kebijakan anti-Yahudi Jerman dengan mengamandemen hukum perkawinan Italia sesuai dengan pandangan rasial pada tanggal 17 November 1938. Amandemen hukum perkawinan ini meresahkan anggota-anggota Gereja karena sungguh berlawanan dengan iman Katolik. Konsekuensinya, sebuah perkawinan antara orang Yahudi yang sudah dibabtis atau belum dibabtis dan seorang Katolik di dalam Gereja Katolik kehilangan pengaruhnya dalam hukum sipil. Melihat hal ini, Tahta Suci segera menggunakan sarana diplomatiknya untuk mencegah bentuk hukum baru ini atau untuk memodifikasi pelaksanaannya. Namun, usaha Vatikan tidak dapat mencegah pengaruh amandemen Italia. Belajar dari peristiwa tahun 1938 ini, Gereja mungkin tidak mampu membawa negara atau rezim yang berkuasa sampai pada ketaatan pada norma-norma yang diwakili oleh ajaran doktrin dan moral, tetapi tetap menekankan validitas norma-norma ini.

3.2 Terhadap Nazisme Jerman

Pada masa Pius XI, yang khas adalah konkordat dengan Reich (Negara) Jerman pada 20 Juli 1933 yang ditandatangai oleh Pacelli, wakil Vatikan dan Franz von Papen, wakil Reich Jerman. Ada motivasi yang berbeda dari masing-masing pihak. Di pihak Hitler, keinginannya untuk segera menyelesaikan konkordat adalah melenyapkan Partai Tengah (Zentrum) yang ia benci dengan menggunakan kekuasaan Tahta Suci. Ia merasa bahwa keberadaan Partai Tengah, yang banyak didukung oleh para uskup Jerman mengancam kedudukannya karena orang-orang Katolik Jerman sangat setia kepada partai ini. Sementara keinginan Pacelli dengan hasil konkordat itu terungkap dalam beberapa pokok konkordat, seperti jaminan kebebasan beribadat bagi umat Katolik di Jerman (art.1), aktivitas rohani para klerus dijamin oleh negara (art.5), klerus dan rohaniwan bebas dari kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, seperti wajib militer (art.6), kesepakatan antara negara dan klerus harus memiliki nihil obstat dari uskup setempat (art.7), klerus Katolik yang berkarya dalam karya eklesial di Jerman atau pengajar dan pelayan pastoral harus menjadi warga negara Jerman dan setidaknya pernah belajar filsafat dan teologi selama tiga tahun di Universitas Jerman, kolese eklesial Jerman, atau kolese kepausan di Roma (art.14), harta gereja dan hak-hak lain untuk korporasi publik, institusi, lembaga, dan asosiasi Gereja harus dijamin menurut hukum setempat (art.17), adanya jaminan organisasi Gereja dari pemerintah (art.31), dan de-politisasi dari para klerus (art.32).

Signifikansi historis dari konkordat dengan Hitler dapat dipahami hanya dengan melihat perbedaan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Bagi Hitler, konkordat membawanya meraih kehormatan yang tinggi karena propagandanya menafsirkan tanda tangan kardinal sekretaris negara sebagai legitimasi Paus atas Nasional Sosialismenya. Selain itu, ia telah berhasil membubarkan Partai Tengah pesaingnya. Dalam jangka pendek, konkordat berarti keberhasilan bagi Gereja karena Gereja Katolik di Jerman masih tetap bisa berdiri dibandingkan Protestantisme Jerman. Dalam jangka panjang, konkordat ini merupakan alat pertahanan yang luar biasa karena Gereja memiliki kemungkinan mengkritik dan mencela setiap pelanggaran yang dilakukan Hitler sepanjang antara tahun 1933-1939 atas konkordat. Protes terkenal Pacelli atas pelanggaran Hitler ada dalam sebuah surat yang ditulisnya bersama para kardinal Jerman, termasuk Michael Cardinal von Faulhaber, yang nantinya menjadi ensiklik Paus Pius XI berjudul Mit Brennender Sorge yang dikeluarkan tanggal 14 Maret 1937. Ensiklik ini mengutuk pandangan yang “meninggikan ras, atau masyarakat, atau negara, atau suatu bentuk khusus dari negara … di atas nilai-nilai dasar mereka dan mempertuhankan mereka ke tahap menjadi barang pujaan berhala”. Menurut Jedin, penjunjungan tinggi ras yang menjadi prinsip dasar nasional sosialisme ini ditolak oleh Gereja: “Norma kemanusiaan tak dapat dipikirkan tanpa berakar di dalam yang ilahi. Tambatan utama tidak dapat terletak dalam sebuah “keilahian” ras yang sewenang-wenang. Tidak juga dalam pemutlakan bangsa. Allah yang diyakini oleh ras yang berdarah sama seperti itu tidak lebih dari pada refleksi buatan sendiri dari kepribadian yang sempit dan picik. Dengan demikian, ensiklik ini membawa kebenaran yang menyakitkan yang disuarakan selama bertahun-tahun ke wajah pemerintahan Nazi.

Dampak dari ensiklik ini adalah ketegangan yang semakin meningkat yang mewarnai hubungan antara Jerman dan Vatikan. Hal ini bisa kita lihat dalam seruan Paus secara publik kepada dunia: Gereja di Jerman sedang berjuang hidup dan mati, engkau Katolik Jerman, engkau yang dianiaya ada dalam kebenaran; janganlah bingung; Aku berdiri di sampingmu. Sementara, pemerintah siap memberikan maklumat tentang kutukan atas konkordat. Namun, rencana itu dibatalkan Hilter tanpa alasan yang jelas. Barangkali karena ia sedang menyiapkan kebijakan perluasan negara sehingga ia menginginkan situasi yang relatif damai pada kebijakan dalam negeri. Situasi Gereja di Jerman tersebut tidak berubah hingga kematian Pius XI tanggal 10 Februari 1939.

3.3 Terhadap Pembantaian Orang Yahudi

Sejak Kardinal Pacelli diangkat menjadi Paus atas alasan politis tanggal 2 Maret 1939 dengan nama Pius XII, ia setia pada kebijakan luar negri paus pendahulunya, Benediktus XV, yaitu menjalankan strategi netralitas, melakukan bantuan-bantuan kemanusiaan akibat perang, dan melakukan upaya-upaya damai. Selama terjadi Perang Dunia II, ia tetap pada prinsip tidak berpihak pada negara-negara yang sedang bertikai. Alasan netralitas Gereja adalah bahwa Gereja merupakan ibu yang mencintai anak-anaknya yang sedang bertikai. Tentunya, seorang ibu yang baik tidak akan memihak salah satu anaknya yang sedang bertikai. Prinsipnya ini juga ia terapkan ketika diminta bersuara tentang pembantaian orang-orang Yahudi oleh Nazi. Beberapa kali ada laporan tentang pembantaian tersebut, namun Tahta Suci selalu mengatakan bahwa tidak ada bukti yang kuat tentang adanya pembantaian tersebut. Berkali-kali juga, ia didesak untuk bersuara atas peristiwa itu, tetapi ia memilih untuk diam. Baginya, persoalan tidak terletak pada pernyataan publik yang harus dia sampaikan karena hal itu malah akan meningkatkan kejahatan. Baginya persoalan utama terletak pada logika sistem pemerintahan Nazi. Namun, di sisi lain, ia juga telah menyelamatkan banyak orang-orang Yahudi yang meminta bantuannya, bahkan menyembunyikan orang-orang Yahudi di Vatikan.

4. Refleksi Teologis: Gereja sebagai Ibu

Keterlibatan Gereja dalam menghadapi nasionalisme sempit baik di Italia maupun di Jerman adalah bentuk konkret dari penghayatan akan esensi Gereja sebagai tanda dan sakramen di dunia ini. Sebagai tanda dan sakramen, Gereja terlibat untuk berpihak dan berjuang membela harkat dan martabat manusia yang dikorbankan dalam paham yang dianut kedua negara tersebut. Dampaknya tidak hanya warga negara yang ada di dalam kedua negara tersebut, melainkan warga internasional. Di sini, menurut penulis, menghadirkan Kerajaan Allah di dunia sama artinya mengusahakan kesejahteraan umat manusia, khususnya dengan membela mereka yang tertindas, disingkirkan, dan yang martabatnya diinjak-injak. Begitulah menurut Jurgen Moltman dalam bukunya berjudul God for a Secular Society: the Public Relevance of Theology mengatakan bahwa teologi yang berbasiskan pada Kerajaan Allah haruslah teologi yang bersifat publik, kritis, dan menyerukan suara kenabian sehingga teologi menjadi relevan bagi situasi Gereja berada. Ciri tersebut merupakan unsur konstitutif bagi teologi yang berdasarkan atas nama Allah. Pemahaman inilah yang nampaknya mendorong Gereja, dalam hal ini Tahta Suci, untuk terjun melindungi para korban dengan mengusahakan pelbagai cara, khususnya dengan negosiasi-negosiasi politis dengan kedua negara tersebut.

Keterlibatan politis Gereja dalam urusan politik internasional melulu didasari pada keprihatinan Gereja akan semakin meredupnya penghormatan terhadap nilai martabat manusia. Manusia menjadi korban dari pertaruhan idealisme yang dijunjung tinggi oleh para penguasa negara (Mussolini dan Hitler), yaitu fasisme dan nazisme. Kedua paham tersebut mengebiri nilai-nilai iman Katolik yang menjunjung tinggi keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, dan kedamaian. Lebih jauh lagi, Gereja mengutuk keras gagasan rasial dari Hitler yang mengatakan bahwa hanya ras Aria yang merupakan ras tertinggi dan superior atas ras lain di muka bumi ini. Di sini, kekuasaan yang dimiliki oleh kedua pemimpin negara telah salah digunakan demi mempertahankan idealisme dan sentimen kesukuan. Akibatnya, manusia disubordinasi melulu pada kepentingan-kepentingan negara.

Di sini, kekuasaan tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk menyejahterakan manusia. Oleh karena itu, tepatlah bahwa Gereja mengusahakan negosiasi-negosiasi melalui konkordat dengan para penguasa kedua negara tersebut. Konkordat itu merupakan sarana Gereja untuk tetap memainkan peranannya dalam menyerukan suara kenabian dan melakukan kritik atas kebijakan penguasa yang rasis dan totaliter. Kekuasaan yang digunakan para penguasa tersebut sifatnya tetaplah terbatas dan tidak absolut. Kekuasaan absolut bagi Gereja tetaplah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, Gereja yakin bahwa peranan konkordat memiliki fungsi ganda, yakni sebagai pelindung mereka yang tertindas dan sebagai alat kritik bagi kebijakan penguasa Italia dan Jerman.

Peran Gereja dalam menyerukan suara kenabian adalah terutama melakukan kritik atas pemutlakan kekuasaan atas diri pribadi atau negara sehingga berpotensi besar menjadi pemujaan berhala. Bagi Gereja, pemutlakan ini jelas melanggar perintah pertama dalam sepuluh perintah Allah. Bagi Gereja, penguasa tetaplah manusia yang mengambil bagian pada kekuasaan Allah. Pemutlakan pada kekuasaan seseorang melulu hanya akan melahirkan kekerasan, tekanan, kriminal, dan ketidakadilan. Lebih jauh lagi, kekerasan tersebut mendapat legalitasnya atas nama kepentingan negara.

Di sini nampak ada tegangan antara kekuasaan yang dihadirkan Gereja (Tahta Suci) yang bercirikan pelayanan bagi kesejahteraan manusia dan kekuasaan yang dihadirkan penguasa otoriter yang bercirikan semangat nasionalisme sempit yang mengkultuskan diri sendiri atau pun negara. Bagi Gereja perdana, kekuasaan yang diwariskan oleh Yesus Kristus adalah kekuasaan yang melayani karena kekuasaan itu sendiri mengambil bagian dari kekuasaan Allah sendiri. Artinya kekuasaan yang dijalankan penguasa-penguasa bangsa seharusnya kekuasaan yang melayani kesejahteraan warga negaranya. Dengan kata lain, kekuasaan yang dijalankan semestinya adalah kekuasaan yang bercirikan gembala.

Peran ini jugalah yang dilakukan Gereja ketika dituntut untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kedua negara tersebut, khususnya Jerman. Ciri kegembalaan Gereja diwujudnyatakan dengan mengambil peran sebagai ibu yang tidak memihak bangsa-bangsa yang bertikai, melainkan mengusahakan jalan diplomasi atau negosiasi terhadap negara pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut. Melalui konkordat, Gereja menyerukan keprihatinan dan kritiknya kepada Hitler untuk segera menghentikan aksi pembantaian kaum Yahudi di Auschwitz, Jerman dan penganiayaan orang Katolik Jerman yang juga ikut menderita akibat kebijakan pemerintahan Hitler.

Bagi Gereja (Pius XI), kekerasan bukanlah jalan yang tepat untuk mengatasi persoalan. Hanya melalui seruan-seruan moral yang profetis, pernyataan terbuka untuk berpihak dan solider dengan mereka yang menjadi korban atas kekejaman penguasa tiran, dan usaha-usaha perlindungan dan pertolongan konkret bagi mereka yang dianiaya, Gereja bersikap sebagai tanda dan sakramen kehadiran Allah di dunia ini.

Demikianlah bahwa pengalaman Gereja berhadapan dengan fasisme dan nazisme menunjukkan realisasi nyata Gereja yang hidup dalam dunia. Sikap Gereja menujukkan betapa besar perhatian Gereja pada dunia. Gereja menyatakan dirinya sebagai sakramen Allah; Gereja menjadi tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Pada saat yang bersamaan, Gereja juga merupakan ibu yang begitu mencintai dunia, sebagaimana ibu yang mencintai semua anaknya, tanpa pilih kasih. Kesadaran Gereja sebagai ibu mengantarkan Gereja untuk tak henti-hentinya menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian sebagai hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam kebijakan politik negara-negara. Dalam konteks fasisme dan nazisme, seruan Gereja sebagai ibu tertuju bagi negara Italia dan Jerman agar kedua negara tersebut dapat mewujud-nyatakan pesan kasih Allah yang nyata dalam perjuangan keadilan dan perdamaian.

Pada akhirnya, dalam paper ini, penulis merefleksikan bahwa Gereja tak henti-hentinya menyerukan sabda Allah dan mewartakan Injil sebagai kabar baik yang mengantar seluruh umat manusia pada persaudaraan semua umat manusia dalam cinta kasih (GS 3). Beragam cara diusahakan, yaitu usaha politis, oleh Gereja agar persaudaraan semua umat beriman dan perdamaian di seluruh dunia dapat terjalin erat dalam semangat cinta kasih. Pada saat itulah, pesan Yesus Kristus kepada para murid dalam Injil Markus menjadi semakin nyata dan hidup: “pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk” (bdk. Mrk.16:15).

* * *

Sumber Buku

Adriány, G. et.al., ”The Church in the Modern Age”, dalam H. Jedin—J. Dolan eds., History of the Church. Jilid X, Burns & Oates: London. 1981.

Cornwell, John, Hitler’s Pope: Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler, Beranda:

Yogyakarta, 2008.

Hardawiryana, R., (terj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Dokumentasi dan

Penerangan KWI dan Obor, 1993.

Jodock, Darrel (ed.), Catholicism Contending with Modernity: Roman Catholic Modernism and Anti-Modernism in Historical Context, Cambridge University Press: Cambridge, 2000.

Kristiyanto, Eddy, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Kanisius: Yogyakarta, 2003.

McLaughlin, Terence P, The Church and the Reconstruction of the Modern World: The Social Encyclicals of Pope Pius XI, Image Books: Garden City, N.Y., 1957.

Moltman, Jürgen, God for A Secular Society: The Public Relevance of Theology,

Minneapolis:Fortress Press, 1999.

Purell, Hugh, Fasisme, Insist Press: Yogyakarta, 2000.

Rausch, Thomas P., Katolisisme: Teologi bagi Kaum Awam, Kanisius: Yogyakarta, 2001.

Sumber Internet

Encyclopedia Britannia, “Benito Mussolini”, dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/399484/Benito-Mussolini (diunduh tanggal 26 April 2011).

Pius XI, Mit Brennender Sorge, dalam http://www.vatican.va/holy_father/pius_xi/encyclicals/documents/hf_p-xi_enc_14031937_mit-brennender-sorge_en.html (diunduh tanggal 26 April 2011).

Stanley G. Payne, “Italian Facism”, dalam http://specialcollections.library.wisc. edu/exhibits/Fascism/Intro.html (diunduh tanggal 26 April 2011).

“Concordat between The Holy See and The German Reich”, dalam http://www.newadvent.org/library/docs_ss33co.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

“Hitler Becomes Dictator”, dalam http://www.historyplace.com/worldwar2/riseofhitler/dictator.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

“The Rise of Totalitarianism”, dalam http://www.fresno.k12.ca.us/divdept/sscience/history/totalitarianism.htm, (diunduh tanggal 26 April 2011).

Tidak ada komentar: