Judul di atas merupakan titik pergulatan Hardawiryana ketika ia menggeluti persoalan bidang pewartaan di Gereja Indonesia. Menurutnya, ada persoalan yang mendasar yang perlu dicermati dan diperdalam lebih lanjut ketika Gereja di Indonesia hendak secara lebih sungguh-sungguh melaksanakan bidang pewartaan di Indonesia. Dalam tulisannya berjudul Mengikuti Kristus Mewartakan Kerajaan Allah, Hardawiryana menyebutkan ada dua persoalan yang mesti diperdalam dan diperjelas, yaitu mewartakan Kristus atau mewartakan Kerajaan Allah. Oleh karena itu, dalam makalah pendek ini, pertama-tama saya terlebih dahulu ingin menyajikan persoalan yang ia ajukan; kedua tentang tanggapan teologisnya atas pokok persoalan; ketiga kritik atas metode berteologinya dilihat dalam perspektif Paus Benediktus XVI; keempat, pandangan saya sendiri tentang metode teologi dalam pewartaan yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia.
Mewartakan Kristus atau Kerajaan Allah?
Di sini ia menyajikan dua sumber yang nampaknya kurang sepaham mengenai persoalan pewartaan di Asia. Mereka adalah pandangan tentang evangelisasi di Asia dari Federation Asian Bishop Conference (FABC) dan Ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Redemptoris Missio”(RM). Menurut Hardawiryana, pola pikir teologis di Asia dalam dua dasa warsa terakhir cenderung bertitik tolak pada teologi yang berpusat pada Kerajaan Allah. Hal ini timbul sebagai akibat dari perjumpaan antarumat beragama dalam dialog-dialog yang diselenggarakan yang memunculkan pengalaman-pengalaman positif dari masing-masing agama. Tujuan dialog tersebut antara lain adalah agar masing-masing mitra dialog bertumbuh dalam kesempurnaan sehingga dapat membuahkan perkembangan positif dalam penghayatan tradisi keagamaan masing-masing. Inilah yang dimaksudkan oleh FABC dengan pertobatan. Oleh karena itu kerangka teologi yang pada awalnya bersifat eklesiosentris, yaitu berpusat pada Gereja, kemudian beralih pada Kerajaan Allah. Jadi, dialog antarumat beragama terarah pada Kerajaan Allah dan pengabdian kepada masyarakat. Akibatnya, disinyalir bahwa pewartaan Injil tenggelam akibat tekanan yang ditaruh pada inkulturasi, dialog, dan pembebasan.
Dalam Ensiklik RM 17, Paus Yohanes Paulus II merasa keberatan atas teologi yang berpusat pada Kerajaan Allah, yaitu sifat teosentris yang “mendiamkan Kristus”, yang lebih menekankan pada misteri penciptaan dengan mendiamkan misteri penebusan, hanya “menyisakan sedikit tempat saja bagi Gereja” atau kurang menghargai Gereja. Menurutnya, Kerajaan Allah tidak dapat dilepaskan dari Kristus maupun Gereja-Nya. Gereja “secara takterlepaskan bersatu dengan keduanya.” Bagi Yohanes Paulus II, Kristus tetap harus diwartakan karena Ia memiliki sifat mutlak dan universal. Hanya melalui perantaraan-Nyalah segala bentuk partisipatif pengantaraan dari pelbagai agama mendapat makna dan nilainya. Dengan demikian, Gereja tetap perlu keselamatan dan kegiatan misioner “Ad Gentes” harus tetap dipertahankan karena keselamatan datang dari Kristus; dengan demikian, dialog tidak mengurangi perlunya pewartaan Injil. Pewartaan Injil ini harus membuahkan pertobatan, dalam arti berhubungan dengan babtis, agar orang menerima kepenuhan hidup baru dalam Kristus. Oleh karena itu, perintah misioner untuk memanggil orang bertobat dan menerima babtis perlu digalakkan lagi. Hal ini untuk menandingi trend teologi yang cenderung hanya mementingkan dialog antarumat beragama.
Mengikuti Kristus Mewartakan Kerajaan Allah
Dari dua pandangan di atas, Hardawiryana mencoba membuat pandangan teologisnya sendiri sebagai tanggapan atas dua persoalan pokok di atas berdasar pada dua dasar teologisnya. Ia mengajukan dasar teologis pertamanya dengan menyatakan bahwa kehadiran Yesus di dunia adalah untuk mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu ada pada sabda, karya, dan kehadiran-Nya. Mukjizat-mukjizat yang dibuatnya adalah sebagai tanda Kerajaan Allah telah hadir di tengah-tengah manusia dalam diri Yesus Kristus. Bisa dikatakan, Yesus Kristus adalah Kerajaan Allah itu sendiri. Oleh karena itu, setiap orang harus mengambil keputusan untuk bertobat demi memenuhi tuntutan-tuntutan Kerajaan Allah dalam diri Yesus. Singkatnya, untuk mencapai Kerajaan Allah, orang harus beriman akan Yesus.
Dasar teologisnya yang kedua adalah dari Lumen Gentium 5 yang menyatakan bahwa sesudah Yesus bangkit, Ia mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati para murid-Nya. Oleh karena itu, Gereja menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua bangsa. Dengan demikian, Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan.
Dari dua dasar teologis ini barulah ia mengajukan pandangannya sendiri perihal model pewartaan yang tepat di kawasan Asia. Pertama-tama ia membuat refleksi teologis tentang pewartaan menuju kepenuhan Kerajaan Allah. Di sini ia mengatakan bahwa adanya bermacam-macam agama yang memiliki peran positif dalam mengusahakan hal-hal yang baik bagi masyarakat tidak terletak di luar rencana keselamatan Allah yang mencakup segenap umat manusia. Sementara itu Gereja tetap melangsungkan misteri Yesus Kristus di dunia sebagai lambang dan realisasi benih Kerajaan Allah dengan melangsungkan karya penebusan Kristus terhadap seluruh bangsa dengan sifat “sekular”-nya, khususnya di Asia. Karya penebusan Kristus itu dilaksanakan, dengan bekerja sama dengan umat beragama lain, untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, perdamaian, kekerabatan, dan cinta kasih yang merupakan nilai-nilai Kerajaan Allah serta menciptakan kesejahteraan yang merupakan realisasi awal Kerajaan Allah itu.
Kedua, pewartaan melalui Yesus Kristus Putera Tunggal. Di sini ia sekali lagi nampak mengulang apa yang sudah dirumuskan FABC V, yaitu bahwa proklamasi Yesus Kristus merupakan pusat dan unsur primer evangelisasi. Tanpa itu semua unsur lainnya akan kehilangan kohesi dan dasar kekuatannya. Oleh karena itu, tugas primer Gereja adalah pewartaan Injil Yesus Kristus. Namun, Gereja tetap harus mengedepankan sifat unik dan universal misteri perantaraan Yesus Kristus yang tunggal dengan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Jika Gereja hanya mengkhususkan misteri Kristus itu pada dirinya, justru ia mengabaikan sifat universal misteri Yesus Kristus itu. Padahal Gereja dipanggil untuk melayani misteri itu, bukan untuk memonopolinya.
Ketiga, tentang bagaimana memproklamasikan Yesus melalui, salah satunya, dialog antarumat beragama untuk menuju pada pertobatan. Di sini, Hardawiryana menekankan perlunya Gereja mengindahkan rencana Keselamatan Allah yang melibatkan semua bangsa dan karya Roh Tuhan dalam agama-agama lain. Dari penekanan ini, ia berlanjut pada bagaimana memproklamirkan Yesus Kristus kepada bangsa-bangsa melalui, salah satunya, jalan dialog antarumat beragama. Menurutnya, proklamasi tentang Yesus Kristus dan Injil-Nya secara langsung mengungkapkan kesadaran Gereja akan perutusan yang diterimanya dari Allah, dan merupakan pernyataan serta kesaksian akan karya Allah dalam Gereja sendiri. Dialog di sini dilaksanakan sebagai kesaksian akan Kristus dan ditandai sikap terbuka bagi misteri kegiatan Allah dalam diri para penganut agama-agama lain. Oleh karena itu, fokus utama dialog adalah bukan lagi pada Gereja, melainkan pada Allah, terarah pada Kerajaan-Nya, dan mengabdi kepada masyarakat. Dialog yang dijalankan tersebut merupakan bentuk komunikasi iman untuk mencari “cara” atau “corak dasar” evangelisasi, bahkan “bentuk ideal evengelisasi”. Selain itu, dialog yang dijalankan juga harus menuju pada pertobatan hati dan perubahan peri hidup yang terarah pada Allah, sementara orang tetap berpegang pada keyakinan keagamaannya sendiri. Dengan demikian, Gereja Asia yang merupakan kawanan kecil di tengah lautan para penganut agama-agama dan kepercayaan lain perlu mencari paradigma teologi yang baru yang berakar pada pengalaman-pengalaman konkret dan sekaligus sesuai dengan “visi kosmis” yang sudah mendarahdaging dalam kebudayaan masyarakat ketimuran.
Kritik atas Metode Berteologi Robert Hardawiryana, SJ
dalam Perspektif Paus Benediktus XVI
Dari ulasan tentang cara Hardawiryana berteologi, saya melihat bahwa bagaimanapun juga ia tetap mendasarkan pandangan teologisnya pada konteks dan locus teologi, yaitu kenyataan yang ada di Asia: pluralitas keagamaan! Dengan kata lain, ia mengusung teologi yang berbasiskan pengalaman konkret perjumpaan dengan pluralitas keagamaan di Asia. Dari konteks tersebut, barulah ia berupaya membangun teologinya dari perspektif Asia. Oleh karena itu, tekanannya adalah tetap pada pewartaan Kerajaan Allah sebagaimana Yesus selama di dunia mewartakan Kerajaan Allah melalui kesaksian iman akan Yesus Kristus. Di sini, dialog menjadi salah satu jalan pewartaan Kerajaan Allah.
Dengan demikian, teologi yang nampak dalam tulisan Hardawiryana adalah teologi dari bawah, yaitu teologi yang berangkat dari pengalaman konkret perjumpaan dengan umat beragama lain, masuk ke dalam perumusan metode yang paling tepat dan strategis dalam mengemban perutusan pewartaan Gereja dalam konteks Asia, kemudian diangkat ke ranah teologis (ascending teology). Dengan kata lain, teologi yang dipakai Hardawiryana adalah teologi kontekstual, yaitu teologi yang berbasis pada konteks di mana teologi itu berpijak.
Lalu, seandainya Paus Benediktus XVI membaca tulisan Hardawiryana ini, kira-kira apa yang akan ia sampaikan perihal cara berteologi Hardawiryana ini? Nampaknya ia akan sependapat dengan Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik RM bahwa tekanan berlebihan pewartaan terhadap Kerajaan Allah akan mengurangi peran Yesus Kristus dalam sejarah keselamatan manusia. Memang Hardawiryana tetap menempatkan Yesus Kristus sebagai unsur penting dan esensial bagi evangelisasi. Namun, tekanan Hardawiryana adalah lebih pada sifat unik dan universal misteri perantaraan Yesus Kristus yang tunggal dengan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Konsekuensinya, Gereja dipanggil untuk melayani misteri itu, bukan untuk memonopolinya. Bagi Benediktus XVI, hal ini problematis karena aspek Kristologis dan ekklesiologis tidak lagi menjadi tekanan utama dalam teologi Hardawiryana. Tekanan Hardawiryana pada nilai-nilai Injili, seperti keadilan, perdamaian, kekerabatan, dan cinta kasih yang penting untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia bagi Benediktus XVI hanya akan mereduksi kebenaran Injili menjadi nilai. Kebenaran injil, bagi Benediktus XVI hanyalah akan menjadi imperatif moral saja. Dengan demikian, pewartaan iman akan Kristus hanya akan menjadi pewartaan nilai belaka. Di sini, Injil, bagi Benediktus XVI, adalah suatu penampang yang memurnikan dan yang mendatangkan pertumbuhan dan keselamatan.
Mengenai tekanan teologi Hardawiryana pada kenyataan bahwa Roh Kudus pun bekerja di dalam segala, khususnya dalam penganut agama-agama lain sehingga mereka memunculkan sisi positif yang tidak hanya berguna bagi perkembangan kerohanian keimanan agama mereka, namun juga bagi kepentingan masyarakat, Benediktus tidak menyangkal kenyataan ini bahwa ada yang suci dan benar dalam agama-agama itu. Namun, karena posisi Benediktus yang menyatakan bahwa hanya Kristuslah satu-satunya penyelamat umat manusia yang benar dan final, tempat agama-agama tersebut berada pada tempat “persiapan” akan kekristenan sehingga mereka dipandang positif sejauh berada dalam jalan “menuju” pada keselamatan dalam Kristus. Dengan demikian, dialog sejati hanya akan berjalan dengan baik apabila mencari kebenaran yang lebih dalam dan mendasar tanpa mengeliminir kebenaran yang sejati. Ketakutan Benediktus XVI dalam dialog di Asia adalah apabila dalam dialog tersebut Yesus Kristus disamakan dengan tokoh-tokoh agama-agama lain. Hal ini bagi Benediktus adalah termasuk dalam relativisme agama, apalagi tekanan teologi Hardawiryana adalah Kerajaan Allah. Demikianlah, Benediktus XVI tetap akan menekankan aspek Kristologis dan ekklesientris dalam melakukan pewartaan di Asia; dan dialog hanya bisa dilakukan sejauh tidak mengorbankan kebenaran, melainkan membangun hidup manusia menjadi semakin manusiawi.
Metode Berteologi dalam Pewartaan yang Sesuai dan Dibutuhkan di Indonesia
Setelah belajar dari metode berteologi Hardawiryana dan Benediktus XVI, khususnya tentang teologi apa yang sebaiknya diterapkan di Asia, saya akan mencoba mengusulkan metode berteologi apa yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia. Pertama-tama saya akan melihat dulu situasi Indonesia terlebih dahulu. Seperti kita tahu bahwa jumlah anggota Gereja Katolik di Indonesia hanyalah sebesar 3% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia yang mayoritas merupakan umat Muslim. Selain itu, Indonesia juga sangat kaya akan keberagaman budaya dan tradisi yang ikut mewarnai cara jemaat menggereja dan cara berpastoral pula. Situasi keterbukaan dan transparansi di Indonesia pascareformasi di mana kebebasan berpendapat dan beragama dijamin menjadi ruang yang kondusif bagi perkembangan Gereja di masa kini. Situasi-situasi tersebut layak menjadi pertimbangan kita tentang metode berteologi seperti apa yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia.
Menurut saya, metode berteologi yang sesuai dan saat ini dibutuhkan di Indonesia adalah metode berteologi yang berbasiskan pada konteks di mana teologi itu berpijak. Tentu saja, inti pewartaan, menurut saya, adalah tetap Yesus Kristus sebagai Juruselamat umat manusia karena untuk itulah Gereja dipanggil. Di dalam Yesus Kristus inilah Kerajaan Allah dan Injil hadir. Namun, persoalannya adalah bagaimana pewartaan ini tetap bisa dijalankan di Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan memiliki budaya yang sangat beragam. Salah satu cara adalah dengan kesaksian. Kesaksian hidup sehari-hari yang bernafaskan iman akan Yesus Kristus ini menjadi kunci dalam melaksanakan pewartaan Kristus dan Kerajaan Allah. Sebagaimana Yesus Kristus telah lebih dahulu menghidupi warta gembira Kerajaan Allah dan Injil-Nya, bahkan dikatakan wujud Kerajaan Allah adalah ada dalam diri Yesus Kristus, kita pun seharusnya menghayati isi iman akan Yesus Kristus dalam hidup sehari-hari khususnya dalam perjumpaan dengan penganut agama lain (baca: Islam) sehingga warta gembira Kerajaan Allah terpancar, menjadi terang bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam dialog-dialog yang diselenggarakan sebaiknya berisi tentang pengenalan satu sama lain tentang iman yang dihayati tanpa mengurangi kebenaran yang ada dalam ajaran iman masing-masing agama. Selain itu, bersama-sama mengupayakan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari iman yang dihayati masing-masing mitra dialog itu.
Kesaksian iman akan Kristus itu dalam bentuk yang lebih konkret, yaitu pelayanan kasih terhadap sesama dan masyarakat untuk menghadirkan Kerajaan Allah, menurut saya, merupakan metode berteologi yang paling sesuai dan dibutuhkan di Indonesia. Keterlibatan aktif jemaat Gereja Katolik dalam keprihatinan dan kegiatan kemasyarakatan dalam pelbagai bidang di masyarakat menjadi sarana dan wadah pewartaan Kristus yang efektif sehingga Gereja, meskipun merupakan berupa kawanan kecil, menjadi terang dan garam bagi masyarakat di sekitarnya.
Sumber Referensi
Hardawiryana, R, 2000, Mengikuti Kristus-Mewartakan Kerajaan Allah: Beberapa Pokok yang Relevan bagi Katakese Masa Kini di Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.
Krispurwana Cahyadi, SJ, 2010, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar