Vico SJ
Bagi Tertulianus, Gereja rasuli sejati adalah Gereja yang memenuhi dua pokok dasar, yaitu Gereja yang memiliki kesinambungan pergantian rasuli dari para Rasul atau orang terdekat yang ditunjuk oleh para Rasul sendiri dan kesinambungan kesatuan ajaran iman atau doktrin dengan ajaran para Rasul sendiri.
Pada masa Tertulianus (160-220 M) Gereja berhadapan dengan kaum bidaah, yaitu kaum Gnostik[1] yang mengklaim diri bahwa ajaran-ajaran mereka pun mendapat inspirasi atau pewahyuan khusus dari Roh Kudus. Mereka menggunakan beberapa buku yang sekarang menjadi Perjanjian Baru dengan menerapkan gaya mereka sendiri dan beberapa buku lain yang telah ditolak oleh Gereja. Memang diakui bahwa ada banyak unsur-unsur asli kekristenan dan penafsiran-penafsiran kontemporer tentang pewahyuan dalam ajaran-ajaran mereka. Namun, bagi Uskup ajaran-ajaran mereka ini bisa membahayakan iman umat sederhana.
Pertanyaan yang cukup menggelisahkan dan sangat krusial saat itu adalah pertanyaan dari kaum bidaah, yaitu apa itu Kristianitas asli atau sejati? Atau apa itu Gereja yang sejati? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu menentukan sumber iman yang memiliki otoritas yang bermanfaat untuk menunjukkan di mana Kristianitas yang sejati ditemukan dalam dunia kontemporer. Petunjuk jawaban adalah satu kata, yaitu apostolis.
Wahyu yang tersembunyi telah diberikan sekali untuk selamanya dalam Kristus historis melalui peristiwa-peristiwa historis yang telah dinubuatkan dan disiapkan dalam Perjanjian Lama. Wahyu tersebut telah dikomunikasikan sebagai sebagai sebuah corpus of the teaching, pokok ajaran, yaitu “iman” oleh Kristus kepada para Rasul, dan oleh para Rasul kepada Gereja-gereja yang mereka dirikan.
Komunikasi ini mengambil tiga jalan. Pertama, dalam tulisan-tulisan para Rasul sendiri atau orang yang dekat dengan mereka. Dua, dalam esensi kotbah misioner rasuli, yaitu Kerygma yang tak boleh dilupakan karena tetap esensial bagi penginjilan. Demikian pula, Gereja-gereja lokal selalu menyadari akan sebuah Kaidah Iman atau Kaidah Kebenaran rasuli, yaitu Kredo. Meski singkat, kesetiaan pada Kaidah ini memberi dasar Kristianitas pertama. Keluar dari Kaidah ini adalah sebuah tanda bahaya. Kaidah ini juga memberikan garis-garis penuntun eksegese biblis. Ketiga, wahyu yang asli ini telah dijaga oleh para pelayan, khususnya para Uskup yang memiliki tanggung jawab untuk mengajar secara teratur, memiliki otoritas, kegiatan pelayanannya disetuju di Gereja-gereja yang telah didirikan sendiri oleh para Rasul sebagai penerus para Rasul. Para Uskup ini merupakan para saksi iman sebagai sarana-sarana penolong ilahi dari kontinyuitas ini.
Argumen tentang Kristianitas yang asli pun dibangun secara bertahap. Di abad kedua masehi, Ignatius yang telah menyadari kesesatan-kesesatan kaum Gnostik dan bahaya skisma, menekankan pentingnya peran Uskup sebagai penjamin iman dan keberlangsungan ajaran-ajaran iman rasuli. Berikutnya, Hegesippus melihat pentingnya pergantian episkopos sebagai saksi pada keberlangsungan sejarah dan melaporkan bahwa Gereja-gereja yang memiliki daftar panjang para Uskup memiliki ajaran yang sama. Kemudian, Irenaeus yang memiliki pemahaman teologis yang luas, yang juga merupakan pemikir unggul di balik Tertulianus, menekankan secara mendalam pemahaman tentang karakter historis penebusan dan tempat sentral bagi teologi St. Paulus.[2]
Dalam makalah pendek ini, saya akan mengulas pemikiran Tertulianus dalam bukunya berjudul Prescriptions Against Heretics, yaitu bagaimana ia sendiri menjawab pertanyaan kaum bidaah tersebut dan bagaimana pemikirannya memberi sumbangan yang berarti bagi Gereja di masa itu. Sebagai pengantar awal, melalui kejeniusan dan keberaniannya, Tertulianus telah menyatakan esensi dari “posisi katolik” dan sebuah cara singkat untuk melawan kaum bidaah, yaitu melalui prescriptio[3] yang ia bangun untuk melawan dan membungkam mereka. Di sinilah peranan Tertulianus di dalam membantu Gereja saat itu menentukan posisinya berhadapan dengan kaum para bidaah.
Teks
Dari buku Tertulianus berjudul Prescriptions Against Heretics , saya mengambil teks kunci untuk mendukung tesis saya, yaitu teks bab 32. Selanjutnya teks ini akan diperkaya dengan penjelasan dari teks-teks lain dalam buku ini yang berkaitan dengan tesis saya. Teks bab 32 adalah sebagai berikut:
“But if any heresies venture to plant themselves in the apostolic age, so that they may be thought to have been handed down by the apostles because they existed in their time, we can say, Let them exhibit the origins of their churches, let them unroll the list of their bishops, coming down from the beginning by succession in such a way that their first bishop had for his originator and predecessor one of the apostles or apostolic men; one, I mean, who continued with the apostles. For this is how the apostolic churches record their origins. The church of Smyrna, for example, reports that Polycarp was placed there by John, the church of Rome that Clement was ordained by Peter. In just the same way the other churches produced men who were appointed to the office of bishop by the apostles and so transmitted the apostolic seed to them.
Let the heretics invent something of the sort for themselves. Blasphemers already, they will have no scruples. But even if they do invent something, it will be useless to them. If their teaching is compared with the teaching of the apostles, the differences and contradictions between them will cry out that theirs is not the work of any apostle or apostolic man. For the apostles would not have differed from each other in their teaching and the apostolic men would not have contradicted the apostles. Or are we to believe that the men who learned from the apostles preached something different? Consequently they will be challenged according to this standard by those churches which, though they can produce no apostle or apostolic man as their direct founder, since they are much later foundations (churches are being founded every day), yet, because they agree in the same faith, are reckoned to be no less apostolic through their kinship in doctrine. So, when the heresies are challenged by our churches according to these two standards, let them one and all show how they regard themselves as apostolic. But they are not, and they cannot prove themselves to be what they are not. Nor can they be received into peace and communion by churches which are in any way apostolic when they are in no way apostolic on account of their disagreement in creed. “[4]
Penjelasan Teks
Dalam teks alinea pertama nampak bahwa Tertulianus berusaha menantang kaum bidaah untuk membuktikan sumber rasuli dalam ajaran-ajaran mereka dengan menunjukkan beberapa syarat tentang Gereja rasuli yang asli atau sejati. Syarat-syarat tersebut antara lain, pertama bahwa mereka harus ditunjuk oleh para Rasul sendiri sebagai penerus mereka karena mereka berada pada zaman para rasul: “to have been handed down by the apostles because they existed in their time”. Kedua, mereka harus memperlihatkan keaslian dari gereja-gereja mereka: “Let them exhibit the origins of their churches”. Ketiga, mereka harus mampu menunjukkan daftar uskup-uskup mereka yang berasal dari permulaan dengan suksesi di mana Uskup pertama mereka memiliki seorang pendahulu yang merupakan salah satu dari para Rasul atau orang yang dekat dengan para Rasul yang melanjutkan kepemimpinan mereka: “unroll the list of their bishops, coming down from the beginning by succession in such a way that their first bishop had for his originator and predecessor one of the apostles or apostolic men; one, I mean, who continued with the apostles”. Bahkan ia memberi beberapa contoh mengenai hal ini, yaitu Gereja Smyrna yang melaporkan bahwa Policarpus di tempatkan di sana oleh Yohanes, Klemen ditahbiskan oleh Petrus di Gereja Roma. Singkatnya, Tertulianus menunjukkan bahwa Gereja rasuli yang asli atau sejati memiliki orang-orang yang ditunjuk sebagai Uskup secara langsung oleh para Rasul dan dengan demikian merambatkan benih rasuli kepada mereka: “In just the same way the other churches produced men who were appointed to the office of bishop by the apostles and so transmitted the apostolic seed to them.” Dengan kata lain, Gereja rasuli yang sejati harus memiliki kontinyuitas rasuli dengan para Rasul melalui penerusan atau pergantian rasuli.
Alasan mengapa Gereja rasuli yang sejati harus memiliki kontinyuitas rasuli dengan para Rasul adalah, menurut Tertulianus, bahwa Kristus telah menyatakan apa yang Dia katakan, apa yang telah Dia lakukan, bagaimana Dia menggenapi kehendak Bapa-Nya, apa yang telah Dia letakkan sebagai tugas manusia kepada orang-orang atau secara pribadi kepada para murid yang dua belas yang secara khusus sangat dekat dengan-Nya dan yang mengarahkan mereka menjadi guru para bangsa. Para Rasul ini bersaksi tentang iman mereka kepada Yesus dan mendirikan gereja-gereja di setiap kota. Dengan demikian, gereja-gereja ini identik dengan Gereja rasuli perdana dari mana mereka semua berasal. Keidentikan dan kesatuannya terletak dalam persekutuan di antara mereka, persekutuan yang dibentuk atas dasar persaudaraan dan janji untuk saling melayani, dan dijiwai oleh prinsip dari tradisi tunggal yang sama, yaitu Kredo. Hal ini bisa kita lihat dalam teks:
“Our Lord Jesus Christ, ….. himself declared, while he lived on earth, what he was, what he had been, how he was fulfilling his Father's will, what he was laying down as man's duty.He declared all this either openly to the people or privately to the disciples, twelve of whom he had specially attached to his person and destined to be the teachers of the nations.… the apostles (whose name means "sent") …. bearing witness to their faith in Jesus Christ and founding churches, and then out into the world, proclaiming the same doctrine of the same faith to the nations. Again they set up churches in every city, … These churches, then, numerous as they are, are identical with that one primitive apostolic Church from which they all come. All are primitive and all apostolic. Their common unity is proved by fellowship in communion, by the name of brother and the mutual pledge of hospitality—rights which are governed by no other principle than the single tradition of a common creed” (bab 20)[5]
Singkatnya, Gereja mendapat tugas penerusan kepemimpinan dari para Rasul, para Rasul dari Kristus, dan Kristus dari Allah: “the Church has handed down from the Apostles, the Apostles from Christ, and Christ from God ” (bab 37).[6]
Kemudian, dalam alinea kedua nampak bahwa Tertullanus menekankan pentingnya kesatuan ajaran di antara para Rasul sendiri dan antara orang yang dekat dengan para Rasul dengan para Rasul: “the apostles would not have differed from each other in their teaching and the apostolic men would not have contradicted the apostles.” Bagi Tertulianus adalah tidak mungkin bila seorang yang dekat yang belajar pada para Rasul menyampaikan ajaran yang berbeda dari ajaran para Rasul. Jika memang demikian, mereka akan diuji menurut pokok dasar ini oleh Gereja-gereja yang dihitung tidak memiliki kekurangan rasuli dalam ajaran mereka. Jadi, nampak bahwa Tertulianus menekankan kesatuan ajaran tentang iman yang sama di antara para Uskup dan penerusnya dalam Gereja rasuli yang sejati.
Kesatuan ajaran iman di antara para Rasul dan antara orang yang dekat dengan para Rasul ditekankan oleh Tertulianus karena Kristus sendirilah yang telah meletakkan satu sistem kebenaran yang definitif: “Christ laid down one definitve system of truth” (bab 9).[7] dan yang telah menyatakannya kepada mereka untuk diwartakan kepada segala bangsa. Kebenaran iman ini harus diwartakan oleh para Rasul yang ditunjuk sendiri oleh Kristus, dan bukan kepada yang lain: “If the Lord Christ Jesus sent the apostles to preach, non should be received as preachers except in accordance with Christ’s institution” (bab 21)[8] Inilah prescriptio pertama Tertulianus. Selanjutnya, Tertulianus mengajukan prescriptio kedua, yaitu bahwa para Rasul diutus Kristus untuk mewartakan kebenaran yang mereka terima dari Kristus sendiri, dan isi pewartaan mereka harus dibuktikan hanya melalui Gereja-gereja yang mereka dirikan sendiri. Dengan demikian semua ajaran atau doktrin harus ditolak bila berlawanan dengan kebenaran dari gereja-gereja dan para Rasul Kristus dan Allah: “And I shall prescribe now that what they preached (that is, what Christ revealed to them) should be proved only through the identical churches which the apostles themselves established …. that all doctrine which smacks of anything contrary to the truth of the churches and apostles of Christ and God must be condemned out of hand as originating in falsehood” (bab 21).[9]
Jadi, Gereja rasuli sejati yang Tertulianus maksudkan adalah gereja-gereja yang memiliki kesinambungan pergantian rasuli dari para Rasul atau orang dekat yang ditunjuk para Rasul sendiri dan kesinambungan ajaran iman atau doktrin dari ajaran para Rasul sendiri yang mereka terima dari Kristus sendiri dan Kristus dari Allah.
Dengan demikian, Tertulianus sangat yakin bahwa kaum bidaah tidak akan mampu pertama, memenuhi dua pokok dasar, yaitu pergantian rasuli (apostolic succession) dan doktrin rasuli (apostolic doctrine), yang diajukannya untuk membuktikan bahwa gereja mereka atau ajaran mereka memiliki kesinambungan rasuli dengan ajaran dan gereja para Rasul. Kedua, mereka juga tidak dapat diterima ke dalam persatuan yang damai dengan Gereja-gereja rasuli karena mereka tidak mau menerima Kredo rasuli dan telah memanipulasi Kitab Suci dengan menggabungkan beberapa kutipan Kitab Suci dan menafsirkannya untuk mendukung argumen mereka.[10] Oleh karena itu, betapa pun gigih usaha mereka untuk mencari temuan-temuan agar diterima dalam persatuan Gereja-gereja, usaha mereka, menurut Tertulianus, tetaplah sia-sia karena dua alasan di atas: “But even if they do invent something, it will be useless for them.”
Relevansi Teks Tertulianus untuk Masa Kini
Teks Tertulianus adalah sebuah teks yang disusun untuk membungkam kaum Gnostik yang ajaran-ajarannya bisa membahayakan iman orang-orang Kristiani, khususnya bagi mereka yang imannya lemah atau yang mudah goyah oleh hal-hal yang baru dan sensasional melalui metode prescriptio. Pertanyaan tentang apakah Kristen sejati itu dan apakah Gereja sejati menjadi pertanyaan yang mendasar dan penting bagi Gereja saat itu untuk merumuskan identitasnya yang sejati. Di sinilah Tertulianus berperan dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut dan merumuskan identitas Gereja orang-orang Kristiani. Gereja sejati menurut Tertulianus adalah gereja yang berakar dalam ajaran iman para rasul dan merupakan kelanjutan rasuli dari para Rasul sendiri.
Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik kita saat ini? Apakah Gereja Katolik sudah sesuai dengan apa yang dimaksud Tertulianus? Kesatuan rasuli baik dalam ajaran iman para Rasul maupun suksesi kepemimpinan dari para Rasul sampai saat ini masih merupakan salah satu dari empat sifat khas Gereja Katolik, yaitu Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik. Kredo atau Aku Percaya hingga kini tetap diucapkan oleh Gereja Katolik masa kini, khususnya dalam Ekaristi. Demikian pula suksesi kepemimpinan dalam Gereja Katolik, yaitu suksesi Paus dan para uskup juga masih menjadi tradisi yang penting dalam Gereja Katolik. Dengan demikian, nampak bahwa apa yang diterima Kristus dari Allah Bapa, diteruskan kepada para Rasul, dan dari para Rasul diteruskan kepada Gereja yang didirikan para vasul, dan dari Gereja itu kepada Gereja masa kini. Demikian nampak pula bahwa Gereja Katolik masih berada dalam jalur kebenaran itu, yaitu berada dalam kesinambungan rasuli dengan para vasul. Hal ini sesuai dengan perkataan Tertulianus yang mengatakan bahwa kita berada dalam persekutuan dengan Gereja-gereja rasuli karena doktrin kita, yaitu Kaidah Iman, sungguh berakar dalam tradisi para Rasul. Dan inilah bukti kebenaran itu[11].
Dimensi rasuli menurut pemikiran Tertulianus dalam Gereja Katolik tersebut dapat pula kita telusuri dalam Konsili Vatikan II, khususnya dalam dokumen Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium), bab satu tentang misteri Gereja, nomor delapan tentang Gereja yang kelihatan sekaligus rohani, alinea kedua. Di situ dikatakan bahwa sesudah Kristus bangkit, Ia menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Kristus memercayakan Gereja itu kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluas dan dibimbing dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran. Lebih lanjut dikatakan pula secara eksplisit bahwa Gereja itu berada dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.[12] Di sini nampak bahwa Gereja yang dimaksudkan Kristus untuk diperluas, dibimbing, didirikan untuk selama-lamanya oleh Petrus dan para Rasul lainnya berada dalam Gereja Katolik.
Lebih lanjut lagi, dalam Lumen Gentium bab III tentang Susunan Hirarkis Gereja, khususnya Episkopat, nomor 20 tentang para Uskup pengganti para Rasul juga menyebutkan bahwa perutusan ilahi yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul itu akan berlangsung sampai akhir zaman. Oleh karena itu, para Rasul telah berusaha mengangkat para pengganti mereka, yaitu para pembantu yang terdekat, apabila mereka meninggal untuk menyempurnakan dan meneguhkan karya yang telah mereka mulai. Para Rasul sendiri telah memerintahkan mereka supaya apabila mereka meninggal, orang-orang lain yang telah terbukti baik mengambil alih pelayanan mereka.[13] Selanjutnya dalam nomor 22 tentang kolegialitas dewan para Uskup, orang-orang yang menjadi penerus Petrus dan para Rasul ini, yaitu para Uskup dalam kesatuan dengan Uskup Roma, juga berada dalam kolegialitas yang sama seperti halnya kolegialitas Petrus dan para Rasul lainnya. Artinya, bahwa kolegialitas tersebut menunjukkan kesatuan ajaran iman, cinta kasih, dan damai, begitu pula ketika mereka hendak mengambil keputusan-keputusan bersama yang amat penting dalam konsili-konsili.[14]
Dengan demikian nyata bahwa jejak-jejak pemikiran Tertulianus, khususnya mengenai pemahamannya mengenai Gereja rasuli yang sejati yang berakar dalam ajaran iman dan keberlanjutan rasuli para Rasul terungkap pula dalam dokumen Konsili Vatikan II.
Daftar Acuan
Chadwick, Henry. 2001. The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great . Oxford: Oxford
University Press.
Greenslade DD, S. L. (ed.). 1956. Early Latin Theology: Selections from Tertullian, Cyprian, Ambrose, and Jerome.
Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press.
Hardawiryana S. J, R., (penterjemah). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor.
Quasten, Johannes. 1949. Patrology. Vol. II. Westminster: The Newmann.[1] Yang dimaksud adalah Marcion. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran kaum Gnostik. Ia melihat Allah Perjanjian Lama secara berbeda. Menurutnya, Allah Perjanjian Lama adalah Allah orang Yahudi yang menciptakan dunia yang tidak bahagia ini. Allah Perjanjian Lama dipandangnya sebagai seorang hakim yang keras yang menghukum setiap pelanggaran hukum Musa bahkan untuk perkara sepele. Hal ini berbeda dengan Allah Perjanjian Baru yang baik dan penuh belas kasih yang ada dalam diri Yesus. Paulus mengatakan bahwa kasih melampaui hukum, kebaikan melampaui keadilan yang kaku. Marcion menarik kesimpulan yang lebih drastis: Allah-Pencipta yang memberikan Hukum adalah lebih rendah dibandingkan Pencipta yang sungguh ilahi yang melampaui segalanya. Lihat Henry Chadwick, The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great (Oxford: Oxford University Press, 2001), hlm. 89.
[2] S. L. Greenslade DD (ed.), Early Latin Theology: Selections from Tertullian, Cyprian, Ambrose, and Jerome (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1956), hlm. 25 - 27.
[3] Prescriptio artinya sebuah keberatan yuridis di mana tertuduh atau terdakwa ingin memotong atau menghalang-halangi kewajaran atau kepatutan dalam bentuk di mana penuntut memasukinya atau menuntutnya. Prescriptio ini pada akhirnya menuju pada penolakan atas kasus yang diajukan oleh penuntut. Lihat Johannes Quasten, Patrology, Vol. II (Westminster: The Newmann, 1949), hlm. 270.
[4] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 52-53.
[5] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 43.
[6] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 58.
[7] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 37.
[8] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.
[9] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.
[10] “What it accepts, it perverts, … to suit its own teaching, … it keeps book unmaimed, it non the less alters them by inventing different interpretations from ours….They rely on passages which they have put together in a false context or fastened in because of their ambiguity “ (bab 17). Lihat Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 42.
[11] “It remains for me to show whether this doctrine of ours, the Rule of which I have set out above, does originate in the tradition of the apostles and whether, in consequence, the other doctrines come from falsehood. We are in communion with the apostolic churches. That is not true of any other doctrine. This is evidence of truth.” (bab 21). Lihat Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.
[12] R. Hardawiryana, S. J. (penterjemah), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 1993), hlm. 74-75.
[13] Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II , hlm. 92.
[14] Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II , hlm. 95-96.