Disarikan kembali oleh Vico Christiawan
Istilah inkulturasi oleh Phan merupakan istilah yang paling menantang bagi teologi Katolik dan secara khusus bagi liturgi. Menurutnya, istilah ini berarti sebuah proses ganda masuknya Injil ke dalam sebuah budaya tertentu dan masuknya budaya tertentu ini ke dalam Injil sehingga keduanya ditantang dan diperkaya satu sama lain. Baginya, inkulturasi pada umumnya dan inkulturasi liturgis pada khususnya merupakan sebuah proses yang sangat kompleks. Paus Yohanes Paulus II sendiri telah mengingatkan bahwa inkulturasi ini adalah sebuah perjalanan yang lambat. Namun, menurut Phan, perjalanan ini telah dibuat oleh konteks budaya kontemporer yang telah dijuluki ‘posmoderen’. Budaya ini secara langsung mempengaruhi sifat dan proses inkulturasi itu sendiri.
Dalam artikelnya, Phan membagi dalam tiga bagian. Pertama adalah gambaran singkat tentang posmoderen dan tantangannya bagi inkulturasi. Kedua adalah evaluasi terhadap Instruksi IV dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen tentang inkulturasi liturgis dalam terang tantangan postmoderen. Ketiga adalah usulan bagi inkulturasi dari persepektif sejarah misi di Asia dan teologi Asia.
1. Inkulturasi dalam Zaman Posmoderen
Fokus Phan dalam bagian ini adalah pemahaman posmoderen tentang budaya dan bagaimana pemahaman ini menantang proses inkulturasi liturgis. Menurutnya, postmoderen mengacu pada perubahan budaya dan sosial yang muncul sejak tahun 1930-an dan telah masuk dari Barat ke bagian-bagian lain dari dunia melalui proses globalisasi. Tiga atau empat puluh tahun kemudian, selama tahun 1960-an, gejala ini memiliki pengaruhnya untuk pertama kali dalam bidang arsitektur dan seni, kemudian ke bidang sastra, filsafat dan teologi, dan di tahun 1980-an menjadi sebuah karakter umum dari budaya pop (popular culture).
Phan menyebutkan beberapa ciri yang menandai budaya postmoderen itu. Pertama, arsitektur tidak lagi menekankan kesatuan organik dan fungsional praktisnya, melainkan merayakan ‘multiunsur’ dengan menggunakan macam-macam gaya, bentuk, teknik, dan bahan historis yang tidak cocok. Hal ini untuk menunjukkan kekurangan arsitektur modern yang telah melakukan dehumanisasi ke dalam keseragaman yang diusung oleh kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri. Kedua, seni posmoderen menolak integritas gaya dan ‘kemurnian’ modernitas, melainkan memeluk ‘multiunsur’ dan heterogenitas. Ketiga, teater postmoderen lebih menekankan keanekaragaman dan pluralism ketimbang mengikuti penyembahan pada seni klasik atau kekekalan duniawi (temporal permanence) dengan merayakan kefanaan (transience). Bentuknya adalah pertunjukan tanpa teks, segera, mengandalkan improvisasi, dan dengan demikian membuat setiap pertunjukan unik dan tak dapat terulang. Keempat, fiksi posmoderen menunjukkan kesulitan untuk mengatakan karakter yang asli dari kisah fiktif, penulis dari karya fiktif, suara penulis dari kisah fiksi. Di sini, fiksi posmo hendak mengaburkan pembagian garis antara kenyataan dan fiksi, antara temporalitas dan non-tempralitas, sehingga pembaca tidak lagi mampu memandang dunia dari sebuah privilese, dan mengamankan tempat dari kebenaran abadi. Kelima, televisi dapat menghadirkan dunia bagi penonton sebagai dunia yang sungguh nyata. Konsekuensinya, apa yang tidak dihadirkan di televisi bukanlah tampak nyata bagi mereka. Dengan menghadirkan serentetan berita, iklan, drama, televisi mengaburkan batasan antara yang benar dan khayalan, antara yang penting dan tidak penting. Demikian pula dengan komputer yang memiliki akses ke dunia maya secara tidak terbatas. Di sini terjadi perubahan dari kenyataan menjadi kenyataan virtual. Dengan demikian jelaslah bahwa kekuatan posmoderen adalah mengaburkan kenyataan dengan khayalan dan batasan antara objek dan subjek.
Mengutip Stanley Grenz, Phan menyebutkan empat karakter utama dari etos posmoderen, yaitu pesimisme, holisme, komunitarianisme, dan pluralisme relativistik. Disebut pesimistik karena posmoderen menekankan kerapuhan eksistensi manusia. Disebut holistik karena posmoderen merayakan emosi dan intuisi. Disebut komunitarian karena menekankan peran komunitas dalam menciptakan kebenaran. Disebut relativistik dan pluralistik karena ada banyak komunitas manusia yang berbeda dan karenanya ada banyak perbedaan kebenaran. Di sini nampak bahwa tidak ada satu dunia objektif yang tunggal. Dunia nyata bagi posmoderen adalah tidak lebih dari penciptaan perubahan sosial yang abadi. Pengetahuan di sini digantikan dengan penafsiran melalui bahasa umum yang dimiliki tiap komunitas. Oleh karenanya, dalam posmoderenisme tidak ada teori kebenaran, yang ada adalah sebuah pandangan majemuk tentang pengetahuan. Zaman narasi besar telah berakhir. Yang tersisa adalah narasi lokal yang dikonstruksikan dalam sebuah komunitas tertentu.
Pemahaman tersebut membawa pada pertanyaan bagaimana posmoderenisme memahami budaya. Dalam pandangan modernisme, budaya dipahami sebgai sebuah sistem kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma tingkah laku yang terintegrasi. Oleh posmoderen, pandangan ini dianggap berdasarkan asumsi yang tidak adil. Menurut kaum posmoderen, budaya sekarang ini dilihat sebagai sebuah dasar kontes dalam relasi dan sebagai sebuah realitas sosial yang secara historis berkembang, terpecah, tidak konsisten, konflik, dibangun, berubah selamanya, dan keropos. Dalam kontes ini, peran kekuasaan dalam membentuk identitas budaya amat penting. Perannya bahkan semakin luas karena dibentuk oleh kelompok-kelompok orang dengan kepentingan yang berbeda, dan pemenangnya dapat mendiktekan istilah budayanya kepada yang kalah. Situasi tersebut diperparah dengan proses globalisasi yang mengusung gagasan ideal modernitas dan rasio teknologi. Dalam globalisasi, batas geografis runtuh sehingga sebuah budaya yang diseragamkan diciptakan dan diperkuat dengan sebuah “budaya yang rakus’ yang berdasar pada konsumsi, khususnya barang-barang yang diekspor oleh Amerika, seperti pakaian, makanan, dan hiburan-hiburan. Di sini, antara budaya global dan lokal ada ruang sebuah perjuangan yang terus-menerus antara dominasi politis dan ekonomis dengan bertahan dan integritas. Oleh karena itu, budaya lokal membuat beberapa strategi untuk melawan pengaruh budaya global tersebut. Sayangnya, agama tidak memainkan sebuah peran kunci dalam bekerja sama dengan budaya lokal tersebut.
Kemudian, apa sebenarnya tantangan posmoderenisme terhadap inkulturasi. Di sini Phan memberikan beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, inkulturasi bukan lagi sebuah ‘inkarnasi yang abadi, tidak berubah, dan realitas akultural ke dalam budaya tertentu, melainkan sebuah perjumpaan antarbudaya atau dialog antara sekurang-kurangnya dua budaya. Kedua, dalam perjumpaan ini, kekuasaan menjadi penting, terutama saat perjumpaan itu berkaitan dengan wewenang Romawi dan gereja-gereja lokal. Bagaimana kekuasaan itu bermain dalam inkulturasi liturgis, terutama bila proses inkulturasi liturgis harus melestarikan ‘kesatuan hakiki’ ritus Romawi, yang merupakan sebuah budaya dunia. Ketiga, pertanyaan tentang kekuasaan atau wewenang itu muncul lagi saat memilih budaya mana yang bisa diinkulturasi. Bagaimana bila dalam suatu negara ada berbagai macam budaya yang terdiri dari unsur dominan dan tidak. Apakah ada jaminan bila budaya yang tidak dominan tetap mendapat tempat dalam inkulturasi liturgis (contoh Dalit dalam budaya Hindu). Keempat, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana tempat dan peran agama popular dalam inkulturasi liturgis? Apakah praktik devosionalnya dilihat secara timbal balik oleh agama resmi? Apakah agama popular dilihat sebagai “tradisi kecil” yang berlawanan dengan ‘tradisi besar’? Haruskah praktik-praktik agama popular diperkenalkan ke dalam peribadatan liturgis? Bagaimana mereka dievaluasi secara teologis? Kelima, dengan kematian narasi besar dalam masa posmoderen, apakah usaha mengaktifkan kembali narasi biblis besar dari tindakan Allah dalam sejarah, khususnya dalam Yesus Kristus, dalam usaha inkulturasi liturgis dapat bersaing dengan narasi besar agama lain? Keenam, bidang inkulturasi liturgis mencakup tidak hanya teks-teks suci dan upacara-upacara, melainkan juga musik, nyanyian, alat-alat musik, sikap, tarian, seni dan arsitektur budaya lokal. Jika perayaan liturgi adalah pertunjukan, sejauhmana komunitas dan pemimpinnya dapat mengalami improvisasi, perancang kelompok, dan partisipasi penonton, dan masih menjaga kesatuan iman dan ibadah? Ketujuh, inkulturasi liturgis tidak dapat dipisahkan dari teologi. Bagaimana kemudian inkulturasi liturgis itu dapat mempertemukan tantangan posmoderen dengan tema teologis seperti Allah, Kristus, dan Gereja?
2. Inkulturasi Liturgis menurut Varietates Legitimae (VL) dalam Konteks Posmoderen
Pada bagian ini, Phan bermaksud menguji sejauhmana Instruksi IV dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen tentang inkulturasi liturgis ini mengangan-angankan bidang dan proses inkulturasi liturgis, khususnya relevansinya bagi inkulturasi dalam konteks posmoderen.
VL, menurut Phan, dimaksudkan hanya untuk menjadi sebuah tuntunan yang memiliki wewenang pada ‘penerapan secara benar Konstitusi Liturgi Vatikan II no.37-40. Oleh karena itu, VL mengangankan bahwa karya inkulturasi bukanlah meramalkan penciptaan serangkaian ritus baru, melainkan menanggapi kebutuhan sebuah budaya tertentu dan membawa pada penyesuaian yang masih menjadi bagian dari ritus Roma (no.36). Di sini secara jelas, instruksi membedakan dua tipe penyesuaian liturgis, yaitu yang tersedia dalam buku-buku liturgis dan yang lebih radikal. Sementara itu fokus dari instruksi adalah pada yang pertama karena kurang radikal dan menyeluruh. Instruksi menunjukkan beberapa penyesuaian berdasarkan yang pertama, misalnya pada buku-buku liturgis (no.53), Ekaristi (no.54), ritus inisiasi (no.56), ritus perkawinan (no.57), pemakaman (no. 58), pemberkatan (no. 59), tahun liturgis (no. 60), dan liturgi ibadat harian (no. 61). Teks-teks liturgi resmi ini dikenal sebagai edisi tipe Latin.
Sementara itu, berkaitan dengan penyesuaian liturgi yang lebih radikal, VL menggambarkan mereka sebagai semacam penyesuaian yang lebih radikal dan sukar. Instruksi sendiri tidak memberi contoh macam penyesuaian ini, namun instruksi mengatakan bahwa mereka seharusnya dijalankan hanya setelah Konferensi waligereja tidak menemukan kemungkinan-kemungkinan penyesuaian yang ditawarkan oleh buku-buku liturgis (no.63). Penyesuaian ini oleh instruksi tidak dimaksudkan merupakan sebuah perubahan ritus Romawi, namun dibuat dalam konteks ritus Roma (no. 63).
Berhadapan dengan tujuh tantangan budaya posmoderen, pemahaman instruksi tentang inkulturasi sebagai perjumpaan antarbudaya nampaknya kurang dan gagal masuk ke dalam komunikasi dinamika antarbudaya. Instruksi ini malahan lebih mengenakan budaya Roma/Latin dan ungkapan keagamaan pada gereja lokal lainnya. Di sini, VL bukan bermaksud menghapus perbedaan budaya; sebaliknya LV mencoba mempertahankan dan mempromosikan “perbedaan yang sah” dari gereja-gereja lokal. Namun, pendekatannya pada inkulturasi terletak di antara asimilasi dan kontrol hegemonik. Strategi kaum asimilasionist mengusulkan sebuah penghapusan perbedaan budaya, misalnya kaum imigran diperbolehkan menggunakan warisan budayanya dalam tahap transisi namun mereka diharapkan menjadi ‘salah satu seperti kita’. Kontrol hegemonik menghormati perbedaan budaya namun menekankan pada budaya yang umum di antara kelompok-kelompok suku yang berbeda. Jadi, VL masih menggunakan model asimilasi di sisi paling buruknya, dan pada model kontrol hegemonik di sisi terbaiknya.
Pemilihan budaya yang bisa diajak berdialog juga merupakan tantangan posmoderen bagi penggunaan kekuasaan antara wewenang Romawi dan Gereja-gereja lokal dalam inkulturasi. Pada kenyataannya, instruksi digerakkan oleh motivasi untuk menguasai dari wewenang Romawi dari pada menghargai otonomi relatif Gereja-gereja lokal. Lagi pula, pemahaman instruksi tentang ‘devosi popular’ terlalu superfisial dan kerdil (lihat no. 45). Akibatnya, posisi instruksi menjadi ambigu. Di satu sisi terbuka bagi penggunaan ‘ungkapan dari agama-agama non-Kristiani, di sisi lain sikap terhadap mereka negatif dan defensif (lihat no. 47). Tentang macam-macam ungkapan budaya dalam masa kontemporer ini, VL tidak banyak bicara. Fokus mereka secara eksklusif pada bentuk-bentuk lokal dan popular. Berhadapan dengan relasi antara liturgi dan teologi, VL beranggapan bahwa negara-negara yang acuh tak acuh terhadap agama, meski diandaikan sudah ada nilai-nilai religius di situ, tidak perlu dilakukan inkulturasi liturgis, namun lebih pada pendidikan liturgi dan mencari sarana yang paling cocok untuk menyentuh semangat dan hati orang. Padahal bagi posmoderen, inkulturasi merupakan sarana yang paling cocok untuk menyentuh semangat dan hati masyarakat lokal. Sebaliknya, ada sisi positif dari VL ini yang mengandung gagasan posmoderen, misalnya di nomor 17 dan nomor 49. Di sini, Instruksi memperingatkan Konferensi Waligereja untuk menghargai kekayaan masing-masing budaya dan mereka yang mempertahankannya., namun mereka tidak boleh acuh tak acuh atau mengabaikan sebuah budaya minoritas meski konferensi tidak terbiasa dengannya.
3. Inkulturasi Liturgis: Perpektif dari Gereja-Gereja Asia
Bagi Phan, VL masih gagal dalam menawarkan sebuah strategi yang tepat untuk inkulturasi liturgis, khususnya berhadapan dengan tantangan dari posmodernisme. Oleh karena itu, Phan beralih pada Gereja-gereja di Asia, yang menurutnya, nampak lebih memberi sebuah sumber kekayaan bagi perjumpaan dengan tantangan inkulturasi dalam konteks posmoderen. Di sini Phan mengambil pemikiran Anscar J. Chupungco yang secara internasional dikenal dari karya-karyanya tentang inkulturasi liturgis. Menurut Chupungco, semua ritus liturgi berakar dalam budaya. Tidak ada liturgi yang dirayakan dalam sebuah budaya kosong. Menurutnya ada tiga prinsip dalam inkulturasi, yaitu secara teologis, secara liturgis, dan secara kultural. Secara teologis, Gereja dituntut oleh misteri inkarnasi untuk menginkarnasi dirinya sendiri ke dalam setiap budaya. Secara liturgis, ada lima prinsip yang menggerakkan inkulturasi, yaitu pertama, liturgi merupakan ibadat kepada Allah; kedua, ibadat itu berpusat pada Kristus; ketiga, di dalamnya, Sabda Allah yang tertulis merupakan hal utama; keempat, umat harus berpartisipasi di dalamnya; kelima, ibadat itu terdiri dari unsur yang tidak dapat diubah dan dapat diubah. Secara kultural, ada tiga tipe adaptasi liturgis, yaitu akomodasi, akulturasi, dan inkulturasi. Akomodasi mempengaruhi perayaan liturgis di sini dan sekarang oleh umat dan tidak perlu melibatkan adaptasi kultural. Akulturasi adalah proses di mana unsur-unsur kultural yang cocok dengan liturgi Romawi disatukan ke dalam ibadat baik sebagai pengganti maupun ilustrasi unsur eukologikal dan ritual dari ritus Romawi. Inkulturasi adalah proses di mana sebuah ritus pra-Kekristenan diberi pemaknaan Kristiani.
Sementara itu inkulturasi liturgis bagi Chupungco adalah proses dimana liturgi dimasukkan ke dalam budaya, sejarah dan tradisi orang-orang di mana Gereja berada. Lanjutnya, bagi Chupungco, proses inkulturasi liturgis terdiri dari perjumpaan dua unsur, yaitu edisi buku-buku liturgis dan pola budaya lokal. Pola kultural sendiri merupakan salah satu dari tiga komponen budaya, dua yang lain adalah nilai dan institusi. Nilai merupakan prinsip-prinsip yang membentuk hidup dan aktivitas komunitas. Institusi merupakan ritus komunitas yang dengannya merayakan perbedaan tahap kehidupan manusia mulai dari kelahiran hingga kematian. Pola kultural sendiri merupakan cara anggota sebuah masyarakat berpikir atau membentuk konsep, mengungkapkan pemikiran mereka melalui bahasa, meritualisasi aspek kehidupan mereka, dan menciptakan bentuk-bentuk seni. Bidang-bidang dari pola kultural ini adalah pemikiran, bahasa, ritus dan simbol, karya sastra, musik, arsitektur, dan semua ungkapan yang lain dari seni.
Sebagai metodenya, Chupungco mengembangkan dua jalan penerjemahan yang dinamis dan menemukan kesamaan kulturalnya ke dalam tiga, yaitu kesamaan dinamis, asimilasi kreatif, dan kemajuan organik. Yang dimaksudkan dengan kesamaan dinamis adalah mengganti sebuah unsur liturgi Romawi dengan unsur lokal yang memiliki kesamaan makna dan nilai, misalnya terjemahan. Yang dimaksud dengan asimilasi kreatif adalah integrasi ritus-ritus yang relevan, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan bahasa, keagamaan atau apa pun ke dalam liturgi. Yang dimaksud dengan kemajuan organik adalah bukanlah hendak melampaui kesamaan dinamis maupun asimilasi kreatif, melainkan berlanjut pada tingkat Gereja-gereja lokal yang menawarkan sebuah dimensi yang luas dari pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Dengan demikian, ‘inkulturasi’ liturgis, kemudian hanyalah sebuah langkah perantara untuk sampai pada ‘kreatifitas liturgis’, misalnya menggunakan tarian simbolis pada saat prosesi persembahan atau penggunaan audio visual. Dia juga secara hati-hati menggunakan istilah ‘liturgi alternatif’ yang bertujuan untuk memberikan ungkapan bagi tradisi liturgis atau kehidupan modern yang tidak dipikirkan oleh ritus Romawi.
Selain mengambil pandangan dari Chupungco, Phan juga mengambil pandangan dari Konferensi Uskup-Uskup Asia (FABC) yang menekankan sebuah tripel dialog, yaitu kemiskinan orang Asia, budayanya, dan keagamaan mereka. menurut FABC, tugas yang paling mendesak bagi gereja-gereja Asia adalah menjadi gereja tidak hanya di Asia, namun gereja Asia atau Gereja-gereja lokal. Satu-satunya jalan untuk menjadi gereja lokal adalah melalui jalan dialog. Dialog di sini bukanlah sebagai aktivitas terpisah, seperti dialog ekumene atau inter-religius, melainkan sebagai modalitas di mana segala sesuatu dilakukan oleh dan di dalam gereja di Asia, termasuk pembebasan, inkulturasi, dan dialog inter-religius. Dialog di sini tidak hanya melulu merupakan pertukaran intelektual di antara para ahli dari berbagai agama, melainkan meliputi dialog kehidupan, dialog aksi, dialog pertukaran teologis, dan dialog pengalaman agama. Hanya melalui jalan dialog inilah Kabar Gembira dapat diproklamasikan secara lebih efektif di Asia.
Selanjutnya, menurut FABC, Gereja di Asia masih tetap terasa asing dalam gayanya, struktur institusionalnya, dan peribadatannya, dan bahwa ritual-ritual Kristen seringkali tetap formal, dan tidak sangat spontan maupun khas Asia. FABC mengusulkan sebuah pembaruan di segala aspek kehidupan doa Gereja, termasuk peribadatan liturgisnya, bentuk-bentuk kesalehannya, doa-doa di dalam rumah, di paroki, dan dalam kelompok-kelompok doa. Salah satu langkah dari pembaruan yang diusulkan FABC adalah penggunaan ‘buku-buku dan tulisan-tulisan terhormat’ dari agama-agama lain untuk doa dan spiritualitas.
Di sini, FABC menawarkan dua tuntunan bagi inkulturasi liturgis yang otentik. Pertama, inkulturasi liturgis harus dijalankan selalu dalam kaitan dengan dan sebagai sebuah komponen instrinsik dari dialog inter-religius dan karya pembebasan manusia. Tanpa perjuangan pembebasan manusia, inkulturasi liturgis menjalankan risiko menjadi sebuah usaha kaum elit. Di sini, kita juga hendaknya membebaskan diri dari gagasan bahwa inkulturasi liturgis terdiri dari beberapa penyesuaian, sementara tetap menjaga kesatuan hakiki dengan ritus Romawi, seperti yang ditekankan oleh VL. Menurut Aloysius Pieris, ada bahaya dalam strategi tersebut, yaitu teologi vandalisme, yaitu mengambil dan memilih unsur-unsur dari agama-agama non-Kristiani, dan membabtis mereka untuk kepentingan Kekristenan tanpa acuan kepada pengalaman keagamaan non-Kristen secara menyeluruh. Kedua, tentang agama populer. FABC melihat bahwa agama populer ini merupakan agama orang-orang miskin. Agama ini ditandai dengan tujuh ciri, yaitu spiritualitas duniawi, diwarnai dengan ketergantungan total kepada yang ilahi, kerindungannya akan keadilan, kosmis, sesuai dengan peran kunci perempuan, ekologis, dan kisah-kisah sebagai alat komunikasi. Selain itu, penganut agama populer ini mencari kepuasan yang cepat dari kebutuhan fisik dan material. Mereka merasakan Allah hadir secara dekat sebagai pembebas, mereka berseru kepada roh untuk melindungi dan membebaskan mereka, mereka meminta secara setara peran perempuan dan laki-laki dalam ritual-ritual mereka, dan simbol-simbol keagamaan mereka dapat berfungsi sebagai penghimpun bagi masyarakat mereka.
Sebagai penutup, Phan menyatakan bahwa metode inkulturasi liturgis yang hanya menekankan pada sebuah pertukaran ritus Romawi dengan ritual-ritual yang diwariskannya dan berpusat pada edisi susunan tipikalnya tidak lagi menjadi sebuah inkulturasi liturgi yang sejati karena ada kecurigaan terhadap penggunaan kekuasaan di dalamnya yang mengakibatkan ketidakadilan dari sebuah budaya tertentu terhadap budaya lain dan karenanya akan gagal menanggapi secara penuh keutuhan dari gereja-gereja lokal. Sebaliknya, Phan menekankan usulan FABC tentang tripel dialog yang akan mengantar gereja-gereja di Asia menjadi sungguh-sungguh Gereja Asia dengan sebuah ritual keluarga yang baru, dengan teks, ritus, sakramental, bentuk-bentuk keagamaan populernya dan macam-macam ungkapan peribadatannya sendiri. Hanya dengan cara inilah kesatuan iman dipelihara dan dipromosikan. Ini bukanlah pendekatan yang revolusioner, menurut Phan; melainkan inilah yang ritus Romawi lakukan, dalam caranya sendiri.
Sumber Tulisan
Keith. F. Pecklers, SJ. 2006. Liturgy in a Postmodern World. London-New York: Continuum.
Phan, Peter C. “Liturgical Inculturation: Unity in Diversity in the Postmodern Age” dalam Keith.
F. Pecklers, SJ. 2006. Liturgy in a Postmodern World. London-New York: Continuum. 55-86.