Jumat, 18 Februari 2011

Gereja Rasuli Sejati

Vico SJ

Bagi Tertulianus, Gereja rasuli sejati adalah Gereja yang memenuhi dua pokok dasar, yaitu Gereja yang memiliki kesinambungan pergantian rasuli dari para Rasul atau orang terdekat yang ditunjuk oleh para Rasul sendiri dan kesinambungan kesatuan ajaran iman atau doktrin dengan ajaran para Rasul sendiri.

Pada masa Tertulianus (160-220 M) Gereja berhadapan dengan kaum bidaah, yaitu kaum Gnostik[1] yang mengklaim diri bahwa ajaran-ajaran mereka pun mendapat inspirasi atau pewahyuan khusus dari Roh Kudus. Mereka menggunakan beberapa buku yang sekarang menjadi Perjanjian Baru dengan menerapkan gaya mereka sendiri dan beberapa buku lain yang telah ditolak oleh Gereja. Memang diakui bahwa ada banyak unsur-unsur asli kekristenan dan penafsiran-penafsiran kontemporer tentang pewahyuan dalam ajaran-ajaran mereka. Namun, bagi Uskup ajaran-ajaran mereka ini bisa membahayakan iman umat sederhana.

Pertanyaan yang cukup menggelisahkan dan sangat krusial saat itu adalah pertanyaan dari kaum bidaah, yaitu apa itu Kristianitas asli atau sejati? Atau apa itu Gereja yang sejati? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu menentukan sumber iman yang memiliki otoritas yang bermanfaat untuk menunjukkan di mana Kristianitas yang sejati ditemukan dalam dunia kontemporer. Petunjuk jawaban adalah satu kata, yaitu apostolis.

Wahyu yang tersembunyi telah diberikan sekali untuk selamanya dalam Kristus historis melalui peristiwa-peristiwa historis yang telah dinubuatkan dan disiapkan dalam Perjanjian Lama. Wahyu tersebut telah dikomunikasikan sebagai sebagai sebuah corpus of the teaching, pokok ajaran, yaitu “iman” oleh Kristus kepada para Rasul, dan oleh para Rasul kepada Gereja-gereja yang mereka dirikan.

Komunikasi ini mengambil tiga jalan. Pertama, dalam tulisan-tulisan para Rasul sendiri atau orang yang dekat dengan mereka. Dua, dalam esensi kotbah misioner rasuli, yaitu Kerygma yang tak boleh dilupakan karena tetap esensial bagi penginjilan. Demikian pula, Gereja-gereja lokal selalu menyadari akan sebuah Kaidah Iman atau Kaidah Kebenaran rasuli, yaitu Kredo. Meski singkat, kesetiaan pada Kaidah ini memberi dasar Kristianitas pertama. Keluar dari Kaidah ini adalah sebuah tanda bahaya. Kaidah ini juga memberikan garis-garis penuntun eksegese biblis. Ketiga, wahyu yang asli ini telah dijaga oleh para pelayan, khususnya para Uskup yang memiliki tanggung jawab untuk mengajar secara teratur, memiliki otoritas, kegiatan pelayanannya disetuju di Gereja-gereja yang telah didirikan sendiri oleh para Rasul sebagai penerus para Rasul. Para Uskup ini merupakan para saksi iman sebagai sarana-sarana penolong ilahi dari kontinyuitas ini.

Argumen tentang Kristianitas yang asli pun dibangun secara bertahap. Di abad kedua masehi, Ignatius yang telah menyadari kesesatan-kesesatan kaum Gnostik dan bahaya skisma, menekankan pentingnya peran Uskup sebagai penjamin iman dan keberlangsungan ajaran-ajaran iman rasuli. Berikutnya, Hegesippus melihat pentingnya pergantian episkopos sebagai saksi pada keberlangsungan sejarah dan melaporkan bahwa Gereja-gereja yang memiliki daftar panjang para Uskup memiliki ajaran yang sama. Kemudian, Irenaeus yang memiliki pemahaman teologis yang luas, yang juga merupakan pemikir unggul di balik Tertulianus, menekankan secara mendalam pemahaman tentang karakter historis penebusan dan tempat sentral bagi teologi St. Paulus.[2]

Dalam makalah pendek ini, saya akan mengulas pemikiran Tertulianus dalam bukunya berjudul Prescriptions Against Heretics, yaitu bagaimana ia sendiri menjawab pertanyaan kaum bidaah tersebut dan bagaimana pemikirannya memberi sumbangan yang berarti bagi Gereja di masa itu. Sebagai pengantar awal, melalui kejeniusan dan keberaniannya, Tertulianus telah menyatakan esensi dari “posisi katolik” dan sebuah cara singkat untuk melawan kaum bidaah, yaitu melalui prescriptio[3] yang ia bangun untuk melawan dan membungkam mereka. Di sinilah peranan Tertulianus di dalam membantu Gereja saat itu menentukan posisinya berhadapan dengan kaum para bidaah.

Teks

Dari buku Tertulianus berjudul Prescriptions Against Heretics , saya mengambil teks kunci untuk mendukung tesis saya, yaitu teks bab 32. Selanjutnya teks ini akan diperkaya dengan penjelasan dari teks-teks lain dalam buku ini yang berkaitan dengan tesis saya. Teks bab 32 adalah sebagai berikut:

“But if any heresies venture to plant themselves in the apostolic age, so that they may be thought to have been handed down by the apostles because they existed in their time, we can say, Let them exhibit the origins of their churches, let them unroll the list of their bishops, coming down from the beginning by succession in such a way that their first bishop had for his originator and predecessor one of the apostles or apostolic men; one, I mean, who continued with the apostles. For this is how the apostolic churches record their origins. The church of Smyrna, for example, reports that Polycarp was placed there by John, the church of Rome that Clement was ordained by Peter. In just the same way the other churches produced men who were appointed to the office of bishop by the apostles and so transmitted the apostolic seed to them.

Let the heretics invent something of the sort for themselves. Blasphemers already, they will have no scruples. But even if they do invent something, it will be useless to them. If their teaching is compared with the teaching of the apostles, the differences and contradictions between them will cry out that theirs is not the work of any apostle or apostolic man. For the apostles would not have differed from each other in their teaching and the apostolic men would not have contradicted the apostles. Or are we to believe that the men who learned from the apostles preached something different? Consequently they will be challenged according to this standard by those churches which, though they can produce no apostle or apostolic man as their direct founder, since they are much later foundations (churches are being founded every day), yet, because they agree in the same faith, are reckoned to be no less apostolic through their kinship in doctrine. So, when the heresies are challenged by our churches according to these two standards, let them one and all show how they regard themselves as apostolic. But they are not, and they cannot prove themselves to be what they are not. Nor can they be received into peace and communion by churches which are in any way apostolic when they are in no way apostolic on account of their disagreement in creed. “[4]

Penjelasan Teks

Dalam teks alinea pertama nampak bahwa Tertulianus berusaha menantang kaum bidaah untuk membuktikan sumber rasuli dalam ajaran-ajaran mereka dengan menunjukkan beberapa syarat tentang Gereja rasuli yang asli atau sejati. Syarat-syarat tersebut antara lain, pertama bahwa mereka harus ditunjuk oleh para Rasul sendiri sebagai penerus mereka karena mereka berada pada zaman para rasul: “to have been handed down by the apostles because they existed in their time”. Kedua, mereka harus memperlihatkan keaslian dari gereja-gereja mereka: “Let them exhibit the origins of their churches”. Ketiga, mereka harus mampu menunjukkan daftar uskup-uskup mereka yang berasal dari permulaan dengan suksesi di mana Uskup pertama mereka memiliki seorang pendahulu yang merupakan salah satu dari para Rasul atau orang yang dekat dengan para Rasul yang melanjutkan kepemimpinan mereka: “unroll the list of their bishops, coming down from the beginning by succession in such a way that their first bishop had for his originator and predecessor one of the apostles or apostolic men; one, I mean, who continued with the apostles”. Bahkan ia memberi beberapa contoh mengenai hal ini, yaitu Gereja Smyrna yang melaporkan bahwa Policarpus di tempatkan di sana oleh Yohanes, Klemen ditahbiskan oleh Petrus di Gereja Roma. Singkatnya, Tertulianus menunjukkan bahwa Gereja rasuli yang asli atau sejati memiliki orang-orang yang ditunjuk sebagai Uskup secara langsung oleh para Rasul dan dengan demikian merambatkan benih rasuli kepada mereka: “In just the same way the other churches produced men who were appointed to the office of bishop by the apostles and so transmitted the apostolic seed to them.” Dengan kata lain, Gereja rasuli yang sejati harus memiliki kontinyuitas rasuli dengan para Rasul melalui penerusan atau pergantian rasuli.

Alasan mengapa Gereja rasuli yang sejati harus memiliki kontinyuitas rasuli dengan para Rasul adalah, menurut Tertulianus, bahwa Kristus telah menyatakan apa yang Dia katakan, apa yang telah Dia lakukan, bagaimana Dia menggenapi kehendak Bapa-Nya, apa yang telah Dia letakkan sebagai tugas manusia kepada orang-orang atau secara pribadi kepada para murid yang dua belas yang secara khusus sangat dekat dengan-Nya dan yang mengarahkan mereka menjadi guru para bangsa. Para Rasul ini bersaksi tentang iman mereka kepada Yesus dan mendirikan gereja-gereja di setiap kota. Dengan demikian, gereja-gereja ini identik dengan Gereja rasuli perdana dari mana mereka semua berasal. Keidentikan dan kesatuannya terletak dalam persekutuan di antara mereka, persekutuan yang dibentuk atas dasar persaudaraan dan janji untuk saling melayani, dan dijiwai oleh prinsip dari tradisi tunggal yang sama, yaitu Kredo. Hal ini bisa kita lihat dalam teks:

“Our Lord Jesus Christ, ….. himself declared, while he lived on earth, what he was, what he had been, how he was fulfilling his Father's will, what he was laying down as man's duty.He declared all this either openly to the people or privately to the disciples, twelve of whom he had specially attached to his person and destined to be the teachers of the nations.… the apostles (whose name means "sent") …. bearing witness to their faith in Jesus Christ and founding churches, and then out into the world, proclaiming the same doctrine of the same faith to the nations. Again they set up churches in every city, … These churches, then, numerous as they are, are identical with that one primitive apostolic Church from which they all come. All are primitive and all apostolic. Their common unity is proved by fellowship in communion, by the name of brother and the mutual pledge of hospitality—rights which are governed by no other principle than the single tradition of a common creed” (bab 20)[5]

Singkatnya, Gereja mendapat tugas penerusan kepemimpinan dari para Rasul, para Rasul dari Kristus, dan Kristus dari Allah: “the Church has handed down from the Apostles, the Apostles from Christ, and Christ from God ” (bab 37).[6]

Kemudian, dalam alinea kedua nampak bahwa Tertullanus menekankan pentingnya kesatuan ajaran di antara para Rasul sendiri dan antara orang yang dekat dengan para Rasul dengan para Rasul: “the apostles would not have differed from each other in their teaching and the apostolic men would not have contradicted the apostles.” Bagi Tertulianus adalah tidak mungkin bila seorang yang dekat yang belajar pada para Rasul menyampaikan ajaran yang berbeda dari ajaran para Rasul. Jika memang demikian, mereka akan diuji menurut pokok dasar ini oleh Gereja-gereja yang dihitung tidak memiliki kekurangan rasuli dalam ajaran mereka. Jadi, nampak bahwa Tertulianus menekankan kesatuan ajaran tentang iman yang sama di antara para Uskup dan penerusnya dalam Gereja rasuli yang sejati.

Kesatuan ajaran iman di antara para Rasul dan antara orang yang dekat dengan para Rasul ditekankan oleh Tertulianus karena Kristus sendirilah yang telah meletakkan satu sistem kebenaran yang definitif: “Christ laid down one definitve system of truth” (bab 9).[7] dan yang telah menyatakannya kepada mereka untuk diwartakan kepada segala bangsa. Kebenaran iman ini harus diwartakan oleh para Rasul yang ditunjuk sendiri oleh Kristus, dan bukan kepada yang lain: “If the Lord Christ Jesus sent the apostles to preach, non should be received as preachers except in accordance with Christ’s institution” (bab 21)[8] Inilah prescriptio pertama Tertulianus. Selanjutnya, Tertulianus mengajukan prescriptio kedua, yaitu bahwa para Rasul diutus Kristus untuk mewartakan kebenaran yang mereka terima dari Kristus sendiri, dan isi pewartaan mereka harus dibuktikan hanya melalui Gereja-gereja yang mereka dirikan sendiri. Dengan demikian semua ajaran atau doktrin harus ditolak bila berlawanan dengan kebenaran dari gereja-gereja dan para Rasul Kristus dan Allah: “And I shall prescribe now that what they preached (that is, what Christ revealed to them) should be proved only through the identical churches which the apostles themselves established …. that all doctrine which smacks of anything contrary to the truth of the churches and apostles of Christ and God must be condemned out of hand as originating in falsehood” (bab 21).[9]

Jadi, Gereja rasuli sejati yang Tertulianus maksudkan adalah gereja-gereja yang memiliki kesinambungan pergantian rasuli dari para Rasul atau orang dekat yang ditunjuk para Rasul sendiri dan kesinambungan ajaran iman atau doktrin dari ajaran para Rasul sendiri yang mereka terima dari Kristus sendiri dan Kristus dari Allah.

Dengan demikian, Tertulianus sangat yakin bahwa kaum bidaah tidak akan mampu pertama, memenuhi dua pokok dasar, yaitu pergantian rasuli (apostolic succession) dan doktrin rasuli (apostolic doctrine), yang diajukannya untuk membuktikan bahwa gereja mereka atau ajaran mereka memiliki kesinambungan rasuli dengan ajaran dan gereja para Rasul. Kedua, mereka juga tidak dapat diterima ke dalam persatuan yang damai dengan Gereja-gereja rasuli karena mereka tidak mau menerima Kredo rasuli dan telah memanipulasi Kitab Suci dengan menggabungkan beberapa kutipan Kitab Suci dan menafsirkannya untuk mendukung argumen mereka.[10] Oleh karena itu, betapa pun gigih usaha mereka untuk mencari temuan-temuan agar diterima dalam persatuan Gereja-gereja, usaha mereka, menurut Tertulianus, tetaplah sia-sia karena dua alasan di atas: “But even if they do invent something, it will be useless for them.”

Relevansi Teks Tertulianus untuk Masa Kini

Teks Tertulianus adalah sebuah teks yang disusun untuk membungkam kaum Gnostik yang ajaran-ajarannya bisa membahayakan iman orang-orang Kristiani, khususnya bagi mereka yang imannya lemah atau yang mudah goyah oleh hal-hal yang baru dan sensasional melalui metode prescriptio. Pertanyaan tentang apakah Kristen sejati itu dan apakah Gereja sejati menjadi pertanyaan yang mendasar dan penting bagi Gereja saat itu untuk merumuskan identitasnya yang sejati. Di sinilah Tertulianus berperan dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut dan merumuskan identitas Gereja orang-orang Kristiani. Gereja sejati menurut Tertulianus adalah gereja yang berakar dalam ajaran iman para rasul dan merupakan kelanjutan rasuli dari para Rasul sendiri.

Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik kita saat ini? Apakah Gereja Katolik sudah sesuai dengan apa yang dimaksud Tertulianus? Kesatuan rasuli baik dalam ajaran iman para Rasul maupun suksesi kepemimpinan dari para Rasul sampai saat ini masih merupakan salah satu dari empat sifat khas Gereja Katolik, yaitu Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik. Kredo atau Aku Percaya hingga kini tetap diucapkan oleh Gereja Katolik masa kini, khususnya dalam Ekaristi. Demikian pula suksesi kepemimpinan dalam Gereja Katolik, yaitu suksesi Paus dan para uskup juga masih menjadi tradisi yang penting dalam Gereja Katolik. Dengan demikian, nampak bahwa apa yang diterima Kristus dari Allah Bapa, diteruskan kepada para Rasul, dan dari para Rasul diteruskan kepada Gereja yang didirikan para vasul, dan dari Gereja itu kepada Gereja masa kini. Demikian nampak pula bahwa Gereja Katolik masih berada dalam jalur kebenaran itu, yaitu berada dalam kesinambungan rasuli dengan para vasul. Hal ini sesuai dengan perkataan Tertulianus yang mengatakan bahwa kita berada dalam persekutuan dengan Gereja-gereja rasuli karena doktrin kita, yaitu Kaidah Iman, sungguh berakar dalam tradisi para Rasul. Dan inilah bukti kebenaran itu[11].

Dimensi rasuli menurut pemikiran Tertulianus dalam Gereja Katolik tersebut dapat pula kita telusuri dalam Konsili Vatikan II, khususnya dalam dokumen Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium), bab satu tentang misteri Gereja, nomor delapan tentang Gereja yang kelihatan sekaligus rohani, alinea kedua. Di situ dikatakan bahwa sesudah Kristus bangkit, Ia menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Kristus memercayakan Gereja itu kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluas dan dibimbing dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran. Lebih lanjut dikatakan pula secara eksplisit bahwa Gereja itu berada dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.[12] Di sini nampak bahwa Gereja yang dimaksudkan Kristus untuk diperluas, dibimbing, didirikan untuk selama-lamanya oleh Petrus dan para Rasul lainnya berada dalam Gereja Katolik.

Lebih lanjut lagi, dalam Lumen Gentium bab III tentang Susunan Hirarkis Gereja, khususnya Episkopat, nomor 20 tentang para Uskup pengganti para Rasul juga menyebutkan bahwa perutusan ilahi yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul itu akan berlangsung sampai akhir zaman. Oleh karena itu, para Rasul telah berusaha mengangkat para pengganti mereka, yaitu para pembantu yang terdekat, apabila mereka meninggal untuk menyempurnakan dan meneguhkan karya yang telah mereka mulai. Para Rasul sendiri telah memerintahkan mereka supaya apabila mereka meninggal, orang-orang lain yang telah terbukti baik mengambil alih pelayanan mereka.[13] Selanjutnya dalam nomor 22 tentang kolegialitas dewan para Uskup, orang-orang yang menjadi penerus Petrus dan para Rasul ini, yaitu para Uskup dalam kesatuan dengan Uskup Roma, juga berada dalam kolegialitas yang sama seperti halnya kolegialitas Petrus dan para Rasul lainnya. Artinya, bahwa kolegialitas tersebut menunjukkan kesatuan ajaran iman, cinta kasih, dan damai, begitu pula ketika mereka hendak mengambil keputusan-keputusan bersama yang amat penting dalam konsili-konsili.[14]

Dengan demikian nyata bahwa jejak-jejak pemikiran Tertulianus, khususnya mengenai pemahamannya mengenai Gereja rasuli yang sejati yang berakar dalam ajaran iman dan keberlanjutan rasuli para Rasul terungkap pula dalam dokumen Konsili Vatikan II.

Daftar Acuan

Chadwick, Henry. 2001. The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great . Oxford: Oxford

University Press.

Greenslade DD, S. L. (ed.). 1956. Early Latin Theology: Selections from Tertullian, Cyprian, Ambrose, and Jerome.

Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press.

Hardawiryana S. J, R., (penterjemah). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor.

Quasten, Johannes. 1949. Patrology. Vol. II. Westminster: The Newmann.


[1] Yang dimaksud adalah Marcion. Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran kaum Gnostik. Ia melihat Allah Perjanjian Lama secara berbeda. Menurutnya, Allah Perjanjian Lama adalah Allah orang Yahudi yang menciptakan dunia yang tidak bahagia ini. Allah Perjanjian Lama dipandangnya sebagai seorang hakim yang keras yang menghukum setiap pelanggaran hukum Musa bahkan untuk perkara sepele. Hal ini berbeda dengan Allah Perjanjian Baru yang baik dan penuh belas kasih yang ada dalam diri Yesus. Paulus mengatakan bahwa kasih melampaui hukum, kebaikan melampaui keadilan yang kaku. Marcion menarik kesimpulan yang lebih drastis: Allah-Pencipta yang memberikan Hukum adalah lebih rendah dibandingkan Pencipta yang sungguh ilahi yang melampaui segalanya. Lihat Henry Chadwick, The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great (Oxford: Oxford University Press, 2001), hlm. 89.

[2] S. L. Greenslade DD (ed.), Early Latin Theology: Selections from Tertullian, Cyprian, Ambrose, and Jerome (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1956), hlm. 25 - 27.

[3] Prescriptio artinya sebuah keberatan yuridis di mana tertuduh atau terdakwa ingin memotong atau menghalang-halangi kewajaran atau kepatutan dalam bentuk di mana penuntut memasukinya atau menuntutnya. Prescriptio ini pada akhirnya menuju pada penolakan atas kasus yang diajukan oleh penuntut. Lihat Johannes Quasten, Patrology, Vol. II (Westminster: The Newmann, 1949), hlm. 270.

[4] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 52-53.

[5] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 43.

[6] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 58.

[7] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 37.

[8] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.

[9] Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.

[10] What it accepts, it perverts, … to suit its own teaching, … it keeps book unmaimed, it non the less alters them by inventing different interpretations from ours….They rely on passages which they have put together in a false context or fastened in because of their ambiguity “ (bab 17). Lihat Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 42.

[11]It remains for me to show whether this doctrine of ours, the Rule of which I have set out above, does originate in the tradition of the apostles and whether, in consequence, the other doctrines come from falsehood. We are in communion with the apostolic churches. That is not true of any other doctrine. This is evidence of truth.” (bab 21). Lihat Greenslade, Early Latin Theology, hlm. 44.

[12] R. Hardawiryana, S. J. (penterjemah), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 1993), hlm. 74-75.

[13] Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II , hlm. 92.

[14] Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II , hlm. 95-96.

Mengikuti Kristus Mewartakan Kerajaan Allah

Judul di atas merupakan titik pergulatan Hardawiryana ketika ia menggeluti persoalan bidang pewartaan di Gereja Indonesia. Menurutnya, ada persoalan yang mendasar yang perlu dicermati dan diperdalam lebih lanjut ketika Gereja di Indonesia hendak secara lebih sungguh-sungguh melaksanakan bidang pewartaan di Indonesia. Dalam tulisannya berjudul Mengikuti Kristus Mewartakan Kerajaan Allah, Hardawiryana menyebutkan ada dua persoalan yang mesti diperdalam dan diperjelas, yaitu mewartakan Kristus atau mewartakan Kerajaan Allah. Oleh karena itu, dalam makalah pendek ini, pertama-tama saya terlebih dahulu ingin menyajikan persoalan yang ia ajukan; kedua tentang tanggapan teologisnya atas pokok persoalan; ketiga kritik atas metode berteologinya dilihat dalam perspektif Paus Benediktus XVI; keempat, pandangan saya sendiri tentang metode teologi dalam pewartaan yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia.

Mewartakan Kristus atau Kerajaan Allah?

Di sini ia menyajikan dua sumber yang nampaknya kurang sepaham mengenai persoalan pewartaan di Asia. Mereka adalah pandangan tentang evangelisasi di Asia dari Federation Asian Bishop Conference (FABC) dan Ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Redemptoris Missio”(RM). Menurut Hardawiryana, pola pikir teologis di Asia dalam dua dasa warsa terakhir cenderung bertitik tolak pada teologi yang berpusat pada Kerajaan Allah. Hal ini timbul sebagai akibat dari perjumpaan antarumat beragama dalam dialog-dialog yang diselenggarakan yang memunculkan pengalaman-pengalaman positif dari masing-masing agama. Tujuan dialog tersebut antara lain adalah agar masing-masing mitra dialog bertumbuh dalam kesempurnaan sehingga dapat membuahkan perkembangan positif dalam penghayatan tradisi keagamaan masing-masing. Inilah yang dimaksudkan oleh FABC dengan pertobatan. Oleh karena itu kerangka teologi yang pada awalnya bersifat eklesiosentris, yaitu berpusat pada Gereja, kemudian beralih pada Kerajaan Allah. Jadi, dialog antarumat beragama terarah pada Kerajaan Allah dan pengabdian kepada masyarakat. Akibatnya, disinyalir bahwa pewartaan Injil tenggelam akibat tekanan yang ditaruh pada inkulturasi, dialog, dan pembebasan.

Dalam Ensiklik RM 17, Paus Yohanes Paulus II merasa keberatan atas teologi yang berpusat pada Kerajaan Allah, yaitu sifat teosentris yang “mendiamkan Kristus”, yang lebih menekankan pada misteri penciptaan dengan mendiamkan misteri penebusan, hanya “menyisakan sedikit tempat saja bagi Gereja” atau kurang menghargai Gereja. Menurutnya, Kerajaan Allah tidak dapat dilepaskan dari Kristus maupun Gereja-Nya. Gereja “secara takterlepaskan bersatu dengan keduanya.” Bagi Yohanes Paulus II, Kristus tetap harus diwartakan karena Ia memiliki sifat mutlak dan universal. Hanya melalui perantaraan-Nyalah segala bentuk partisipatif pengantaraan dari pelbagai agama mendapat makna dan nilainya. Dengan demikian, Gereja tetap perlu keselamatan dan kegiatan misioner “Ad Gentes” harus tetap dipertahankan karena keselamatan datang dari Kristus; dengan demikian, dialog tidak mengurangi perlunya pewartaan Injil. Pewartaan Injil ini harus membuahkan pertobatan, dalam arti berhubungan dengan babtis, agar orang menerima kepenuhan hidup baru dalam Kristus. Oleh karena itu, perintah misioner untuk memanggil orang bertobat dan menerima babtis perlu digalakkan lagi. Hal ini untuk menandingi trend teologi yang cenderung hanya mementingkan dialog antarumat beragama.

Mengikuti Kristus Mewartakan Kerajaan Allah

Dari dua pandangan di atas, Hardawiryana mencoba membuat pandangan teologisnya sendiri sebagai tanggapan atas dua persoalan pokok di atas berdasar pada dua dasar teologisnya. Ia mengajukan dasar teologis pertamanya dengan menyatakan bahwa kehadiran Yesus di dunia adalah untuk mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu ada pada sabda, karya, dan kehadiran-Nya. Mukjizat-mukjizat yang dibuatnya adalah sebagai tanda Kerajaan Allah telah hadir di tengah-tengah manusia dalam diri Yesus Kristus. Bisa dikatakan, Yesus Kristus adalah Kerajaan Allah itu sendiri. Oleh karena itu, setiap orang harus mengambil keputusan untuk bertobat demi memenuhi tuntutan-tuntutan Kerajaan Allah dalam diri Yesus. Singkatnya, untuk mencapai Kerajaan Allah, orang harus beriman akan Yesus.

Dasar teologisnya yang kedua adalah dari Lumen Gentium 5 yang menyatakan bahwa sesudah Yesus bangkit, Ia mencurahkan Roh-Nya ke dalam hati para murid-Nya. Oleh karena itu, Gereja menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua bangsa. Dengan demikian, Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan yang sempurna, dan dengan sekuat tenaga berharap dan menginginkan agar kelak dipersatukan dengan Rajanya dalam kemuliaan.

Dari dua dasar teologis ini barulah ia mengajukan pandangannya sendiri perihal model pewartaan yang tepat di kawasan Asia. Pertama-tama ia membuat refleksi teologis tentang pewartaan menuju kepenuhan Kerajaan Allah. Di sini ia mengatakan bahwa adanya bermacam-macam agama yang memiliki peran positif dalam mengusahakan hal-hal yang baik bagi masyarakat tidak terletak di luar rencana keselamatan Allah yang mencakup segenap umat manusia. Sementara itu Gereja tetap melangsungkan misteri Yesus Kristus di dunia sebagai lambang dan realisasi benih Kerajaan Allah dengan melangsungkan karya penebusan Kristus terhadap seluruh bangsa dengan sifat “sekular”-nya, khususnya di Asia. Karya penebusan Kristus itu dilaksanakan, dengan bekerja sama dengan umat beragama lain, untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, perdamaian, kekerabatan, dan cinta kasih yang merupakan nilai-nilai Kerajaan Allah serta menciptakan kesejahteraan yang merupakan realisasi awal Kerajaan Allah itu.

Kedua, pewartaan melalui Yesus Kristus Putera Tunggal. Di sini ia sekali lagi nampak mengulang apa yang sudah dirumuskan FABC V, yaitu bahwa proklamasi Yesus Kristus merupakan pusat dan unsur primer evangelisasi. Tanpa itu semua unsur lainnya akan kehilangan kohesi dan dasar kekuatannya. Oleh karena itu, tugas primer Gereja adalah pewartaan Injil Yesus Kristus. Namun, Gereja tetap harus mengedepankan sifat unik dan universal misteri perantaraan Yesus Kristus yang tunggal dengan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Jika Gereja hanya mengkhususkan misteri Kristus itu pada dirinya, justru ia mengabaikan sifat universal misteri Yesus Kristus itu. Padahal Gereja dipanggil untuk melayani misteri itu, bukan untuk memonopolinya.

Ketiga, tentang bagaimana memproklamasikan Yesus melalui, salah satunya, dialog antarumat beragama untuk menuju pada pertobatan. Di sini, Hardawiryana menekankan perlunya Gereja mengindahkan rencana Keselamatan Allah yang melibatkan semua bangsa dan karya Roh Tuhan dalam agama-agama lain. Dari penekanan ini, ia berlanjut pada bagaimana memproklamirkan Yesus Kristus kepada bangsa-bangsa melalui, salah satunya, jalan dialog antarumat beragama. Menurutnya, proklamasi tentang Yesus Kristus dan Injil-Nya secara langsung mengungkapkan kesadaran Gereja akan perutusan yang diterimanya dari Allah, dan merupakan pernyataan serta kesaksian akan karya Allah dalam Gereja sendiri. Dialog di sini dilaksanakan sebagai kesaksian akan Kristus dan ditandai sikap terbuka bagi misteri kegiatan Allah dalam diri para penganut agama-agama lain. Oleh karena itu, fokus utama dialog adalah bukan lagi pada Gereja, melainkan pada Allah, terarah pada Kerajaan-Nya, dan mengabdi kepada masyarakat. Dialog yang dijalankan tersebut merupakan bentuk komunikasi iman untuk mencari “cara” atau “corak dasar” evangelisasi, bahkan “bentuk ideal evengelisasi”. Selain itu, dialog yang dijalankan juga harus menuju pada pertobatan hati dan perubahan peri hidup yang terarah pada Allah, sementara orang tetap berpegang pada keyakinan keagamaannya sendiri. Dengan demikian, Gereja Asia yang merupakan kawanan kecil di tengah lautan para penganut agama-agama dan kepercayaan lain perlu mencari paradigma teologi yang baru yang berakar pada pengalaman-pengalaman konkret dan sekaligus sesuai dengan “visi kosmis” yang sudah mendarahdaging dalam kebudayaan masyarakat ketimuran.

Kritik atas Metode Berteologi Robert Hardawiryana, SJ

dalam Perspektif Paus Benediktus XVI

Dari ulasan tentang cara Hardawiryana berteologi, saya melihat bahwa bagaimanapun juga ia tetap mendasarkan pandangan teologisnya pada konteks dan locus teologi, yaitu kenyataan yang ada di Asia: pluralitas keagamaan! Dengan kata lain, ia mengusung teologi yang berbasiskan pengalaman konkret perjumpaan dengan pluralitas keagamaan di Asia. Dari konteks tersebut, barulah ia berupaya membangun teologinya dari perspektif Asia. Oleh karena itu, tekanannya adalah tetap pada pewartaan Kerajaan Allah sebagaimana Yesus selama di dunia mewartakan Kerajaan Allah melalui kesaksian iman akan Yesus Kristus. Di sini, dialog menjadi salah satu jalan pewartaan Kerajaan Allah.

Dengan demikian, teologi yang nampak dalam tulisan Hardawiryana adalah teologi dari bawah, yaitu teologi yang berangkat dari pengalaman konkret perjumpaan dengan umat beragama lain, masuk ke dalam perumusan metode yang paling tepat dan strategis dalam mengemban perutusan pewartaan Gereja dalam konteks Asia, kemudian diangkat ke ranah teologis (ascending teology). Dengan kata lain, teologi yang dipakai Hardawiryana adalah teologi kontekstual, yaitu teologi yang berbasis pada konteks di mana teologi itu berpijak.

Lalu, seandainya Paus Benediktus XVI membaca tulisan Hardawiryana ini, kira-kira apa yang akan ia sampaikan perihal cara berteologi Hardawiryana ini? Nampaknya ia akan sependapat dengan Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik RM bahwa tekanan berlebihan pewartaan terhadap Kerajaan Allah akan mengurangi peran Yesus Kristus dalam sejarah keselamatan manusia. Memang Hardawiryana tetap menempatkan Yesus Kristus sebagai unsur penting dan esensial bagi evangelisasi. Namun, tekanan Hardawiryana adalah lebih pada sifat unik dan universal misteri perantaraan Yesus Kristus yang tunggal dengan peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Konsekuensinya, Gereja dipanggil untuk melayani misteri itu, bukan untuk memonopolinya. Bagi Benediktus XVI, hal ini problematis karena aspek Kristologis dan ekklesiologis tidak lagi menjadi tekanan utama dalam teologi Hardawiryana. Tekanan Hardawiryana pada nilai-nilai Injili, seperti keadilan, perdamaian, kekerabatan, dan cinta kasih yang penting untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia bagi Benediktus XVI hanya akan mereduksi kebenaran Injili menjadi nilai. Kebenaran injil, bagi Benediktus XVI hanyalah akan menjadi imperatif moral saja. Dengan demikian, pewartaan iman akan Kristus hanya akan menjadi pewartaan nilai belaka. Di sini, Injil, bagi Benediktus XVI, adalah suatu penampang yang memurnikan dan yang mendatangkan pertumbuhan dan keselamatan.

Mengenai tekanan teologi Hardawiryana pada kenyataan bahwa Roh Kudus pun bekerja di dalam segala, khususnya dalam penganut agama-agama lain sehingga mereka memunculkan sisi positif yang tidak hanya berguna bagi perkembangan kerohanian keimanan agama mereka, namun juga bagi kepentingan masyarakat, Benediktus tidak menyangkal kenyataan ini bahwa ada yang suci dan benar dalam agama-agama itu. Namun, karena posisi Benediktus yang menyatakan bahwa hanya Kristuslah satu-satunya penyelamat umat manusia yang benar dan final, tempat agama-agama tersebut berada pada tempat “persiapan” akan kekristenan sehingga mereka dipandang positif sejauh berada dalam jalan “menuju” pada keselamatan dalam Kristus. Dengan demikian, dialog sejati hanya akan berjalan dengan baik apabila mencari kebenaran yang lebih dalam dan mendasar tanpa mengeliminir kebenaran yang sejati. Ketakutan Benediktus XVI dalam dialog di Asia adalah apabila dalam dialog tersebut Yesus Kristus disamakan dengan tokoh-tokoh agama-agama lain. Hal ini bagi Benediktus adalah termasuk dalam relativisme agama, apalagi tekanan teologi Hardawiryana adalah Kerajaan Allah. Demikianlah, Benediktus XVI tetap akan menekankan aspek Kristologis dan ekklesientris dalam melakukan pewartaan di Asia; dan dialog hanya bisa dilakukan sejauh tidak mengorbankan kebenaran, melainkan membangun hidup manusia menjadi semakin manusiawi.

Metode Berteologi dalam Pewartaan yang Sesuai dan Dibutuhkan di Indonesia

Setelah belajar dari metode berteologi Hardawiryana dan Benediktus XVI, khususnya tentang teologi apa yang sebaiknya diterapkan di Asia, saya akan mencoba mengusulkan metode berteologi apa yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia. Pertama-tama saya akan melihat dulu situasi Indonesia terlebih dahulu. Seperti kita tahu bahwa jumlah anggota Gereja Katolik di Indonesia hanyalah sebesar 3% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia yang mayoritas merupakan umat Muslim. Selain itu, Indonesia juga sangat kaya akan keberagaman budaya dan tradisi yang ikut mewarnai cara jemaat menggereja dan cara berpastoral pula. Situasi keterbukaan dan transparansi di Indonesia pascareformasi di mana kebebasan berpendapat dan beragama dijamin menjadi ruang yang kondusif bagi perkembangan Gereja di masa kini. Situasi-situasi tersebut layak menjadi pertimbangan kita tentang metode berteologi seperti apa yang sesuai dan dibutuhkan di Indonesia.

Menurut saya, metode berteologi yang sesuai dan saat ini dibutuhkan di Indonesia adalah metode berteologi yang berbasiskan pada konteks di mana teologi itu berpijak. Tentu saja, inti pewartaan, menurut saya, adalah tetap Yesus Kristus sebagai Juruselamat umat manusia karena untuk itulah Gereja dipanggil. Di dalam Yesus Kristus inilah Kerajaan Allah dan Injil hadir. Namun, persoalannya adalah bagaimana pewartaan ini tetap bisa dijalankan di Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan memiliki budaya yang sangat beragam. Salah satu cara adalah dengan kesaksian. Kesaksian hidup sehari-hari yang bernafaskan iman akan Yesus Kristus ini menjadi kunci dalam melaksanakan pewartaan Kristus dan Kerajaan Allah. Sebagaimana Yesus Kristus telah lebih dahulu menghidupi warta gembira Kerajaan Allah dan Injil-Nya, bahkan dikatakan wujud Kerajaan Allah adalah ada dalam diri Yesus Kristus, kita pun seharusnya menghayati isi iman akan Yesus Kristus dalam hidup sehari-hari khususnya dalam perjumpaan dengan penganut agama lain (baca: Islam) sehingga warta gembira Kerajaan Allah terpancar, menjadi terang bagi masyarakat. Oleh karena itu, dalam dialog-dialog yang diselenggarakan sebaiknya berisi tentang pengenalan satu sama lain tentang iman yang dihayati tanpa mengurangi kebenaran yang ada dalam ajaran iman masing-masing agama. Selain itu, bersama-sama mengupayakan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari iman yang dihayati masing-masing mitra dialog itu.

Kesaksian iman akan Kristus itu dalam bentuk yang lebih konkret, yaitu pelayanan kasih terhadap sesama dan masyarakat untuk menghadirkan Kerajaan Allah, menurut saya, merupakan metode berteologi yang paling sesuai dan dibutuhkan di Indonesia. Keterlibatan aktif jemaat Gereja Katolik dalam keprihatinan dan kegiatan kemasyarakatan dalam pelbagai bidang di masyarakat menjadi sarana dan wadah pewartaan Kristus yang efektif sehingga Gereja, meskipun merupakan berupa kawanan kecil, menjadi terang dan garam bagi masyarakat di sekitarnya.

Sumber Referensi

Hardawiryana, R, 2000, Mengikuti Kristus-Mewartakan Kerajaan Allah: Beberapa Pokok yang Relevan bagi Katakese Masa Kini di Indonesia, Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.

Krispurwana Cahyadi, SJ, 2010, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius.

Bagaimana Seharusnya Kita Berbicara tentang Kristus Saat Ini?


Menyambut tahun baru 2011 ini, saya mengajak Anda semua untuk melihat kembali pengalaman perjumpaan kita dengan Yesus pribadi dalam hidup kita masing-masing. Barangkali penemuan-penemuan kita nanti akan membawa kita pada sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak kita sadari, yaitu penemuan akan Yesus yang senantiasa hadir dan membentuk hidup dan pribadi kita. Dalam penemuan itu, semoga saja, kita mampu merumuskan kembali siapa Yesus Kristus bagi diri kita pribadi saat ini. Pengenalan dan pemahaman akan Yesus Kristus yang baru ini akan menuntun kita pada cara hidup dan bertindak yang baru pula sehingga di tahun baru ini kita terus dijiwai oleh semangat Yesus Kristus yang mewahyukan diri-Nya secara pribadi kepada kita. Dengan demikian, kita bisa mewartakan Kristus dengan cara dan metode yang baru pula.

Untuk menemani peziarahan kita dalam merumuskan siapa Yesus Kristus bagi kita di tahun baru ini, saya akan menghadirkan seorang teolog pembebasan dari Meksiko yang terkenal dengan metode berteologinya, yaitu Raúl Vidales. Basis teologinya adalah teologi pembebasan yang ia pandang sebagai teologi yang mencari penjelasan makna keselamatan di dunia dari perspektif mereka yang tertindas. Persoalan pokok tentang iman, khususnya di bidang Kristologi yang hendak ia ajukan dalam kesempatan ini adalah bagaimana seharusnya kita berbicara tentang Kristus saat ini?

Kontradiksi dalam diri Yesus melahirkan manusia baru

Persoalan ini, yaitu tentang bagaimana berbicara tentang Kristus saat ini, menurut Vidales, perlu didekati dari hal-hal yang sangat sederhana dan melalui kepekaan perasaan kita ketika bersentuhan dengan pengalaman rohani kita. Di sini kita perlu akui bahwa kehadiran Kristus adalah merupakan suatu tanda pertentangan di tengah sebuah kontradiksi yang lebih luas. Ia selalu menjadi sebuah teka-teki dalam diri-Nya yang seseorang tidak mudah untuk memecahkan-Nya. Meski demikian, Ia tetap hadir secara kontekstual dalam dunia kita yang unik dan ganjil, yang sarat dengan problem modernitas, seperti kolonialisme, imperialisme, rasisme, dan semacamnya. Namun, hal yang mengejutkan adalah bahwa nampaknya ke-kontradiktorisan dalam diri-Nya justru merupakan intensional-Nya untuk menuntun manusia ke arah sebuah pola aktivitas yang baru, bangkit dari pembaharuan batiniah. Dengan demikian manusia dibaharui oleh Yesus menjadi “sesuatu yang baru”.

Untuk menjadi manusia baru perlu sikap yang selalu mengarah pada pesan Injili, yaitu iman. Iman yang dialami dalam situasi konflik, situasi pribadi yang mengalami kebutuhan yang sangat konkret, percaya dalam Kristus secara baru. Untuk keperluan itu, Vidales menskematisasi tuntutan tugas yang juga merefleksikan sebuah metodologi dalam tiga perspektif, yaitu perspektif tentang iman, teologi, dan evangelisasi.

Perspektif Iman: Pengalaman Umat Kristiani

Menurut Vidales, peristiwa inti bagi umat Kristiani yang terlibat dengan pembebasan adalah sebuah pengalaman yang baru akan Kristus. Cara baru mereka beriman dalam Yesus Kristus melibatkan sebuah cara pemahaman, penerimaan, dan perwujudan pesan-pesan Kristus yang baru pula. Hal ini bisa kita lihat dalam pertemuan dengan Kristus dalam sejarah, terutama umat Kristiani di Amerika Latin yang di saat mengalami krisis secara politis menggunakan wajah eklesial. Gereja saat itu mulai menampakkan tidak hanya kelemahannya, tetapi juga secara terbuka terlibat dengan kekuasaan yang cenderung mempertahankan sebuah kekuasaan yang tidak manusiawi karena melibatkan perbudakan seluruh orang. Ada ketegangan di sini antara menolak kekuasaan atau memilikinya. Ketegangan itu menghasilkan pengaruh yang mendalam pada gerakan-gerakan awal Gereja, yaitu tuduhan-tuduhan terhadapnya yang lama-kelamaan membatasi bentuk konkret persoalan Kristologi yang lebih dalam.

Di sini, gambaran mengenai Kristus mulai nampak seperti gambaran yang memberontak dan bernada kasar dan sulit ditemukan. Di saat seperti itulah, Gereja tidak menemukan sumber inspirasi atau orientasi mereka kepada Injil. Yesus mereka rasakan sebagai sebuah absenteisme.

Selain itu, ada juga persoalan lain yang bisa membuat lebih komplek dalam rangka mencari Kristologi yang relevan, yaitu gambaran Kristus yang reaktif, gambaran Kristus tradisional yang peradaban-Nya ke-Barat-baratan yang tidak biblis, tidak menyejarah, gambaran Kristus yang diidealkan.

Tantangan saat ini adalah bagaimana menemukan gambaran wajah Kristus yang baru. Kadang-kadang wajah Yesus mempunyai sebuah nama dan sebuah kelompok sifat yang akrab dengan kita, namun, kadang-kadang Ia tak bernama, 'nothing', rata-rata pada umumnya, orang yang termarjinalisasi, orang-orang pinggiran. Oleh karena itu, pengalaman akan wajah Kristus yang seperti inilah yang akhirnya memasuki petualangan akan Kristologi yang baru. Pengalaman rohani seperti inilah yang secara kodrat dasarnya membawa gerakan pertobatan, yang berarti membuat konkret pilihan memihak dan hidup bersama orang-orang tersingkir dalam pergulatan mereka. Iman inilah yang menjadi sebuah tindakan solider dengan mereka, tindakan protes melawan kemiskinan yang mereka hidupi, tindakan identifikasi dengan keberpihakan pada kelas yang ditindas, dan tindakan terus-terang mengadukan eksploitasi yang mengorbankan mereka. Akhirnya muncul gambaran Kristus Sang Pembebas yang nantinya diwujudkan dalam kebebasan. Di sini Kristus menampakkan diri-Nya dalam realitas keberadaan dan proses dari hati ke hati dan jerit tangis setiap orang yang tertekan dan tertindas oleh struktur. Demikianlah pengalaman personal akan Kristus merupakan kriteria discernmen yang utama dan definitif yang melampaui segala yang lain.

Perspektif Teologi

Dari perspektif teologi pembebasan sendiri, menurut Vidales, dasar Kristologi mempunyai nilai-nilai yang bertitik tolak dari suatu bagian yang panjang, kata dan praksis atas pembebasan di mana keduanya bertemu berdasarkan dialektika dalam kenyataan proses sejarah. Namun, ada beberapa persoalan yang nampaknya muncul akibat kecenderungan mereduksi teologi logos yang hanya diperuntukkan kepada dominasi kelas-kelas tradisional Kristen Barat. Mereka bahkan bisa melakukan tindakan manipulatif pemikiran tentang Tuhan bagi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan demikian teologi hanya akan menjadi sebuah teologi elit yang berpindah dari persoalan-persoalan aktual menuju bagaimana melanggengkan kekuasaan dari suatu kelompok elit tertentu dalam masyarakat.

Namun, ada beberapa keuntungan yang dapat diambil dari situasi di atas bagi perkembangan Kristologi, di antaranya adalah pertama, penekanan pada keheningan dan doa dalam membangun teologi Kristus sehingga melahirkan keterbukaan pada Kristus dan juga keterbukaan pada yang lain. Sebuah kristologi yang mempunyai kebebasan perspektif akan berangkat dari pengalaman akan Kristus yang hanya bisa dihayati dalam suatu area yang melampaui semua bahasa, yang hanya mampu bertemu dengan Sang Sabda dalam sebuah keheningan dan doa. Karena dari keheningan dan doa, Kristus mampu diwartakan dengan baik; dan keterbukaan akan Kristus memungkinkan untuk terus-menerus dilakukan dan dialami sehingga mendorong pula suatu sikap terbuka kepada yang lain. Justru dengan keterbukaan dengan yang lain itulah Kristus dapat ditemukan. Kristus juga sungguh dapat ditemukan hidup dalam tradisi dan budaya yang aktual di mana setiap orang dapat mengalaminya secara nyata, bukan lagi dalam tataran ideal atau cita-cita. Dengan demikian, teologi pembebasan menekankan tidak hanya ketokohan dan sifat Kristus dari Nazaret, melainkan sifat dari Misteri Kristus yang selalu hadir dan mengikuti ritme sejarah manusia karena ia tinggal bersama dengan mereka. Di sinilah letak kenosis-nya Yesus yang bersedia terlibat dalam kenyataan manusia dunia ini.

Kedua, dimensi politik dari kehidupan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya. Di sini, Vidales mengajak kita untuk melihat gambaran yang tepat mengenai Yesus, yaitu Sang Pembebas karena Dia secara berkesinambungan memanggil suatu perubahan yang terus-menerus menuju sebuah transformasi revolusioner di dalam manusia dan di dalam masyarakat. Di sini, Yesus menekankan suatu dimensi kenabian untuk secara jujur dan terbuka menyampaikan pesan-pesan-Nya kepada dunia. Dengan demikian, figurnya sebagai seorang Pembebas menjadi sebuah kenyamanan dan harapan bagi kaum yang tak bersuara.

Ketiga, persoalan bagaimana melakukan tafsiran secara kontekstual atas Kitab Suci sehingga mampu menyumbangkan sebuah makna dan pemahaman baru dalam bidang Kristologi. Pemahaman dan pengetahuan akan pesan-pesan Yesus dalam Kitab Suci tidak bisa tidak harus ditafsirkan secara baru. Teologi Pembebasan sedang menggali jejak baru di dalam teologi hermeneutik Kitab Suci untuk mempertajam Kristologi. Di sini, teologi memang sebaiknya mampu menginterpretasikan tindakan keselamatan Allah tidak hanya dalam ranah gagasan atau pemikiran-pemikiran, melainkan berkolaborasi dengan wilayah praksis. Dengan demikian kebebasan untuk meraih akses kepada kebenaran dapat dirasakan oleh semua kalangan umat beriman.

Akhirnya, pemahaman Kristologi yang baru dengan sendirinya melahirkan sebuah eklesiologi baru. Eklesiologi baru di Amerika Latin nampak dan lebih jelas sebagai kenosis Kristus. Konkretnya sebagai sebuah Gereja kaum miskin. Menurut Vidales, kita membutuhkan Gereja yang tidak hanya mampu memegang kunci politik, sosial, budaya, ekonomi, atau setiap persoalan-persoalan etika, melainkan kita tetap membutuhkan Gereja sebagai kenosis, sebuah Gereja yang mengosongkan diri supaya mampu bersikap lepas bebas terhadap superioritas. Singkatnya kita membutuhkan gereja yang kuat, yang tidak hanya menerima sejumlah doktrin yang dipercaya atau doa-doa yang didaraskan secara berulang-ulang, melainkan Gereja yang menyerupai gambaran Kristus sendiri dalam kenosis-Nya.

Perspektif Evangelisasi

Perspektif ini memunculkan soal-soal pastoral, yaitu bagaimana kita harus memberitakan Kristus di sini dan sekarang? Pertanyaan lain yang lebih relevan adalah bagaimana kita harus berbicara tentang Kristus saat ini dari sudut pandang teori dan praksis pastoral? Ada tiga momen yang terkait secara dialektikal, yaitu praksis sebagai kesaksian, kerygma sebagai praksis, dan praksis kenabian.

Praksis sebagai Kesaksian

Pada poin ini kita, menurut Vidales, sebaiknya mulai dari pengalaman baru dari sebuah evangelisasi yang membebaskan di Amerika Latin. Evangelisasi yang membebaskan harus memeluk tidak hanya dimensi ekonomi-politik dari manusia tetapi juga totalitas kemanusiaan dan orisinalitas (keaslian) Kekristenan yang masing-masing terkait secara mendalam satu sama lain. Kandungan pemberitaan evangelisasi primordial ini adalah peristiwa radikal di mana orang-orang Kristiani dipertemukan dengan sebuah pewahyuan terus-menerus, sebuah pembebasan yang telah dicapai dan dibuktikan di jantung sejarah melalui visi iman.

Pemberitaan evangelisasi primordial ini juga membawa kegembiraan atas penemuan diri, kegembiraan atas pengalaman seseorang, kegembiraan atas pengalaman seseorang yang dicintai Allah, dan kegembiraan atas karya cinta Allah. Pemberitaan evangelisasi primordial ini bertitik tolak dari solidaritas dasar dengan kelas-kelas yang tereksploitasi sehingga di sini pemberitaan ini mempunyai dimensi politis sebagai sebuah dimensi intrinsik dari Kasih Bapa bagi seluruh umat manusia. Pemberitaan evangelisasi primordial ini menyumbangkan sebuah pengaruh politis dan kelas, langsung dan kritis, pada semua proses pembebasan-terbuka. Oleh karena itu, ia mempunyai karakter sejarah yang konfliktual. Hal ini dapat kita lihat pada tempat perwujudannya (locus of realization) secara konkret dalam situasi yang konkret pula dalam rangka option for the poor. Dalam hal ini, tempat dan situasi konkret adalah kelas-kelas (mereka) yang tereksploitasi.

Kerygma sebagai Praksis

Di sini sekali lagi ditegaskan bahwa bukan kita yang merupakan dasar "pengkotbah" atau pewarta Yesus, melainkan Yesus sendiri yang mewartakan diriNya, Roh-Nyalah yang berbicara, Kristuslah yang bekerja dan mewujudkan diri-Nya sendiri melalui sebuah "bahasa total" (total language), bekerja dan berbicara dari sebuah keterlibatan-Nya dalam sejarah dan dari sebuah kedalaman di dalam setiap umat manusia sebagaimana di dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu kita harus mengosongkan diri dan memurnikan diri dengan rasa hormat pada diri kita sendiri dan komitmen konkret kita dalam bentuk keheningan sikap dan tingkah laku yang total. Dengan demikian, misi dapat dilihat sebagai sebuah pelayanan, sebuah komitmen dan sebuah tanggungjawab yang diperuntukkan bagi sesama. Misi tidak hanya mengajar, melainkan sebuah kenyataan, kehadiran dan kedinamisan. Di sini pesan Injil harus dibaca dari bukti konkret dan pelayanan khusus yang dituntut oleh kehadiran Kristus di setiap umat manusia dan budaya.

Kristus adalah inti dari Kerygma Kekristenan. Oleh karena itu, menurut Vidales, kerygma ini dijaga sebagai karakter yang hakiki bukan hanya sebagai logos atau pengetahuan, tetapi juga sebagai pneuma (roh) dan kedinamisan logos. Kerygma kekristenan ini hanya bisa diwujudkan sebagai sebuah gerak dinamis yang historis atau menyejarah. Jika tidak, evangelisasi menjadi tidak berguna alias impoten karena hanya melayani kelas-kelas yang mendominasi.

Secara tradisional, ortodoksi pesan Kekristenan telah direduksi ke formula teoritisnya atau pewartaan oralnya. Maka sangatlah mendesak untuk menghindari pereduksian ortodoksi hanya pada sebuah pemikiran dan perkataan yang benar. Lebih baiknya jika kita berjuang untuk memulihkan makna penuhnya sebagai tindakan yang benar. Namun, kita tidak boleh mempertentangkan bertindak atau praksis sebagai sebuah teori yang bertentangan, melainkan sebuah totalitas atau penyeluruhan konsep praksis yang membentuk sifat dialektiknya. Di sini, praksis melampaui empirisisme, voluntarisme, dan penyederhanaan yang berlebihan. Lebih lagi, pewartaan pesan Kristiani harus tidak dilihat sebagai sebuah tindakan pragmatis yang terisolasi atau murni, melainkan sebuah fase dari keseluruhan aktivitas dari proyeksi historis kekristenan.

Praksis Kenabian

Ortopraksis dari iman yang nyata, menurut Vidales, terdiri dari sebuah profetisisme (paham kenabian) dalam kata-kata, karya, pilihan-pilihan, dan proses-proses. Contoh utama dari profetisisme ini adalah sebuah aktivitas evangelisasi yang bermula dari sebuah pilihan bagi kelas-kelas yang terekspoitasi.

Dalam berkotbah, menurut Vidales, berbicara tentang Kristus adalah untuk mewartakan tentang keselamatan historis, untuk membawa pada penyempurnaan di bawah bentuk-bentuk norma konkret yang baru: Cinta Kristiani dan sebuah komunitas Persaudaraan Kristiani. Oleh karena itu berbicara tentang sebuah evangelisasi yang membebaskan berarti berbicara tentang pembebasan setiap laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan ditentukan oleh strukturasi sebuah masyarakat yang menstigmasi mereka sebagai yang tereksploitasi dan yang tertekan. Di sini seringkali terlupa bahwa hubungan kerygma Kristiani dengan umat manusia merupakan sebuah hubungan yang hakiki dari kerygma yang mengandung resiko-resiko. Itulah hukum inkarnasi bahwa ketika segalanya sudah dikatakan dan dilakukan untuk mewartakan Kristus, kita harus siap untuk mengambil tantangan yang berhadapan dengan mediasi-mediasi politis yang memolitisasi.

Sebagai praksis konkret, kerygma Kristiani harus memandang dengan rasa hormat yang istimewa pada nilai-niai yang dihidupi oleh komunitas. Pesan terwujud dan dihidupi dalam cara-cara yang berbeda dan di waktu yang berbeda. Pertemuaan kembali dengan Kristus di bawah bentuk baru dan dalam loci yang berbeda-beda harus menjadi tema yang relevan dalam bidang pembebasan dan komitmen revolusioner.

Berteologi dari Bawah Mencari Wajah Kristus Ideal

Bagi saya, mengunyah dan memahami apa yang disampaikan Raul Vidales tidaklah mudah. Ini perlu saya sampaikan sebagai sebuah kejujuran untuk menyuarakan apa yang ada dalam hati saya. Sikap saya ini sendiri tidak terlepas dari usaha saya untuk memahami apa yang menjadi pemikiran Vidales sendiri. Ia secara gamblang mengemukakan gagasan-gagasannya tentang bagaimana sebaiknya kita menyuarakan Kristus di tengah dunia dewasa ini yang tentu saja mempunyai keragaman dan kemajemukan situasi. Karena begitu banyaknya keragaman situasi dunia dan tentu saja keragaman pengalaman akan Kristus, ia membatasi diri dengan bercermin pada pengalaman Gereja di Amerika Latin. Setidak-tidaknya, dasar pemikirannya yang saya tangkap adalah teologi pembebasan yang memang berakar pada situasi konkret masyarakat Amerika Latin sendiri. Metode berteologinya nampak berawal dari bawah kemudian direfleksikan dan diangkat untuk mencari bentuk dan wajah Kristus ideal yang tepat untuk situasi yang ia maksudkan.

Bagi saya, hal yang ideal dalam berteologi saat ini memang dari bawah ke atas. Mengapa? Karena seperti yang dikatakan oleh Vidales bahwa dalam peristiwa Inkarnasi, Allah justru hadir dalam realitas dunia manusia untuk melihat, mengalami, mendengar, dan merasakan kedinamisan hidup bangsa manusia supaya dengan itu, Allah mampu mengarahkan manusia menuju pada diriNya. Tentu saja Allah hadir bagi siapa saja. Ia bersifat universal. Namun, memang perlu dipertimbangkan kelemahan-kelemahan manusia sepanjang sejarah dalam melakukan interpretasi keselamatan Allah. Ada banyak kekeliruan dan perkembangan yang dialami manusia untuk menafsirkan keselamatan Allah itu. Namun, justru dalam kelemahan manusia itu, Allah senantiasa hadir membimbing manusia untuk menemukan gambaran diri-Nya dalam situasi khusus setiap daerah, setiap manusia, setiap jaman.

Dengan demikian keterbukaan Gereja kepada kehendak Allah menuntunnya pada pembaharuan diri terus-menerus yang memungkinkan Gereja terus dapat hidup dan oleh karenanya Gereja mampu berbicara tentang Kristus dalam setiap situasi dan jaman yang berbeda. Demikian pula kita, dengan mengikuti Gereja yang terus tetap terbuka pada kehendak Allah, kita masing-masing pun ditantang untuk terus-menerus melihat realitas diri kita masing-masing sebagai loci kehadiran Yesus dengan bertanya dan merumuskan kembali siapakah Yesus bagiku saat ini; dan dengan gambaran dan rumusan yang telah kita peroleh, hendak membentuk dan mengarahkan kita kemana pemahaman akan Yesus yang baru itu.

Sumber:

Raul Vidales, “How Should We Speak of Christ Today?” Dalam Faces of Jesus: Latin American Christologies, ed. Jose Moiguez Bonino, trans. Robert R. Barr (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1984). Hlm. 137-161.